webnovel

Kisah Mitos : Rasuk

Sandi Gumilar datang ke Yogyakarta untuk memperluas cabang bisnisnya sekaligus dipertemukan dengan calon pasangan oleh ibunya. Namun sebelum semua itu terjadi, Sandi harus melewati perjalanan di dalam dunia yang sama sekali tidak dipercayainya bersama Virya Sinawati, gadis yang bertemu dengannya di stasiun. Hingga Sandi tersadar, bahwa ia telah merasuk ke dalamnya, atau mungkin bisa jadi sebaliknya. Dunia itu merasuki dirinya.

dimdimsama · Horror
Not enough ratings
7 Chs

001

Tak kuduga naik kereta di malam hari bisa sepanas berada di sauna, sehingga berulang kali aku membuka botol airku demi menjaga cairan dalam tubuh.

Aku rasa semua berkat penumpang lain yang berlebihan membawa barang-barang mereka ke dalam kereta yang sudah cukup sesak ini. Berbagai macam aroma makanan berkeliaran di dalam gerbong yang sudah lumayan berkarat. Aku hanya bisa menghela napas sembari menahan rasa mual karena bau-bau aneh dan goyangan kereta. Hanya tuhan yang tahu berapa kali aku berdoa agar ular besi lusuh ini bisa cepat sampai di Stasiun Yogyakarta. Aku butuh ke kamar mandi.

Aku tidak ingat waktu menunjukkan pukul berapa. Kurasa sudah menyentuh angka lima di pagi hari, sehingga langit sudah sedikit diterangi matahari walau masih gelap. Akhirnya aku tiba di Stasiun Yogyakarta tanpa mengotori kereta dan membuat semua penumpang mencemoohku. Tujuan awalku membuka cabang bisnis baru bukanlah prioritas lagi, melainkan menjadi yang kedua setelah sebuah toilet.

Mungkin benar kata orang, jika harapan sudah di depan mata manusia akan mengerahkan kemampuan maksimal untuk mencapainya. Mataku yang masih sedikit kelelahan akibat perjalanan bisa dengan cepat menemukan papan yang bertuliskan 'toilet' di dalam stasiun. Bahkan kakiku tak mau kalah saing, walau tinggiku sekitar 170 cm, rasanya langkah lariku setara dengan para pelari internasional. Barang bawaan yang awalnya kupikir beratpun aku gendong layaknya pedagang asongan yang sudah profesional.

Semua demi menuntaskan semua hasrat yang bergejolak dari dalam tubuhku.

Di dalam tempat bernama toilet.

… Ah, lega sekali rasanya.

"Kenapa semua tiket pesawat habis, sih?!" keluhku sembari membersihkan tangan, sebelum kemudian mencuci muka agar tampak lebih enak dipandang. Tetap saja kumal. Apa boleh buat, kurasa wajar perjalanan panjang berpengaruh pada penurunan kualitas wajah. Ya, aku tidak seburuk itu kok. Dari awal, kenapa aku harus mempermasalahkan penampilan? Aku hanya akan bertemu dengan ibu saja, karena beliau tinggal di kota ini.

Aku mengeluarkan ponselku, menekan tombol-tombol yang tak kusangka merupakan perantara terpenting untukku berhubungan dengan pegawai-pegawaiku sebagai alat komunikasi. Teknologi seperti ini memang sangat berguna di era sekarang. Sebenarnya aku cukup menyesal tidak membeli ponsel yang ada kameranya untuk memfoto saat survei lokasi. Namun paling tidak, ini sudah lebih dari cukup. Aku masih bisa menghubungi pegawai-pegawai dan sekarang yang terpenting adalah ibuku—

"Ah!"

"… !!"

—jika saja aku tidak menabrak seseorang saat aku keluar dari toilet.

"Aduh, aduduh…"

Mungkin bisa dibilang aku baik-baik saja karena perawakanku yang sedikit berisi. Hanya saja, orang yang barusan bertubrukan denganku memiliki badan yang lebih kecil dan… langsing? Aku tidak begitu bisa menilainya. Dia mengenakan terusan berbahan jeans dari atas sampai lututnya, dengan stoking hitam yang tersobek. Ranselnya yang cukup besar cukup menjadi bantalan untuk orang itu. Sempat tercium wangi vanila yang manis dan cukup menstimulasi otakku untuk mendefinisikannya sebagai seorang perempuan.

Ah, apa yang kupikirkan? Aku harusnya menolong dia.

"Kamu baik-baik saja?"

"Uuuuuuhhh… Enggak sakit, sih. Cuma…" balasnya sembari mengeluarkan benda kecil yang mengganjal di pantatnya.

Sebuah ponsel.

Atau lebih tepatnya, ponsel yang jelas-jelas terlihat hancur.

Gawat.

"Rusak, ya? Coba dihidupkan," ujarku sembari berjongkok di sebelah perempuan yang sedang mencoba mengaktifkan ponselnya kembali. Badanku mendadak terasa panas dalam was-was. Jantungku mulai berpacu kencang karena takut telah menjadi penyebab kerusakan benda yang baru saja kuanggap sebagai berharga itu. "Bisa?"

Dia menggeleng. "Rusak total." Sebenarnya tidak usah kutanya juga sudah jelas bahwa ponselnya hancur berkeping-keping. Melihat ranselnya yang besar, kurasa benda itu tertimpa keras saat terjatuh tadi. Tampak layarnya yang retak parah dengan tombol-tombol yang sudah lepas. Refleks aku memegang dompet di saku celanaku, mengingat kembali berapa banyak lembaran merah yang ada di dalamnya.

"Maaf, tadi saya buru-buru—"

"Aaaah, enggak apa-apa. Saya juga tadi lagi buru-buru. Jadi enggak perlu minta maaf," balasnya cepat. "Cuma… saya butuh ponsel ini untuk kontak sama klien. Bagaimana ya?"

Aku menelan ludahku. Aku mengerti perasaannya. Betapa penting benda kecil tersebut untuk keperluan pekerjaan dan komunikasi. Dia bilang tidak apa, tapi bagaimanapun juga kalimat yang diucapkan selanjutnya cukup membuatku merasa lebih bersalah. Seperti baru saja memuji, lalu mencemooh. Walau di sini, sebagian kesalahan juga berasal dariku.

"Hmm, bagaimana, ya?" Aku mengulang pertanyaan yang sama. Aku melihat jam di arlojiku, masih jam lima pagi lewat sedikit. Toko ponsel mana yang buka di jam segini? Tidak ada. Jadi aku melanjutkan, "Kan begini, saya juga salah di sini. Mbak ada nomor yang bisa dihubungi? Nanti siang akan saya ganti ponselnya. Atau alamat rumah? Bisa saya kirim."

"Itu enggak penting."

"… Hah?"

"Itu enggak penting sekarang. Saya butuh ketemu klien sesegera mungkin."

"Se-Sekarang?"

"Iya, sekarang. Perjalanan cukup jauh karena tempat pertemuan di pelosok desa. Saya ada alamatnya, nomornya juga. Cuma saya enggak punya ponsel untuk kontak klien itu. Aaah, andaikan saja ada orang yang berbaik hati bantu saya…"

… Ha? Maksudnya, dia ingin minta bantuanku? Bantuan seperti apa?

Aku menghela napas. Refleks aku mengecek arloji lagi meskipun aku sudah melakukannya semenit yang lalu. Tentu saja waktu belum berubah banyak. Namun, kalau dipikir kembali aku masih punya banyak waktu di kota ini. Terlebih aku sudah menyerahkan semua pekerjaan pada supervisor kepercayaanku, si Dandi. Sebulan di Yogyakarta pun tak masalah bagiku. Hanya saja aku perlu menemui ibuku tiga hari lagi untuk keperluan yang lain.

Ahhh, aku jadi ingat kalau aku harus bertemu dengan calon yang ingin diperkenalkan ibuku.

Jadi aku mencoba memastikan terlebih dulu pada perempuan ini. "Kebetulan saya bisa bantu. Mau saya telponkan klien Mbak?"

Senyum terkembang di wajahnya. "Beneran? Wah, makasih banget! Masnya baik banget deh!" Dengan tergesa-gesa dia kemudian berdiri dengan aku yang mengikutinya. "Kalau begitu ayo!"

"Tu-Tunggu, Mbak, tunggu!" seruku padanya yang sudah berjalan tiga langkah. "Mau kemana?"

Dia berbalik dalam raut kebingungan. "Bantu saya, kan?"

"I-Iya, sih…"

"Kalau begitu, ayo!"

Kini aku yang kebingungan. Kenapa tidak telpon di sini saja? Ah, dia ingin mencari tempat duduk kah?

Namun, saat mengikutinya kita tidak seperti sedang mencari tempat duduk atau sejenisnya. Langkah kami menuju ke luar stasiun dan bahkan di pinggir jalan. Tangan perempuan itu melambai-lambai pada taksi-taksi yang lewat, walau kebanyakan dari kendaraan tersebut sudah dipenuhi penumpang. Karena tak bisa tinggal diam, aku bertanya. "Kita mau kemana?"

"Pak taksi, Pak!" serunya pada taksi yang tak lama berhenti di depannya. Cepat saja dia membuka pintu dan sebelum masuk, kepalanya menoleh ke arahku.

"Aku butuh bantuan alat komunikasi dari sebelum ketemu klien sampai sesudahnya," jelasnya singkat, sebelum kemudian masuk.

Aku… Kenapa dia mengubah cara memanggil dirinya?

Aku hanya bisa menghela napas setelah menggaruk kepala. Jadi ini yang dia maksud sebagai bantuan? Kalau kupikir juga, sih, dia butuh ponsel untuk komunikasi kedatangannya sekaligus kepulangannya. Pelosok katanya, bisa jadi dia cukup kesulitan mencari kendaraan untuk pulang tanpa ponsel.

Haruskah aku memberikan ponselku padanya? Tapi aku butuh nomor-nomor yang tersimpan di sini. Daftar kontak yang kumiliki sudah dipenuhi oleh karyawan, teman, klien, dsb, sehingga tidak mungkin aku bisa menyimpan semuanya dalam kartu SIM. Pesan-pesan yang penting juga masih ada yang belum kubalas. Terlebih, aku masih belum menelpon ibuku.

Apa boleh buat, waktuku masih banyak, tidak mungkin juga kan pekerjaan dia selama itu?

Jadi, aku melongok ke dalam mobil. "Boleh saya telpon ibu dulu?" Dia menjawabnya dengan anggukan.

Segera, aku keluarkan ponselku dan menelpon ibu. Sebenarnya ada dua tujuan utamaku datang ke kota ini. Yang pertama adalah survei lokasi untuk bisnis, dan yang kedua adalah hal yang sesungguhnya belum ingin kupikirkan.

"Halo, San. Kamu sudah sampai? Buruan ke rumah sini. Mama dandani yang cakep, pasti calonmu nanti klepek-klepek deh!"

Ya, yang kedua adalah bertemu dengan calon istri.

Atau mungkin sejauh tunangan dulu saja, karena aku belum ingin memiliki kehidupan rumah tangga secepat ini. Darahku masih mengalir panas pada bisnisku, belum saatnya aku memikirkan istri dan anak. Namun, seperti yang semua orang alami, kebanyakan orang tua ingin segera menggendong satu atau dua cucu saat anaknya sudah terlihat mapan. Mereka jarang memikirkan apa yang sebenarnya diinginkan anaknya. Malahan sering kali, orang tua selalu berpikir bahwa apa yang mereka inginkan adalah apa yang anaknya inginkan juga, atau hal terbaik yang seharusnya dilakukan. Padahal, justru kebanyakan dari kita menginginkan hal yang jauh dari itu.

Tapi bagaimanapun juga, aku sudah janji dengan ibu, sehingga aku membalas dengan pasrah. "Nanti ya, Ma. Aku masih ada urusan dulu. Kan janjiannya beberapa hari lagi."

"Ya memang kamu mau tidur di mana? Ini lho, Mama ada kamar banyak. Kamu ganti-ganti kamar tiap hari juga bisa."

"Iya, Ma. Santai saja, masih pagi juga kok."

"Mumpung masih pagi, kamu bisa istirahat lama dulu di sini. Mama hari ini mau masakin mi ayam kesukaanmu, nih. Kamu enggak kangen masakan Mama?"

Mendadak air liur seperti keluar dari sudut bibirku. Mi ayam buatan ibu, aku kangen sekali! Ditambah, perutku sudah kosong sekali akibat pengeluaran paksa karena goncangan kereta tadi. Refleks aku mengusap perutku dalam rindu akan kuliner favoritku.

"Halo, San? Kok diam saja? Kamu enggak suka lagi masakan Mama?"

Aku mendengar bisikan perempuan yang ada di dalam taksi dan memberi isyarat untuk cepat naik. Yah, aku tahu kalau katanya perjalanan ini akan jauh sekali, jadi aku bisa memakluminya. Terlebih, bernegosiasi dengan orang tua terutama ibuku, akan memakan waktu yang lama. Oleh karena itu aku memulai trik pamungkas untuk segera mengakhiri percakapan.

"Kangen kok, Ma! Tapi aku ada urusan mendadak, Ma. Tenang saja, pokoknya aku pasti ke rumah kok! Halo, Ma? Halo? Halo halo? Ma? Halo—ah, terputus, ya?"

Pip. Aku langsung matikan telepon saat ibuku mulai melanjutkan argumennya. Maaf, Ma, anakmu kadang nakal, tapi yang begini pasti bisa dimaafkan kan ya?

"Sudah aman?" tanya perempuan itu saat aku sudah masuk mobil dan menutup pintu. Pertanyaannya seolah-olah mengimplikasikan kalau aku dan dia hendak melakukan sesuatu yang buruk. Aku mengusap wajahku, berharap bisa kembali tenang di situasi yang aneh ini.

"Aman," jawabku pasrah. "Mau kemana kita?"

"Saya juga dari tadi tanya itu, Mas. Tapi belum dijawab Mbaknya," timpal si Supir.

"Alamat ini, Pak. Bapak tahu?" Perempuan itu mengeluarkan secarik kertas dan memberikannya pada si Supir. "Katanya lumayan jauh dari stasiun."

"Nah, dari tadi dong, Mbak." Supir itu kemudian mengecek lembaran tersebut. Raut wajahnya mengerut, jelas dia tidak paham. "Sebentar, ya. Saya tanyakan ke teman dulu."

Supir itu keluar dari mobil dan pergi mengelilingi stasiun, menanyakan alamat tersebut pada siapapun yang dikenalnya. Aku melirik ke arah perempuan di sampingku. Sekarang dia mengenakan topi beanie berwarna coklat tua. Bisa kulihat jepit rambut menampakkan telinga kiri dan lehernya yang putih seperti nasi. Yang terpikir olehku adalah, apakah dia tidak takut bersama dengan orang yang bahkan tidak dikenalnya?

"Ah…" Akhirnya aku tersadar bahwa kami belum mengenal satu sama lain. "Saya Sandi," mulaiku sembari mengulurkan tangan.

Dia sedikit kebingungan saat mendengarku tiba-tiba memperkenalkan diri, sebelum kemudian menerima jabat tanganku sembari menjawab. "Virya, Virya Sinawati. Panggil saja Virya. Kalau kamu?"

Aku mengerutkan dahi. Apa dia gagal mendengarku tadi? Aku harus mengulangnya. "Saya Sandi, salam ke—"

"Lengkapnya?" potong Virya cepat.

"Gumilar," jawabku singkat, sedikit kebingungan.

"Sandi Gumilar… bagus juga."

Aku melepaskan tanganku masih dalam keadaan linglung. Kenapa dia perlu bertanya tentang nama lengkap? Apakah budaya di sini seperti itu, ya? Tapi tadi dia juga baru saja dari stasiun, mungkin Virya tidak berasal dari kota ini juga? Lalu, kenapa juga dia memuji nama orang lain? Aneh, benar-benar tidak biasa. Namun, rasanya aku maklumi saja karena bisa jadi budaya Virya memang seperti itu. Aku tidak perlu berkomentar akan hal tersebut.

"Sepertinya saya tahu, Mbak. Tapi kayaknya enggak akan sampai tepat di rumahnya," ujar Pak Supir yang tak lama kemudian masuk ke dalam mobil. "Ancar-ancarnya tahu, tapi cukup jauh juga. Mbaknya mau pake meteran atau kesepakatan kontan? Daripada kemahalan muter-muter karena enggak tahu jalan, mending saya turunkan di ancar-ancarnya saja?"

"Boleh, Pak. Turun di ancar-ancarnya saja. Atau nanti kita bisa tanya-tanya lagi di jalan. Kontan berapa, Pak?"

"Dua ratus ribu, Mbak."

'Semahal itu kah?' adalah yang spontan ingin kuteriakkan namun untungnya masih tersimpan dalam hati. Kurasa maklum karena jauh, bisa jadi mahal. Aku diam dulu saja untuk hal ini.

"Enggak bisa turun, Pak? Enggak kemahalan tuh?" Bahkan Virya menawar.

"Wah, kayaknya, sih, malah sudah kemurahan itu Mbak. Sampai ancar-ancarnya saja bisa hampir dua jam. Makanya saya tawarkan itu."

Sesaat Virya terdiam, sebelum kemudian membalas pasti. "Yaudah, Pak, boleh."

"Siap, Mbak!" sahut si Supir senang.

Virya yang sedari tadi mencondongkan badan ke depan saat berbicara dengan supir, mulai melemparkan dirinya kembali bersandar pada kursi. Seraya melihat ke jendela, dia berkata. "Kayaknya bakal lama, nih."

Aku hanya membalasnya dengan senyum, entah dilihatnya atau tidak. Badanku terasa lelah sekali dari perjalanan naik kereta beberapa jam yang lalu. Dengan diiringi lagu-lagu kekinian dari radio, mataku mulai terasa berat. Mungkin aku sudah terlelap tidur, jika saja Virya tidak tiba-tiba bertanya padaku. "Kamu enggak lapar?"

Kalau dipikir-pikir, gara-gara ibuku menyebut mi ayam, perutku baru terasa keroncongan. Aku mengeluarkan roti yang memang sengaja kubawa sebagai bekal di perjalanan. Sepanjang aku membuka tas untuk mengambil makanan, mata Virya terpaku ke arahku dengan mulutnya yang sedikit terbuka.

"Mau roti?" tawarku sembari mengulurkan satu bungkus.

"Makasih," jawabnya, tentu saja setelah mengambil makanan tersebut.

Aku melirik ke arah supir yang tengah mengintip lewat kaca tengah mobil. "Enggak, Mas. Saya sudah sarapan," jelasnya tanpa ditanya.

Tak berlama-lama aku langsung mengunyah roti yang kubeli dari mini market ini. Sepertinya aku kelaparan karena aku bisa menghabiskan tiga bungkus. Setelah minum, aku langsung kembali di posisi awal yang nyaman. Dinginnya AC dan ocehan ringan penyiar radio semakin menambah rasa kantukku seusai makan. Kali ini aku yakin akan terlelap begitu saja.

"…"

"Kenapa belum sampai-sampai, Pak!"

Lagi, aku dibangunkan oleh suara Virya. Aku seperti hendak lompat dari kursi karena kaget, jika saja aku lupa kalau sedang berada di dalam mobil. Aku cukup kesulitan memfokuskan kembali pandanganku karena tiba-tiba dibangunkan oleh suara lantang. Rasa kesal sempat memuncak dalam diriku, namun hanya sebentar saja karena aku melihat cahaya terang yang terpancar dari luar taksi. Sudah berapa lama aku tertidur?

"Hah? Sudah jam 12 siang?!" seruku tak percaya.

"Dan kita masih belum sampai tujuan," timpal Virya. "Bapak enggak salah jalan, kan?"

"Enggak kok, Mbak. Saya juga heran, perasaan tadi sudah benar."

"Tapi dari tadi kita cuma muter-muter saja, kan? Lihat Pak, itu warung sudah tiga kali kita lewati."

"Kita kesasar, ya?" tanyaku penasaran, walau seharusnya aku sudah tahu jawabannya.

"Tadi aku juga ketiduran," balas Virya. "Pas bangun, aku perhatikan sudah tiga kali kita lewat jalan yang sama."

"Saya tadi cari pom bensin dulu sih, Mas. Jadi ya begini, agak lama," jelas si Supir.

Pantas saja lama. Aku tak bisa menyalahkan supir itu juga, sih. Kita butuh bensin untuk perjalanan. Namun, ada baiknya kalau supir tersebut mengabari kami dengan segera kalau sedang tersesat agar bisa langsung cari solusinya.

"Saya enggak tega Mas bangunin orang tidur," balas si Supir setelah aku berkata demikian.

"Ya sudah, Pak. Coba kita tanya orang di pinggir jalan. Itu di depan ada orang dalam pos ronda, Pak. Coba kita tanyakan," saranku.

Dengan itu, masalah sudah selesai, kan? Maksudku, kenapa dari awal Virya dan si Supir tidak mempunyai ide begitu? Apa keduanya kurang memahami bagaimana cara memecahkan masalah sesimpel ini?

Masih dengan pertanyaan-pertanyaan dalam pikiranku, akhirnya kita sampai di ancar-ancar yang dimaksud si Supir. Jam sudah menunjukkan pukul satu siang, di mana tidak kuprediksi bakal selama ini perjalanannya. Namun kurasa cukup bagus juga, karena aku butuh istirahat sejenak.

"Yak, sudah sampai," ujar si Supir lega.

Ketika aku hendak keluar dari mobil, Virya tiba-tiba menahan bahuku. "Kenapa?"

"Kalau antar sampai tujuan bagaimana, Pak?" pinta Virya tanpa menjawabku. "Saya bayar tambahan biayanya."

Raut senangnya mendadak berubah jadi pucat. "Wah, gimana ya, Mbak." Supir itu mengusap wajahnya dengan sapu tangan. "Tadi saja makan waktu 5 jam. Saya takut pulang kesorean cuma dapat satu penumpang saja, Mbak."

Atau mungkin lebih tepatnya, dia takut tersesat lagi dan harus pulang larut dengan penghasilan yang bisa dibilang minus. Perjanjian awal saja hanya dua jam, ini sudah lima jam. Aku tidak begitu tahu tentang bisnis transportasi seperti ini. Hanya saja kalau prediksi awal salah, biasanya dia mengalami kerugian. Aku bisa memaklumi akan hal tersebut.

"Tapi santai saja, Mbak," lanjut supir itu. "Kata warga sini, Mbak bisa jalan kok. Setengah jam saja dari sini ke atas sana."

"Kalau cuma setengah jam kan—" Aku menepuk pelan bahu Virya, menghentikan ucapannya dan mengalihkan pandangannya ke arahku. "Apa?"

Aku letakkan telunjukku di bibir, memberi isyarat untuk diam. Sepertinya Virya tidak mengerti keresahan supir kita ini. Antara dia tidak memikirkannya atau memang sengaja tidak memedulikan itu. Atau hanya aku saja yang berpikir demikian?

Yang manapun itu, aku mulai bicara. "Yasudah, Pak, di sini saja enggak apa-apa. Ini Pak uangnya. Terima kasih, Pak." Setelah membayar, aku ajak Virya untuk segera keluar dari mobil. Bisa kulihat alisnya mengerut pada wajahnya.

Sebelum pergi, supir itu membuka jendela mobil dan berkata padaku. "Maaf ya, Mas. Saya belum lama jadi pindahan di kota ini. Jadi saya belum hafal tempat. Sekali lagi maaf, Mas, Mbak." Kemudian dia pergi setelah memutar balik mobilnya. Pantas saja pria itu kebingungan jalan dan segan bertanya pada warga desa, ternyata memang bukan asli sini. Aku hanya bisa berharap supir tersebut tidak tersesat lagi di jalan pulang.

"Sandi."

"Ya?" Aku beralih ke Virya. "Ada apa?"

"Jadi kita jalan? Padahal kan masih bisa naik taksi."

… Kurasa dia benar-benar tidak mengerti keresahan supir tadi.

Aku jelaskan semua pemikiranku kepada Virya. Dia bilang, sih, sudah paham. Namun aku masih merasa dia belum mengerti. Setidaknya, aku sudah memberikan alasan yang menurutku logis padanya. Walau ya, sebenarnya naik taksi lebih cepat. Aku hanya tidak tega saja dengan supir itu, sehingga pada dasarnya situasi sekarang adalah murni akulah penyebabnya.

"Kalau begitu kita jalan saja," ujar Virya yang kemudian menunjuk ke arah jalan aspal yang dikelilingi oleh pepohonan lebat. "Dan kayaknya, kita harus cepat."

"Sebelumnya, kita tanya dulu alamat ini ke warga sekitar," tambahku.

Aku tidak tahu setengah jam perjalanan yang supir itu katakan adalah dengan jalan kaki atau menggunakan mobil. Namun saat bertanya pada orang-orang yang kami temui, mereka tampak heran melihat kita menuju ke sana tanpa kendaraan. Memang cukup melelahkan perjalanan ini karena medannya cukup curam, tipe-tipe pegunungan.

Sesekali aku melihat ke arlojiku. Menit demi menit rasanya seperti tahunan. Untung saja aku masih mempunyai roti dan minuman di dalam tasku. Namun yang cukup membuatku heran, Virya sama sekali tidak mengeluhkan kesukaran ini. Aku salut padanya yang tetap berjalan meski aku saja sudah kelelahan. Jalanan pun semakin menyempit dan sudah bukan aspal lagi, membuatku sedikit ragu apakah jalan yang kami ambil benar atau tidak. Hingga tak lama kemudian, sebuah rumah berpagar besar dengan pekarangan yang luas terpampang jelas di hadapan kita.

"Jadi ini rumahnya?" tanyaku mengkonfirmasi.

"Kurang tahu juga. Tapi sesuai alamat, ini rumah nomor A1. Aku tidak melihat nomor A yang lain, sih."

Aku menelan ludah. "Mungkin kita bisa coba pencet bel dan tanya ke pemilik rumahnya." Mengangguk, Virya memencet bel rumah tersebut karena gerbangnya masih tertutup. Ternyata, gerbang tersebut mempunyai lubang kecil yang dibuka oleh seorang pria. Kurasa penjaga rumah atau satpam?

"Ada keperluan apa, ya?" ucapnya dari balik gerbang.

Virya langsung membalas. "Apa benar ini rumah Ibu Evi Jananto?"

"Benar, ini rumah Ibu Evi, istri Pak Ananta. Ada perlu apa?"

"Saya Virya Sinawati. Saya ada janji bertemu dengan Ibu Evi," jelas Virya.

"Oh, baik, Mbak. Tunggu sebentar, ya," ucap penjaga tersebut yang kemudian menutup kembali lubang gerbang dan terdengar berjalan ke dalam rumah tersebut. Tak lama, aku mendengar kembali pria tersebut datang dan membuka gerbang itu.

"Virya," panggilku seraya menunggu gerbang terbuka, "boleh tanya sebelum kita masuk?"

"Apa?"

"Di keluarga yang punya rumah sebesar ini, tugasmu jauh-jauh harus datang ke sini buat apa?"

Perlahan wajah Virya menoleh ke arahku, sedikit menggerakkan rambut berombaknya yang hanya sebahu itu seraya menjawabku.

"Membasmi hantu."

Sebelum kemudian dia beranjak masuk ke pekarangan rumah tersebut dengan langkah tanpa rasa takut. Meninggalkanku sendiri, masih terdiam dan terbungkam mendengar balasan yang pada saat itu, terdengar sangat tidak masuk akal di telinga.

… Aku mulai meragukan pilihanku untuk membantu Virya ini.