webnovel

Planning Liburan

Aku, Tasya Anastasia umur 22 Tahun membuat rencana liburan akhir semester empat yang super luar biasa bersama keenam sahabatku. Dino Perkasa, Daniel Benjamin, Danish Gunawan, Beni Saputra, Lia Diandra, Gia Hanifa.

"Gue udah kontakan sama sepupu kakak ipar gue, semua udah dia atur." Ucap Dino.

"Oke minggu depan kita berangkat." Ujar Lia.

"Persiapan buat kita disano udah gue atur." Kata Gia sesi pengatur sekaligus bendahara kami.

"Cewe or cowo?" Tanya Beni penasaran.

"Liat aja entar." Jawab Dino singkat.

"Tinggal jawab doang susah banget. Moga aja lidah lu muncul bisul segede kerikil." Protes Beni sengit.

"Bisul emang bisa, bisul kan dipantat bukan dilidah. Sariawan kali Ben, baru masuk akal." Kataku heran.

"Mau itu bisul atau sariawan biarin aja keduanya timbul lidahnya Dino." Kesal Beni.

"Dia cewe puas lu." Balas Dino sengit.

"Gitu dong, gue kan butuh persiapan ngegombal." Ujar Beni berseri-seri.

Beni dan Dino selalu membawa suasana berisik diantara kami. Tidak ada mereka berdua suasana pun terasa sepi. Lalu aku memasati Lia dia tampak gelisah, dia tidak berhenti mengotak-ngatik ponselnya.

Mendadak Pacar Lia yang posesif datang, dia menarik erat tangan Lia. Paras Lia seakan meminta perlindungan pada kami.

"Lepasin tangan Lia, lu bisa bicara baik- baik tanpa harus menyeretnya keluar." Tegas Daniel menahan tindakan pacar Lia.

"Masalah buat lu, gue pacarnya lebih berhak atas dia." Bentak pacar Lia bernama Leon.

"Gue emang nggak berhak tapi setidaknya gue jauh lebih manusiawi bertindak daripada lu nggak punya pikiran. Hargai wanita karena mereka dilahirkan bukan untuk disakiti." Tegas Daniel melotot pada Leon.

"Ngajak ribut lu." Balas Leon angkuh.

"Satu tonjokan tangan kiri Daniel pasti udah bikin gigi lu ancur Leon, jangan sok nantang." Oceh Dino menimpal.

"Gue nggak takut sama sabuk hitamnya karena gue ngelindungi cewe gue dari cowo tebar pesona kayak dia." Kata Leon meradang menatap dalam Daniel.

"Baru pacaran sebulan aja tapi ngerasa lebih dari suami." Ceplos Beni.

Kemudian Leon mendekat ke arah telinga Daniel.

"Lepasin tangan gue. Jangan ikut campur urusan gue sama Lia, kecuali kalau lu emang suka sama Lia. Kita ribut diluar." Bisik Leon pada Daniel.

Akhirnya Daniel bergeser, dia mundur tidak lagi menghadang Leon. Sementara itu Leon lanjut memaksa Lia hendak menyeretnya keluar caffe.

"Lepasin Leon, sakit tangan gue." Rintih Lia sembari melihat kearah Daniel.

Daniel mematung, dia terdiam dan hanya bengong melihat tangan Lia kesakitan ditarik kuat oleh Leon. Tidak ada pembelaan lagi dari Daniel untuk melindungi Lia.

"Gila lu Leon, berhenti. Daniel cegat dong jangan diam aja." Ujar Beni mengamuk.

Ketika Lia mencoba berontak dari tarikan kasar Leon, Tas Lia menyenggol cangkir dimeja lalu pecah jatuh kelantai. Minuman dan pecahan beling beserakan dilantai Caffe.

"Tasya kaki lu bedarah, beling.. ada beling nancap dikaki lu." Seru Gia histeris.

"Hah, Darah beneran lu. Serius mana darahnya." Kataku sambil memasati dan meraba keseluruhan kakiku.

Ternyata benar kaki kananku berdarah, pecahan beling menancap di kakiku.

Sontak Gia meminta kotak obat pada pelayan caffe terus Gia mengobatin luka dikaki ku.

Aku paling takut sama darah karena waktu usiaku sembilan tahun, orang tuaku dan aku hendak menjemput Kakak ku yang sedang les lantaran hari itu hujan lebat dan jalanan licin.

Mendiang ayahku mengendarai mobil lepas kendali, mereka meninggal dalam kecelakaan mobil hanya aku satu-satunya selamat dalam kecelakaan mobil.

Trauma mengingat orang tuaku belumuran darah jadi ingatan pahit bagiku.

"Kak, aku luka. Kaki aku keluar darah." Rengek ku yang dengan sigap langsung menelpon Kakak ku.

" Udah nggak apa-apa, nancapnya nempel dikit doang. Lukanya nggak perlu dijahit." Ucap Gia mengolesi obat merah pada luka ku.

"Kamu kan tahu Gia, aku takut sama darah." Rengek ku lagi menangis.

"Luka Tasya kecil ko Kak Maya, dia baik-baik saja. Dasar manja." Celoteh Gia menggodaku.

Seketika Daniel mendubrak meja caffe tempat kami duduk, ekspresi mengerikan terpasang diwajah Daniel.

"Daniel mau kemana lu." Pekik Dino mengejar Daniel.

"Sudah lu disini aja Ben, biar Dino yang misahin Daniel sama Leon." Ujar Danis menghadang Beni yang beranjak mengejar Daniel juga.

"Serius Daniel mau ngajak ribut Leon?" Tanya Benis terlihat cemas.

"Serius lah, siapa suruh cari gara-gara." Cetus Danish.

"Gue harus misahin mereka juga, Dino mana kuat nahan tenaga Daniel sendirian." Kata Beni ketar-ketir.

"Sudahlah lu sini aja, ada tukang parkir sama orang- orang diluar yang misahin. Buang-buangin tenaga aja." Ucap Danish sembari menyeruput secangkir kopi.

Selang beberapa menit Daniel dan Dino kembali ke caffe. Nafas mereka terengah-engah bercampur emosi.

"Tuh Danielnya udah balik lagi." Sambung Danish menunjuk ke Arah Daniel.

"Sakit lu Daniel, bisa-bisanya lanjut ngajak ribut Leon didalam." Kata Beni syok.

"Beneran akalnya udah habis ini anak, lu suka sama Lia itu ngomong. Jujur ke Lia kalau lu cemburu. Jangan asal tonjok muka orang, bonyok mukanya Leon. Capek banget gue nahan nih bocah, beruntung ada tukang parkir nolongin gue." Keluh Dino dengan nafas tidak teratur.

"Apa gue bilang, benarkan." Celetuk Danish menghadap Beni.

"Setidaknya lu jangan ributlah didepan umum, lu kan bisa beresin baik-baik tadi pas Lia sama Leon ada dalam caffe. Cinta itu nggak pake otot." Omong Beni menasihatin Daniel.

"Lu beneran suka sama Lia, sejak kapan. Lia bukannya gonta-ganti cowo, bertahan paling 6 bulan. Baru kali ini lu marah banget sama cowo Lia." Ceplos Dino heran.

"Gue nggak suka sama Lia." Jawab Daniel ringkas.

"Alasan lu ngamuk sama Leon apa kalau nggak suka sama Lia. Bohong lu, jelas-jelas lu suka tapi masih aja bohong nggak mau jujur." Omel Beni.

"Gue jujur, gue nggak pernah suka sama Lia." Balas Daniel dengan wajah yakin.

"Kagak percaya gue, lah terus alasan lu nonjok Leon apa. Masa lu kesambet hantu masih soreh gini." Kata Dino mencoba galih agar Daniel berkata jujur.

"Sudah-sudah ayo cabut, udah mau maghrib. Kita pulang." Timpal Danish menyela usaha Beni dan Dino.