webnovel

Bab 13

Langit sedang murung

Kesedihannya terkatung-katung

Tetesan air matanya sama sekali belum berkurang

Akibat rasa rindu yang selalu datang terkenang

Pada terik matahari

Pada panas yang menggerahkan.

Sudah terlalu lama dirinya kedinginan

Sudah terlalu lama dirinya menggigil kesepian

Dia ingin meringkus waktu

Agar berhenti sejenak sampai dirinya selesai bermuram durja

Gunung Sindoro. Putri Anjani berlari cepat menembus hutan di lereng Sindoro. Dia ingin segera sampai di Segoro Banjaran di puncak Sindoro. Tempat gurunya biasa beristirahat dan bertapa mendalami ilmu. Dia ingin menyempurnakan Gora Waja. Setelah itu dia akan memenuhi janjinya untuk menemui Panglima Candraloka di Galuh Pakuan, lalu berkumpul di Istana Timur bersama para anggota Persekutuan Pesisir Gugat lainnya pada purnama keduabelas saka ini.

Langkah gadis cantik ini terus melaju mendaki Gunung Sindoro. Gunung ini sebenarnya tidak terlalu tinggi. Namun sangat terjal pada saat mendaki. Selain itu kabut sering turun dengan tiba-tiba. Membuat sesat jalan orang-orang yang sedang menuju puncak. Kabut tiba-tiba ini memang sering datang. Pantas saja gurunya memilih gunung ini sebagai tempat beristirahat. Gunung ini sepi dari para pencari kayu bakar maupun pendaki.

Gadis ini adalah seorang yang mempunyai kemampuan sangat tinggi. Ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya juga sudah sampai pada taraf yang sangat tinggi. Memang pada saat kabut turun dan jalanan tidak kelihatan, Putri Anjani memilih untuk beristirahat. Menunggu hingga kabutnya menyingkir, baru dia melanjutkan perjalanan menuju puncak.

Tak lama kemudian sampailah gadis ini di Segoro Banjaran. Salah satu kawah yang ada di puncak Gunung Sindoro. Gadis ini menebarkan pandangan ke sekeliling. Semuanya berupa hamparan bebatuan dan tanah yang ditumbuhi oleh bunga abadi. Di manakah gurunya biasa menghabiskan waktu di sini?

Matanya lalu terantuk pada sebuah keanehan. Semua tumbuhan yang ada di puncak Sindoro ini adalah tumbuhan perdu dan semak-semak serta bunga abadi. Tapi ada satu tumbuhan yang lain dari yang lain.

Tumbuhan ini berupa pohon yang sangat besar dan rindang. Seperti pohon Beringin tapi bukan. Seperti pohon Sonokeling tapi bukan. Pohon yang tinggi dengan tajuk yang rindang dan dedaunan yang lebat menghijau seperti ini rasanya tidak mungkin bisa tumbuh di tempat sedingin ini.

Keanehan ini mengundang Putri Anjani untuk menyelidiki. Gadis ini mendatangi pohon aneh itu. Batang pohon ini luar biasa besar. Umurnyapun terlihat sudah sangat tua. Ada keanehan satu lagi yang dijumpainya. Batang pohon ini ternyata gerowong. Seperti ada sebuah gua kecil yang muncul di tengah-tengahnya.

Putri Anjani tersenyum tipis. Gurunya pasti ada di sini. Orang tua itu sangat menyukai hal-hal yang aneh. Gadis ini tidak berani masuk. Dia akan menunggu saja di sini. Menunggu sampai gurunya tahu dia ada di sini. Sembari menunggu, Putri Anjani melemaskan otot-ototnya dengan berlatih Gora Waja. Ilmu pukulan ajaib ini sangat hebat. Semakin tinggi dia menguasai ilmu itu, seluruh anggota tubuhnya akan sekuat besi baja. Kekebalan tubuhnya meningkat berpuluh-puluh kali lipat. Kalau hanya senjata tajam, tidak akan mempan melukai tubuhnya.

Saking asyiknya berlatih dengan konsentrasi penuh, Putri Anjani tidak menyadari bahwa Datuk Rajo Bumi sedang mengawasinya dari pintu gua. Kakek sakti ini membatin, tidak salah dia memilih gadis ini sebagai murid. Bakatnya luar biasa. Kemauannya juga sangat keras. Api dendam yang terbawa dalam setiap gerakannya seperti menyalakan kecepatan, kekuatan dan kengerian. Tidak lama lagi muridnya ini akan menguasai ilmu Gora Waja dengan sempurna. Dia akan mengajarkan sihir untuk melengkapi kemampuan gadis yang tingkatnya sudah melebihi para tokoh delapan penjuru mata angin ini.

Putri Anjani terus berlatih tanpa memperhatikan sekelilingnya. Wuussss...sebuah bayangan berkelebat menyerangnya dengan hebat dan sepenuhnya. Gadis ini tahu gurunya sedang mengujinya. Dia balik menyerang dengan tidak kalah hebat. Terjadilah pertarungan yang dahsyat antara guru dan murid. Dua pukulan Gora Waja bersiutan saling hantam. Dua bayangan berkelebatan saling serang. Sungguh mengagumkan! Putri Anjani bisa mengimbangi kemampuan gurunya.

Datuk Rajo Bumi semakin bersemangat menguji muridnya. Datuk sesat ini menambah kekuatan serangannya. Suara pukulan menderu-deru mengimbangi kencangnya angin puncak Sindoro. Putri Anjani tidak mau kalah. Dia balas menyerang gurunya dengan kekuatan sepenuhnya.

Sepuluh jurus telah berlalu. Belum ada satupun yang bisa mendesak yang lain. Putri Anjani semakin bersemangat. Ternyata tingkatnya sudah setinggi ini. kepercayaan dirinya meningkat tajam. Akibatnya dia kehilangan kewaspadaan.

"Wuuuutttt...wuuuutttt....deeeessss..."

Sebuah serangan Datuk Rajo Bumi hampir saja dengan telak bersarang di dadanya. Untung saja di saat-saat terakhir gadis ini berhasil melakukan tangkisan. Dua pukulan bertemu dengan dahsyat. Akibatnya tubuh gadis itu terlempar ke belakang dengan kuat. Sedangkan Datuk Rajo Bumi hanya bergoyang-goyang seperti pohon tertiup angin.

Putri Anjani merasakan dadanya sedikit sesak. Pertemuan dua pukulan tadi melukainya meski tidak parah. Gadis ini cepat bangkit dan berniat kembali menyerang. Namun Datuk Rajo Bumi mengangkat tangannya mengisyaratkan cukup. Datuk sesat ini memberi isyarat agar muridnya mendekat.

"Ilmu pukulan Gora Wajamu sudah mendekati sempurna muridku. Kamu hanya perlu melatihnya dengan tekun. Tidak ada satupun tokoh delapan penjuru mata angin yang sanggup mengalahkanmu sekarang. Tapi kamu belum sampai pada tingkatan mengimbangi Panglima Kelelawar. Kamu perlu melengkapi kemampuanmu dengan sihir. Aku akan mengajarimu Ilmu Sihir Tanah Seberang. Tinggallah sampai purnama depan di sini."

"Gendewa di punggungmu adalah senjata pamungkas lain jika kau harus bertempur melawan banyak orang. Kamu sudah menjadi seorang datuk sekarang. Lanjutkan sumpahmu untuk membalas dendam. Aku akan selalu di belakangmu sampai dendammu terlampiaskan."

Putri Anjani menjadi girang mendengar perkataan gurunya. Gadis ini masih dialiri oleh Idu Geni dalam darahnya. Kematian ayahnya. Kehancuran hidupnya. Semuanya adalah tanggung jawab Majapahit. Dia akan menggemparkan Majapahit dengan kemampuannya. Tidak ada ampun bagi orang-orang Majapahit!

Semenjak hari itu, Putri Anjani digembleng dengan keras oleh Datuk Rajo Bumi. Ilmu Sihir Tanah Seberang adalah ilmu sihir tingkat tinggi yang langka. Berbeda dengan ilmu sihir yang ada di tanah Jawa, ilmu sihir tanah seberang lebih menekankan pada melemahkan semangat lawan, mengurangi keberanian dan menjatuhkan pikiran.

Ilmu sihir seperti ini lebih berbahaya daripada ilmu sihir yang bisa merubah diri menjadi binatang perkasa atau jadi-jadian. Bisa dibayangkan jika seorang yang dipenuhi dengan dendam dan sumpah seperti ini mempunyai kemampuan luar biasa dalam hal kanuragan dan sihir. Putri Anjani akan menjadi seorang tokoh yang luar biasa berbahaya jika tidak terkendali.

Mempelajari ilmu sihir tanah seberang ternyata tidak semudah yang dibayangkan Putri Anjani. Dia harus menjalani banyak ritual yang aneh dan mengerikan. Bertelanjang bulat di bawah siraman sinar bulan purnama di atas batu yang dingin di puncak Sindoro selama satu malam penuh. Digantung dengan kaki di atas selama sehari semalam, tanpa makan dan minum, juga dengan bertelanjang bulat! Hampir semua ritual yang dilakukan, mengharuskan gadis ini bertelanjang bulat. Menurut sang guru, agar semua unsur alam yang diserapnya masuk ke dalam tubuhnya tanpa halangan sama sekali.

Belum lagi gadis ini diharuskan makan makanan yang aneh-aneh dan menjijikkan. Seekor cacing tanah sebesar belut yang hanya ditemukan di bibir kawah Sindoro. Beberapa ekor ulat yang bergelantungan di cabang busuk pohon ajaib puncak Sindoro. Belatung yang keluar dari bangkai seekor burung yang mati tersangkut di ranting pohon ajaib puncak Sindoro. Semuanya harus dimakan dan tidak boleh memejamkan mata. Gadis yang diselimuti ambisi dan dendam ini menuntaskan semua dengan tanpa ragu-ragu!

Dan semua ritual itu belumlah cukup. Putri Anjani setiap dua hari sekali, harus mandi dengan berbagai macam ramuan yang aneh-aneh. Mandi kembang tiga belas rupa. Berikutnya mandi menggunakan daun-daun pohon ajaib itu, yang ternyata setelah dilarutkan dalam air, menimbulkan aroma yang luar biasa memabukkan. Terakhir, gadis ini harus mandi darah! Entah darimana darah itu diambil, yang jelas Datuk Rajo Bumi membawa seember penuh darah yang disiramkan ke tubuh Putri Anjani, yang lagi-lagi harus bertelanjang bulat!

Persis saat malam purnama berikutnya. Terjadi perubahan pada diri Putri Anjani. Sebuah keanehan terlihat pada bagian rambutnya yang panjang. Di sepanjang sisi kiri dan kanan rambutnya, beberapa helai rambutnya berubah warna menjadi putih keperakan. Aura yang terpancar dari wajahnya pun berbeda. Sorot matanya menajam namun agak mengerikan karena seperti penuh ancaman. Tubuhnya beraroma wangi sepanjang waktu. Wangi yang menyeramkan karena seperti wangi bunga-bunga kematian. Gadis dari laut utara ini berubah total. Senyumnya kini penuh ejekan dan nampak memandang rendah kepada siapapun.

Datuk Rajo Bumi sendiri sedikit terkejut. Perubahan ini lebih dari yang diharapkannya. Penampilan muridnya ini cantik, dingin, penuh ancaman dan menyeramkan. Diam-diam datuk ini bergidik. Muridnya ini akan menjadi seorang yang berdarah dingin lebih dari siapapun yang dia kenal. Semua ritual gaib yang harusnya dilakukan, dilahap habis secara sempurna! Ilmu sihir tanah seberang yang diajarkannya sangat cepat menyerap dalam diri gadis ini. Bahkan ilmu pukulan Gora Waja yang dimiliki gadis ini berbeda sifatnya. Ilmu pukulannya selain mematikan karena kedahsyatannya, juga membawa hawa gaib yang menyeramkan bagi siapapun. Bahkan bagi dirinya yang merupakan dedengkot sihir dan tokoh sakti dunia persilatan. Luar biasa!

Keesokan harinya, Putri Anjani berpamitan kepada gurunya. Dia akan melanjutkan perjalanan ke Galuh Pakuan untuk menemui Panglima Candraloka. Mencoba meyakinkan sang panglima mengenai Persekutuan Pesisir Gugat. Harapannya tentu saja bisa membawa serta seluruh pasukan Galuh Pakuan di pihaknya saat pecah perang dengan Majapahit. Atau setidaknya dia diperbolehkan membawa serta pasukan Kujang Emas Elang bersamanya ke Istana Timur.

Putri Anjani juga berpesan kepada gurunya agar datang pada saat pertemuan Persekutuan di Istana Timur pada purnama keduabelas saka ini. Gadis ini ingin meyakinkan semua orang bahwa gurunya yang luar biasa sakti ini berada di pihaknya.

Datuk Rajo Bumi mengiyakan permintaan muridnya. Apalagi ketika Putri Anjani juga bercerita bahwa di dalam Persekutuan terdapat tokoh-tokoh hebat yang selama ini menghilang dari dunia persilatan seperti Mahesa Agni dan Raja Tua Pengemis. Datuk ini penasaran untuk beradu ilmu dengan mereka yang selama ini didengung-dengungkan berilmu sangat tinggi.

Putri Anjani mengerahkan Ilmu Meringankan Tubuh saat menuruni puncak Sindoro menuju ke arah barat. Gadis ini terkaget-kaget saat merasakan tubuhnya luar biasa ringan. Tubuhnya melesat cepat ke bawah laksana terbang. Sebuah gambaran yang menakjubkan sekaligus mengerikan bagi yang melihatnya. Jubah panjangnya berkibar-kibar. Rambut panjangnya yang dihiasi seleret warna putih di kanan kiri seperti melukiskan seorang ratu iblis sedang terbang menuruni gunung.

Tujuannya jelas. Menuju ibukota Galuh Pakuan melewati perbatasan Cipamali. Gadis ini sedikit punya dugaan Panglima Candraloka ada di perbatasan.

Dugaannya tidak salah. Dua hari kemudian saat gadis ini menaiki perahu menyeberang Sungai Cipamali, tukang perahu bercerita bahwa Sang Panglima Besar Galuh Pakuan memang sedang ada di markas perbatasan. Keadaan semakin meruncing, demikian si tukang perahu bercerita. Beberapa kali terjadi bentrok antara pasukan perbatasan Majapahit dan Galuh Pakuan. Bentrok ini terjadi di tengah sungai Cipamali yang cukup lebar. Bentrokan ini telah menewaskan puluhan prajurit kedua belah pihak. Namun bentrokan belum meluas dan pecah sebagai perang. Rupanya para panglima masing-masing pihak masih berusaha menahan diri karena belum ada perintah resmi dari ibukota kerajaan.

Putri Anjani menjadi girang bukan main hatinya mendengar berita ini. Berarti Galuh Pakuan mulai melawan. Berarti Majapahit terpecah perhatiannya ke arah barat. Berarti Persekutuan lebih leluasa untuk menghantam dari timur. Semangatnya berlipat-lipat sekarang.

Tapi bagaimana dengan Lawa Agung? Para pemberontak dari pesisir selatan ini bisa saja mengganggu Galuh Pakuan. Akibatnya Galuh Pakuan akan membiarkan saja Majapahit dan lebih terpusat perhatiannya ke arah selatan.

Hmmmm...apakah dia perlu mendatangi Lawa Agung untuk membuat mereka yakin bahwa Persekutuan akan membantu mereka meruntuhkan Galuh Pakuan, selama Lawa Agung juga membantu Persekutuan menghadapi Majapahit. Aahh ide yang cemerlang! Aku akan menuju ke pesisir selatan dan Pulau Kabut untuk menawarkan ini.

Tapi...bagaimana caranya aku bisa menyeberang ke Pulau Kabut? Aaahhh seandainya ada Arya Dahana, pasti dia akan banyak terbantu bagaimana cara menyeberang ke Pulau Kabut.

Huh! Pemuda itu memang payah! Aku akan menagih hutang nyawanya kalau bertemu. Aku akan memaksanya untuk balas budi dengan menemaninya menyeberang ke Pulau Kabut. Putri Anjani terus berputar-putar dengan pikirannya sendiri sampai tidak terasa ternyata perahu itu sudah menepi di wilayah Galuh Pakuan.

Putri Anjani melompat keluar dari perahu sembari memberikan sebuah keping perak bagi tukang perahu yang menerimanya dengan mata berbinar-binar. Jarang sekali orang yang membayar dengan menggunakan kepingan berharga ini.

Putri Anjani mengedarkan pandangan ke sekeliling. Benteng Galuh Pakuan terlihat megah dan gagah. Namun sepi senyap. Tidak ada penjagaan di sini? Sungguh aneh, bukankah keadaan sedang genting?

Jawabannya tersedia di depan mata saat dia mencoba melangkahkan kaki. Sebatang anak panah bergetar menancap ke tanah di depannya. Putri Anjani melongok ke atas benteng.

Terlihat berderet-deret pasukan pemanah berdiri gagah di atas benteng. Semua mementangkan gendewa ke arahnya. Siap-siap membidik. Putri Anjani meraih Gendewa Bernyawa dari balik punggungnya. Dibidikkannya gendewa sakti itu ke arah benteng. Bersiap jika mereka menyerang menggunakan anak panah. Terdengar teriakan berupa perintah menembak. Ratusan anak panah berhamburan mengarah ke Putri Anjani. Gadis ini melepaskan tali busur Gendewa Bernyawa.

"Wuuuussss...wuuuuussss....wuuuuusss..."

Ratusan anak panah berapi meluncur keluar dari Gendewa Bernyawa. Menyambut ratusan anak panah yang dilepaskan oleh pasukan pemanah Galuh Pakuan.

"Daaarrr... Daaarrr... Daaarrr..."

Ratusan anak panah yang dilepaskan pasukan pemanah Galuh Pakuan berjatuhan seperti ngengat. Terbakar oleh anak panah berapi yang keluar dari Gendewa Bernyawa. Ajaibnya, anak panah berapi itu tetap mengudara mengarah kepada para pasukan di atas benteng. Menunggu perintah tuannya untuk lanjut terus atau tidak.

Jika menuruti kemarahannya, Putri Anjani akan memberikan perintah anak-anak panah berapi itu menyerang ratusan pasukan di atas, namun gadis ini sadar bahwa itu tidak baik untuk memulai sebuah persekutuan. Tapi mereka tetap harus diberi pelajaran!

Gadis ini melambaikan tangannya ke depan. Ratusan anak panah berapi yang masih mengudara itu meluncur deras ke depan. Menghantam tembok benteng di depan para pasukan pemanah.

"Blaaaar... Blaaaar... Blaaaar..."

Tembok itu berlubang besar besar dihantam kekuatan ratusan anak panah berapi. Kontan saja para pasukan pemanah itu menjadi jerih bukan main. Gadis yang berada jauh di bawah itu luar biasa sakti! Buru-buru para komandan pasukan pemanah meneriakkan aba-aba menghentikan serangan.

Para pasukan pemanah bernafas lega. jika mereka diharuskan menyerang lagi, mereka tidak tahu akan seperti apa balasan dari gadis sakti di bawah itu.

Putri Anjani menyunggingkan senyuman mengejek. Dia berhasil membuat mereka ketakutan. Awal yang bagus!

Suasana di atas benteng hiruk pikuk sejenak. Seseorang menyibak di antara kerumunan pasukan pemanah. Panglima Candraloka memandang ke sumber kegaduhan di bawah. Ada yang melaporkan bahwa seorang wanita membuat heboh dengan menyerang benteng secara hebat luar biasa. Panglima yang gagah ini memicingkan matanya. Berusaha melihat secara jelas siapa wanita yang sedang bertolak pinggang di bawah itu.

Begitu melihat siapa sebenarnya wanita yang sedang tersenyum mengejek itu, hati panglima ini tercekat. Putri Anjani! Kenapa gadis pemimpin Kujang Emas Elang itu menimbulkan kericuhan di benteng Galuh Pakuan?

Kabar terakhir yang dulu dia dengar adalah, gadis ini diselamatkan oleh orang misterius saat terjadi peristiwa menyedihkan Perang Bubat. Lalu berhembus kabar gadis ini mendapatkan Gendewa Bernyawa saat terjadi kegaduhan Raja Badai di Ngobaran. Setelah itu Putri Anjani lenyap tanpa kabar berita saat orang-orang melihatnya terjun di jurang laut Ngobaran untuk menyelamatkan Arya Dahana. Dan sekarang tiba-tiba muncul di sini dengan penampilan wajah yang jauh berbeda dengan dulu.

Wajah itu sekarang terlihat sangat menakutkan. Cantik jelita, namun dingin seperti es. Matanya yang dulu galak dan indah, sekarang tajam mengiris hati. Senyumannya dulu memang sudah mengejek tapi masih menyenangkan karena wajah cantiknya. Sekarang, senyum itu begitu mengerikan karena penuh dengan ancaman maut.

Panglima Candraloka mengerahkan tenaganya saat berteriak dari kejauhan.

"Tuanku Putri Anjani, kenapa tuanku menyerang benteng Galuh Pakuan? Bukannya benteng ini juga bagian dari tuanku?"

Senyum mengejek itu semakin lebar.

"Aku tidak bermaksud menyerang Panglima! Anak buahmulah yang memulai perkara. Aku hanya ingin menemuimu. Turunlah! Aku ingin bicara."

Panglima Candraloka menoleh kepada komandan pasukan pemanah yang segera saja memohon ampun karena tergesa-gesa memberikan perintah menyerang tadi. Dia sebetulnya mengenal Putri Anjani. Gadis terkenal yang menjadi pimpinan Kujang Emas Elang. Namun penampilan gadis di bawah itu sama sekali bukan seperti Putri Anjani. Dia memberikan perintah karena gadis kelihatan tidak mempunyai itikad yang baik, bahkan tadi sempat mengeluarkan gendewanya terlebih dahulu dengan sikap menantang.

Panglima Candraloka menghela nafas panjang. Urusan salah paham seperti ini terkadang sangat melelahkan. Belum juga usai permasalahan yang terjadi akibat salah paham antara pasukan perbatasan Galuh Pakuan dengan Majapahit selesai, kini muncul lagi masalah baru dengan Putri Anjani. Seorang lihai yang sekarang terlihat sangat menakutkan tingkah lakunya.

Panglima ini bergegas turun melewati tangga dan membuka gerbang. Dengan gagah panglima ini berjalan mendekati Putri Anjani yang masih berdiri sambil memegang Gendewa Bernyawa di tangan kanannya. Senyumnya masih mengejek saat memberi hormat kepada panglima tertinggi pasukan Galuh Pakuan ini.

Panglima Candraloka semakin kaget begitu memperhatikan Putri Anjani dari jarak sedekat ini. Perubahan gadis ini benar-benar luar biasa. Dari warna rambut dan matanya. Dari caranya membawa diri. Dari caranya memandang. Dari caranya tersenyum. Semuanya berubah secara total. Mengerikan! Itu adalah kata yang pas untuk menggambarkan.

Namun cepat-cepat panglima yang sudah banyak pengalaman ini memperbaiki sikapnya yang terlalu nampak keheranan dengan memberi hormat secara baik.

"Tuanku Putri Anjani. Salam hormatku. Kau ingin menemuiku secara khusus. Adakah hal yang bisa aku bantu untukmu?"

Putri Anjani menghentikan senyumnya dan menatap tajam Panglima Candraloka. Panglima ini merasa bulu kuduknya berdiri.

"Panglima Candraloka, aku hanya ingin bicara sedikit saja. Aku tidak perlu basa-basi. Kau jawablah dengan singkat saja. Iya atau tidak. Mengangguk atau menggeleng. Itu saja."

Panglima Candraloka mengangguk mengiyakan tanpa bicara karena suaranya seperti tercekat di tenggorokan akibat tatapan luar biasa dingin itu.

"Baiklah. Pertanyaan pertama, apakah aku masih pimpinan Kujang Emas Elang?"

Panglima Candraloka mengangguk.

"Pertanyaan kedua, apakah aku masih berhak untuk masuk istana Galuh Pakuan?"

Panglima Candraloka mengangguk.

"Pertanyaan ketiga, apakah aku masih boleh memberi perintah kepada anak buahku?"

Panglima Candraloka mengangguk.

"Pertanyaan keempat, apakah aku boleh membawa mereka untuk ikut denganku kemana saja?"

Panglima Candraloka menggeleng.

"Kenapa? Kali ini kau jawablah dengan tegas dan dengan kalimat."

Panglima Candraloka menelan ludah sambil berkata,

"Tentu saja mereka masih di bawah perintahmu tuanku, tapi kemana saja? Itu harus dirundingkan terlebih dahulu dengan pemangku kerajaan. Karena pengerahan pasukan harus atas sepengetahuan paduka pemangku kerajaan dan juga harus atas kepentingan Galuh Pakuan."

Putri Anjani menatap lekat-lekat Panglima Candraloka yang langsung saja merinding. Tatapan itu...seperti tatapan dari neraka.

"Hmmmmm.... jangan mencla-mencle panglima. Pertanyaan terakhir aku ulang. Apakah aku boleh membawa anak buahku untuk ikut denganku kemana saja? Atas nama dan kepentingan Galuh Pakuan?"

Panglima Candraloka tentu saja terpojok dengan pertanyaan ini. Panglima ini menahan kelu di lidahnya karena kesulitan menjawab.

"Tidak tentu saja! Semua harus atas sepengetahuan dan seijin pemangku kerajaan. Tidak bisa seenaknya saja membawa pasukan kemana saja dengan alasan atas nama dan kepentingan Galuh Pakuan. Siapa yang tahu bahwa tujuan itu nanti akan diselewengkan!"

Terdengar suara merdu namun keras menjawab pertanyaan sulit Putri Anjani.

Putri Anjani tentu saja terperangah kaget mendengar jawaban ini. Dia tadi sudah berhasil membuat Panglima Candraloka terpojok. Namun jawaban itu mementahkan semuanya. Dengan marah Putri Anjani menengok ke asal suara.

Dewi Mulia Ratri! Gadis itu berdiri dan menatapnya dengan tegas.

Kurang ajar! Gadis ini sedari dulu adalah penghalang baginya.

"Heeeiii! Nenek sihir! Untuk apa kau ikut-ikut masalah ini? Kau tidak punya wewenang di sini. Pulanglah! Atau pergilah ke Pesanggrahan Bubat! Uruslah makam kekasihmu itu di sana!"

Putri Anjani sengaja memancing kemarahan Dewi Mulia Ratri. Dia tahu, menyebut-nyebut nama mendiang Andika Sinatria akan membuat amarah menggelegak dahsyat di hati gadis itu.

Benar saja. Dewi Mulia Ratri mendelik marah bukan main. Gadis ini tanpa ba bi bu lagi langsung menyerang Putri Anjani dengan hebat. Yang diserang tersenyum-senyum mengejek sambil menghindar dan balas menyerang dengan tak kalah hebat.

Terjadilah pertempuran yang luar biasa dan mencengangkan semua orang. Kedua tubuh gadis itu seperti dua bayangan yang menari-nari di tengah-tengah badai. Dewi Mulia Ratri mengerahkan ajian Lembu Sakethi dan jurus-jurus Pena Menggores Awan, sementara Putri Anjani langsung saja memainkan jurus-jurus Badai Laut Utara.

Ini bukan sebuah pertarungan biasa. Kedua gadis ini sudah tergolong tokoh-tokoh kelas atas dunia persilatan. Panglima Candraloka dan Bimala Calya yang tadi datang bersama Dewi Mulia Ratri sampai harus jauh-jauh menepi dari gelanggang pertarungan. Angin yang ditimbulkan oleh pertarungan ini menderu-deru tidak hanya di seputaran gelanggang, namun sampai juga puluhan depa di sekitaran gelanggang.

Sepuluh jurus berlalu. Tidak nampak ada yang terdesak. Senjata pena yang dipegang Dewi Mulia Ratri menulis-nulis udara dengan garang. Mengarah ke titik-titik terlemah di tubuh Putri Anjani. Sedangkan jurus-jurus Badai Laut Utara menimbulkan badai kecil sungguhan yang membuat debu dan daun-daun beterbangan ke udara.

Luar biasa! Pertarungan yang seimbang. Kedua gadis yang sama-sama keras hati ini mengerahkan segala upaya untuk menjatuhkan lawan. Putri Anjani berpikiran untuk mengeluarkan ilmu terbarunya, Sihir Tanah Seberang, untuk membarengi pukulan Badai Laut Utaranya yang ganas. Namun gadis ini lalu teringat bahwa Dewi Mulia Ratri adalah seorang ahli sihir yang luar biasa. Pewaris tunggal kitab sakti Ranu Kumbolo yang berisi sihir-sihir tingkat tinggi. Dia tidak mungkin mengerahkan ilmu sihir terhadap gadis dari Sanggabuana ini.

Putri Anjani menjadi tidak sabaran lagi. Ini harus segera diakhiri. Jika masih terus begini, ratusan jurus berlalupun mereka tidak akan bisa saling mengalahkan. Putri Anjani mulai mengerahkan ilmu pukulan Gora Waja yang dahsyat. Gerakan-gerakannya berubah agak kaku. Namun jauh lebih mengerikan. Kulit tubuhnya berubah mengkilat-kilat dan lengannya bahkan kaku sekeras baja. Sempat tadi Dewi Mulia Ratri menyarangkan beberapa pukulan Lembu Sakethi ke tubuh Putri Anjani. Hanya untuk mendapati tangannya tergetar keras dan terasa kesakitan. Kekebalan dan daya tahan tubuh Putri Anjani bahkan bisa menahan ilmu pukulan sedahsyat Lembu Sakethi.

Menyadari bahwa dia bisa celaka, Dewi Mulia Ratri lalu mengerahkan pukulan Gempa Pralaya. Dan pertarungan pun menjadi seimbang lagi. Gerakan kedua gadis muda yang sakti ini sangat berlawanan. Putri Anjani dengan gerakan yang kaku namun penuh dengan tenaga mematikan, melawan Dewi Mulia Ratri dengan gerakan yang gemulai seperti bumi yang sedang dilanda gempa.

Pada puncaknya, Dewi Mulia Ratri mengerahkan kekuatan di kedua tangannya, lalu serentak menghantamkan kedua telapak tangannya ke tanah. Getaran maha hebat mengguncang gelanggang pertarungan. Getaran itu mengalir di dalam tanah mengarah kepada Putri Anjani yang langsung saja mengerahkan Gora Waja sekuatnya karena tahu pukulan Dewi Mulia Ratri yang satu ini dahsyat luar biasa.

Begitu guncangan usai, tubuh Putri Anjani hanya bergoyang goyang namun tetap tegak di tempatnya. Hanya saja, dari sudut mulutnya mengalir sedikit darah tanda dia terluka dalam. Tidak parah namun cukup membuat gadis ini terguncang jiwanya karena Gora Waja yang dikuasainya ternyata belumlah sempurna. Jika telah sempurna, tidak mungkin dia sampai terluka.

Namun gadis ini bukanlah gadis yang mudah menyerah. Diraihnya Gendewa Bernyawa dari balik punggungnya. Dewi Mulia Ratri terkesiap. Ini berbahaya! Dia tidak tahu bagaimana caranya menghadapi pusaka sakti itu.

Sebelum Putri Anjani membidikkan gendewa sakti itu ke Dewi Mulia Ratri, terdengar suara melengking tinggi luar biasa yang menyakitkan telinga. Suara itu berubah tinggi rendah lalu mendayu-dayu lalu melengking tinggi sekali. Terdengar suara gemuruh kepak sayap dari hulu sungai Cipamali mengarah ke gelanggang. Sebuah bayangan besar pekat menghitam nampak di atas langit. Bayangan besar itu bergerak cepat menuju Putri Anjani.

Putri Anjani menajamkan penglihatannya. Hatinya tercekat. Bayangan hitam besar yang berniat menyerang dirinya itu kelelawar! Ribuan kelelawar! Bukan, itu ratusan ribu kelelawar! Tengkuk Putri Anjani merinding. Namun gadis yang dipenuhi dendam ini tidak mau menyerah begitu saja. Dipentangnya Gendewa Bernyawa ke arah ratusan ribu kelelawar itu.

Bimala Calya sengaja memanggil bantuan kelelawar-kelelawar di hutan sekitar Cipamali karena dia tahu nyawa Dewi Mulia Ratri sedang dalam bahaya besar. Dia tahu bahwa bala bantuan kelelawar itupun hanya mengulur-ulur waktu saja. Gendewa itu sangat bertuah dan sakti. Pasti bisa menanggulangi serangan ratusan ribu kelelawar itu. Benar saja. Saat Putri Anjani menarik tali busur Gendewa Bernyawa, ribuan anak panah berapi meluncur deras ke angkasa mengarah ratusan ribu kelelawar yang bergemuruh menyerang Putri Anjani.

Terdengar decit-decit kesakitan dan bau hangus daging terbakar saat ribuan kelelawar terjatuh dalam keadaan gosong. Beberapa kali Putri Anjani melakukan tindakan yang sama. Beberapa kali juga ribuan kelelawar mati terbakar saat jatuh ke tanah. Puluhan ribu bangkai kelelawar bertumpuk di depan markas dan jalanan menuju sungai Cipamali. Mengerikan!

Tentu saja sehebat-hebatnya Gendewa Bernyawa, kecepatan Putri Anjani tetap masih kalah dengan beruntunnya serangan yang datang dari ratusan ribu kelelawar yang dipanggil Bimala Calya. Ribuan kelelawar sudah sangat dekat saat Putri Anjani masih sibuk mementangkan lagi Gendewa Bernyawa. Gadis ini tidak sempat lagi mempergunakan gendewa sakti itu. Ribuan kelelawar mengerubuti tubuhnya. Gadis ini mengerahkan Gora Waja sepenuhnya sehingga gigitan kelelawar beracun tidak bisa menembus kulitnya. Namun tetap saja hal ini membuatnya kerepotan bukan main. Jika terus dikerubuti oleh ribuan kelelawar seperti ini. Bukan hal yang mustahi jika lambat laun dia akan kehabisan nafas dan tewas.

Situasi sangat genting bagi hidup Putri Anjani. Tumpukan kelelawar sudah menimbun dirinya hingga ke bagian leher. Jika tidak ada yang menolong, sebentar lagi bisa dipastikan gadis itu akan tewas tercekik kehabisan udara. Dewi Mulia Ratri sendiri hanya bengong tidak tahu harus berbuat apa. Kejadian ini begitu mengerikan. Selain itu Dewi Mulia Ratri sudah membuat keputusan dalam hatinya. Mendadak...

"Blaaaar... Blaaaar... Blaaaar..."

Tumpukan kelelawar itu berhamburan diterjang angin pukulan dahsyat. Putri Anjani terbebas dari bahaya kematian. Namun puluhan ribu kelelawar masih berdatangan dari langit. Sebentar saja lagi tubuhnya yang kaku sekeras baja itu akan ditimbuni lagi oleh ribuan kelelawar yang terus berdatangan seperti air hujan.

Sebuah larikan besar sinar berwarna keperakan menghantam ke arah gerombolan kelelawar yang terjun dari langit ke arah Putri Anjani. Larikan sinar perak itu tidak hanya membuat tubuh ribuan kelelawar mati, namun menghancurkannya menjadi abu. Sehingga tidak ada lagi yang menimbuni tubuh Putri Anjani. Begitu terjadi berkali-kali sampai akhirnya semua kelelawar menghilang habis dari langit.

Putri Anjani mengambil nafas panjang. Dia tidak peduli siapa yang telah menyelamatkannya dengan membasmi ratusan ribu kelelawar tadi. Yang penting dirinya terbebas dari bahaya maut. Kemarahannya bangkit lagi. Ini semua pasti gara-gara Bimala Calya. Tidak ada siapa lagi yang mempunyai kemampuan seperti ini kalau bukan gadis dari Lawa Agung itu. Sambil tetap memegang Gendewa Bernyawa, mata Putri Anjani mencari-cari. Ketemu!

Bimala Calya sedang berdiri di samping Dewi Mulia Ratri dan menatapnya dengan penuh selidik. Melihat gadis itu menatapnya penuh amarah, Putri Anjani semakin tersulut kemarahannya. Dipentangnya gendewa sakti itu ke arah dua gadis yang sama-sama melotot ke arahnya. Untuk berjaga-jaga dari serangan dahsyat Gempa Pralaya Dewi Mulia Ratri, Putri Anjani mengerahkan Gora Waja untuk melindungi tubuhnya.

Dewi Mulia Ratri dan Bimala Calya sadar betapa berbahayanya gendewa di tangan Putri Anjani. Mereka yang tadinya terheran-heran dengan orang yang belum menampakkan diri namun sudah membantu Putri Anjani tadi, tidak bisa lagi berpikir atau menduga-duga. Keadaan berbalik sekarang. Bimala Calya tidak bisa memanggil bala bantuan kelelawar. Karena nampaknya kelelawar di sekitar hutan Cipamali sudah tidak bersisa lagi. Ingin sebenarnya Bimala Calya memanggil ular-ular berbisa untuk membantu. Namun itu tidak akan banyak gunanya. Gadis itu tidak mempan racun jika sedang dilindungi oleh ilmu Gora Waja. Bisa-bisa malah ular-ular di sekitar Cipamali akan juga habis tak bersisa.

Satu-satunya jalan adalah menghadapi kehebatan gendewa itu dengan tangan mereka sendiri. Dewi Mulia Ratri mengerahkan sepenuhnya Gempa Pralaya. Jika Putri Anjani melepaskan panah panah berapi, dia akan membiarkannya walaupun itu akan merenggut nyawanya. Tapi dia akan membawa serta gadis itu bersamanya. Dia akan menyerang sepenuhnya menggunakan Gempa Pralaya. Dia yakin, meskipun dilindungi oleh Gora Waja, Gempa Pralaya pasti akan melukai gadis itu dengan parah jika dia mengerahkan seluruh kekuatannya. Itu tekadnya.

Bimala Calya juga bersiap-siap. Dia mencabut pedang pendek yang selalu disimpan di buntalan pakaiannya. Paling tidak senjata ini bisa menangkis panah-panah yang mengarah ke mereka.

Suasana menegangkan itu terasa hingga ke benteng Galuh Pakuan. Panglima Candraloka dan pasukannya sedari tadi hanya terbengong-bengong saja menyaksikan kejadian-kejadian yang luar biasa di depan mata mereka. Mereka sadar tidak bisa banyak membantu Dewi Mulia Ratri dan temannya. Karena itu Panglima Candraloka hanya memerintahkan mereka untuk menyiapkan gendewa dan anak panah sebanyak-banyaknya. Paling tidak mereka akan mencoba mengganggu dan menghambat gadis sakti dari Laut Utara yang sedang kalap itu.

Putri Anjani belum juga memulai serangannya. Gadis ini sedang mempelajari situasi. Dia melihat pasukan pemanah di atas benteng sedang bersiap-siap menghujaninya dengan anak panah. Gadis ini berhitung. Apakah dia bisa cukup cepat menyerang Dewi Mulia Ratri dan Bimala Calya, lalu berpindah membidik hujan anak panah dari atas? Hatinya sebetulnya cukup tenang. Dia dilindungi oleh Gora Waja. Hujan anak panah itu pasti tidak akan melukainya. Namun ada satu hal yang dikhawatirkannya. Bagaimana dia melindungi mata yang sudah pasti tidak termasuk bisa dilindungi oleh Gora Waja?

Pikiran Putri Anjani berputar-putar. Matanya bergantian memperhatikan Dewi Mulia Ratri, Bimala Calya, dan atas benteng. Saat matanya bersirobok dengan mata Dewi Mulia Ratri dan Bimala Calya, kemarahannya tak terbendung lagi. Rasa marah yang menguasai hatinya mengalahkan pikiran jernih dan cerdik yang tadi memenuhi pikirannya.

Diangkatnya Gendewa Bernyawa mengarah pada Dewi Mulia Ratri dan Bimala Calya. Ditariknya busur gendewa ajaib itu, dilepaskan, dan meluncurlah puluhan anak panah berapi menerjang kedua gadis yang sudah bersiap-siap sedari tadi.

Secepat itu pula, Putri Anjani menarik busur gendewa sakti dan mengarahkan ke atas benteng untuk menangkis ratusan anak panah yang secara berbarengan dengan serangannya tadi, dilepaskan oleh pasukan pemanah Galuh Pakuan. Meluncurlah ratusan anak panah berapi ke atas menyambut ratusan anak panah pasukan Galuh Pakuan.

Begitu melepas anak panah untuk menangkis serangan dari atas, Putri Anjani langsung memindahkan perhatiannya kepada Dewi Mulia Ratri. Gadis itu bisa saja secepat kilat menghantamnya dengan Gempa Pralaya.

Mata Putri Anjani terbelalak lebar melihat apa yang sedang dilihatnya. Puluhan anak panah berapi yang ditujukan kepada Dewi Mulia Ratri dan Bimala Calya tertahan oleh sesuatu yang aneh. Seperti sebuah dinding es tebal. Semua anak panah menancap di situ. Dinding es itu sekaligus memadamkan api yang menyala di mata puluhan anak panah. Dinding es tebal itu runtuh. Membawa puluhan anak panah itu runtuh ke tanah.

Putri Anjani penasaran bukan main. Diangkatnya lagi Gendewa Bernyawa. Ditariknya busur hingga dua kali. Meluncurlah puluhan anak panah berapi hingga dua kali. Sebuah bayangan berkelebat. Mengangkat tangan dan memutarnya di udara di depannya. Terciptalah sebuah tameng terbuat dari es tebal sehingga kembali puluhan anak panah itu mentah dan menancap ke dinding es tebal itu.

Putri Anjani menunggu sampai es tebal itu runtuh untuk melihat siapa gerangan yang telah membantu Dewi Mulia Ratri. Begitu dinding es itu runtuh. Tidak ada siapapun di sana kecuali Dewi Mulia Ratri dan Bimala Calya yang berdiri mematung dengan wajah pucat seperti habis melihat hantu.

Putri Anjani sangat penasaran. Kali ini ditariknya busur Gendewa Bernyawa berkali-kali. Meluncurlah puluhan anak panah berapi bergantian menuju Dewi Mulia Ratri dan Bimala Calya yang masih bengong tanpa berbuat apa-apa.

Kembali sebuah bayangan berkelebat menghadang puluhan anak panah berapi yang datang bergelombang dan bertubi-tubi. Bayangan itu tidak lagi bisa berkelebat pergi begitu dinding es sudah dibuat, karena anak panah berapi terus berdatangan. Kali ini yang diperbuatnya lebih hebat lagi. Bayangan itu menghantamkan tangannya ke tanah. Sebongkah besar tanah melayang ke atas tapi tidak terlepas dari bumi. Seperti sebuah dinding besar dari tanah yang dasarnya tetap terpaku ke tanah.

Bayangan yang sebenarnya Arya Dahana itu kembali membuat keajaiban dengan menyalurkan ilmu pukulan Danu Cayapata ke dinding tanah besar itu. Dinding tanah raksasa itu berubah seketika menjadi dinding es yang tertancap dalam tanah. Sehingga tidak mungkin lagi roboh jika ditinggalkan olehnya. Tidak seperti tadi. Pemuda ini membuat dinding es yang bisa melindungi Dewi Mulia Ratri dan Bimala Calya tanpa harus berulang-ulang membuat dinding es dari udara kosong. Setelah membuat dinding es yang sangat kokoh itu, Arya Dahana membalikkan badan berniat menyapa dua gadis yang tadi masih melihatnya seperti melihat hantu.

"Plaakkk..Plakkkk..."

Kedua pipi pemuda itu memerah terkena tamparan Dewi Mulia Ratri yang memandangnya dengan pandangan rindu, gemas, marah dan sebal. Sementara Bimala Calya hanya bergeser mendekat sambil menatapnya lekat-lekat seolah-olah dia adalah sebuah patung perunggu yang dibuat oleh pemahat terkenal dan sekarang sedang diamati dengan ketelitian tingkat tinggi.

Arya Dahana tersenyum tengil sambil meletakkan jari di mulut. Menyuruh mereka tidak mengeluarkan suara karena takut terdengar oleh Putri Anjani.

Putri Anjani menghentikan serangannya menggunakan Gendewa Bernyawa. Ini sangat aneh. Ada orang yang turun tangan membantu mereka. Tapi orang itu tidak mau menampakkan wajahnya. Sama persis dengan orang yang tadi membantunya membasmi pasukan kelelawar beracun. Sama persis? Hmmmm berarti ini orang yang sama.

Putri dari Laut Utara ini makin penasaran. Apalagi dinding es yang terakhir tadi sama sekali tidak luruh dan hancur. Seperti terpatri ke bumi. Dia tidak bisa melihat lagi keberadaan Dewi Mulia Ratri dan Bimala Calya. Gadis ini menjadi curiga. Tidak ada suara apapun terdengar dari balik dinding es besar yang terbuat dari tanah itu. Jangan-jangan mereka sudah melarikan diri. Dia melihat ke atas. Pasukan panah Galuh Pakuan masih bersiaga dengan gendewa-gendewanya. Semua serangan panah ke arahnya tadi berhasil ditangkis dan dipatahkan semua oleh anak panah berapi yang dilontarkan Gendewa Bernyawa.

Lalu terdengar suara seperti orang yang sedang menggumam marah sambil melepaskan tamparan dua kali. Putri Anjani menggerakkan tubuhnya melingkari dinding es sembari bersiaga siapa tahu ada serangan mendadak menunggu dari baliknya.

Gadis dari Laut Utara ini yang gantian bengong sekarang. Dilihatnya pemandangan aneh yang sama sekali tidak menakjubkan baginya. Arya Dahana sedang berdiri sambil mengusap-usap pipinya. Di depannya berdiri Dewi Mulia Ratri yang sedang meneteskan airmata namun matanya berkerjap-kerjap sebal. Di samping Dewi Mulia Ratri, Bimala Calya mematung sambil memandang Arya Dahana tanpa berkedip.

Hmmm...jadi pemuda inilah yang tadi menolong mereka menahan serangan Gendewa Bernyawa. Pemuda ini jugalah yang telah menolongnya dari serangan ribuan kelelawar yang hampir menewaskannya tadi. Putri Anjani yang telah mengalami perubahan hebat semenjak berlatih Sihir Tanah Seberang dan menjalani banyak ritual mengerikan, merasa kemarahannya memuncak kembali.

"Arya! Ternyata kaulah yang telah membantu gadis-gadis sihir ini! Kau pemuda tak ingat budi! Aku telah mempertaruhkan nyawaku untuk menolongmu di laut Ngobaran, dan sekarang kau malah menghalangi aku!"

Arya Dahana menoleh. Sejenak terkejut dengan perubahan penampilan Putri Anjani. Lalu pemuda ini meringis menyebalkan ke arah Putri Anjani.

"Putri... kamu tahu aku tidak akan membiarkan siapapun kau lukai menggunakan gendewa sakti itu. Kamu juga tahu aku akan selalu teringat budi baikmu yang telah menyelamatkan nyawaku saat itu."

Putri Anjani mengedikkan kepalanya dengan pongah.

"Aku tidak peduli! Aku menagih hutangmu sekarang! Kau bantu aku membunuh mereka...dan hutangmu aku anggap lunas!"

Arya Dahana terperangah kaget. Bukan hanya wajah dan penampilannya saja yang berubah. Watak dan sikap gadis ini juga jauh berubah.

Pemuda ini memalingkan wajah ke arah Dewi Mulia Ratri dan Bimala Calya yang juga sedang memandangnya. Tatapan kedua gadis itu mudah sekali diartikan. Nampak sekali kelegaan dan kerinduan memancar keluar dari sana. Ada juga terlihat rasa ingin tahu yang besar apa yang akan dilakukannya terhadap permintaan Putri Anjani.

Arya Dahana menghela nafas panjang.

"Putri, aku akan memenuhi permintaan apapun untuk melunasi hutang nyawaku. Kecuali permintaan seperti ini. Aku akan menolaknya dengan tegas! Aku tidak bisa memenuhinya. Kau boleh ambil nyawaku jika kau mau sebagai gantinya...."

Putri Anjani melotot. Ehh tapi semua permintaan? Hmmm...

"Baiklah Arya...aku menarik kembali kata-kataku. Aku memintamu untuk menemaniku menemui Panglima Kelelawar di Pulau Kabut. Kamu juga harus mencegah mereka menghalangiku pergi dari sini. Kamu juga harus melindungiku selama perjalanan dan di Pulau Kabut. Lalu kamu juga harus ikut aku pergi ke Istana Timur untuk menemui beberapa orang di sana. Barulah hutangmu aku anggap lunas!"

Dewi Mulia Ratri mendelik mendengar rentetan permintaan yang tidak masuk akal itu. Gadis ini bertolak pinggang menghadap Arya Dahana yang masih bengong mendengar permintaan Putri Anjani.

"Dahana! Ingat! Aku juga mempunyai janji terhadap mendiang Dyah Puspita! Kamu dititipkan olehnya kepadaku. Kamu harus meminta ijin kepadaku mengenai hal-hal seperti ini. Karena aku yakin seyakin-yakinnya, Dyah Puspita tak akan pernah menyetujui perjanjian konyol seperti ini...!"

Arya Dahana kebingungan bukan main. Dia berada di tengah-tengah permainan kata-kata dua gadis yang sama-sama keras hati ini. Bisa-bisa akan pecah kembali pertarungan. Dia harus mencegahnya. Pemuda ini tersenyum memohon kepada Dewi Mulia Ratri sembari berkata lembut.

"Ratri, aku mohon percayalah kepadaku. Aku berjanji tidak akan melanggar norma kemanusiaan apapun dalam melunasi janjiku ini. Percayalah! setelah melunasi hutang nyawa ini, aku akan datang menemuimu. Ada hal penting yang ingin kubicarakan denganmu dan ini hanya menyangkut kita berdua saja."

Dewi Mulia Ratri sudah hampir menyemprotkan kata-kata pedas lagi ketika dia melihat sinar mata penuh permohonan dari pemuda itu benar-benar dalam. Ditambah lagi kalimat terakhir yang diucapkan Arya Dahana membuatnya terperangah kaget. Hal penting? Hanya mereka berdua? Hatinya dipenuhi oleh rasa penasaran yang teramat sangat.

Gadis ini menahan hatinya. Jika dia berkeras, Putri Anjani bahkan mungkin akan meminta Arya Dahana melakukan hal-hal yang lebih aneh lagi. Menemani putri cumi-cumi itu bertemu Panglima Kelelawar mungkin tidaklah aneh. Dia yakin Arya Dahana sama sekali tidak suka mencampuri urusan kerajaan dan tidak meletakkan kakinya di satu pihak. Menemani ke Istana Timur? Ini yang agak memberatkan hatinya. Perjalanan ke Istana Timur sangatlah jauh. Mereka akan menempuh perjalanan bersama-sama selama berhari-hari. Berdua saja. Hhhhhhhhh menyebalkan!

Dewi Mulia Ratri sama sekali tidak menyadari bahwa semua mata tertuju kepadanya. Gadis ini masih berkutat dengan pikirannya sendiri. Raut mukanya sangat mudah ditebak. Penuh dengan rasa jengkel dan marah. Arya Dahana berdehem untuk menggugah kesadaran Dewi Mulia Ratri. Gadis itu terperanjat. Pipinya bersemu merah.

"Dahana, aku... atas nama Dyah Puspita yang telah menitipkan dirimu padaku, mengijinkanmu membayar lunas semua hutang nyawamu kepada gadis ini. Tapi ada syarat yang harus kau penuhi. Kau harus berjanji untuk memenuhi syarat ini. Jika tidak, maka aku tidak akan mengijinkanmu. Aku tidak peduli putri cumi-cumi ini mempunyai gendewa sakti. Aku tidak peduli jika kau malah membantunya melawan kami. Kita akan perang bubatkan semua di sini!"

Dewi Mulia Ratri berkata berapi-api kepada Arya Dahana sambil melirik Putri Anjani yang masih saja tersenyum mengejek.

Arya Dahana tersenyum maklum.

"Baiklah Ratri, sebutkan apa syaratmu?"

Gantian sekarang Dewi Mulia Ratri yang tersenyum mengejek ke arah Putri Anjani.

"Kau boleh temani gadis ini ke Pulau Kabut. Syaratnya kau tidak boleh membantunya dalam bentuk apapun untuk bersekutu dengan Panglima Kelelawar melawan Galuh Pakuan. Kau boleh temani gadis ini ke Istana Timur. Syaratnya kau harus singgah ke sini untuk menyampaikan kepadaku apa hasil kunjunganmu ke Lawa Agung. Syarat ketiga, di Istana Timur kau juga tidak boleh ikut-ikutan jika ada niatan untuk melawan Galuh Pakuan. Syarat terakhir, kau harus kembali lagi kesini untuk menyampaikan apa hasil kunjunganmu ke Istana Timur. Aku harus memastikan semua ini tidak merugikan Lawa Agung. Itu empat syarat yang harus kau penuhi..."

Putri Anjani mengerutkan kening mendengar persyaratan yang diajukan Dewi Mulia Ratri. Syarat yang mengada-ada! Gadis ini membuka mulutnya hendak menyanggah keras. Namun Arya Dahana mengangkat tangannya mencegah.

"Baiklah Ratri. Aku akan penuhi semua persyaratanmu. Jangan khawatir, sepulang dari Pulau Kabut, aku akan menemuimu di sini. Sepulang dari Istana Timur, aku juga akan menemuimu di sini. Aku pastikan tidak akan mencampuri urusan apapun tentang peperangan antar kerajaan."

Putri Anjani mendengus kesal sambil mengomel pendek.

"Huh! Syarat yang mengada-ada....!"

Dewi Mulia Ratri tersenyum samar. Hatinya sebenarnya agak malu mengakui. Syarat yang disampaikannya tadi memang mengada-ada. Syarat itu semuanya bermuara pada Arya Dahana harus selalu menemuinya. Entah mengapa, dia senang dan bahagia bisa berpikir sehebat ini agar selalu bisa bertemu Arya Dahana.

Putri Anjani sepertinya sudah tidak sabar lagi. Ditariknya lengan Arya Dahana untuk segera berlalu. Namun pemuda itu menepiskan tangannya sambil berkata untuk menunggu.

"Mala, aku senang bisa berjumpa lagi denganmu di sini. Ingatlah apa yang pernah aku katakan dulu tentang cahaya pelita. Selalu bersinarlah pada saat kegelapan datang. Matikan pada saat sudah terang."

Pemuda ini tersenyum manis kepada Bimala Calya yang sedari tadi hanya menatapnya tanpa berkata-kata.

Bimala Calya menundukkan kepalanya. Dia jatuh cinta kepada pemuda ini. Itu jelas. Dulu dia bahkan bersedia menjadi apa saja asal diperbolehkan ikut kemana saja oleh Arya Dahana dan Dyah Puspita. Saat ini dia tidak tahu harus berbicara apa. Dia juga menyadari bahwa sahabat baiknya sekarang, Dewi Mulia Ratri, juga ada rasa kepada Arya Dahana. Meski gadis itu berusaha keras menutupinya rapat -apat.

Yang sebenarnya, Bimala Calya merasa patah hati. Dia merasa bahwa cintanya tidak akan kesampaian. Ini menyedihkan. Tapi huru-hara kehidupan yang dilaluinya sejak kecil menempa dirinya dengan kuat. Apalagi dia banyak bertemu dengan sahabat-sahabat yang sangat baik tanpa memperdulikan seperti apa latar belakangnya. Mendiang Dyah Puspita dan Dewi Mulia Ratri adalah dua orang yang paling peduli dengannya. Dia tidak mungkin merusak persahabatan demi sebuah cinta yang bertepuk sebelah tangan. Tidak! Dia akan mempertahankan persahabatan ini selamanya. Dia akan memberi nomor kedua bagi cinta. Bimala Calya perlahan-lahan menemukan kembali senyumnya.

"Arya, aku akan menemani Dewi Mulia Ratri di sini. Aku menemukan seorang sahabat yang mengerti aku. Aku menemukan kebahagiaanku. Pergilah, aku akan selalu ingat kata-katamu..."

Arya Dahana menarik nafas lega. Gadis ini tidak boleh dibiarkan patah hati dan terlunta-lunta. Gadis ini adalah mutiara yang sebelumnya terpendam dalam lumpur. Jangan sampai jatuh lagi dalam lumpur yang lain.

Pemuda ini menatap Dewi Mulia Ratri sekali lagi. Ada sebuah kilatan cahaya di matanya. Kilatan cahaya yang hanya bisa dilihat oleh Dewi Mulia Ratri. Gadis ini sedikit tersipu. Dia mengenal kilatan itu semenjak perang besar Blambangan dulu. Kilatan yang sama juga saat puncak peristiwa naga Merapi. Lalu kilatan yang terlihat lagi saat dia secara membabi-buta menyerang pemuda itu di Ngobaran sebelum pemuda itu terjatuh ke jurang laut.

Itu kilatan penuh rindu. Kilatan yang pertama kali dulu merajam hatinya. Dan setelah itu berkali-kali menusuk jantungnya. Ingin rasanya dia menubruk pemuda itu dan meletakkan kepala di bahunya sambil menangis sejadi-jadinya. Selama ini dia merasa selalu berteman dengan sunyi. Pemuda ini adalah keramaian yang dia inginkan. Tapi dia tidak tahu bagaimana cara menyampaikan. Dia merasa tak berdaya. Ada sesuatu yang selalu mencegahnya. Sesuatu yang muncul dari dalam dirinya sendiri. Harga diri.

Tanpa berkata apa-apa lagi, Arya Dahana memberi isyarat kepada Putri Anjani untuk meninggalkan tempat itu segera. Gadis dari laut utara itu melemparkan senyuman yang lagi-lagi mengejek kepada dua gadis di hadapannya sambil berlalu mengikuti langkah Arya Dahana.

Dewi Mulia Ratri mengikuti dengan ekor matanya kepergian pemuda yang membuatnya ditelikung huru-hara cinta itu. Di sisi lain, dia geram pada Putri Anjani. Gadis itu sangat berbahaya. Gendewa sakti di tangannya sangat luar biasa. Dewi Mulia Ratri bergidik.

Bagaimana jika gadis yang dikuasai nafsu amarah itu berhasil membujuk Panglima Kelelawar untuk bergabung atau bersekutu. Itu seperti kekuatan tanpa batas. Galuh Pakuan akan berada dalam bahaya besar. Jumlah dan kekuatan pasukan tidak menjamin jika harus berhadapan dalam perang melawan orang-orang seperti Putri Anjani atau Panglima Kelelawar. Keduanya mempunyai senjata pemusnah yang luar biasa. Putri Anjani dengan gendewanya dan Panglima Kelelawar dengan pasukan hewan berbisanya.

Untung tadi Arya Dahana membantu mereka tepat waktu. Jika tidak, mereka berdua, bahkan seluruh pasukan perbatasan Galuh Pakuan, bisa musnah tanpa sisa. Pemuda itu mempunyai kelihaian yang luar biasa. Sanggup membuat dinding es dari tanah, bahkan dari udara. Dia tidak perlu mengkhawatirkan keselamatan pemuda itu lagi. Dia memutuskan untuk tinggal di perbatasan sambil berunding dengan Panglima Candraloka bagaimana cara memperkuat pasukan di pesisir selatan. Bimala Calya akan diajaknya terus kemana-mana. Gadis itu sebatangkara. Dia tidak akan tega untuk meninggalkannya.

*************