webnovel

Kangen - Ku Akan Datang (Bag. 3)

Perjalanan pesawat selama dua belas jam, dimanfaatkan mereka untuk beristirahat dengan baik. Setiba di airport New Mexico, mereka langsung memesan taksi menuju hotel di kota Farmington. Prayoga mem-booking dua kamar untuk mereka bertiga. Satu kamar untuk dirinya sendiri dan untuk meletakkan semua carrier bag yang berisi peralatan dan perlengkapan mendaki dan satu kamar yang lain untuk Bisma dan Rangga.

Sebagai tim ofisial pendakian, Rangga ingin melakukan survey lokasi dan mempersiapkan latihan. Ia segera mendatangi meja resepsionis untuk mem-booking transportasi ke lokasi keesokan harinya. Sementar Bisma segera membongkar carrier bag di kamar Prayoga dan mengelompokkan peralatan dan perlengkapan ke dalam tas yang akan dipakai Prayoga saat mendaki.

"Abang mo langsung pakai wing suit saat mendaki?" tanya Bisma.

Prayoga yang sedang duduk di ranjang sambil membuka peta negara yang didatangi itu, menoleh ke arah Bisma. Tiba-tiba pintu kamar diketuk dan Rangga masuk ke dalam.

"Kata Dewan Nasional Panjat Tebing Amerika Serikat, jalur tebing Shiprock yang Abang akan daki itu belum pernah dilalui oleh siapa pun," kata Rangga.

"Ehm ... kalo gitu, besok aku mesti survey dan langsung skedul latihan pemanjatan aja," kata Prayoga sambil memandang Rangga. Kemudian lalu lanjut katanya, "Biar bisa langsung mastiin apa langsung pakai wing suit atau gak waktu eksebisinya."

Rangga menganggukkan kepala mendengarkan. Lalu, duduk berjongkok di lantai memerhatikan peralatan dan perlengkapan yang sedang dipersiapkan Bisma.

"Kalo gitu, aku tetap sediain aja wing suit ya, Bang?" tanya Bisma.

Prayoga mengangguk. Segera setelah mereka menyelesaikan persiapan pendakian, Prayoga mengajak Rangga dan Bisma untuk menuju restoran hotel. Malam mereka nikmati dengan bersantai.

Rangga dan Bisma menyempatkan diri untuk berjalan-jalan di keramaian kota. Sementaa Prayoga memilih untuk menghubungi istrinya guna mengabarkan bahwa mereka telah tiba dan sedang beristirahat di hotel.

"Duh, aku udah kangen lho. Baru juga sehari."

Di ujung sambungan telepon, suara Paramitha terdengar manja. Prayoga tersenyum sambil mencibir.

"Heleh, waktu di rumah, kamu kayak gak bakal kangen," tukas Prayoga kemudian.

Paramitha terkikih mendengar kata-kata itu.

"Hihihi ... aku kan bantu kamu beres-beres? Lagian ada Rangga dan Bisma."

Suara seloroh Paramitha yang menggoda, membuat Prayoga ikut tertawa. Sayup dari ujung sambungan telepon, terdengar lirik lagu berjudul Kangen yang diputar dengan tape recorder oleh Paramitha.

"Kau bertanya padaku kapan aku akan kembali lagi. Katamu kau tak kuasa melawan gejolak di dalam dada. Yang membara menahan rasa pertemuan kita nanti. Saat kau ada di sisiku."

Sambil lamat mendengarkan lagu itu, Prayoga tersenyum sendiri. Kepala yang bersandar ke lengan sambil memandang ke langit-langit kamar tiba-tiba bergerak ke kanan kiri. Sepertinya Prayoga sedang mencari sesuatu di kamar. Terdiam sesaat melihat sesuatu, ia langsung memberi tahu.

"Eh, abis pendakian, kita makan ke luar ya."

Prayoga melirik kalender yang terpasang di meja kamar hotel. Lalu katanya sambil menghitung dengan jari, "Di sini semua lancar, aku akan kembali sebelum ultah kamu."

"Asek, asek. Makan malam sama Sayang. Asek."

Prayoga terlihat senang karena suara Paramitha terdengar begitu gembira. Ia tersenyum lebar sambil memegang telepon.

"Terus kamu udah makan?" tanya Paramitha kemudian.

"Udah. Abis makan malam tadi, Rangga ama Bisma minta ijin ke luar jalan-jalan. Kesuksesanku mendaki kan ditentukan oleh kesiapan Rangga dan Bisma juga. Ya, kasih aja mereka untuk nyante dulu."

Paramitha yang mendengar itu dari ujung sambungan telepon, tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepala.

"Aku ya mesti siapin untuk survey lokasi besok makanya di kamar aja sambil nelpon. Kalo bisa sih, besok maunya sekalian latihan rute yang mo dilewati."

Prayoga berbicara lagi sambil menegakkan tubuh dari tiduran. Ia berjalan ke arah jendela. Di situ ia melongokkan kepala ke luar. Dari kamar yang terletak di lantai tiga bangunan hotel, jalanan kota Farmington terlihat masih ramai. Sebuah cafe live music yang berada di seberang hotel, menjadi tujuan Rangga dan Bisma malam itu.

"Sukses ya Sayang. Istirahat aja dulu kalo masih capek biar besok pagi bangun. Kan biar segeran badannya," ucap Paramitha pelan.

"Nih nelpon kamu juga sambil istirahat kog. Yang namanya Paramitha itu, mudah ngambek kalo lagi kangen. Jadi nelpon dulu biar dia gak ngambek," seloroh Prayoga.

"Dih, awas ya," ucap Paramitha seolah-olah marah.

Kata-kata itu ditimpali dengan tawa oleh Prayoga. Paramitha sendiri pun akhirnya tertawa. Pembicaraan pasangan pendaki itu beralih ke jalur yang akan dilalui. Mendengar pemberitahuan Rangga tentang informasi dari Dewan Nasional Panjat Tebing Amerika Serikat bahwa jalur tebing Shiprock yang dipilih belum pernah dilewati pendaki lain, Prayoga terdengar bersemangat menjelaskan rencananya ke Paramitha.

Sang istri menimpali dengan mengingatkan situasi tebing. Ia menanyakan cara sang suami untuk mengatasi kekerasan karang saat akan dipakukan untuk mengaitkan karamantel. Ya, Prayoga dan Paramitha telah berpengalaman dalam mendaki tebing. Beruntung bagi Prayoga ditanya begitu sehingga ia segera beringsut turun dari tempat tidur.

Sambil mencari di antara peralatan dan perlengkapan yang sudah disiapkan Bisma, kata Prayoga, "Besok ini nih yang aku paling butuhkan hammer untuk mendaki. Kalo gak pake ini, gimana mo memakukan piton?"

---

Pagi-pagi, Prayoga dan kedua orang tim ofisialnya mengemas semua carrier bag yang dibawa turun ke ruang lobby. Petugas hotel yang berjaga di meja front office pun, seperti sudah terbiasa dengan tamu yang akan mendaki Shiprock. Dengan sigap menjelaskan layanan transportasi untuk antar jemput, yang berasal dari kendaraan hotel.

"The shuttle car will pick you all up back to the hotel after the climbing."

Sambil membentangkan sebuah peta di meja depan Prayoga, Rangga dan Bisma, petugas front office itu memberi tahu pelayanan yang dilakukan hotel untuk para tamu. Dijelaskan jarak dan lama perjalanan, serta kemungkinan alam yang biasanya mengganggu.

Tampak Prayoga pun meminta penjelasan mengenai palayanan kecelakaan dalam perjalanan. Si petugas front office yang tidak berusaha menutup-nutupi berbagai kemungkinan buruk yang akan dihadapi, memberi tahu tanggung jawab hotel. Sepertinya, hotel itu telah terbiasa melakukan tur para pendaki.

"For the hotel residences only, we offer special price of shuttle transport," katanya sambil tersenyum.

"Perfect!"

Puas dengan penjelasan dan sikap si petugas front office, Prayoga mengacungkan jempol. Lalu sambil mengeluarkan dompet dan mengambil kartu kredit dari dalamnya, ia meminta petugas hotel di front office itu untuk mem-booking kedua room yang telah ditinggali semalam sekembali dari pendakian. Tak lama kemudian, sebuah mobil angkutan untuk medan off-road, berhenti di depan beranda hotel. Rangga dan Bisma segera membantu sopirnya mengepak semua carrier bag ke dalam kendaraan itu.

Perjalanan dari kota Farmington cukup melelahkan. Medan yang sukar melewati dataran tinggi berpadang pasir, membuat penumpangnya tidak dapat duduk dengan tenang. Prayoga dan Rangga yang banyak berbincang-bincang dengan si sopir. Sementara Bisma hanya diam sambil menikmati pemandangan berbagai tebing yang menjulang.

---

Bersambung