webnovel

Ketika Cinta Berlayar di Samudera

Sebuah tragedi tak menyenangkan yang Fabio terima pada masa kecilnya dari teman-teman perempuannya termasuk ibunya sendiri, membuatnya menderita gynophobia (ketakutan dan kecemasan saat berhadapan dengan wanita). Suatu ketika, ia mendapat undangan dari perusahaan luar negeri yang memasok buah-buahan dari perusahaannya, mengundangnya untuk datang, Fabio menyanggupi dengan syarat tidak ada satupun wanita yang akan ia temui di sana. Sekaligus berlibur, Fabio berangkat menggunakan kapal pesiar pribadinya yang tentunya tidak akan ada pegawai wanita yang boleh bekerja di kapal tersebut selama perjalanan berangsung kurang lebih empat bulan. Namun nasib sial Fabio merambah kepada seorang gadis fresh graduate yang diterima bekerja di departemen house keeping di kapal pesiar. Sialnya ia menaiki kapal yang salah yang mana adalah di kapal milik Fabio, sehingga pertemuan keduanya pun tak terelakkan. Darla Altania menjadi satu-satunya wanita yang ada di kapal tersebut tak pelak membuatnya terheran, hingga akhirnya ia mengetahui bahwa pemilik kapal memiliki fobia terhadap kaum wanita. Dengan sikap ambisius dan percaya diri tinggi yang dimiliki seorang Darla, ia melakukan berbagai cara agar tidak diusir dari kapal tersebut demi uang yang tidak sedikit ia dapat dari bekerja sebagai room steward. Lalu apa saja cara-cara yang Darla lakukan agar ia tidak diusir, sementara tak mungkin bagi Darla untuk menunjukkan wajahnya di hadapan pria yang takut dengannya? Akankah dengan kehadiran Darla membuat Fabio semakin takut dan membenci wanita atau justru sebaliknya?

Ilmafaza · Realistic
Not enough ratings
22 Chs

Lima syarat

"Kau harus berada di ruangan yang sama dengan Darla selama tujuh hari. Atau sampai kau tidak merasakan apa-apa lagi pada Darla. Itu harus kau lakukan tanpa terkecuali. Kalian berdua harus terus bersama dan saling berkomunikasi."

"Itu tidak mungkin," sela Fabio.

"Ini mungkin, kau harus melakukannya jika kau tetap ingin pertemuan perusahaan ini dilanjutkan." Anton membalas tegas. "Sekarang pilihanmu hanya ada dua, bersama Darla atau pertemuan dibatalkan, itu saja," lanjut Anton.

Fabio tampak berpikir keras, tangannya ia lipat di dada, sementara telapak tangan kanannya menyentuh rahang tajamnya. Kemudian bola matanya melirik tajam Anton yang menunggu jawabannya dengan penasaran. "Apa tidak bisa diganti dengan Liza saja? Sepuluh Liza, misalnya. Bukankah itu ide bagus?" tanya Fabio.

Anton mengeleng dengan tegas, "Mau seribu Liza pun itu tidak akan sebanding dengan satu Darla. Kau tahu? Darla itu definisi terbaik untuk seorang wanita. Dia cerewet, percaya diri, sombong dan menyebalkan. Lalu apa lagi yang diragukan dari sosok wanita seperti Darla? Dia memiliki semua sifat umum wanita."

"Kau pikir wanita sombong itu akan setuju dengan rencana ini?" Sepertinya Fabio mulai tertarik dengan rencana Anton. Hal itu membuat sudut kiri bibir Anton tertarik. Senyum itu terkesan misterius sekaligus kabar baik untuk Fabio.

***

Otak kritis Darla sedang memikirkan sesuatu yang akan menguntungkan dirinya terkait penawaran Anton tentang menyuruhnya selalu menemani Fabio hingga waktu yang belum ditentukan. Namun untuk percobaan pertama satu minggu.

"Apa untungnya bagi diriku jika aku menyetujui hal tersebut?" tanya Darla.

"Kau butuh uang kan? Dari rencana ini, aku dan Fabio siap menaikkan gaji mu. Bahkan untuk menemani Fabio kau tidak harus bekerja sebagai room steward. Kau cukup menemaninya kemana saja. Yang penting interaksi selalu terjalin antara kalian berdua. Dan jika Fabio mulai merasakan gejala dari fobianya, bagaimanapun caranya kau yang harus mengatasinya. Ada pertanyaan?" jelas Anton.

"Ini bukan pertanyaan, tapi syarat dari aku-"

"Katakan saja apa syarat itu," potong Anton.

Sebelum mengungkapkan syarat itu, Darla menatap mata Anton, menyelidiki sesuatu dari sorot mata percaya diri tersebut. "Pertama, gajiku harus menjadi dua kali lipat dari gaji awal." Darla kembali menyelidiki sorot mata Anton, apakah terdapat tatapan penolakan atau keluhan dari mata coklat itu.

Tidak ada. Dia lanjut mengatakan syarat yang kedua, "Lalu, aku tidak mau diatur. Maksudku, obrolan terserah pada diriku dan tidak mau yang dibuat-buat atau yang sudah direncanakan. Ketiga, harus seperti yang kau katakan, aku tidak akan bekerja sebagai room steward selama rencana dilakukan. Ke empat, aku perlu memiliki waktu istirhat setiap dua jam sekali selama lima belas menit."

"Lima menit," sela Anton.

"Sepuluh menit," kata Darla menegoisasi tawaran Anton.

"Oke." Anton setuju. "Ke lima, kau dan Fabio berbagi kabin yang sama," tambah Anton melengkapi persyaratan dari Darla.

"Tidak, aku tidak setuju dengan syarat yang ke lima." Mata Darla terbelalak. "Maksudmu aku dan Fabio berada di satu kamar layaknya suami istri? Cih, yang benar saja," tolak Darla.

"Kau bahkan tidak bertanya padaku setuju atau tidak keempat syaratmu itu. dan kau langusng mengatakan tidak setuju dengan satu syaratku? Really?" Ekspresi Anton seolah tak percaya.

"Karena aku sudah yakin, semua syaratku akan kau setujui," jawab Darla percaya diri. "Tapi syaratmu yang satu ini tidak masuk akal sama sekali, indonesia tabu akan hal seperti itu," tegas Darla.

"Oke, aku mengerti kekhawatiranmu. Tapi kita sedang tidak berada di indonesia, kita sedang berlayar mengarungi samudera. Dan aku menyediakan dua kasur di dalam kabin itu, jadi kau tidak perlu khawatir. Aku akan menjamin hal yang kau takutkan tidak akan terjadi," ucap Anton serius meyakinkan Darla.

"BIG NO, Anton. Aku tidak setuju," tatapan Darla sangat tajam menyorot pupil redup pria di hadapannya. Jarak antara wajah Darla dan Anton kini cukup dekat, hanaya sekitar dua puluh sentimeter. Darla terlihat marah.

Sesaat Anton terdiam, lalu menghela napas, ia tercekat. "Baiklah, tapi kabin kalian bersebelahan. Aku harap kau tidak masalah?"

"Fine," jawab Darla yakin sembari mundur satu langkah setelah ia membuat jarak dirinya dan Anton cukup dekat.

"Cool, kau bisa lakukan mulai sekarang. Seluruh barang-barangmu akan dipindahkan saat ini juga. Selama pengangkutan barangmu, kau bisa temui Fabio sekarang. Dia sedang berada di gym," usul Anton.

***

"Kau terlihat ... berbeda dengan kostum itu," ucap Fabio sebagai bentuk sambutannya pada Darla yang baru saja tiba di gym.

Dengan mengenakan perpaduan warna hitam dan sedikit kombinasi putih untuk celana training panjang dan atasan kaos yang sama-sama ketat tanpa lengan, lekukan tubuh Darla membentuk sempurna. "Apa kau memujiku?" tanya Darla meyakinkan.

"Kau bisa menganggapnya seperti itu. Lagi pula kau pantas mendapat pujian dari segi apapun," ucap Fabio sambil beralih menggantung tubuhnya di palang besi secara naik turun.

Otot lengan Fabio tampak kekar saat ia memperagakan gerakan tersebut. Urat-urat maskulinnya menapakkan diri di balik bisep tersebut. Dipoles dengan kilatan keringat yang membasahi tubuh Fabio hingga meresap di kaos berwarna silvernya.

Darla mendekat di hadapannya. Kebetulan palang besi ada dua. "Sesering apa kau berolahraga sebelumnya?" tanya Fabio sembari melepaskan genggaman eratnya di palang besi berdiameter sekitar empat sentimeter.

"Aku tidak memiliki waktu berolahraga sebelumnya. Ini pertama kalinya aku akan berolah raga di gym."

Jawaban Darla membuat Fabio penasaran dari mana Darla mendapatkan tubuh ideal seperti yang diidamkan para kaum hawa jika tidak memiliki waktu untuk berolahraga. Namun rasa penasaran itu Fabio simpan dalam dirinya.

"Baiklah, kau bisa melakukannya?" tanya Fabio sambil membandingkan ukuran tinggi tubuh Darla dengan palang besi di hadapannya. Palang besi itu berada sekitar satu meter dari atas kepala Darla.

"Yeah, aku hanya perlu melompat dan bergantung di besi itu, lalu melakukan gerakan seperti yang kau lakukan tadi. Sepertinya mudah." Percaya diri yang dimiliki Darla sering kali menjadikan dirinya terlihat sombong, seperti saat ini contohnya.

"Kalau begitu, silakan lakukan sekarang," tantang Fabio.

Tanpa pikir panjang Darla langsung mencoba melakukannya. Sayangnya lompatan Darla tidak cukup tinggi untuk dapat menjangkau palang besi. Beruntung kecekatan Fabio beraksi saat melihat Darla hampir terjatuh. Dia langsung memegang pinggang ramping Darla dan menahannya lebih tinggi. Seketika Darla berhasil menggenggam palang besi.

Fabio belum berniat melepaskan pegangan tangannya di pinggan Darla. Ia masih menahannya, sebab Darla benar-benar hanya bergantung tanpa melakukan gerakan naik-turun. "Angkat tubuhmu perlahan ke atas, eratkan peganganmu" tuntun Fabio.

'Sh*t, ini tak semudah yang kubayangkan', batin Darla.

"Aku sudah berusha!" ucap Darla terlihat seperti orang yang sedang menahan napas.

"Kau yakin bisa? Awalnya memang terasa berat, kau hanya perlu membiasakan dan mengerti tehniknya."

Darla masih mencoba mengangkat tubuhnya perlahan, namun karena pada dasarnya Darla belum pernah melakukan gerakan itu sama sekali, sehingga otomatis ia kesulitan.

"Arghh!" Darla kehilangan cengkraman tangannya pada palang besi. Dan akhrinya ia terjatuh, di tubuh Fabio.

Seperti ada aliran listrik statis yang merambat antara sorot mata Fabio yang menatap pupil Darla melalui sentuhan kedua tubbuh mereka. Kedua tangan Fabio penuh dengan tubuh Darla, membuat tatapan keduanya terjadi seketika.