webnovel

Kesatria Mawar

Gulzar Heer, awalnya adalah bayi terbuang yang ditemukan Farzam, panglima tertinggi pasukan Kerajaan Arion di Lembah Kematian. Dia memutuskan merawatnya dan menjadikan Gulzar Heer kesatria terkuat meskipun berjenis kelamin perempuan. Dari kecil, Gulzar Heer dididik dengan keras. Dia bahkan menguasai berbagai teknik berpedang sejak usia sepuluh tahun. Gulzar Heer berteman baik dengan Pangeran Fayruza yang bagaikan malaikat. Dia juga berkali-kali menyelamatkan nyawa Fayruza dari pembunuh bayaran kiriman Pangeran Ardavan. Pangeran pertama itu memang tega membunuh saudara-saudaranya demi kekuasaan. Didikan Farzam membuahkan hasil, Gulzar Heer benar-benar bersinar dan selalu berhasil memenangkan perang. Raja Faryzan sebenarnya ingin mewariskan tahta kepada Pangeran Fayruza yang merakyat, tapi adat turun temurun tidak bisa diubah. Pangeran Ardavan yang serakah dan haus darah harus dinobatkan sebagai putra mahkota. Namun, Pangeran Fayruza sebenarnya malah merasa lega karena dia diam-diam jatuh hati pada Gulzar Heer. Jika menjadi putra mahkota, dia tidak akan bisa menjadikan gadis pujaan hati wanita satu-satunya. Suatu hari, Atashanoush, raja dari Kerajaan Asytar menculik paksa putri kesayangan Raja Faryzan, Putri Arezha. Raja lalim ini terkenal suka mengumpulkan selir untuk disiksa. Perang pun pecah. Apakah Kerajaan Arion berhasil merebut kembali Putri Arezha? Bagaimana dengan kisah cinta Gulzar Heer dan Pangeran Fayruza? Rahasia besar apa yang menunggu Gulzar Heer di Kerajaan Asytar?

Puziyuuri · Fantasy
Not enough ratings
102 Chs

Bagian 17

Alun-alun kota telah ramai. Rakyat berdesak-desakan hendak menyaksikan hukuman mati pangeran keempat dan selir kelima. Beberapa dari mereka tak segan melempar tomat busuk, telur busuk, terompah, bahkan batu. Penjahat yang tega memfitnah Pangeran Fayruza tentu akan mendapat kemarahan dari rakyat, padahal ibu dan anak yang malang itu hanyalah kambing hitam Pangeran Ardavan.

“Matilah dasar penjahat!”

Telur busuk tepat mengenai punggung pangeran keempat, pecah meninggalkan jejak lendir berbau di baju lusuh. Selir kelima berusaha menghalau lemparan-lemparan berikutnya dari tubuh sang putra. Namun, dia langsung disergap para pengawal.

“Pergilah ke neraka!” Satu seruan penuh kebencian kembali dilontarkan.

Buuk!

Batu seukuran kepalan tangan menimpa kening pangeran keempat ketika menaiki tangga panggung pemancungan. Darah segar merembes menguarkan bau anyir. Pengawal mendorong kasar agar sang pangeran mempercepat langkah.

Meskipun ibunya terus histeris, pangeran keempat dapat dikatakan sangatlah tenang, bahkan terlalu tenang. Tak ada sepatah kata pun keluar dari bibirnya sejak fitnah dilayangkan. Dia seolah sudah mengira nasib buruk akan terjadi dan menerimanya dengan kerelaan hati. Lelaki tampan itu memejamkan mata sejenak seperti mengingat sesuatu.

“Ramalan wanita cantik itu benar-benar terjadi. Padahal, aku sudah sengaja menghindari kekuasaan, tetap saja kena getahnya. Ah, paling tidak aku sudah menikmati hidup ini dengan bebas,” gumamnya lirih dengan senyum tersungging di bibir.

Raja Faryzan menatap tajam pada putranya dengan tangan terkepal kuat. Lekukan tak proporsional terukir di sudut bibir Pangeran Ardavan yang merasa rencana jahatnya selalu lancar dan terkendali. Pangeran Fayruza hanya bisa menatap iba. Pangeran Heydar tak berhadir karena belum kembali dari mengejar pemuda mata-mata. Sementara itu, Gulzar Heer dan Farzam berdiri tegap bersama para kesatria lainnya, menatap nyalang ke segala penjuru, memastikan tidak akan ada kekacauan.

Putri Arezha menggemeletukkan gigi.

“Ck, satu lagi korban kebusukan Ardavan! Kenapa susah sekali membuktikan kejahatannya?” keluhnya dalam hati.

Pemuda mata-mata yang menjebak pangeran keempat tak dapat ditangkap oleh pihak istana. Padahal, Putri Arezha bisa membuktikan kejahatan Pangeran Ardavan dengan membaca ingatannya.

“Putraku tidak bersalah, Yang Mulia! Kami difitnah! Seseorang pasti merencakan ini untuk menjebak kami!”

Selir kelima terus menjerit histeris. Dia meronta saat sang putra dipaksa berlutut di panggung dan dipasangkan penutup kepala. Namun, tenaga perempuan yang tiap hari hanya bersolek tidaklah seberapa. Gerakannya langsung dikunci salah seorang pengawal sebelum diempas ke tanah dengan kasar.

“Tunggulah giliranmu!” bentak si pengawal. Dia sudah tidak menunjukkan lagi perghormatan kepada seorang selir.

Selir kelima hanya bisa terisak. Dia menutup mata dan menggigit bibir kuat-kuat ketika algojo memancung putranya. Rakyat bersorak melihat kepala yang menggelinding di lantai panggung penuh genangan darah.

“Bukankah ini sangat tidak adil? Kalian harus mati karena fitnah.” Bisikan di telinga membuat selir kelima tersentak.

Dia refleks membuka mata, mencoba mencari tahu siapa yang berbicara. Namun, nihil. Semua orang fokus ke arah panggung, hanya ada seekor kupu-kupu hitam hinggap di pangkuannya.

“Kupu-kupu inikah yang bicara? Sepertinya, aku sudah mulai gila ...,” gumamnya lirih.

“Tidak, kamu tidak gila, aku kupu-kupu hitam ini memang bicara padamu.”

Selir kelima terperanjat. Dia menatap tak percaya. Kini, kupu-kupu hitam hinggap di bahunya dan membisikkan nama dalang yang telah menjerumuskan mereka. Selir kelima menggemeletukkan gigi, juga menggigit bibir, hingga terasa asinnya darah. Api kebencian berkobar di matanya.

"Ardavan sialan! Tidak cukupkah dia menyogok pelayan untuk meracuni putra bungsuku yang cerdas? Kenapa putra sulungku yang bahkan menjauhi kekuasaan juga kena imbasnya? Dia harus mendapat ganjaran!" desisnya tajam.

“Jika kamu mau bekerja sama denganku, aku bisa membalaskan dendam kalian pada orang yang telah menyebarkan fitnah,” tawar si kupu-kupu yang terbang berputar-putar mengelilingi selir kelima.

“Iya, aku ingin balas dendam!”

Kupu-kupu hitam kembali berbisik. Selir kelima mengangguk. Sebilah belati dengan ukiran mawar hitam pada gagangnya tiba-tiba tergeletak di pangkuan. Jemari halus gemetar saat meraihnya. Namun, selir kelima berusaha keras memantapkan hati.

Srooot!

Darah menyembur. Ujung belati menembus dada. Para pengawal yang tadi fokus ke panggung langsung panik. Suasana berubah ricuh. Mereka bahkan tak menyadari belati misterius itu raib tanpa jejak.

“Terkutuk kau, Pangeran Ardavan! Kau akan membayar semua ini!” desis selir kelima sebelum mengembuskan napas terakhir dengan mata melotot.

***

Sembilan bulan berlalu tanpa terasa. Hukuman mati pangeran keempat sudah mulai terlupakan, tergantikan berita baru, pengangkatan Pangeran Ardavan sebagai putra mahkota. Kasus percobaan pembunuhan sekaligus fitnah tersebut seolah ditutup begitu saja, padahal, pemuda mata-mata bahkan belum berhasil ditangkap.

Putri Kheva menghela napas sambil mengelus perutnya yang semakin membuncit. Ada kebencian terbersit di hati mengingat ayah dari bayi dalam kandungan bukanlah lelaki yang diharapkan. Dendam kepada Shirin masih bercokol dalam benak. Oleh karena itu, dia sengaja berjalan-jalan di bagian timur istana agar bisa bertemu selir ketiga, ibu Pangeran Heydar.

Benar saja, selir ketiga tengah menikmati teh di taman istana bagian timur. Putri Kheva mendekat dan melakukan salam penghormatan. Selir ketiga tersentak, lalu balas melakukan salam penghormatan.

“Jika tidak keberatan, bolehkah saya menemani Anda minum teh?”pinta Putri Kheva dengan suara lembut nan memesona.

“Tentu saja, Yang Mulia Putri Mahkota.”

Putri Kheva duduk di hadapan selir ketiga. Pelayan menuangkan teh. Tak lama hingga kedua wanita itu larut dalam obrolan, sesekali terkekeh. Mereka tampak sangat akrab seolah telah mengenal lama.

“Ibu ternyata sangat menyenangkan," celetuk Putri Kheva mulai memasang perangkap.

Selir ketiga tersipu. “Ibu? Apa maksud, Yang Mulia Putri Mahkota?”

“Apa tidak boleh saya menyebut ibu? Semua istri Baginda Raja Faryzan adalah ibu bagi saya.”

Selir ketiga tiba-tiba meminta para pelayan menjauh. Dia berbisik ketika hanya tinggal berdua dengan Putri Kheva, “Anda benar-benar cantik dan anggun, Putri. Alangkah senangnya saya seandainya Heydar yang berhasil memenangkan kompetisi.”

Putri Kheva tersenyum simpul. “Sayangnya, Pangeran Heydar mengalah karena memang tidak ingin menikah dengan saya.”

“Apa?” Selir ketiga terperanjat. Dia hampir saja menumpahkan teh di meja.

Seringaian terukir samar di bibir Putri Kheva. “Iya, Ibu, Pangeran Heydar mencintai gadis lain, Shirin, pelayan Putri Arezha.”

Wajah selir ketiga menjadi merah padam. Dengkusan napas dan gemeletuk giginya terdengar samar.

“Apakah itu benar, Yang Mulia Putri Mahkota? Putraku tergila-gila pada si pelayan rendahan bahkan sampai mengalah di kompetisi berpedang?”

Putri Kheva mengangguk. Dia mulai menceritakan keanehan di kompetisi berpedang. Bagaimana kemampuan Pangeran Heydar yang sangat cemerlang di babak penyisihan berubah menjadi tampak bodoh di babak final.

“Anakku sampai berbuat segila itu, pasti si pelayan rendahan menggunakan ramuan sihir! Bukankah dia seorang pengendali manna air?” Selir ketiga mulai panik.

“Entahlah, Ibu.”

“Keterlaluan! Aku akan membereskan gadis murahan itu!” seru selir ketiga geram.

Lekukan tak proporsional terukir di sudut bibir Putri Kheva.

***