webnovel

Pengakuan

Mobil yang dikendarai oleh Gavin kini telah sampai di tempat tujuan, yaitu rumah sakit Harapan Bunda tempat Rivaldi di rawat. Jovanca turun dari mobil Gavin dengan gerakan cepat, meninggalkan Gavin sendirian di mobil. Dia masih tidak percaya dengan pesan DM yang dikirim oleh Veronika beberapa saat lalu sebelum mendengarnya secara langsung dari mulut Rivaldi.

Kedua kaki jenjang Jovanca menyusuri lorong rumah sakit cepat, seperti kendaraan yang tidak ada rem. Bahkan sesekali Jovanca menabrak orang yang sedang berjalan pula di lorong tersebut. Beberapa orang memperhatikan sikap aneh Jovanca dengan tatapan sinis, mereka mengira Jovanca seperti orang stres yang baru saja keluar dari rumah sakit jiwa.

Sesampainya di depan ruang rawat Rivaldi, tangan Jovanca bergerak untuk mengetuk pintu ruang rawat tersebut beberapa kali. Tapi tidak ada sahutan sedikitpun dari orang di dalam. Jovanca berpikir, apakah Rivaldi sudah pulang terlebih dari rumah sakit bersama Veronika dan Arina? Jadi, ada kemungkinan bahwa Rivaldi mengalami amnesia itu memang benar.

"Sus, maaf. Kalau pasien yang waktu itu di rawat di ruang rawat ini ke mana ya, sus? Saya mau jemput tapi kok gak ada?" tanya Jovanca kepada salah satu suster perempuan yang kebetulan sedang lewat.

"Oh, itu tadi pasiennya sudah pulang mba," jawab suster perempuan tersebut ramah.

Benar dugaannya, tapi aneh seperti ada hal yang mengganjal di lubuk hati Jovanca yang terdalam. Jovanca merasa jika ada orang yang dengan sengaja membuat Rivaldi kecelakaan parah seperti beberapa minggu lalu, mungkin orang tersebut ingin membuat hubungan Rivaldi dan Jovanca hancur.

Jovanca tersenyum, kemudian berucap, "Oh, makasih sus kalau gitu."

Rumah Rivaldi, hanya itu yang ada di pikiran Jovanca saat ini. Gadis itu berlari kembali menuju parkiran mobil, di sana Gavin masih setia menunggunya. Tanpa mengucapkan apapun, Jovanca langsung memasuki mobil Gavin tanpa ijin. Sementara si empunya mobil masih santai memainkan ponselnya.

"Vin, sekarang ke rumah Rivaldi! Cepet!" titah Jovanca.

Gavin menoleh menatap Jovanca, kemudian mematikan ponselnya. "Hah? Ngapain?" tanyanya kebingungan.

"Udah deh jangan banyak tanya, intinya sekarang kamu ikutin apa perintah aku! Cepetan!" paksanya.

Sikap Jovanca benar-benar aneh, padahal dahulu dia adalah gadis yang penyabar dan tidak mudah marah. Tapi Gavin tidak mau ambil pusing, dia segera melajukan mobilnya meninggalkan area parkiran rumah sakit.

Hanya ada keheningan saja yang melanda Jovanca dan Gavin sepanjang perjalanan menuju rumah Rivaldi. Gavin fokus menyetir sedangkan Jovanca melamun. Tidak ada yang tahu sebenarnya pikiran Jovanca dihantui banyak ketakutan dan masalah.

"Kamu kenapa sih, Vanca? Aku lihat akhir-akhir ini sering banget melamun sama marah-marah, ada masalah ya?" tebak Gavin asal.

Tidak ada respon dari Jovanca, padahal dia mendengarkan pertanyaan yang dilontarkan Gavin. Hanya saja sangat malas untuk menjawab pertanyaan tidak penting itu. Gavin mengembuskan napasnya secara kasar karena tidak ada respon dari Jovanca, dia sudah sangat tahu bahwa sepupunya itu memiliki segudang masalah.

Akhirnya, kini Gavin dan Jovanca sampai di tempat tujuan mereka. Tanpa Jovanca sadari, ternyata Gavin tahu alamat Rivaldi. Padahal dia belum memberi tahu di mana sebenarnya alamat rumah Rivaldi. Sama seperti tadi, Jovanca turun langsung dari mobil meninggalkan Gavin sendirian.

"Pokoknya aku harus bisa denger langsung dari mulut Valdi, kalau dia memang amnesia," gumam Jovanca.

Kedua kaki Jovanca mulai melangkah menuju pekarangan rumah Rivaldi, tapi langkahnya terhenti saat dia mendengarkan pembicaraan Rivaldi dan Arina yang sedang duduk di ruang tamu rumah mewah bercat putih tersebut. Ternyata benar, Rivaldi mengalami amnesia.

Jovanca terduduk di dinginnya lantai halaman rumah Rivaldi, air mata mulai jatuh satu-persatu membasahi kedua pipi mulus Jovanca, sebenarnya Rivaldi sadar dengan kehadiran gadis malang itu, tapi sayangnya karena ingatan Rivaldi sedang tidak baik. Jadi, dia tidak peduli dengan sosok Jovanca yang sedang menangis.

"Gak! Aku gak boleh nangis! Aku bakal bantu Valdi supaya ingatan dia bisa pulih kayak dulu!" ucap Jovanca dengan penuh penekanan di setiap kata-katanya.

***

Berhari-hari Jovanca mengurung diri di kamar. Nafsu makannya berkurang dan menangis terus-menerus hanya karena masalah percintaannya tidak mulus. Arya, Sarah maupun Gavin sudah berupaya mencari cara agar bisa membuat Jovanca kembali ceria seperti semula, tapi tidak bisa. Gadis itu tidak mau membukakan pintu kamarnya, kecuali ada yang mengantar makanan.

Jovanca masih setia menunggu kedatangan Rivaldi ke rumahnya, bahkan dia sampai rela tidak masuk sekolah hanya untuk menunggu kedatangan Rivaldi, hal bodoh bukan? Padahal, jika dia memilih untuk sekolah. Maka semua masalah percintaan itu perlahan-lahan bisa terlupakan.

Sejak tahu bahwa Rivaldi mengalami amnesia, hati Jovanca benar-benar hancur. Harinya yang sekarang tidak seperti dulu, padahal kini dia sudah memiliki keluarga yang utuh seperti keinginannya dahulu.

"Bodoh! Kenapa sih, aku kayak gini?! Cemen banget!" Jovanca memukuli lantai kamarnya.

Namun, pergerakan Jovanca terhenti saat tiba-tiba saja Sarah mengetuk pintu kamarnya beberapa kali dan menyebutkan bahwa ada Rivaldi di bawah. Rasanya seperti mimpi, seulas senyuman tipis terbit di wajah cantik Jovanca.

Sarah mengetuk pintu kamar Jovanca beberapa kali. "Sayang, keluar yuk. Di bawah ada Valdi tuh," bujuknya.

"Iya bunda, bentar aku turun," jawabnya dengan berteriak.

Dengan semangat, Jovanca segera keluar dari kamarnya dan merubah ekspresi wajahnya menjadi lebih semangat lagi. Sebelum turun, Jovanca terlebih dahulu merapihkan rambutnya agar tidak acak-acakan. Setelah merasa siap, dia langsung keluar dari kamar tidurnya dan menuruni anak tangga satu persatu.

Sesampainya di penghujung tangga paling bawah, kedua manik mata Jovanca langsung tertuju kepada sosok Rivaldi yang sedang duduk di salah satu sofa yang ada di ruang tamu dengan wajah datarnya.

Jovanca menghampiri Rivaldi, kemudian duduk di sebelah lelaki itu. "Hai, kamu mau minum? Makan? Atau mau apa gitu?" tanyanya dengan wajah berseri.

"Enggak, aku ke sini cuma mau nanya aja. Apa bener kamu pacar aku selama ini? Soalnya aku lihat di foto ini, kita rayain anniversary bareng." Rivaldi menunjukkan sebuah foto, di mana dalam foto itu terdapat dirinya dan Jovanca sedang sama-sama tersenyum.

Miris, hati Jovanca terasa seperti diremas kuat. Saat mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Rivaldi. Tapi Jovanca yakin suatu saat nanti pasti Rivaldi masih bisa mengingatnya kembali. Jovanca pikir, tujuan Rivaldi datang ke mari untuk memberitahukannya bahwa dia hanya berpura-pura amnesia, tapi ternyata tidak.

Hati Jovanca terasa semakin hancur berkeping-keping, tanpa sadar cairan bening mulai jatuh satu-persatu membasahi kedua pipi mulusnya. Cepat-cepat Jovanca menghapus air matanya secara kasar.

"I-iya, bener kok aku itu pacar kamu," jawab Jovanca terbata.

Rivaldi tersenyum tipis, kemudian berucap, "Oke, aku cuma mau tanya itu doang. Makasih jawabannya kalau gitu aku permisi."

Jovanca menatap punggung Rivaldi yang semakin mengecil dengan tatapan sendu. Dia meyakinkan dirinya agar bisa membuat ingatan Rivaldi kembali pulih seperti semula.