webnovel

Bab 8

Rasa pahit memasuki hati secara tiba-tiba

Ada yang memanggil dengan menggunakan perasan buah maja

Melalui angin yang sengaja dibelokkan arahnya.

Rasa pahit ini tidak melukai

Namun membasahi hati dengan rasa pedih dan sunyi

Teringat kisah yang dulu juga tib- tiba berhenti.

Berhenti bukan karena ditaklukkan

Berhenti bukan karena ditinggalkan

Berhenti bukan karena diabaikan.

Namun berhenti karena garis takdir tertulis demikian.

Pantai Sukabumi. Kapal yang berukuran sedang dan mewah itu menyentuh bibir pantai dengan anggun. Beberapa orang berlompatan keluar dengan cepat. Arya Dahana menggandeng lengan Ayu Wulan melompat keluar perahu. Diikuti Nyai Genduk Roban yang digandeng oleh Putri Anjani. Arya Dahana melambaikan tangan ke para awak kapal agar segera meninggalkan pantai dan pulang kembali ke Pulau Kabut.

Setelah kapal itu menjauh ke tengah lautan. Mereka berempat mengayunkan langkah memasuki daratan. Belum ada kesepakatan apapun ke arah mana mereka akan menuju, atau apakah mereka akan tetap bersama-sama, atau adakah sesuatu yang bisa membuat mereka tetap berjalan bersama-sama.

Nyai Genduk Roban membuka percakapan,

"Arya, aku dan cucuku akan kembali ke Alas Roban. Sudah terlalu lama kami meninggalkan rumah. Terimakasih atas semua pertolonganmu sehingga aku bisa kembali berkumpul dengan cucu kesayanganku ini."

Sembari berkata, Nyai Genduk Roban tidak habis-habisnya memeluk dan mengusap-usap rambut Ayu Wulan.

Putri Anjani menimpali dengan cepat.

"Nyai, ikutlah denganku. Aku sedang menyusun kekuatan untuk membuat kacau Majapahit. Aku akan membalas dendamku kepada Majapahit. Kalau Nyai sudi membantuku, akan lebih mudah bagiku menyusun kekuatan ini."

Nyai Genduk Roban memandang Putri Anjani dengan pandangan menyelidik. Dilihatnya mata gadis cantik itu menyala saat mengucapkan dendam. Ini persis sama seperti apa yang dirasakannya ketika teringat dendamnya kepada Majapahit.

"Putri Anjani, aku akan membantu siapa saja yang akan membalas dendam terhadap Majapahit. Dendamku juga belum tuntas! Aku akan membantumu. Carilah aku di Alas Roban saat kamu merasa sudah siap."

Putri Anjani tersenyum gembira. Rencananya mulai mendapatkan sokongan dan bala bantuan!

"Baiklah Nyai...aku pasti akan menghubungimu dalam waktu yang tidak terlalu lama. Terimakasih atas kesediaanmu. Selamat jalan kembali ke Alas Roban."

Nyai Genduk Roban mengangguk. Nenek ini menoleh ke arah Ayu Wulan yang sedang malu-malu menatap Arya Dahana sambil berkata pelan,

"Arya, terimakasih atas semuanya. Aku tidak akan melupakan budi baikmu. Semoga kita bisa bertemu kembali dalam waktu dekat."

Begitu selesai berbicara, gadis ini langsung pergi dengan kepala tertunduk tanpa menoleh lagi, bahkan sepertinya lupa kalau dia harus pergi bersama neneknya. Nyai Genduk Roban terperangah sejenak, namun kemudian tersenyum samar. Cucunya ini sedang dilanda sebuah rasa. Mungkin rasa hutang budi yang begitu besar, atau mungkin juga rasa yang lain. Nyai Genduk Roban tidak berusaha ingin tahu lebih lanjut. Biarlah itu semua diputuskan oleh cucunya sendiri. Buru-buru nenek ini menjajari langkah Ayu Wulan melangkah pergi.

Setelah kedua bayangan lepas dari pandangan, Putri Anjani memandang Arya Dahana.

"Arya, ikutlah denganku. Aku akan kembali ke Istana Laut Utara. Tinggallah di sana selama kamu suka. Aku akan menyusun kekuatan dari sana. Aku juga akan menghubungi Blambangan. Sudah saatnya Majapahit merasakan seperti apa pahitnya sebuah dendam!"

Gadis ini berkata berapi-api sambil meraba ujung Gendewa Bernyawa di pundaknya. Selain semangat yang membara dalam ucapannya, terlihat sekali bahwa ada nada penuh permohonan agar Arya Dahana meluluskan permintaannya.

Arya Dahana tersenyum tipis.

"Putri, aku tidak bisa mengikutimu. Dan aku juga tidak bisa membantumu membalas dendam. Aku tidak tertarik ikut dalam urusan peperangan. Aku lelah dengan segala macam perang. Aku akan mengunjungi makam ayahku di Jati Pasir Blambangan. Setelah itu, aku belum tahu harus apa atau kemana."

Arya Dahana melanjutkan dengan tegas.

"Aku hanya ingin mengingatkan satu hal kepadamu. Jika kau masih ingin meneruskan segala kesumatmu. Ingatlah untuk tidak melukai yang tidak bersalah. Karena peperangan biasanya akan menyeret yang tidak bersalah menuju cara kematian yang tidak dikehendakinya."

Putri Anjani tertegun sejenak. Ada rasa perih melintasi hatinya. Pemuda ini menolak ajakannya! Hmmm...

"Arya, aku telah menyelamatkan nyawamu. Paling tidak balaslah dengan membantuku. Aku tidak minta lebih daripada itu."

Arya Dahana menghela nafas sejenak.

"Putri, aku berhutang nyawa kepadamu. Aku akui itu. Dan kamu tahu pasti, aku akan membalasnya dengan setimpal kelak."

Putri Anjani masih menatap Arya Dahana dengan kemarahan yang tidak disembunyikan.

"Ingat Arya, aku akan menagih janjimu kelak....aku pergi!"

Tubuh langsing gadis cantik yang sedang marah itu berkelebat lenyap tanpa menunggu jawaban Arya Dahana lagi.

Arya Dahana mengelus dada namun lega. Gadis yang satu ini sangat mudah terpantik kemarahannya. Pemuda ini bergidik. Hidupnya dikelilingi dengan petualangan bersama gadis-gadis cantik. Tapi kali ini gadis-gadis yang berada dekat dengan hatinya, dipenuhi dengan aura dan rasa idu geni! Kembali pemuda ini bergidik. Kali ini dengan perasaan ngeri.

Dilangkahkan kakinya mengikuti arah yang matahari terbit. Dia akan menuju Blambangan mengunjungi makam ayahandanya. Setelah itu dia tidak tahu harus kemana atau berbuat apa. Dia seperti tidak punya tujuan hidup sekarang. Tujuan hidupnya telah menjatuhkan tangan maut dan membuat dirinya terjungkal di laut Ngobaran yang ganas.

Ada satu hal yang sedikit menyemangati diri pemuda sebatangkara ini. Pertarungan melawan Panglima Kelelawar menyadarkannya untuk giat berlatih lagi. Pukulan Busur Bintang dan Bayangan Matahari harus disempurnakan. Jika ingin membela kebenaran dan keadilan, dia harus mempunyai kemampuan yang hebat dan susah ditandingi. Para penjahat dan tokoh sesat sekarang semakin hebat. Dia bersyukur mempunyai tenaga ajaib yang mengalir dalam tubuhnya berkat mustika naga api. Berkat pengorbanan Dyah Puspita dia sembuh sekaligus bisa memiliki tenaga dalam yang luar biasa.

Dyah Puspita...aaahh. Mengingat kenangan pada gadis ini membuat Arya Dahana berjalan sambil menundukkan muka. Gadis yang sudah mendahului pergi menghadap Sanghyang Widhi itulah yang merubah semua hidupnya. Sejak kecil hingga dewasa sekarang ini. Gadis yang menyelamatkannya berkali-kali. Selalu setia akan cintanya dan bersedia mati untuk kehidupan orang yang dicintanya.

Arya Dahana semakin dalam tenggelam dalam kedukaan. Pemuda ini bahkan berhenti berjalan untuk menikmati rasa sakit yang menusuk-nusuk hatinya. Tidak sadar sepasang mata nyalang sedari tadi mengikutinya dengan sembunyi-sembunyi. Sepasang mata seorang kakek tua renta yang melompat dari pohon ke pohon dengan ringannya. Kakek ini berpenampilan aneh. Tubuhnya yang kurus kering mengenakan jubah yang teramat lebar sehingga dia seperti tenggelam dalam gulungan baju. Hanya kepala dan wajahnya saja yang nampak.

Melihat gerakannya yang sangat ringan, kakek ini pastilah bukan orang sembarangan. Bahkan Arya Dahana yang berkepandaian sangat tinggi saja tidak sadar kalau diikuti. Meskipun sebenarnya ini lebih pada jauh berkurangnya kewaspadaan si pemuda karena sangat tenggelam dalam lamunan.

Kakek yang membayangi itupun sepertinya tahu bahwa yang diikutinya adalah seorang yang berilmu hebat. Jadi saat Arya Dahana terlihat putus dalam lamunannya dan kembali ke alam sadar, kakek ini buru-buru menghentikan lompatannya dari dahan ke dahan di atas pohon tinggi.

Kakek misterius ini sedang merasa penasaran terhadap si pemuda. Dulu dia pernah mengintip si pemuda saat berlatih di sungai Tlatah Ujungkulon. Pemuda yang bisa membuat sungai membeku sekaligus memanas. Dulu dia sudah akan muncul untuk mengadu ilmu dengan si pemuda. Namun niat itu dibatalkannya karena melihat pemuda itu ternyata tidak sendirian dan bersama seorang gadis cantik yang sedang terluka. Dia tidak tega melihat pemuda begitu sibuk merawat si gadis, lalu dia merecoki dengan mengajaknya adu ilmu.

Siapapun yang mengenal kakek ini akan terkejut melihatnya kembali menampakkan diri di dunia persilatan. Kakek inilah yang sesungguhnya bernama Ki Banyu Pethak. Tokoh terasing yang tidak mau lagi muncul di dunia persilatan. Namun kali ini dia mempunyai alasan yang kuat kenapa harus muncul. Dia mendengar bahwa tokoh saingannya zaman dahulu mulai menampakkan diri lagi di dunia persilatan secara terang-terangan. Tokoh yang pernah dikalahkannya dan kalah bertaruh dengannya untuk mengasingkan diri selamanya di Gunung Kelud.

Ya, yang dimaksudkan Ki Banyu Pethak adalah berita kemunculan lagi Ki Mahesa Agni. Bahkan dia juga mendengar kabar bahwa Ki Mahesa Agni membantu Istana timur yang dipimpin oleh Bhre Wirabumi. Dia harus mencegah hal ini. Ki Mahesa Agni adalah tokoh sakti yang angin-anginan. Bisa saja kemunculannya akan menimbulkan bencana di dunia persilatan. Apalagi dia sudah ikut-ikutan membela sebuah kerajaan melawan kerajaan yang lain.

Sebenarnya dia bersahabat dengan Ki Mahesa Agni. Persahabatan yang aneh karena setiap kali mereka bertemu, akan selalu diakhiri dengan pertarungan yang seru dan hebat. Mereka bergantian saling mengalahkan. Namun pada pertandingan terakhir, mereka sepakat untuk bertaruh bahwa siapapun yang kalah akan mengasingkan diri selamanya dari kancah dunia persilatan. Rupanya Ki Mahesa Agni melanggar perjanjian tersebut dengan muncul lagi di dunia persilatan. Dia akan memperingatkan dan mengingatkan Ki Mahesa Agni.

Tapi setelah secara tidak sengaja tadi dia mendengar percakapan pemuda ini dengan seorang gadis cantik yang akhirnya pergi dengan marah-marah, kakek sakti ini berubah pikirannya. Pemuda ini bisa menggantikan tugasnya mencegah malapetaka dengan kemunculan Ki Mahesa Agni. Dia akan mengajari pemuda ini bagaimana menyempurnakan pukulan Busur Bintang yang dipunyai pemuda itu. Ki Banyu Pethak sendiri tidak sampai pada taraf kesempurnaan Busur Bintang. Dia tidak mempunyai tenaga dalam yang cukup untuk sampai pada taraf itu. Namun dia tahu bagaimana caranya. Dia akan mengajarkan pada pemuda yang sedang dibayanginnya ini. Dia sudah lelah berkeliaran. Dirinya sudah terlalu tua kalau harus ikut campur lagi dalam kegaduhan dunia persilatan.

Namun kakek ini harus yakin dahulu sejauh mana pemuda ini telah menguasai Busur Bintang. Untuk itu dia harus mengajaknya bertanding. Kakek ini menunggu saat yang tepat. Pemuda yang banyak melamun ini pasti tidak dalam suasana hati yang baik. Dan itu tidak baik juga jika harus bertanding ilmu.

Ketika masih berpikir dan mempertimbangkan kapan saat yang tepat, Ki Banyu Pethak terkejut bukan main saat sebuah angin tajam mendesir mengarah kepada dirinya. Ini pukulan hebat yang dilayangkan dari bawah. Pukulan yang tidak dimaksudkan untuk melukai namun cukup untuk bisa mematahkan dahan-dahan pohon besar dan memaksanya keluar dari tempat persembunyian.

Ki Banyu Pethak melenting tinggi menghindari pukulan. Krakkk...buummmm. Terdengar bunyi keras dahan patah dan jatuh ke tanah. Dahan yang menjadi tempat pijakannya tadi. Ki Banyu Pethak tidak tahan lagi. Ini saat yang tepat sepertinya. Tubuhnya yang terlihat kecil karena dibungkus gulungan jubah lebar itu melayang dengan ringan ke bawah dan langsung mengirimkan sebuah pukulan Busur Bintang yang sangat dahsyat ke arah Arya Dahana yang kontan saja terperanjat bukan main!

Pemuda ini tadi tersadar dari lamunan kemudian mengetahui bahwa dia diikuti oleh seseorang di atas rimbunnya pohon-pohon. Dikirimkannya sebuah pukulan peringatan agar orang itu tidak mengganggunya. Sekarang malah sebuah serangan hebat mengarah kepada dirinya. Pukulan yang sangat dikenalnya dengan baik. Pukulan Busur Bintang! Pemuda ini mengelak cepat dan berusaha melompat menjauh untuk mengetahui siapa yang telah menyerangnya.

Belum sempat memperhatikan dengan seksama siapa yang menyerang, sebuah pukulan Busur Bintang yang lebih dahsyat lagi menderu mengarah dirinya. Hawa yang luar biasa dingin seperti membungkus tubuhnya. Arya Dahana buru-buru membuat pertahanan diri dengan mengerahkan ajian Geni Sewindu. Sinar menyala keperakan melingkupi sekujur tubuhnya. Didorongkan kedua tangan menyambut pukulan Busur Bintang orang yang misterius itu.

"Buuummmmmm....."

Ledakan hebat memecah kesunyian hutan saat kedua pukulan berlainan sifat itu bertemu. Arya Dahana harus jungkir balik beberapa kali untuk mematahkan kekuatan dahsyat yang bisa mendorongnya terjatuh dan terluka. Ki Banyu Pethak yang sebelumnya sangat senang pemuda ini bisa mengimbanginya dengan baik, kini terkaget-kaget karena harus menerima kenyataan tubuhnya terdorong mundur hingga beberapa puluh langkah dengan terhuyung-huyung.

Waaaahhh... pemuda ini jauh lebih tangguh dari perkiraannya. Bukan hanya sanggup menahan Busur Bintang miliknya dengan baik, namun bahkan mampu membuat dirinya terhuyung-huyung hampir jatuh.

Kali ini Arya Dahana bisa memperhatikan dengan jelas siapa pengirim pukulan Busur Bintang yang dahsyat tadi. Seorang kakek renta berbaju aneh sedang mengawasinya lekat-lekat.

"Orang tua yang baik, kenapa kau menyerangku? Apakah ada sebuah kesalahan yang pernah aku lakukan kepadamu atau keluargamu sehingga kau menyerangku?"

Arya Dahana bertanya penuh selidik.

Ki Banyu Pethak tidak menjawab. Dia hanya tertawa terkekeh-kekeh saking gembiranya. Pemuda ini mempunyai tenaga yang lebih dari cukup untuk membuat pukulan Busur Bintang menjadi sebuah pukulan yang sempurna.

Tanpa berkata apa-apa. Ki Banyu Pethak melemparkan sebuah bungkusan kecil yang diambil dari balik bajunya yang kedodoran. Arya Dahana semula curiga untuk menangkap benda kecil yang meluncur deras ke arahnya, namun dengan ketajaman matanya pemuda ini melihat bahwa benda kecil itu adalah sebuah gulungan daun lontar yang lusuh saking kunonya. Pemuda ini menangkap gulungan tersebut lalu memandang kepada Ki Banyu Pethak penuh tanda tanya.

Ki Banyu Pethak tidak mempedulikan pandangan penuh tanya Arya Dahana. Kakek itu malah melanjutkan ketawanya sembari menggerakkan tubuh berkelebat lenyap dari tempat itu.

Sebelum tahu apa yang harus dilakukannya, Arya Dahana mendengar seruan si kakek dari jauh.

"Pelajari isi daun lontar itu anak muda! Itu akan menyempurnakan ilmu pukulan Busur Bintang. Aku tidak bisa menyimpannya lebih lama lagi. Setelah itu pergilah ke Istana Timur Majapahit. Temui orang bernama Mahesa Agni. Hentikan dia!"

Suara itu makin sayup memudar tertelan kerimbunan hutan. Arya Dahana menggeleng-gelengkan kepala. Dunia ini memang aneh. Jika hanya ingin menyerahkan gulungan daun lontar ini kepadanya, kenapa harus menyerang dengan pukulan mematikan lebih dahulu?

Arya Dahana menjadi penasaran. Dibukanya gulungan daun lontar itu dengan hati-hati. Tidak banyak tulisan di dalamnya. Hanya berisi beberapa gambar aneh yang memperlihatkan seseorang duduk bersila di sebuah puncak gunung yang dikelilingi oleh gunung-gunung lain yang lebih rendah. Lalu beberapa gambar berikutnya menggambarkan beberapa gerakan yang juga aneh. Tidak banyak. Tidak rumit. Namun ada sesuatu yang lain dari gambar-gambar itu. Entah apa. Dia belum bisa menemukannya.

Arya Dahana membaca sebuah tulisan begitu dia selesai memperhatikan gambar gambar itu.

'Puncak Gunung Semeru adalah tempat paling tepat untuk menyempurnakan Danu Cayapata'

Mata pemuda ini berkilat senang. Berarti dia harus mendaki Semeru. Gunung tertinggi di pulau Jawa. Ada tujuan baru baginya. Sebuah tujuan baru, bagi pemuda ini, adalah sebuah kebahagiaan sendiri. Karena hidupnya seperti tanpa tujuan sekarang.

Tujuan untuk keluarga? dia sebatangkara. Tujuan untuk kerajaan atau negara? Dia tidak suka mencampuri urusan negara atau kerajaan yang seringkali hanya tumpang tindih dengan kepentingan pribadi atau golongan. Tujuan untuk cinta? dia tidak tahu apakah ada yang mencintainya dengan sebenar-benarnya cinta setelah Dyah Puspita tiada.

Berarti dia akan menuju Semeru setelah mengunjungi makam ayahnya. Dia akan menyempurnakan Busur Bintang di sana. Setelah itu? Dia berharap mempunyai tujuan lain lagi agar dia masih punya alasan untuk hidup. Hatinya benar-benar diliputi rasa sepi.

Dyah Puspita pergi meninggalkannya selama-lamanya. Dewi Mulia Ratri membencinya hingga ke ujung langit. Bimala Calya memujanya tapi dia tahu kelak akan mengecewakan gadis itu sebab tidak ada rasa yang singgah di hatinya.

Pemuda ini menjadi lebih bersemangat saat mengayunkan langkah menuju arah timur. Matahari sudah jauh melewati atas kepala. Hawa panas masih sangat menyengat ubun-ubun. Hutan pesisir selatan sedang kegerahan. Keringatnya bercucuran dan membuat daun-daun rontok tidak beraturan.

********