webnovel

Menciumnya..?

Hai, aku cuma mau bilangin kalian satu hal. Kalau baca Keep The Marriage, usahakan untuk selalu menyiapkan hati dan atur suasana hati! Karena novel ini mengandung unsur sesak saat membacanya, terimakasih.

//

Pagi ini jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi dan Zulfa pun selesai menyiapkan beberapa menu sarapan untuk Farel, tentu saja di bantu oleh Bi Ijah. Sebenarnya ia bisa saja kerja sendiri, tapi kasihan nanti Bi Ijah katanya tidak memiliki kerjaan lagi. Takut nanti hanya bengong saja karena pekerjaan rumah sudah selesai. Ya paling hanya tinggal membersihkan area dapur saja setelah memasak untuk pagi ini.

"Tuan pulang jam berapa, Nyonya?"

Zulfa menoleh dan mendapati Bi Ijah yang sedang membersihkan area dapur dengan telaten, wanita paruh baya itu bertanya pada dirinya namun arah matanya masih fokus menatap meja dapur yang cukup kotor karena tadi secara tidak sengaja tepung terigu kesenggol, jadi sedikit berserakan.

Ia tersenyum kecil, mendapati kinerja Bi Ijah yang sangatlah rajin. Ternyata Farel sangat genius dalam hal memilih asisten rumah tangga, bukan pekerja yang menye-menye menyepelekan pekerjaan mereka. Namun pada detik selanjutnya, ia langsung tersenyum pahit, pasalnya ia sendiri pun tidak tau kemana perginya Farel dan bingung harus menjawab seperti apa pertanyaan tersebut

"Aku tidak tau, Bi." ucapnya pada akhirnya, dengan sebuah senyuman simpul. Sungguh ia tidak memiliki jawaban yang beralasan atau sampai berbohong pada orang lain. Kalau dirinya tidak tahu, ya pasti memang tidak tahu.

Bi Ijah yang sudah selesai membersihkan meja dapur dari tepung yang berserakan itu dan juga sudah mencuci tangan, akhirnya memilih untuk menghampiri Zulfa dan mengusap pelan pundak Nyonya rumahnya itu. "Bibi yakin seratus persen jika suatu saat nanti Tuan Farel akan menyadari seberapa berharganya Nyonya." ucapnya dengan nada keibuan yang menyeruak. Entah kenapa, wanita tua itu memang merasa sangat prihatin dengan takdir yang menimpa Nyonya rumahnya.

Mendengar ucapan itu membuat Zulfa tersenyum, lalu mempersilahkan Bi Ijah untuk duduk di kursi makan. Farel tidak akan pulang, seperti yang laki-laki itu ucapkan jika dia akan menemui kedua orang tua Rani. Sangat menyedihkan. Padahal, di ajak untuk datang ke rumah ibunya, Farel menolak sampai sebegitu emosinya.

Sungguh, apa terkadang menjalin pernikahan yang tidak sejalan memang terasa menyesakkan seperti ini? Bodohnya lagi, ia masih berinisiatif untuk masak berharap kalau sang suami pulang akan dengan senang hati memakan masakannya. Tapi untuk yang kesekian kalinya, tentu saja hal itu hanya angan-angan belaka.

"Kita makan berdua saja, Bi." ucap Zulfa sambil tersenyum samar, memutuskan untuk makan duluan saja. Ingin menunggu kedatangan Farel dan makan bersama dengan laki-laki itu pun rasanya sangat teramat mustahil, iya kan? Karena ia sudah duduk di kursi makan, tangannya segera mengambil nasi beserta lauk dan melahapnya dengan tidak selera.

Yang setiap saat dirinya bisa makan satu meja dengan Farel mencicipi makanannya adalah sebuah kemustahilan. Bayangkan saja jika dirinya satu meja, mengobrol berbagai macam topik, atau bahkan merencanakan holiday bersama. Bukan rasa senang yang menghangatkan hati saat membayangkan semua itu, tapi hanya rasa sakit karena secara tidak langsung tertampar kenyataan.

Bi Ijah yang sebenarnya sudah tau tentang permasalahan ini pun hanya menurut saja, ia sangat tau pasti Zulfa sedang bersedih hati. Ingin ikut campur pun bukan urusannya karena nanti pasti Farel akan mengancam untuk memecat dirinya, mencari pekerjaan di usianya ini sangat sulit jadi harus benar-benar menjalankannya. "Nyonya jika ingin menangis, jangan di tahan. Luapkan saja, jauh lebih menenangkan daripada harus menahan semuanya." ucapnya sambil duduk di kursi yang bersebrangan dengan Zulfa.

Nyonya rumah yang sangat baik hati dan tidak pernah memandang kasta karena notabenenya ia adalah seroang asisten rumah tangga, tapi bisa merasakan makan satu meja dengan sang istri dari Tuan rumah. Memang Zulfa itu sosok yang baik, namun belum bisa di pertemukan dengan takdir berisikan kebahagiaan.

Saat mendengar apa yang di ucapkan Bi Ijah, Zulfa langsung saja mendongakkan kepalanya menatap wanita paruh baya yang menatap ke arahnya dengan sorot mata kasihan, ah tatapannya begitu keibuan sekali. "Tidak perlu, Bi. Untuk apa menangisi hal yang sama sekali tidak penting?" tanyanya sambil mengulas sebuah senyuman yang sangat tipis, menghalau sesak.

Ucapan Zulfa itu hanyalah kalimat penenang untuk menetralisir rasa nyeri yang kini sudah bersarang di hatinya. Sungguh, ia ingin menangis saat ini juga tapi melihat kondisi pun ia sedang makan. Ah, tapi tidak enak sekali makan sambil menangis. Tunda dulu tangisannya, pikirkan hal-hal yang membuat ketenangan tersendiri.

Nanti kalau perutnya sudah sedikit terisi, baru deh boleh nangis. Karena menjalani kehidupan seperti ini sangat menguras tenaga, karena patah hati juga membutuhkan energi yang cukup. Benar?

"Bibi tau gak noda yang ada di gamis aku waktu itu?" tanya Zulfa yang berusaha mengalihkan topik pembicaraan. Ia mungkin membutuhkan waktu untuk mengistirahatkan kinerja otak yang sudah sangat lelah namun tidak ingin berhenti ini.

Bi Ijah yang ingin menyuapkan nasi ke dalam mulutnya langsung menundanya sebentar, melayangkan genggaman sendok di udara. "Iya bibi tau, kotor sekali. Nyonya habis apa memangnya?" jawabnya dengan heran. Soalnya entah mengapa ada noda di bawah gamis tersebut tapi berbau manis.

Zulfa terkekeh, entah kenapa ia menjadi teringat dengan sosok anak kecil yang sangat manis dan menggemaskan. "Ada anak kecil yang tidak sengaja menumpahkannya ke gamis ku." ucapnya menceritakan apa yang terjadi dengan pakaiannya. Ah anak kecil yang sangat manis...

Bi Ijah terheran melihat raut wajah Zulfa yang kini sudah mengulum senyumnya, dengan tangan yang mulai menyuapkan sesendok makanan ke dalam mulutnya, tadi sempat tertunda.

Hubungan mereka sudah seperti seorang ibu dan anaknya, tidak dapat dipungkiri jika dirinya sangat mengenal sosok Zulfa yang menyukai anak kecil. Bukan pedofil atau sebutan yang lainnya ya. Tapi oh c'mon siapa yang berani menolak tingkah lucu para anak kecil menggemaskan? Sosok yang belum memiliki segudang dosa --artiannya masih suci-- tanpa adanya beban masalah sedikitpun. Rasanya masa-masa seperti itu adalah keinginan para manusia dewasa yang merasa jika kehidupan yang saat kecil mereka idam-idamkan ternyata tidak seindah realita.

"Nyonya baik-baik saja?" tanya Bi Ijah sambil menuangkan air mineral ke dalam gelas milik Zulfa, kali saja Nyonya rumahnya itu sedang berhalusinasi.

"Tentu saja aku baik, Bi. Memangnya aku kenapa?"

"Habisnya Nyonya seperti sedang senyum-senyum sendiri seperti memikirkan sesuatu yang menyenangkan."

Zulfa terkekeh, lalu meminum air yang barusan di sediakan oleh Bi Ijah. "Anak kecil itu sangat lucu. Ah, aku ingin mempunyai seorang anak." ucapnya sambil menerawang hampa ke sembarang arah. Ia tidak ingin Bi Ijah terganggu dengan ucapannya ini.

"Kalau begitu, buat Tuan Farel jatuh cinta pada Nyonya dan hadirkan sosok kecil itu di rumah ini. Bibi yakin, hari kebahagiaan itu akan terjadi."

Bi Ijah tidak tahu seberapa bebalnya seorang Farel yang selalu mempertahankan Rani di dalam hidupnya. Dan ucapannya barusan mampu membuat Zulfa menahan napas karena sudah pasti hal itu sangat mustahil. Ia bahkan tidak pernah di sentuh sama sekali oleh Farel. Ah iya, jangankan di sentuh, di tatap berlama-lama saja laki-laki itu sangat enggan.

"Sulit, Bi. Menggenggam Mas Farel itu hanya membuat aku sakit. Seperti menggenggam sebuah mawar merah. Memang beruntung jika mendapatkan bunga yang sangat indah itu, namun terasa menyakitkan ketika jemari mengenai salah satu durinya." ucap Zulfa membalas usul Bi Ijah yang memang seperti hanya bermimpi lalu di hempasan sampai dasar bumi yang terdalam.

Zulfa menyudahi makannya dengan meneguk segelas air. "Aku mau ke depan dulu, Bi. Ngomongin soal mawar, aku lupa bunga di depan rumah belum aku siram. Bibi lanjutkan makannya loh." ucapnya sambil meraih segelas air mineral lalu di teguk olehnya. Menyudahi makanan dengan piring yang tentu saja sudah bersih dari nasi dan lauk, makan itu harus bersih.

"Iya, Nyonya nanti semua ini Bibi yang beresin piring kotornya dan menutup tudung sajinya."

Alibi, itu yang dilakukan Zulfa saat ini. Ia hanya ingin menghindar dari topik pembicaraan itu. Ia menganggukkan kepalanya, lalu berucap terimakasih. Ia memang menanam bunga mawar di halaman rumah ini, soalnya sangat cantik dan indah sih! Jadi ia tergiur untuk membelinya.

Zulfa sudah beranjak dari duduknya, lalu mulai melangkahkan kaki ke arah pintu besar yang merupakan pintu utama akses keluar dan masuk.

"Aku sayang kamu, apapun keadaannya."

Deg

Zulfa segera menepikan tubuhnya di dekat jendela yang berada di kedua sisi pintu besar utama rumahnya. Ia melihat dengan hati-hati ke arah luar takut siapapun orang si luar sana menyadari kehadirannya, kebetulan memang kaca itu sedikit terbuka membuat dirinya bisa mendengar segala percakapan yang berasal dari seseorang di luar rumahnya itu.

Suara yang tidak asing, suara bariton yang selalu menegaskan pada dirinya kalau ia bukan siapa-siapa di dalam status pernikahan ini.

"Aku juga sayang kamu, aku sama sekali tidak ingin kehilangan kamu, sayang..."

Dan lagi, satu suara gadis, sangat di kenali oleh dirinya sejak awal pertemuan yang sangatlah tidak menyenangkan pada malam itu.

Sudah dapat di pastikan jika kini dada Zulfa terasa sesak, namun air mata tidak kunjung menampakan wujudnya. Percayalah napasnya kini terasa sangat tercekat, seolah-olah sudah terlalu merasa sakit yang sangat dalam. Apalagi, kini kedua sosok tersebut terlihat jelas di mata kepalanya saat ini.

Diluar sana terlihat dua orang yang sangat di kenali oleh Zulfa. Dua orang yang tidak pernah peduli akan hadir dirinya, dan dua orang yang masih berjalan tenang di benang tipis pernikahannya dengan laki-laki tersebut.

Satu pemandangan yang lebih membuat kedua kaki Zulfa terasa melemas, ia tidak pernah berpikir akan melihat kejadian seperti ini. Dan ya, terlihat Farel sedang mencium mesra bibir mungil milik Rani. Dunia Zulfa, hancur seketika.

Di saat kita membangun sebuah harapan untuk seseorang, di saat itu juga takdir menampar keras untuk menyadarkan diri kembali ke dunia nyata. Tidak semua harapan bisa terwujud, bahkan kecewa pun sudah sering menjadi upah karena terlalu menaruh harapan pada seseorang.

Iya, rasa kecewa itu yang Zulfa rasakan.

...

Next chapter

Next chapter