1 Strowberry Caffee

Keramaian mulai mencuat di Strowberry Coffee Gajah Mada. Andini tengah menikmati minuman hangatnya, sesekali menyesap minuman kesukaannya itu, serius menatap layar notebook. Dari kaca jendela terlihat antrian panjang kendaraan bermotor dengan lampu warna-warni. Andini mendesah tak kala memandang keluar jalan raya. Kebiasaan yang sudah menjadi trade mark potret ibu kota, Jakarta selalu seperti itu di setiap jam pulang kantor, tepatnya hari Jumat.

Weekend untuk sebagian karyawan yang memiliki jam kerja Senin sampai Jumat. Suara klakson mobil dan motor saling sahut menyahut. Sepanjang jalan arah Kota- Harmoni volume kendaraan menumpuk di sepanjang jalan Gajah Mada, begitu pula dengan arah sebaliknya dari arah Harmoni ke Kota terlihat sama. Mungkin satu-satunya kendaraan yang kini menjadi Raja jalan raya hanya si seksi orange, Busway, yang tak mengalami kemacetan. Andini kembali menatap layar notebook, jari tangannya menekan tombol page-up, lalu page-down bergantian, serius.

Setengah jam berlalu, Andini melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, tujuh lewat lima, mendesah. Andini menyesap kembali minumannya, kali ini wajahnya terlihat cemas. "Macet" gumamnya lirih, menatap keluar melalui dinding kaca bening.

Dari balik kaca, cairan bening berjatuhan, ia terlihat tak tenang. Membetulkan duduknya, meraih tas coklat tua di sisi kanannya, merogoh dan mengeluarkan sesuatu, handphone, jari-jari tangannya yang lentik dengan cekatan menari di atas keyboard layar sentuh itu. Mencari Contact List dan kemudian berhenti di salah satu nama, Michele.

Hujan, posisi kamu di mana?

Tanya Andini melalui pesan WhatsApp

Notif warna merah terlihat dari handphone Andini.

Sawah Besar.

Jawab Michele.

Oke.

Ketik Andini.

Sent

Andini menaruh handphone-nya disamping notebook, menarik napas, kembali menatap ke luar jendela. Sedikit berkurang, kendaraan roda dua kini tak terlihat hanya mobil berjalan merayap dan hujan makin menderas. Andini memejamkan kedua matanya, menikmati suara percikan air dari kaca jendela. Ia merapatkan kedua tangannya, dingin, dalam ruangan itu sudah dingin dan ditambah suasana hujan, makin dingin

Sekelompok orang masuk dalam keadaan setengah basah, mereka mengantri di depan kasir dengan wajah pucat menggigil, para Barista sibuk menyiapkan pesanan. Jakarta tak pernah bisa diprediksi untuk cuaca seperti saat ini. Padahal sore tadi, ketika Andini keluar dari kantor, matahari masih terlihat gagah memancarkan cahayanya namun kini, hujan turun.

Mata Andini masih tertuju ke arah kasir, lima orang berdiri bergerombol mungkin mereka rekan kerja di lihat dari pakaiannya, Andini mengamati, mereka bersenda gurai sesekali terdengar tawa keras dan yang lain cekikikan, tengah menunggu pesanan. Sepasang kekasih saling berpegangan tangan dengan bibir bergemeretak dan si lelaki membelai rambut sang kekasihnya itu. Dua orang pria asing pun kemudian menyusul membuka pintu, berhenti sejenak memandang ke sekeliling ruangan.

Andini kembali menatap layar notebook, jari-jari manisnya menari kembali. Tanpa disadarinya, sosok pria asing yang tengah berdiri mengantri di depan kasir memperhatikan dirinya. Aroma kopi semakin menyeruak tak seperti sebelumnya, kini semakin kuat. Pastinya lebih banyak pesanan minuman kopi hangat untuk suasana seperti saat ini.

Ruangan hampir penuh dengan pengunjung, datang berteduh atau memang ingin menikmati kopi. Andini masih tak bergeming duduk di sudut ruangan, menjadi perhatian para pengunjung lainnya. Tak ada satupun tamu yang datang tak memperhatikan dirinya, namun Andini tak menyadari itu.

Andini memang selalu menjadi daya tarik lawan jenis bahkan sesama wanita terkadang masih ingin memperhatikan dirinya. Ia mengenakan kaos berlengan panjang warna putih tulang dipadu celana bahan katun coklat muda, bertengger slayer kotak-kotak hitam merah melingkar di bahunya. Kacamata minus berbingkai hitam nan elegan nongkrong di hidungnya yang bangir, matanya yang lebar serta bibirnya yang mungil, Andini memang seorang wanita cantik dan terlihat muda untuk usianya yang kini telah memasuki angka, 29 tahun.

Pria asing bertubuh besar bermata biru dengan rambut merah menyala berantakan jatuh menutupi setengah wajahnya, entah sengaja atau memang dibuat terkesan seperti itu. Ia masih menatap Andini tak berkedip. Temannya yang tak beda tinggi dan ukuran badannya yang sama besar, namun agak sedikit rapi potongan rambutnya, pangkas pendek, menyikutnya.

Pria itu tersentak, tersenyum malu tertangkap basah oleh temannya. Kemudian ia mengambil pesanan. Mereka berdua masih berdiri, memperhatikan setiap sudut mencari sofa kosong. Hanya ada satu tempat, di hadapan Andini. Mereka saling bertatapan dan mengangguk, sepakat. Berjalan menuju tempat duduk Andini. Andini tengah asyik mengetik dan tak menyadari dua pria asing kini tengah berjalan menuju kepadanya.

"Permisi," sapa salah satu dari mereka.

Andini terkejut, mendongak menatap dua pria asing berdiri tepat dihadapannya.

"Boleh kami duduk di sini?" tanya pria berambut merah dengan bahasa Indonesia yang fasih.

"Hmmm ..." Andini menengok ke seluruh ruangan, mencari sesuatu, tak ada yang kosong. Ia menatap kedua pria asing itu lagi, masih ragu. Andini mengerti mereka ingin duduk di sofa di hadapannya. Ia bingung, sofa itu untuk Michele yang tengah ia tunggu namun di lain pihak tak ada satupun sofa yang kosong.

"Permisi.." pria asing itu kembali menyapa untuk yang kedua kalinya, teman yang satunya menatap aneh pada Andini, keningnya berkerut.

"ANDINI"

Andini menoleh cepat ke arah suara, Michele berjalan mendekatinya. Andini tersenyum menatap dua pria asing dihadapannya itu. Seakan doa-nya terkabulkan dengan kedatangan Michele, sahabat lamanya.

"Michele," Andini berdiri, Michele heran menatap Andini dan kedua bola matanya bergeser ke kiri, siapa mereka? Dengan bahasa isyarat mata. Andini mengangkat bahu, meringis. Michele menatap kedua pria asing di depannya bergantian, menebar senyum dan kedua pria asing itu pun membalas senyuman Michele, masih menunggu.

"Maaf, temanku sudah datang," jawab Andini sopan, berharap mereka tak marah kepadanya. Dan seketika itu pula seorang pelayan menghampiri mereka.

"Maaf Mister, jika kalian berkenan di sudut sana ada sofa kosong."

Pelayan itu menunjuk ke sofa pojok kanan belakang, mereka bersamaan melihat sudut ruangan yang ditunjuk oleh sang pelayan, dan tiga orang pengunjung tengah menuju pintu keluar. Andini menyeringai, kedua pria asing itu akhirnya mengangguk.

"Sorry ..." pria berambut merah itu meminta maaf namun kalimatnya sengaja menggantung, berharap Andini menjawabnya. Namun keinginannya sia-sia, Andini hanya tersenyum.

"Oke!" jawab Michele spontan, tersenyum lebar terlihat gigi-gigi gerahamnya. Andini melirik ke Michele, kedua alisnya terangkat.

"Oke! Permisi." pria asing itu pun akhirnya pergi meninggalkan Andini dan Michele, namun ia masih saja menoleh ke arah Andini. Dan temannya yang satu hanya menggelengkan kepala. Begitu pula dengan pelayan restoran pergi menuju kasir, tersenyum-senyum.

"Andini.. apa kabar?" Michele dengan cepat menabrak Andini memeluknya erat.

"Maaf yah aku terlambat," lanjutnya.

"Enggak apa-apa," jawab Andini dan mereka cipika cipiki setelah berpelukan tertawa bersamaan, mengundang mata melirik ke arah mereka, sadar, mereka berdua pun menutup mulut, tersenyum. Michele duduk tepat di depan Andini, masih memandang Andini, tertegun.

"Andin, kamu masih cantik seperti dulu dan terlihat muda," Michele mencondongkan tubuhnya kedepan, mengamati wajah Andini. Andini hanya tersenyum melihat tingkah sahabat lamanya itu.

"Andin, kamu nggak Oplas kan?" tanya Michele penasaran.

Andini mendelik, kedua alisnya terangkat.

"Beneran?" Michele menekankan lagi pertanyaanya, kini ia terlihat serius.

Andini menggeleng dengan kuat.

"Enggak mungkin!" Michele masih tak yakin, "Kamu masih terlihat muda seperti ini" Michele menunjuk wajah Andini, Andini hanya tersenyum. Michele menarik tubuhnya dan menyandar ke sofa, memicingkan kedua matanya. Andini masih terus tersenyum, geleng-geleng kepala.

"Kamu nggak mau pesan minuman?" tanya Andini.

"Hmm.. baiklah." Michele berdiri.

"Nggak usah, biar aku yang pesan. Kamu duduk di sini saja yah." Andini berdiri mengerling ke Michele dan berjalan ke kasir. Michele menjatuhkan kembali tubuhnya ke sofa. Mencari sosok pria asing tadi, masih penasaran. Dan benar, pria berambut merah itu tengah memperhatikan Andini.

Bersambung ...

Terima kasih sudah membaca novel kedua saya.

Untuk membantu othor tetap semangat menulis dan update, tinggalkan jejak komen, dan hadiahnya.

with love from othor ...

avataravatar
Next chapter