webnovel

Bab 12

Kekuasaan dititipkan

Kekuasaan diciptakan

Kekuasaan diambil paksa

Kekuasaan dirudapeksa

Tertulis dalam setiap perjalanan sejarah

Di belahan bumi manapun yang berisi darah

Tertumpangkan dalam prasasti

Di kerajaan, kekaisaran, dan nagari

Terlupakan jika kalah

Termahsyurkan jika penakluk yang gagah

Ibukota Galuh Pakuan. Dewi Mulia Ratri dan Bimala Calya berhenti di gerbang kota. Mereka masih diiringi oleh para pengawal dari Garda Kujang Emas Garuda yang dulu menemui mereka di sekitar Padepokan Segoro Langit.

Kali ini gerbang langsung saja membuka begitu Dewi Mulia Ratri menampakkan dirinya kepada penjaga. Para penjaga memberi hormat dengan sigap. Mereka tahu yang datang adalah pimpinan tertinggi dari Garda Kujang Emas Garuda. Pengawal khusus raja yang berilmu luar biasa tinggi dan sanggup melakukan sihir-sihir aneh yang menakutkan. Dulu mereka ketakutan dan tidak mau membuka gerbang karena ancaman mengerikan Pangeran Bunga.

Mereka sudah mendengar kabar dari pasukan yang menyerbu ke Padepokan Sanggabuana bahwa pasukan itu diporak-porandakan oleh Dewi Mulia Ratri dan Bimala Calya. Penyerbuan itu gagal total. Semuanya terluka dan harus menanggung malu pulang ke ibukota. Rupanya itu menghancurkan mental para pengikut Pangeran Bunga dan sebaliknya menaikkan moral para penentangnya di ibukota. Permaisuri dan pemangku kerajaan ikut senang dengan perubahan ini. Mereka sangat menjaga keutuhan kerajaan sehingga tidak mau mencoba cara kekerasan untuk menumpas pemberontakan terselubung yang sedang digalang Pangeran Bunga. Kejadian di Sanggabuana membuat pergeseran kekuatan di ibukota. Para pendukung Pangeran Bunga sekarang banyak diam dan tidak lagi berani membuat ulah.

Itu juga yang menyebabkan para penjaga gerbang kota berubah sikap. Mereka mempersilahkan Dewi Mulia Ratri dan rombongannya masuk ke dalam kota dengan senang hati.

Dewi Mulia Ratri bersama rombongannya bergerak cepat menuju istana kerajaan. Gadis ini tidak sabar untuk bertemu ayahnya. Ayahnya pasti mempunyai banyak informasi yang bermanfaat. Semangatnya saat ini adalah mencoba membangun kembali kekuatan Galuh Pakuan. Ancaman dari Lawa Agung bukan main-main. Belum lagi pergolakan di Majapahit yang santer terhembus pasti akan juga menyeret Galuh Pakuan dalam pusaran perang. Terutama di perbatasan.

Sesampainya di istana, Dewi Mulia Ratri bergegas menyampaikan kepada petugas jaga untuk bertemu dengan Panglima Candraloka atau Ki Mandara atau ayahnya Pendekar Sanggabuana. Petugas yang sedang berjaga mengatakan bahwa Panglima Candraloka sedang pergi ke perbatasan di Sungai Pamali, Ki Mandara pergi ke Pulau Percha dan Pendekar Sanggabuana pergi ke pesisir selatan dengan ditemani oleh seluruh anggotanya.

Kontan hal ini membuat Dewi Mulia Ratri kecewa. Hanya ketiga orang itu yang bisa diajak berunding. Tapi semuanya tidak ada. Gadis ini lantas memanggil Panglima Muda Bhirawa agar menemuinya di istana pengawal raja.

Bhirawa datang dengan hati gembira. Pimpinannya datang dan itu membuatnya bersemangat. Belakangan ini dia sangat mengkhawatirkan keselamatan keluarga kerajaan karena pergerakan-pergerakan terselubung Pangeran Bunga. Kedatangan Dewi Mulia Ratri membuatnya mendapatkan teman untuk berpikir apa upaya-upaya yang bisa dilakukan untuk menjaga keselamatan keluarga raja sekaligus menanggulangi muslihat-muslihat yang dibangun oleh Pangeran Bunga dan kelompoknya.

Dewi Mulia Ratri juga senang setelah tahu ternyata Panglima Muda Bhirawa tidak ikut pergi kemana-mana. Gadis ini kemudian berbincang lama dengan Bhirawa. Merencanakan bagaimana mempersiapkan diri jika gerakan-gerakan terselubung nantinya berniat untuk mendongkel kekuasaan dengan cara-cara kekerasan. Bagaimana cara melindungi dan menyelamatkan keluarga kerajaan jika timbul perang saudara. Kemana harus disembunyikan atau dilindungi. Siapa saja yang ditugaskan untuk melindungi dan mengawal, dan banyak lagi hal-hal prinsip yang harus dipersiapkan jika terjadi huru-hara, pemberontakan atau perang besar.

Cukup lama mereka merencanakan secara terperinci. Hingga mendekati malam, barulah Dewi Mulia Ratri bisa berlega hati. Hatinya cukup tenang sekarang. Paling tidak, ada sebuah rencana yang matang untuk menghadapi segala macam situasi ketika keluarga kerajaan terancam bahaya. Dan dia bisa pergi dengan hati lapang meninggalkan kerajaan untuk mencari ayahnya di pesisir selatan Jawa.

Keesokan harinya, tanpa membuang waktu lagi Dewi Mulia Ratri mengajak Bimala Calya pergi meninggalkan istana. Arah tujuan mereka jelas. Pesisir laut selatan di wilayah Sukabumi. Pasukan Galuh Pakuan disebar di daerah itu untuk memantau pergerakan kerajaan Lawa Agung. Pergerakan mereka sudah mulai menusuk ke kantong-kantong wilayah kerajaan Galuh Pakuan. Masih dalam satuan-satuan regu yang kecil-kecil. Namun pasukan kecil itu bekerja dengan sangat efektif. Mempengaruhi penduduk-penduduk desa untuk membelokkan kesetiaannya dari Galuh Pakuan. Cara-cara yang digunakan juga beragam. Membangun sarana peribadatan, balai dusun, menyumbang orang-orang miskin dan papa, membantu para pemuda pemudi mendapatkan pekerjaan di Pulau Kabut dan lain sebagainya yang tujuannya untuk menarik simpati.

Dua gadis cantik ini memilih untuk melakukan perjalanan dengan menggunakan kuda. Pertimbangannya adalah untuk mengurangi kelelahan dibanding jika harus dilakukan dengan berjalan kaki. Apalagi mereka membawa perbekalan yang cukup banyak. Keduanya sudah meniatkan diri bahwa perjalanan kali ini selain membawa sebuah misi, tapi juga untuk menghibur diri. Rasa lelah di batin mereka masih sangat terasa. Rasa lelah akibat kehilangan seseorang atau sebuah rasa mengakibatkan rasa sakit juga di badan. Rasa kehilangan itu tidak bisa disembuhkan secara tiba-tiba. Hanya waktulah yang sanggup menjadi pelipur laranya. Seiring dengan perjalanan waktu, maka rasa kehilangan akan tersimpan semakin dalam, bukannya menghilang. Jika tidak ada hal ajaib yang bisa menggantikan rasa kehilangan itu, maka orang akan mudah putus asa, patah semangat dan bahkan terguncang jiwanya.

Rasa kehilangan bisa dengan cepat tergantikan jika ada sesuatu yang ditemukan. Dan itu tidak mudah. Harus melalui sebuah pencarian atau hadiah dari Tuhan. Kita tak akan pernah tahu kapan Tuhan akan memberikan hadiah tapi kita bisa melakukan pencarian kapan saja. Pencarian itupun tidak boleh berhenti hingga kita tahu bahwa sesuatu itu telah ditemukan. Satu hal yang harus dipercaya adalah, sebuah usaha atau kerja keras pasti mendapatkan penghargaan dari Tuhan. Berupa apa saja yang sama sekali tidak pernah kita duga. Tapi yang pasti akan membuat kita merasa berbahagia.

Sepanjang jalan, kedua gadis itu bercakap-cakap ringan. Menikmati hari yang cerah. Pagi yang ramah. Bahkan suara burung prenjak yang bercuitan riang terdengar seperti tembang sinden yang mendayu-dayu. Dewi Mulia Ratri menanyakan kepada Bimala Calya bagaimana cara memanggil kelelawar beracun sehingga patuh dan taat kepada perintah.

Yang ditanya menjelaskan bahwa alat tiup yang digunakan untuk memberi perintah itu adalah benda pusaka yang sudah dimantrai sehingga mampu memberikan perintah kepada binatang buas apapun. Tergantung seberapa kuat ilmu sihir atau batin orang yang meniupnya. Selain itu orang tersebut harus menguasai sebuah ilmu yang dinamakan Ilmu Purajit. Ilmu yang bisa menaklukkan berbagai binatang buas. Ilmu itu baru bisa dikuasai setelah orang tersebut meminum darah binatang-binatang buas yang berniat untuk dikendalikannya.

Panglima Kelelawar sudah meminum banyak macam darah binatang buas. Harimau, Beruang, Ular-ular berbisa, Kelelawar berbisa, dan jenis-jenis hewan laut yang juga beracun dahsyat. Oleh karena itu, panglima ini bisa dengan mudah mendatangkan pasukan dari berbagai macam binatang buas kalau dia mau. Hanya saja, alat tiup pemanggil dan pengendali sekarang ada di tangan Bimala Calya karena dulu dipinjamkan oleh Panglima Kelelawar kepada anak angkatnya itu pada saat disuruh menyelidiki keberadaan pasukan Galuh Pakuan di perbatasan.

Bimala Calya sendiri hanya pernah meminum darah Kelelawar dan Ular-ular berbisa, sehingga hanya binatang-binatang itulah yang bisa dipanggilnya untuk membantu. Hanya saja semenjak diselamatkan Arya Dahana dan berpetualang bersama pemuda itu, gadis ini menyimpan alat tiup itu jauh di dasar buntalan pakaiannya. Dalam hati kecilnya, Bimala Calya berjanji tidak akan menggunakan alat tiup ajaib itu jika tidak benar-benar diperlukan. Gadis ini juga tahu bahwa lambat laun Panglima Kelelawar akan mengutus orang untuk mengambil alat tiup itu dan dia bertekad tidak akan mengembalikannya. Benda ini terlalu berbahaya untuk dipegang orang yang haus darah dan kejam macam ayah angkatnya.

Dewi Mulia Ratri mendengarkan semua penuturan Bimala Calya sambil bergidik ngeri. Jika dalam sebuah perang besar melawan Galuh Pakuan, Lawa Agung bersekutu dengan Putri Anjani yang memegang sebuah pusaka yang tak kalah mengerikan yaitu Gendewa Bernyawa, maka Galuh Pakuan dalam bahaya besar!

Gendewa Bernyawa sudah pernah dia saksikan kehebatannya saat di Ngobaran. Luar biasa pusaka itu! Sekali bidik, ratusan anak panah berapi meluncur keluar dari gendewa sakti itu. Dengan memegang gendewa itu, Putri Anjani bisa menghadapi sepasukan besar sendirian.

Apalagi jika sampai dua kekuatan ajaib itu bergabung atau bersekutu, dia tidak bisa membayangkan. Sebesar dan sekuat apapun pasukan, tidak akan sanggup menghadapi anak-anak panah berapi yang tidak ada habis-habisnya, lalu harus juga menghadapi pasukan mengerikan yang terdiri dari ribuan binatang berbisa....hiiiiihhh....Dewi Mulia Ratri tidak sanggup memikirkan lebih jauh. Jika harus menghadapi pasukan iblis atau hantu atau makhluk-makhluk dari dunia lain seperti ketika perang besar perbatasan Majapahit-Blambangan dulu, dia masih berkeyakinan bisa menghadapinya. Bahkan dia sendiri pernah memanggil satu pasukan makhluk gaib saat dulu mencoba Ilmu Menaklukkan Roh di puncak Merapi.

Ini jangan sampai terjadi! Dia harus mencegah Putri Anjani bergabung dan bekerjasama dengan Lawa Agung. Gadis dari laut utara itu sulit sekali ditebak wataknya. Apalagi hatinya diselimuti dendam yang teramat sangat. Bisa saja dia berbalik arah memusuhi Galuh Pakuan. Dewi Mulia Ratri berpikir, setelah bertemu ayahnya, dia harus melakukan perjalanan untuk mencari Putri Anjani. Dia harus membujuk gadis itu agar tidak mengikutsertakan Galuh Pakuan dalam urusan dendamnya.

Tapi di mana kira-kira gadis dari laut utara itu berada? Dewi Mulia Ratri sempat memanggil kepala satuan telik sandi kerajaan untuk meminta laporan situasi terkini. Kabar burung yang beredar dari ujung timur Jawa, Istana Timur sedang bergolak. Mengumpulkan kekuatan dan menjalin persekutuan dengan Blambangan dan sebuah persekutuan rahasia yang bernama Persekutuan Pesisir Gugat. Telik sandi tidak bisa mengorek lebih jauh informasi mengenai persekutuan yang penuh rahasia itu. Hanya saja kabar yang beredar menyebutkan bahwa persekutuan itu didirikan oleh tokoh-tokoh yang sakit hati terhadap Majapahit. Dan tokoh-tokoh yang bergabung terdiri dari tokoh-tokoh sakti. Namun siapa saja tokoh-tokoh itu, tidak ada seorangpun yang tahu dan bisa memastikan.

Hmmmm...besar kemungkinan Putri Anjani ada di daerah timur yang sedang bergolak itu. Gadis itu sangat cerdik. Pastilah dia akan membangun kekuatan melalui persekutuan-persekutuan semacam itu. Kalau begitu, dia akan menuju timur jauh Jawa setelah bertemu ayahnya. Putri Anjani adalah tujuan besarnya kali ini. Pangeran Bunga sekarang terjepit, jadi untuk sementara bisa diabaikan saja.

Setelah mendapatkan kesimpulan dari perenungannya, Dewi Mulia Ratri mengajak Bimala Calya agar bergegas menuju pesisir selatan Sukabumi. Semua rangkaian rencana tadi tidak akan bisa dilaksanakan kalau dia hanya berleha-leha. Dia harus cepat memastikan bahwa ayahnya baik-baik saja dan dia juga harus melihat seperti apa situasi di pesisir selatan Sukabumi yang berhadapan langsung dengan kerajaan Lawa Agung.

Kuda-kuda yang tadinya hanya berjalan santai sambil sesekali merumput kini dipacu kencang melintasi hutan dan perbukitan. Menuju wilayah pesisir selatan memang harus melalui jalanan yang berliku dan berhutan. Bukit-bukit yang terjal dan pegunungan tinggi. Tidak ada jalan lain. Oleh karena itu meski kuda-kuda dipacu, tetap saja perjalanan menjadi lambat. Sebetulnya perjalanan bisa dilakukan dengan lebih cepat jika mereka berdua memutuskan untuk berjalan kaki dan menggunakan ilmu Meringankan Tubuh. Tapi mengingat perbekalan yang dibawa cukup banyak untuk pendekar Sanggabuana dan anggotanya, Dewi Mulia Ratri tetap membawa kuda-kuda itu bersama mereka.

Menjelang malam, mereka berhenti di suatu tempat yang agak lapang di pinggir sungai kecil. Mereka harus mendirikan kemah di sini untuk bermalam. Sekaligus mengistirahatkan kuda-kuda yang cukup kelelahan. Tempat itu berada di pinggiran jalan setapak tempat orang-orang mencari kayu bakar dan hasil hutan sehingga cukup terbuka. Bimala Calya mengambil alih situasi dengan mempersiapkan makan malam untuk mereka berdua. Gadis ini pintar masak. Dewi Mulia Ratri memilih untuk mencari kayu bakar dan air dibandingkan memasak.

Setelah usai makan malam, kedua gadis ini berniat untuk istirahat. Namun tiba-tiba terbersit dalam pikiran Dewi Mulia Ratri gangguan bisa saja muncul pada saat mereka sedang enak-enaknya tidur, dan itu mengesalkan sekali. Gadis ini kemudian berdiri sambil komat-kamit mengerahkan Ajian Menaklukkan Roh. Kabut tipis putih timbul dalam sekejap di sekeliling mereka. Tak lama kemudian dari balik kabut itu bermunculan sosok-sosok mengerikan. Sosok para lelembut gunung Salak. Dewi Mulia Ratri lalu berbisik-bisik memberikan perintah kepada pasukan aneh itu untuk menyebar di sekeliling perkemahan. Menjaga mereka selama mereka beristirahat tidur.

Terdengar gumaman-gumaman halus yang mendirikan bulu roma saat makhluk-makhluk mengerikan itu menyebar ke sekeliling kemah. Kuda-kuda yang semuanya diikat di pohon-pohon sekitar kemah dan sedang enak-enak mengunyah rumput, meringkik-ringkik keras dan memberontak sejadi-jadinya. Lima ekor kuda meringkik dalam waktu yang bersamaan di tengah hutan dalam kegelapan malam membuat suasana menjadi sangat mencekam.

Dewi Mulia Ratri dan Bimala Calya yang sudah bersiap-siap tidur terlonjak kaget. Dewi Mulia Ratri mengeluh pendek. Maksud hati ingin tidur nyenyak karena ada yang menjaga, ini malah sama sekali tidak bisa tidur karena ringkik kuda itu sama sekali tidak mau berhenti.

Gadis ini keluar dari tenda lalu melambaikan tangan sambil komat-kamit lagi. Ringkik kuda seketika berhenti karena makhluk-makhluk gaib yang tadi bermunculan diperintahkan pergi oleh Dewi Mulia Ratri. Bimala Calya meringis geli saat Dewi Mulia Ratri masuk lagi dalam tenda sambil menggeleng-gelengkan kepala dan mengomel panjang pendek.

"Huh...seharusnya kita sudah tidur nyenyak tanpa khawatir gangguan apapun Mala....ealaaah, kuda kuda itu ternyata takut juga sama hantu."

Bimala Calya terkekeh geli melihat wajah merengut Dewi Mulia Ratri dan gerutuannya yang lucu. Siapa sih yang tidak takut hantu?

Malam akhirnya berlalu tanpa basa-basi. Tiba-tiba saja pagi sudah menyapa dengan keriuhannya. Setelah membersihkan diri di sungai dan makan pagi, kedua gadis itu segera berkemas dan berangkat melanjutkan perjalanan.

Medan yang harus dilalui makin berat sehingga perjalanan juga menjadi lebih lambat. Mereka bisa saja menerobos melalui pinggang Gunung Salak. Namun itu tidak memungkinkan bagi kuda-kuda yang besar itu. Alhasil, perjalanan akhirnya memutari lereng Gunung Salak. Melewati beberapa dusun yang sunyi, menyeberangi sungai dan menghindari ngarai. Dewi Mulia Ratri ingat dulu dia pernah adu lari dengan Andika Sinatria. Tapi itu melewati Gunung Pangrango. Jalanan di sana terlalu jauh dan melingkar-lingkar.

Menjelang sore, keduanya sampai juga di lereng Gunung Salak yang sebelah hilir. Sekarang tidak banyak kampung lagi. Jalanan juga semakin sepi. Jika tidak ada aral melintang, besok sore mereka sudah sampai di pesisir Sukabumi. Malam ini mereka harus menginap di jalan lagi. Setelah menemukan tempat untuk melewatkan malam, Bimala Calya berpesan kepada Dewi Mulia Ratri agar tidak mengundang pengawal lagi malam ini. Sudah cukup mereka digaduhi oleh suara ringkik kuda tadi malam. Tidak perlu terulang lagi karena ingin tidur nyenyak, mengundang pengawal yang mengerikan, dan mereka akhirnya tetap harus tidur tengah malam.

Malam kembali dilewati tanpa kejadian menarik apa-apa. Paginya mereka kembali melanjutkan perjalanan. Jalanan sudah landai sekarang. Mereka bisa memacu kuda dengan agak lebih kencang. Kedua gadis itu tercengang. Jalanan yang mereka lewati sekarang sangat mulus dan lebar. Cukup untuk dua kereta bersisian jalan. Seingat Dewi Mulia Ratri, jalanan di daerah pesisir selatan dulu tidaklah sebagus ini. Kampung-kampung yang mereka lewati juga tertata dengan rapi. Rumahnya besar-besar dengan halaman luas yang bersih dan terawat.

Yang mengherankan dan sedikit misterius, sepanjang kampung-kampung yang mereka lewati, jarang sekali terlihat laki-laki berkeliaran atau bekerja. Hampir semua adalah perempuan. Kalaupun ada laki-laki, paling hanya anak-anak atau orang tua.

Bimala Calya berbisik kepada Dewi Mulia Ratri. Menyampaikan bahwa inilah cara kerajaan Lawa Agung meraih simpati dari para penduduk pesisir selatan. Kerajaan baru itu kaya raya. Mempunyai banyak keping-keping emas dan perak yang entah didapat dari mana. Mereka dengan mudah menghambur-hamburkan emas dan perak untuk keperluan apa saja. Kabar selentingan yang terdengar di Pulau Kabut, harta kekayaan yang melimpah ruah itu disokong oleh Ratu Laut Selatan.

Bukan rahasia lagi bahwa ratu gaib itu berdiri di belakang kerajaan Lawa Agung. Pantas saja mereka sangat kuat di armada lautan. Selain itu, Pulau Kabut seperti sama sekali tidak bisa terjangkau oleh orang luar. Arya Dahana dan Putri Anjani dulu pernah sampai di pulau itu hanya karena ketidaksengajaan saja, selain tentu saja kemampuan Arya Dahana membuyarkan sihir dan mantra.

Hanya saja, kekuatan ratu gaib itu tidak bisa melewati pesisir atau sampai masuk jauh ke daratan. Penguasa gaib daratan ada sendiri. Di setiap gunung yang memaku pulau Jawa, terdapat penguasa-penguasa gaib sendiri-sendiri. Itulah mengapa naga yang membawa batu mustika ajaib selalu muncul di Merapi, itu juga mengapa kejadian gaib munculnya kitab sakti Ranu Kumbolo ada di lereng Semeru, dan juga mengapa semua kerajaan yang selama ini ada, selalu menetapkan ibukotanya di tengah-tengah pulau Jawa yang persisnya selalu dilindungi oleh sebuah perlambang gunung atau malahan memilih pesisir laut utara. Semua gunung di pulau Jawa mempunyai kisah ajaib dan misteriusnya sendiri. Ratu Laut Selatan tidak bisa menancapkan kekuasaannya melebihi gunung dan perbukitan yang memagari pesisir selatan.

Kembali kepada dua orang gadis yang masih melanjutkan perjalanan menuju markas pasukan Galuh Pakuan di sebuah daerah yang biasa disebut Bantar Muncang. Markas ini didirikan belum terlalu lama. Hanya semata-mata untuk menghadang laju gerak pasukan Lawa Agung ke utara. Sebelum kerajaan Lawa Agung mengumumkan keberadaannya, kerajaan Galuh Pakuan tidak pernah mempunyai niatan untuk mendirikan sebuah markas pasukan di daerah selatan. Hal yang masuk di akal sebenarnya. Karena untuk apa memperkuat pasukan di daerah yang tidak berbatasan dengan kerajaan lain?

Namun kemunculan Lawa Agung merubah segalanya. Panglima Candraloka tidak mungkin membiarkan daerah pesisir selatan rawan pencaplokan. Sedangkan setelah didirikan markas pasukan saja, orang-orang dari Lawa Agung sedikit demi sedikit mulai mengambil alih desa-desa yang persis berada di pesisir.

Setelah menyisir kampung-kampung di pesisir, lalu berbelok masuk lagi memasuki sebuah perbukitan, gerbang markas pasukan Galuh Pakuan sudah terlihat di depan. Dewi Mulia Ratri dan Bimala Calya memacu kudanya dengan kencang. Dewi Mulia Ratri sudah tidak sabar untuk bertemu dengan ayahnya. Dia rindu sekaligus mengkhawatirkan keadaan ayahnya.

Kerajaan Lawa Agung dipenuhi oleh orang-orang yang kejam dan beringas. Jika markas ini diserang habis-habisan oleh Lawa Agung, bala bantuan dari ibukota Galuh Pakuan sangat jauh. Seharusnya Panglima Candraloka tidak hanya menempatkan satu markas besar saja di daerah pesisir selatan ini. Lebih bagus jika ada markas bala bantuan yang didirikan di antara Gunung Pangrango dan Sukabumi. Dia akan memberikan masukan kepada Panglima Candraloka saat kembali ke ibukota nanti.

Gerbang markas pasukan Galuh Pakuan dijaga dengan sangat ketat. Begitu kedua gadis ini sampai di gerbang, keduanya sudah dikepung oleh setidaknya dua regu pasukan di kanan dan kiri. Dewi Mulia Ratri membuka caping lebarnya, diikuti oleh Bimala Calya. Kedua gadis ini memang sengaja memakai caping lebar untuk menyamarkan wajah agar tidak mudah dikenali sepanjang perjalanan.

Kepala regu penjaga tertegun sesaat melihat dua gadis cantik ini. Lalu mendadak tergopoh-gopoh memberikan perintah kepada anak buahnya agar membuka pintu gerbang. Siapa di Galuh Pakuan yang tidak mengenal gadis ini. Dewi Mulia Ratri, gadis luar biasa lihai, seorang tokoh penting kerajaan, pimpinan tertinggi pasukan elit pengawal raja Kujang Emas Garuda, dan satu di antara dua orang yang selamat dari kengerian Perang Bubat.

Dewi Mulia Ratri tersenyum melihat semua ini. Tapi gadis ini tidak mau berlama-lama. Dia segera mengajak Bimala Calya berjalan memasuki markas. Suasana di dalam markas ini juga terlihat sangat sigap. Tidak ada satupun prajurit yang bersikap santai. Semuanya dalam kondisi siaga. Tidak terkecuali yang sedang beristirahat sekalipun. Senjata-senjata selalu berada di dekat jangkauan tangan mereka. Wah wah...prajurit-prajurit ini sangat disiplin. Dewi Mulia Ratri agak tenang hatinya melihat ini. Bergegas gadis ini melangkah menghampiri seseorang yang sedang berdiri tegak menanti kedatangannya. Seorang tinggi besar, brewok dan berbaju militer.

Pria itu memberi hormat dengan takzim begitu Dewi Mulia Ratri berada di hadapannya.

"Tuanku pimpinan Kujang Emas Garuda, terimalah hormatku. Namaku Panglima Baladewa. Angin apa yang membawa tuanku hingga sampai ke markas kami di ujung dunia ini?"

Dewi Mulia Ratri balas membungkuk memberi hormat. Baladewa? Ooh inilah panglima pasukan kerajaan tangan kanan Panglima Candraloka. Pantas saja pasukan di sini sangat tertib dan disiplin. Panglima Baladewa memang terkenal sebagai seorang panglima yang cakap, terlatih dan sangat disiplin. Tidak salah jika Panglima Candraloka menempatkan panglima yang gagah ini di sini. Di markas garda terdepan yang langsung berhadapan dengan musuh ini.

"Hormatku Panglima Baladewa. Aku ingin menjumpai ayahku. Menurut informasi, ayahku Pendekar Sanggabuana berada di markas ini, benarkah?"

Kembali Panglima Baladewa memberi hormat.

"Beberapa hari yang beliau masih ada di sini tuanku. Tapi setelah mendengar kabar Padepokan Sanggabuana diserang oleh para pengikut Pangeran Bunga, beliau buru-buru kembali bersama para anggota padepokan. Beliau cukup lama berada di sini. Membantuku melatih para pasukan sekaligus juga memantau keadaan di daerah pesisir selatan ini."

Dewi Mulia Ratri tertegun mendengar berita ini. Aaahh dia sudah jauh-jauh datang kesini, ternyata ayahnya malah sudah pergi lagi. Namun kelegaan juga menghampiri diri gadis ini. Ayahnya baik-baik saja. Markas ini juga baik-baik saja. Ibukota terkendali. Pesisir selatan terkendali. Semuanya terkendali. Berarti dia bisa segera melanjutkan misi utamanya. Mencari dan menemui Putri Anjani. Sekaligus juga melihat keadaan perbatasan di Cipamali. Dia bisa berbicara dengan Panglima Candraloka di sana.

Dewi Mulia Ratri melanjutkan perbincangan sejenak dengan Panglima Baladewa. Mereka membicarakan keadaan terakhir di pesisir selatan. Panglima Baladewa hanya mengeluhkan satu hal saja. Markas ini perlu diperkuat dengan tokoh-tokoh berilmu tinggi sehingga jika suatu saat diserang oleh tokoh-tokoh sakti Lawa Agung, masih bisa mempertahankan diri. Dewi Mulia Ratri memahami situasi ini. Dia berjanji kepada Panglima Baladewa akan menyampaikan hal ini kepada Ki Mandara secepatnya.

Setelah cukup berbincang, Dewi Mulia Ratri menyerahkan kuda-kuda dan perbekalan kepada Panglima Baladewa karena dia berniat pergi melanjutkan perjalanan ke timur hari ini juga. Tidak menggunakan kuda.

Bimala Calya tidak banyak berbicara. Ini menyangkut kepentingan politik kerajaan. salah satunya adalah Lawa Agung yang pernah membesarkannya di dalam lingkungan mereka. Gadis ini hanya ingin cepat-cepat pergi dari tempat ini. Melanjutkan perjalanan ke timur akan membuatnya bergairah kembali. Entah kenapa. Dia sama sekali tidak tahu sebabnya.

Menjelang malam, kedua gadis ini berpamitan kepada Panglima Baladewa. Sang Panglima sebetulnya menahan dan meminta kedua gadis ini berangkat besok pagi saja. Namun kekerasan hati Dewi Mulia Ratri dan kegelisahan Bimala Calya meneguhkan tekad kedua gadis ini untuk segera melanjutkan perjalanan. Dan berangkatlah mereka dengan membawa perlengkapan dan perbekalan secukupnya meninggalkan markas besar yang kokoh kuat itu.

************