webnovel

jawaban

"Iya pak Bagas akan saya pikirkan lagi dan akan segera saya kabari nanti. Kalau begitu saya ijin pamit pulang dulu ya Pak Bagas dan Pak Nugroho. Assalamualaikum," pamit Dzaky Salim pada dua orang paruh baya yang dia hormati.

"Waalaikumussalam," balas bersamaan.

Dzaky segera pulang ke rumah berjalan kaki namun di perempatan jalan langkahnya terhenti melihat Rara ada di tepi gang masuk rumahnya kepalanya celingukan ke kiri kanan seperti sedang melihat situasi.

"Dek, ngapain ada di sini?" tanya Dzaky.

"Eh M--Mas Dzaky boleh Rara minta tolong sama Mas Dzaky?" ucap Rara sedikit gugup.

"Ada apa Ra?" tanya Dzaky.

"Bisakah Mas Dzaky menolak permintaan Papaku untuk menikah denganku?" cemas Dzaky.

"Apa alasanku untuk menolak pernikahan ini, bisakah kau juga menolongku Ra?" tanya Dzaky.

Rara terdiam mencari ide.

"Bagaimana jika Mas Dzaky bilang sudah memiliki kekasih?" beber Rara.

"Ya aku memang sudah memiliki kekasih Ra, dan kami berencana akan menikah akhir tahun ini," ucap Dzaky (namun itu semua bohong) membuat Rara tercengang mendengarnya.

"Bukankah itu bisa dijadikan alasan, kenapa Mas Dzaky tidak melakukannya?" tanya Rara ketus mulai kesal pada Dzaky kenapa tak bilang dari awal untuk menolaknya.

"Karena hutang budi Ra, makanya aku masih berfikir. Keluargaku terlalu banyak berhutang budi pada almarhum kakekmu yang sudah banyak membantu hingga aku bisa jadi seperti ini, dan ketika ibuku sakit beliau juga yang menolong biaya pengobatannya dulu sehingga ibuku masih bisa bertahan hidup hingga sekarang."

Rara yang mendengarnya pun merasakan sesak seketika menyadari jika dirinya takkan bisa bebas dari perjodohan gila ini.

"Baiklah Mas Dzaky jika Mas Dzaky pun gak bisa menolaknya, terpaksa Rara yang akan menggagalkannya dengan cara Rara sendiri," sela Rara beranjak pergi meninggalkan Dzaky yang masih berdiri mematung di sudut jalan.

'Ya Allah mimpi apa aku kemarin kenapa tiba-tiba datang masalah pelik seperti ini,' gumam batin Dzaky segera melanjutkan langkahnya masuk ke dalam rumahnya.

Dzaky merasa kepulangannya ke Jogja tempo hari adalah sebuah keputusan yang salah, karena pada akhirnya di sinilah dia mendapatkan kembali setumpuk masalah.

"Bu, jika Dzaky menerimanya bagaimana dan jika menolaknya bagaimana?" tanya Dzaky menatap kosong pada jalan depan.

Hanifah yang sedang meletakkan sayur di meja terhenti seketika.

"Jika kamu menerima berarti harus siap konsekuensinya. Rara anak kota seperti apa dia pasti kamu sudah tahu dan lagi itu bentuk balas budi kita dengan keluarga besarnya. Kamu harus siap dengan segala sesuatu yang belum tentu kita ketahui nantinya," ucap Hanifah.

"Apabila kamu menolak pun itu juga hak kamu nak jadi jangan memaksakan diri, kamu juga punya masa depan sendiri. Bukankah kamu juga punya impian menikah dengan Annisa. Kejarlah mimpimu itu nak, menikah dengan wanita Sholehah impianmu itu," lanjut Hanifah.

"Biar Dzaky pikirkan matang-matang Bu agar tak ada sesal nantinya, minta doanya yang terbaik ya Bu," pinta Dzaky.

"Pasti nak, ayo buruan makan malam dulu nanti keburu sholat Isya datang," tegur Hanifah yang sedari tadi memberikan wejangan untuk anak lelakinya.

***

"Ada sesuatu yang mau aku omongin sama kamu," ucap Dzaky perlahan.

"Tentang apa ya Mas?" tanya Annisa penasaran.

"Bagaimana kelanjutan hubunganmu dengan Ilham?" Annisa terkejut mendengar pertanyaan dari Dzaky.

Annisa tak pernah mengatakan apapun pada orang lain selain Ammar apa dia yang telah membocorkan semua ini?

"Aku akan segera menikahi wanita lain Nis," ucap Dzaky membuat Annisa terperangah mendengar pengakuan dari Dzaky.

"Maafkan aku, aku mau menikahinya karena ingin membalas budi baik keluarganya pada keluargaku selama ini. Aku berharap kamu mengerti posisiku dan mau memaafkan aku," lanjutnya.

"Aku bukan anak kecil yang tidak faham posisimu Mas," ucap Annisa bohong jika dia tidak terluka tapi andai saja Dzaky sudah pergi Annisa pasti bakal menangisinya.

"Kapan pernikahannya akan berlangsung Mas? Apa aku juga kau undang juga?" tanya Annisa.

"Mungkin besok Sabtu dan aku akan langsung ke Jakarta tinggal di sana," balas Dzaky.

"Lantas kerjaan di Bali bagaimana Mas? Bukankah itu keinginanmu sejak lama?" ujar Annisa heran.

"Aku pindah ke Jakarta nantinya itu pun atas saran dari pak Bagas yang memang menginginkanku segera menikahi putrinya yang sedang hamil," ucap Dzaky.

Annisa menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan reflek karena mendengar ucapan Dzaky.

"Apa kamu yakin Mas dengan gadis yang akan kau nikahi itu?" tanya Annisa.

"InsyaAllah Nis, aku hanya ingin belajar ikhlas untuk apapun yang akan aku alami nantinya biarlah menjadi wadah amal buatku," balas Dzaky.

"Aamiin," gumam Annisa kenapa hatinya sesakit ini harus kehilangan orang yang sudah bertahun-tahun bersama hanya dalam hitungan detik dan alasan yang klise pernikahan kontrak.

"Hanya sampai anaknya lahir saja, setelahnya aku akan menceraikannya."

Annisa mengangkat kepalanya dan menatap Dzaky dengan lekat-lekat kemudian menggeleng perlahan.

"Tidak boleh begitu Mas, pernikahan bukanlah untuk dipermainkan, kita boleh bermimpi dengan A/B/C tapi tetap Allah yang mengaturnya, sabarlah, " ucap Annisa.

"Yuk balik aku gak mau ada orang salah paham dengan kita jalan berdua seperti ini," Annisa segera melangkahkan kakinya pergi meninggalkan pantai yang akan menjadi kenangan penuh luka nantinya.

Dzaky berjalan di belakang Annisa memandang sesosok yang akan selalu dia rindukan nanti.

"Aku antar pulang ya," tawar Dzaky.

"Gak usah takut timbul fitnah dengan kita jalan berdua seperti ini juga setan sudah sangat senang menyoraki kita di sini. Aku pulang ya, jaga istrimu kelak. Assalamualaikum," Annisa pamit pulang ke rumah.

"Waalaikumussalam," jawab Dzaky lirih.

"Kenapa dadaku terasa sesak sekali?" gumam Dzaky.

Dzaky berjalan pulang ke rumah namun di tengah jalan dia kembali melihat Rara yang sepertinya akan pergi.

"Rara," teriak Dzaky.

"Eh Mas Dzaky," balas Rara gugup.

"Mau ke mana kamu?" tanya Dzaky.

"Eh itu--itu aku mau ke rumah teman Mas, Mas Dzaky sendiri dari mana?" Rara balik bertanya untuk menutupi kegugupannya.

"Masuk Ra," perintah Dzaky menatap tajam pada Rara sehingga mau tidak mau Rara mengikuti perintah Dzaky.

"Loh ini kan jalan menuju rumah Mas?" ucap Rara mengamati setiap rute jalan yang dilalui.

"Iya aku akan mengantarmu pulang ke rumah. Kamu jangan macam-macam di sini Ra, jika kamu hilang atau tersesat bagaimana?" tanya Dzaky.

"Apa dirimu begitu perduli? Jangan sok perhatian deh sama saya, saya juga bukan siapa-siapanya Mas Dzaky. Jangan nasehatin Rara," cetus Rara.

Dzaky tetep diam, dia tak ingin membalas ucapan Rara memperpanjang rentetan kata.

"Sudah sampai turunlah," perintah Dzaky.

Dzaky membuka pintu mobilnya dan segera keluar. Rara pun dengan enggan turun dan masuk ke rumah Nugroho.

"Assalamu'alaikum," salam Dzaky.

"Waalaikumussalam," balas bersamaan.

"Eh nak Dzaky, masuk nak!" ucap Ratih istri Nugroho.

"Duduk dulu biar saya panggilkan bapak ya," Ratih segera masuk ke dalam memanggil Nugroho sedangkan Bagas dan Aeni saling memandang satu sama lain melihat Dzaky dan Rara semobil bersama.

"Maaf Om saya ke sini antar Rara tadi saya melihatnya di jalan sendirian dan juga mau memberikan jawaban atas permintaan Om Bagas tempo hari," ucap Dzaky semua orang memperhatikannya dengan raut wajah yang tegang.