webnovel

Bab 7

Pagi hari adalah saat hati masih dikuasai embun

Begitu bersih dan bening seperti kaca

Siang hari adalah ketika hati dipanasi oleh terik matahari

Kadangkala membara, kadangkala terbakar menyala

Sore hari adalah waktu hati berganti makna

Melepaskan debu dan angkara yang masih menjilati

Malam hari adalah kala hati mencuri bulan dan bintang

Melepaskan lelah dan beban yang berpetualang

Ibukota Galuh Pakuan. Sore hari, rombongan Dewi Mulia Ratri yang diikuti juga oleh Bimala Calya hendak mulai memasuki gerbang ibukota Galuh Pakuan sebelah timur. Rombongan ini berhenti sejenak karena gerbang masuk ibukota tertutup rapat. Dewi Mulia Ratri mengerutkan alis matanya yang indah. Tidak biasanya gerbang kota tertutup rapat. Biasanya selalu terbuka kecuali gerbang yang berbentuk jeruji besi. Gerbang kota memang ada dua lapis. Kali ini dua-duanya tertutup rapat.

Kepala pengawal rombongan Dewi Mulia Ratri adalah seorang tua gagah berperawakan tinggi kurus. Dia turun dari kudanya dan menarik sebuah tali lonceng sebagai tanda akan masuk gerbang kota.

Terdengar suara gemeratakan saat lubang intai gerbang dibuka. Sepasang mata melihat penuh selidik dari baliknya. Kepala pengawal mengibarkan bendera kecil Garda Kujang Emas Garuda agar terlihat oleh penjaga gerbang yang memperhatikan dengan seksama. Lubang intai itu tertutup dengan cepat tanpa komentar apapun dari penjaga.

Dewi Mulia Ratri dan rombongan menunggu pintu gerbang dibuka, namun sampai lama mereka menunggu tidak ada tanda tanda gerbang itu membuka. Dewi Mulia Ratri memandang penuh tanya kepada kepala pengawal. Kepala pengawal mengangguk lalu berteriak sambil menarik kembali tali lonceng.

"Penjaga....! kami rombongan Kujang Emas Garuda yang dipimpin oleh Bidadari Sanggabuana Dewi Mulia Ratri hendak memasuki gerbang kota untuk menghadap kepada Panglima Narendra dan Ki Mandara!....tolong buka gerbangnya."

Hening sejenak. Lalu lubang intai itu terbuka kembali. Sepasang mata yang sama memperhatikan mereka sekali lagi. Namun sekarang penjaga itu menyahuti.

"Maaf paduka Dewi pimpinan Kujang Emas Garuda...kami tidak bisa membuka gerbang. Kami mendapatkan perintah untuk tidak membuka gerbang bagi siapapun."

Dewi Mulia Ratri berkedik jengkel mendengar ini. Dia ditolak masuk ibukota kerajaan?! Keterlaluan!

"Atas perintah siapa hei penjaga?!"

Suara Dewi Mulia Ratri yang menggelegar penuh kemarahan menakutkan si penjaga gerbang yang sekarang terdiam dan tidak berusaha menjawab pertanyaan Dewi Mulia Ratri sedikitpun.

Kejengkelan Dewi Mulia Ratri semakin bertambah. Gerbang itu sama sekali tidak bergeming membuka. Para penjaganya juga diam seribu bahasa.

Gadis ini tak habis pikir. Apa yang sebenarnya sedang terjadi di ibukota? Dia teringat ayahnya yang dulu turun ke ibukota bersama sebagian besar murid padepokan. Apakah ayahnya masih di sini? Atau sudah kembali ke padepokan? Teringat padepokan akhirnya Dewi Mulia Ratri memutuskan mereka tidak perlu memaksa masuk gerbang ibukota. Lebih baik jika mereka pergi ke padepokan Sanggabuana. Siapa tahu ayahnya sudah pulang ke sana. Lagipula, barangkali ada orang padepokan yang tahu apa yang telah terjadi di ibukota kerajaan.

Rombongan itu pergi meninggalkan ibukota dan mengalihkan tujuan ke Gunung Sanggabuana. Setelah rombongan itu pergi, barulah para penjaga pintu gerbang bernafas lega. Mereka tadi sudah ketakutan gadis sakti pimpinan Kujang Emas Garuda itu memaksa masuk dengan kekerasan. Mereka tidak akan bisa dan sanggup melawan. Gadis itu terlalu sakti.

Namun mereka juga takut jika membukakan pintu gerbang, Pangeran Bunga akan menghukum berat mereka. Pangeran yang kejam itu sering bertindak sewenang-wenang akhir-akhir ini kepada para pasukan yang tidak menurut pada perintahnya.

Keadaan di ibukota Galuh Pakuan sedang sedikit kacau. Seperti api dalam sekam. Permaisuri dan para penasehat kerajaan menetapkan dan mengangkat Pangeran Niskala Wastu Kencana yang masih kecil untuk memegang tampuk kekuasaan kerajaan sepeninggal Raja Linggabuana dan Dyah Pitaloka serta Andika Sinatria di Perang Bubat.

Tentu saja ada pihak-pihak yang menentang keputusan ini, termasuk Pangeran Bunga, dengan alasan sang pangeran yang merupakan adik dari Putri Dyah Pitaloka ini masih kecil dan belum bisa apa-apa untuk mengendalikan kerajaan besar ini.

Pangeran Bunga diam-diam menghasut kesana kemari untuk menentang keputusan ini. Dia tidak bisa melakukan semuanya dengan terang-terangan karena masih takut kepada Ki Mandara dan Panglima Candraloka yang sepenuhnya mendukung keputusan permaisuri dan para penasehat kerajaan. Ki Mandara adalah tokoh sakti penyokong kerajaan yang selalu setia dan mempunyai pengaruh yang sangat kuat di lingkungan istana dan dunia persilatan. Sementara Panglima Candraloka adalah seorang panglima yang teguh dan setia terhadap kerajaan serta mempunyai puluhan ribu pasukan di belakangnya.

Pangeran yang licik ini melakukan semuanya dengan diam-diam. Bahkan secara berkala, pangeran ini selalu berkirim kabar kepada Madaharsa, gurunya yang merupakan pimpinan Sayap Sima di Majapahit, semua rincian keadaan yang sedang berlangsung di Kerajaan Galuh Pakuan. Pangeran Bunga sedang memainkan dua kaki untuk kepentingan dan keuntungan dirinya sendiri.

Pangeran yang cerdas namun penuh dengan muslihat ini juga menyusun kekuatan di antara para pimpinan pasukan yang tidak menyukai Panglima Candraloka untuk berpihak kepadanya. Hal yang mudah baginya untuk merangkul dan merayu mereka yang kesetiaannya mudah digoyangkan. Melalui bujukan harta atau wanita, diam-diam Pangeran Bunga telah berhasil menarik sepertiga dari keseluruhan pasukan Galuh Pakuan berdiri di pihaknya.

Pangeran ini mengerti betul bahwa memiliki pasukan yang sewaktu-waktu siap digerakkan tidaklah cukup. Dia harus mempunyai sokongan yang kuat juga dari dunia persilatan, karena banyak sekali tokoh tangguh Pasundan yang setia kepada garis keturunan langsung Raja Linggabuana. Oleh karena itu, pangeran ini secara sembunyi-sembunyi berhubungan dengan para pengemis Tongkat Perak di ibukota Majapahit untuk bergabung dengannya melalui iming-iming harta dan kekuasaan, tentu saja setelah dirinya nanti berkuasa.

Ketua Pengemis Tongkat Perak secara khusus mengirimkan empat wakilnya yang berjuluk Empat Pengemis Kaya Raya untuk selalu mengawal Pangeran Bunga kemana-mana. Tentu saja empat orang ini tidak menampakkan diri sebagai anggota perkumpulan Pengemis Tongkat Perak. Mereka menyamar menggunakan baju pengawal kerajaan Galuh Pakuan, Garda Kujang Emas Elang.

Pangeran Bunga sengaja menyusupkan empat orang tokoh lihai ini ke dalam garda kujang pimpinan Putri Anjani karena pasukan yang ini lebih mudah disusupi dibandingkan dengan orang orang Kujang Emas Garuda pimpinan Dewi Mulia Ratri.

Selain itu pula, Pangeran Bunga mempunyai rencana busuk untuk mengadu domba Galuh Pakuan dengan padepokan-padepokan di tanah pasundan yang semakin lama akan semakin gerah dengan situasi yang terjadi di ibukota.

Pangeran ini telah menghubungi beberapa padepokan yang tidak setuju dengan keputusan permaisuri dan para penasehat untuk mempersiapkan sebuah gerakan protes dan turun ke jalanan ibukota. Tujuannya tentu saja untuk menekan permaisuri dan para penasehat kerajaan agar membatalkan keputusan tersebut.

Sebenarnya Sang Permaisuri telah mengambil sebuah tindakan yang bijaksana. Selama Pangeran Niskalawastu Kancana belum cukup mencapai umur untuk mengambil keputusan sebagai raja, maka diangkatlah seorang pemangku raja yang bernama Mangkubumi Hyang Bunisora Suradipati. Hal ini sebenarnya dimaksudkan untuk meredam kekisruhan akibat ketidaksetujuan banyak orang tentang dipimpinnya kerajaan sebesar Galuh Pakuan oleh seorang anak remaja seperti Pangeran Niskala Wastu Kancana.

Namun rupanya hal ini masih belum cukup bagi orang-orang yang tidak puas dan menginginkan kekuasaan jatuh ke tangan mereka. Orang-orang ini adalah orang-orang yang berada dalam lingkaran hasutan Pangeran Bunga.

Banyak putera selir yang lain mengambil sikap yang sama dengan Pangeran Bunga. Selain hasutan itu memang mengena, juga karena mereka sangat segan terhadap pangeran ini. Punya pengaruh kuat lewat kuasanya terhadap sebagian pasukan Garda Kujang Emas Elang. Tangguh dan berilmu tinggi karena masih terus berlatih di bawah bimbingan tokoh sesat Madaharsa, membuat para pangeran yang lain menjadi takut dan segan.

Selain tentu saja, Pangeran Bunga terkenal sebagai seorang yang kejam dan mudah menjatuhkan tangan besi kepada orang-orang yang berseberangan dengan sikapnya.

---

Keadaan di kerajaan Majapahit juga kurang lebih sama. Semenjak kejadian mengenaskan di Pesanggrahan Bubat, Prabu Hayam Wuruk yang sangat menyesalkan keputusan Mahapatih Gajahmada, mengambil sebuah keputusan besar. Mahapatih Gajahmada diberikan tanah perdikan di Madakaripura. Prabu Hayam Wuruk secara halus mulai menyingkirkan Sang Mahapatih dari percaturan politik kerajaan. Mahapatih Gajamada menyadari hal tersebut. Namun karena kesetiaannya kepada Sang Prabu Hayam Wuruk sekaligus Majapahit, Mahapatih ini tidak membuat perlawanan apapun juga. Dia lebih memilih untuk mengasingkan dirinya sendiri di tanah perdikan yang dihadiahkan oleh sang raja.

Majapahit sendiri pada kenyataannya mempunyai dua istana. Istana Barat dan Istana Timur. Pada saat pendiri kerajaan Majapahit yaitu Raden Wijaya bekerja sama dengan Arya Wiraraja mendirikan kerajaan Majapahit. Istana Timur diserahkan kepada Arya Wiraraja. Setelah Jayanagara, putra Raden Wijaya menaklukkan pemberontakan Istana Timur, kedua istana ini bersatu kembali dalam satu pemerintahan. Namun saat ini, benih-benih perpecahan mulai nampak sedikit demi sedikit terutama setelah Majapahit terlihat goyang setelah Mahapatih Gajahmada mengasingkan diri dan tidak mau terlibat lagi dalam urusan kerajaan.

Bhre Wirabumi sebagai pemangku kekuasaan Istana Timur perlahan-lahan memperkuat dirinya dengan menjalin hubungan yang cukup erat dengan Kerajaan Blambangan. Prabu Hayam Wuruk tidak mempedulikan hal ini meski banyak laporan masuk dari para telik sandi. Raja besar ini lebih disibukkan dengan banyaknya wilayah-wilayah taklukan di luar Jawa yang perlahan-lahan mencoba melepaskan diri dari pengaruh dan kekuasaan Majapahit.

Bhre Wirabumi bersekutu diam-diam dengan Blambangan melalui tangan kanannya. Seorang tokoh tua dunia persilatan yang selama ini hanya bertapa di Gunung Kelud bernama Ki Mahesa Agni, murid tidak langsung seorang hebat luar biasa jaman dahulu yang bernama Ki Bisma berjuluk Amurti Arundaya. Disebut murid tidak langsung sebab Ki Mahesa Agni tidak langsung dibimbing oleh Ki Bisma namun melalui perantara Si Bungkuk Misteri yang diberikan mandat oleh Ki Bisma.

Tokoh silat tua ini sebenarnya adalah seorang sakti yang sengaja mengasingkan diri bertapa di Gunung Kelud karena karena kalah bertaruh dengan seorang tokoh lain dari Lembah Wilis yang bernama Ki Banyu Pethak. Tokoh yang satu ini adalah seorang sakti murid tidak langsung Ki Batara yang berjuluk Danu Cayapata, juga melalui Si Bungkuk Misteri.

Ki Mahesa Agni dan Ki Banyu Pethak mempunyai tingkat kemampuan yang sangat tinggi. Keduanya mewarisi ilmu pukulan ajaib unsur-unsur bumi. keduanya tidak pernah sampai sempurna menguasai ilmu-ilmu itu. Akan tetapi semua ilmu-ilmu tersebut dipelajari. Pukulan Bayangan Matahari, Pukulan Busur Bintang, Pukulan Bayu Lesus, Pukulan Gempa Pralaya, Pukulan Gora Waja, dan Pukulan Aguru Bayanaka. Memang tidak ada yang sempurna dikuasai, namun karena kedahsyatan ilmu-ilmu pukulan ajaib itu sangat melegenda, alhasil kedua tokoh tersebut menjadi orang yang sakti susah dicari tandingan.

Bhre Wirabumi sangat mengandalkan kemampuan Ki Mahesa Agni untuk merangkul tokoh-tokoh dunia persilatan memperkuat Istana Timur. Kekuatan Istana Timur masih jauh dari cukup untuk menandingi Istana Barat. Terutama dalam hal menandingi kehebatan pasukan Sayap Sima yang luar biasa. Sayap Sima dipenuhi oleh tokoh-tokoh hebat dunia persilatan yang tidak disangsikan lagi kepandaian dan kemahirannya dalam bertempur sebagai pasukan maupun perorangan.

Ki Mahesa Agni berhasil merangkul beberapa tokoh silat yang kebanyakan berasal dari pesisir selatan dan padepokan-padepokan sekitar pegunungan Meru Betiri. Daerah-daerah ini memang secara budaya masih lebih dekat ke Blambangan dibanding Majapahit. Blambangan secara mendarah daging adalah musuh Majapahit. Perang besar perbatasan beberapa saka yang lalu, masih menyisakan luka dan dendam yang teramat dalam bagi orang-orang Blambangan. Oleh karena itu, ketika melihat Istana Timur Majapahit mencoba membangun kekuatan untuk melawan Istana Barat Majapahit yang merupakan pusat kerajaan, Kerajaan Blambangan dengan senang hati bersedia bersekutu.

Posisi Istana Barat Majapahit menjadi sangat rawan sebetulnya. Perang Bubat dengan Galuh Pakuan menyimpan bara di perbatasan kerajaan bagian barat. Perang perbatasan dengan Blambangan membuat api di wilayah timur setiap saat bisa berkobar. Belum lagi pemberontakan di wilayah-wilayah kekuasaan di luar Pulau Jawa semakin hari semakin menguat.

Pasukan Sayap Sima pimpinan Ki Tunggal Jiwo sebenarnya tidak tinggal diam. Meskipun sang pengendali Mahapatih Gajahmada telah mengasingkan diri, namun kekuatan wibawa Hayam Wuruk dan kejayaan Majapahit masih begitu dalam tertanam di dada semua orang Sayap Sima.

Ki Tunggal Jiwo paham sekali bahwa ancaman bagi keutuhan Majapahit datang dari mana-mana. Tokoh ini kemudian membuat siasat untuk mengurangi ancaman dari arah barat dengan mengirimkan utusan ke pesisir selatan Sukabumi untuk menghadap Panglima Kelelawar di Pulau Kabut. Utusan tersebut juga bukan orang sembarangan. Maesa Amuk adalah kepala rombongan yang diutus.

Ki Tunggal Jiwo atas ijin Prabu Hayam Wuruk juga mengirimkan utusan ke Kerajaan Bali. Tentu saja maksudnya adalah untuk menjalin persahabatan dengan kerajaan di timur agar Blambangan dan Istana Timur terpecah perhatiannya yang berarti terpecah juga kekuatannya. Utusan ke Kerajaan Bali dipimpin oleh Madaharsa. Madaharsa masih mempunyai darah keturunan Bali sehingga diyakini bisa mempermudah semua urusan persekutuan ini.

Ki Tunggal Jiwo merasakan bahwa ancaman-ancaman ini tidak main-main. Sehingga kemudian memutuskan untuk semakin memperkuat pasukan Sayap Sima melalui latihan-latihan yang berat, menerima lagi tenaga-tenaga baru dan bahkan berburu tokoh-tokoh di dunia persilatan yang mempunyai keterikatan batin dengan Majapahit untuk turun gunung membela tanah air dan kerajaannya.

*******