webnovel

Sebatas Halu

Zio membuka pintu kamar Tiara dan melihatnya yang sedang duduk ditepi ranjang.

"Apa kamu tidak merasa bosan, seharian hanya berada di dalam kamar?" tanya Zio.

"Jangan pedulikan aku, urusi saja urusanmu sendiri dan hiduplah dengan bahagia sesuai keinginanmu," jawab Tiara tanpa menoleh sedikit pun ke arah Zio.

"Apa kamu tidak ingin pergi dari rumah yang seperti neraka ini?" tanya Zio lebih lanjut.

Tiara langsung menghampiri Zio karena pertanyaannya sangat menjengkelkan, dia melihat mata Zio tersirat kesedihan yang terpancar dari mata adik satu-satunya itu.

"Kamu punya pilihan sedangkan aku tidak! Selesaikan saja sekolahmu dan jangan pedulikan aku!"

Ucapan Tiara berbanding terbalik dengan tatapan tajamnya, Tiara merasakan kepedihan yang tidak bisa diungkapkan. Ingin rasanya dia memeluk dan saling menumpahkan kesedihan, tapi dia berjanji untuk menjadi orang kuat yang tidak ingin menunjukkan air matanya di depan siapapun.

"Tidak bisakah bersikap lembut pada adikmu satu-satunya? Aku masih belum pantas untuk bersikap ataupun berpikir dewasa. Aku masih butuh bimbingan!" ucap Zio dengan nada menyedihkan.

"Keadaan yang membuatku bersikap dan berpikir seperti itu. Apa kamu pikir aku menyukainya? Hah!" ucap Tiara meninggikan suaranya.

"Aku pergi, jaga dirimu baik-baik," pesan Zio.

Zio memilih untuk tidak membalas ucapan Tiara karena jika di lanjutkan akan terjadi pertengkaran yang tidak berujung. Melihat Zio sudah keluar dari rumah, dengan cepat Tiara menutup pintu kamarnya dengan kencang. Suara itu terdengar oleh Zio, pandangan matanya melihat pintu yang tertutup dan hanya melihat dengan tatapan kesedihan yang tidak bisa dicurahkan.

"Semoga hidupmu bahagia, kak," gumam Zio dan pergi berlalu.

Air mata yang di tahan Tiara keluar begitu saja, bagaimana bisa dia berkata demikian pada adik satu-satunya seharusnya dia mengatakan untuk saling mendukung satu sama lain bukan saling memikirkan diri sendiri. Sebenarnya Tiara juga membenci keadaannya, dia tidak bisa mengekspresikan apa yang dirasakannya, dia tidak bisa bercerita atau sekedar mengadu untuk hal yang di alaminya. Tidak ada. Bagi Tiara bercerita dengan orang lain sama saja dengan menyerah akan hari-harinya, untuk itu dia lebih memilih memendam atau mencurahkannya lewat tulisan di buku diary yang selalu setia menemaninya.

Bahkan sampai saat ini, Tiara masih belum mengetahui penyebab masalah kedua orangtuanya. Dia merasa selama ini kedua orang tuanya baik-baik saja, tidak mungkin penyebab rusaknya karena ada orang ketiga. Itu sangat tidak mungkin, untuk Tiara terus berpikir dan menduga hingga otaknya merasa berdenyut serta tidak mampu menemukan jawaban sendiri. Dia hanya berdoa agar keduanya selalu diberi kesehatan sampai kapanpun dan selalu diberi kebahagiaan meskipun dia sendiri sangat berharap kebahagiaan itu hadir ditengah-tengah mereka.

Sebuah dering notifikasi membuyarkan lamunan Tiara dan segera memeriksa pesan tersebut. Seketika senyum Tiara tercetak di bibirnya saat membaca pesan, tanpa menunggu waktu lama Tiara membalas pesan tersebut.

[Revan: Nggak apa-apa, cuma mau tau kabar aja. Nggak boleh nih?]

[Tiara: Ya ... bingung aja, tumben sms, haha.]

[Revan: Gimana kadonya? Suka nggak?]

[Tiara: Oh, iya. Lupa. Suka kok. Makasih ya.]

[Revan: Iya sama-sama. Eh, ternyata mata kamu coklat ya?]

Senyum Tiara tidak pudar sedikitpun dari wajahnya, jantungnya semakin berdetak dengan cepat meskipun tidak bertatapan langsung dengan Revan hanya membaca pesannya saja sudah membuat hatinya goyah. Detik berikutnya Tiara menggelengkan kepalanya, meyakini kalau ini adalah kesenangan belaka atau ilusi pikirannya saja.

"Apa-apaan sih gue, nggak mungkin lah dia suka sama gue," gumam Tiara.

"Lagi pula, gue masih sama Faza. Nggak mungkin 'kan gue berharap lebih begitu," gumamnya lagi.

Tiara menggelengkan kepalanya menggelengkan kepalanya untuk membuang semua pikiran halusinasi dan harapan yang tidak mendasar.

"Come back to the real," ucapnya dengan yakin.

Tiara langsung menyudahi aktivitas berbalas pesannya dengan Revan, dia tidak mau terlarut akan perasaannya, dia lebih memilih memejamkan matanya dan beristirahat sejenak dari lelahnya pikiran.

Revan tengah bingung karena tidak lagi mendapat balasan dari Tiara, kakinya digoyang-goyangkan seperti sedang gemetaran.

"Pesan gue kok nggak di balas lagi ya," gumam Revan.

"Apa dia marah, tapi kenapa? Gue cuma bilang kalau matanya tuh bagus, masa iya dia marah," tambahnya.

Revan mengacak rambutnya frustasi dan mengingat semua kejadian bersama Tiara di pagi harinya, hingga senyum tercetak jelas di bibirnya.

Waktu terus berputar, langit cerah telah berganti senja. Bulan telah siap menggantikan tugas matahari yang satu hari setia dengan kuatnya menyinari bumi. Kelip cahaya bintang mulai terlihat, saling mengedip satu sama lain.

Tiara masih setia memejamkan matanya dan tidak berniat untuk bangun meskipun telinganya mendengar suara kendaraan berhenti di luar rumah. Semua anggota tubuhnya malas untuk digerakkan, bergeser satu senti pun tidak ingin dilakukannya.

Tok

Tok

Tok

"Tiara," panggil Bagas.

Tidak ada jawaban Bagas langsung berkata, "Kamu sudah makan belum? Ayah beli ayam bakar!"

Merasa diabaikan, Bagas langsung menyantap makanan yang dibawanya sendirian, tentu saja dia membeli dua bungkus. Meskipun kemarin anak dan ayah tengah bertengkar hebat, tapi kewajiban memberi makan tidak dilupakan oleh Bagas. Mendengar kata ayam bakar, mata Tiara terbuka tanpa paksaan. Kerongkongannya sudah bisa merasakan rasanya ayam bakar, bahkan salivanya ditelan berkali-kali karena sudah tergiur dengan kata ayam bakar. Otaknya menyuruh untuk segera menyantap ayam bakar tersebut, tapi raganya enggan berkata demikian, posisi Tiara masih memeluk guling dan belum berpindah sama sekali.

"Ayamnya ada di dalam tudung saji, kalau mau makan habiskan saja jangan ada sisa agar tidak ada semut!" titah Bagas dari luar pintu.

Bagas langsung masuk ke dalam kamarnya dan membersihkan diri. Telinga Tiara menangkap suara pintu ditutup, dengan hati-hati dia bangun dan turun dari ranjangnya. Kepalanya muncul di celah-celah pintu yang dibukanya sedikit, pandangannya diedarkan untuk melihat situasi seperti akan mencuri sesuatu. Setelah mengucap aman dalam hati, Tiara melangkah keluar dan menuju dapur. Tiara langsung melahap ayam bakar kesukaannya. Saat memasukan suapan pertama, tiba-tibanya pandangan matanya sulit untuk melihat dengan jelas. Bahkan air yang ada didalam hidung seperti ingin keluar sementara dia sedang tidak makan makanan pedas. Detik berikutnya suapannya dirasa malas oleh Tiara, entah lah apa yang sedang dipikirkannya, yang pasti saat ini dia hanya ingin sosok mama ada di depannya.

Jantungnya berdetak cepat kala mengingat momen-momen yang terindah besama Rani, sang mama tercinta. Tiara mengembuskan napasnya dengan kasar dan menyudahi makanannya, masih bisa di lihat dia hanya makan setengah porsi serta ayamnya pun masih sisa banyak.

"Malas banget gue," gumam Tiara.

"Gue buang atau gue simpan ya. Sayang banget ayamnya," tambah Tiara melihat dengan iba.

Akhirnya Tiara memutuskan untuk membuang nasi yang tersisa dan melahap ayamnya saja.