webnovel

Wanita Impian

Terdengar suara ketukan dari sepatu yang beradu dengan lantai marmer, keadaan yang sunyi di dalam sebuah butik membuat suara langkah kaki itu terdengar. Hingga membuat si empunya butik yang sedang asik dengan layar laptopnya melihat ke asal suara.

Hingga langkah itu berhenti setelah menemukan seseorang yang dia cari. Kavin tersenyum memperlihatkan ketampanan yang selama ini menjadi pusat perhatian gadis-gadis. Apalagi Kavin pemilik dari Wijaya company, meskipun bukan pemilik seutuhnya. Karena perusahaan yang besar dan sangat berkembang di beberapa kota itu masih di pegang papinya, yaitu Mahendra Wijaya.

Kavin masih sepenuhnya dalam pengawasan Mahendra dan juga dalam perintah papinya itu. Dan yang membuat Kavin merasa aneh adalah Elena, maminya sendiri. Mahendra sangat percaya dan menurut pada istrinya itu, jika benar tidak masalah. Namun yang dilakukan Elena justru membuat Kavin sering merasa di anak tirikan.

Apalagi setelah Mahendra memberikan salah satu tempat untuk anak laki-laki satu-satunya, di dalam Wijaya company. Elena semakin seperti mengawasinya dan juga mengaturnya. Kavin juga mempunyai adik perempuan yang bernama Amora. Jika sikap Elena pada Kavin sangat tegas dan tidak mempunyai kasih sayang yang terpancar sedikit pun, maka dengan Amora Elena selalu menomor satukannya.

Kavin sudah merasa semua itu sejak duduk di bangku SMP. Bahkan setiap kata-kata manis yang keluar dari bibir Elena di depan Kavin, Kavin merasa ada yang tersembunyi dibaliknya. Entah lah kenapa hanya Kavin yang merasa itu semua, sementara orang lain menganggap dia adalah mami yang terbaik. Dan Mahendra sangat mencintai dia, dan semua keinginan dan pendapat dia selalu dipertimbangkan.

Termasuk ketika Kavin akan diberikan kekuasaan dalam Wijaya company secara seutuhnya, memegang jabatan CEO yang dia inginkan. Namun Elena malah mengatakan berbagai alasan hingga Mahendra lebih memilih mendengarkan alibi dari istri kesayangannya. Hingga jadi lah Kavin sangat masih berada di bawah perintah kedua orang tuanya itu. Tepatnya Elena.

*

*

Shintia beranjak dari tempat duduknya setelah menutup laptopnya. Dia melangkahkan kaki jenjangnya yang mengenakan rok kuncup di atas lutut dan high heels berwarna senada dengan kemeja putihnya.

Penampilan wanita itu selalu membuat Kavin terpukau, dia tidak pernah berhenti berimajinasi untuk mendapatkannya. Meskipun Shintia selalu mengatakan jika dia hanya menganggap Kavin sebagai temannya, mereka sudah berteman sejak masih kecil sekali. Bahkan Shintia selalu memperhatikan Kavin sejak kecil, mungkin karena itu lah Kavin jatuh cinta padanya. Dan sangat mengharapkan jika Shintia akan menjalani hidup bersamanya hingga maut menjemput.

"Ada apa, kok pagi-pagi sekali kemari?" tanya wanita yang lebih tua tiga tahun darinya.

"Aku mengganggu?"

Suara bariton itu terdengar canggung, sepertinya bukan karena menghadapi wanita di depannya. Namun karena perasaan hatinya yang sekarang berdegup kencang, dia menghela nafas untuk mengurangi ritme yang tidak beraturan di dalam dadanya.

Kavin sudah menyiapkan sesuatu dari balik kantong jas hitamnya, yang akan diberikannya pada Shintia hari ini. Setelah dia mengatakan sesuatu yang sudah tersimpan sejak kanak-kanak. Dan sebenarnya Kavin tidak berniat berterus terang sekarang, mungkin dalam jangka waktu beberapa tahun lagi. Entah kapan dia akan berani meminta hati dari sosok yang sangat sempurna di matanya.

Kalau bukan karena maminya, dia tidak mungkin ada di sini dengan keberanian yang belum sepenuhnya matang. Namun karena Elena, Kavin harus siap sekarang. Dan tinggal menunggu waktu Shintia akan mendengar semua apa yang selama ini tersimpan rapat dalam lubuk hatinya.

"Enggak, tapi aku dapat pesanan gaun pengantin. Jam sepuluh mereka mau datang ke sini buat di ukur, kayanya aku bakal sibuk Vin," papar Shintia.

Kavin melirik jam yang terpasang di pergelangan kirinya, yang menunjukkan pukul setengah sepuluh. Itu berarti Kavin masih mempunyai waktu setengah jam untuk bicara, Kavin ingin mengungkapkan perasaannya pada wanita yang telah memiliki hatinya. Bahkan nama dia sudah terpatri di dalam hatinya, yang Kavin yakini akan kekal selamanya di sana.

Kavin menatap wajah cantik di depannya. "Aku mau bicara sebentar saja, bisa!"

"Oke." Shintia melihat arloji di tangannya, guna memeriksa waktu.

Tiba-tiba Kavin meraih jemari lembut Shintia, spontan wanita itu tampak terkejut. Dia menatap laki-laki bertubuh atletis di depannya, Shintia mengira-ngira apa maksud dari perlakuan Kavin sekarang. Kavin menggenggam jemarinya dengan tatapan begitu intens pada Shintia, hingga Shintia dibuat bingung karenanya.

"Aku ingin melamar kamu untuk jadi istriku!"

"Hah ..." Shintia ternganga sebentar. "Vin aku nggak ngerti."

Shintia mendengar jelas suara Kavin dan dia bukannya tidak mengerti maksud dari itu semua. Namun yang tidak dia mengerti kenapa Kavin sampai bicara seperti itu, Kavin tidak memintanya untuk menjadi kekasihnya. Namun dia meminta Shintia untuk menjadi teman hidupnya, itu sungguh membuat Shintia terkejut.

"Aku ingin kamu menikah dengan ku, Shin."

Terlihat Kavin masih menggenggam jemari Shintia, lalu tangan sebelahnya dia angkat untuk meraih kantong jas yang ada pada bagian dada bidangnya. Hingga terlihat lah sebuah kotak berbentuk hati yang lalu dibukakan sang empunya.

Terlihat sebuah cincin mewah dan indah terpampang di sana, membuat siapa saja yang melihat benda itu pasti akan menyukainya. Namun perasaan di dalam hati Shintia malah berubah tidak karuan, dia melihat benda itu ditunjukkan kepada dia. Sepertinya Kavin ingin cincin itu berpindah menjadi milik wanita di depannya.

"Vin, pasti perasaan kamu ke aku itu tidak seperti itu. Coba kamu pikirkan lagi, pasti rasa itu cuma sebatas mengagumi saja. Iya kan, Vin."

"Bagaimana bisa kamu mengatakan seperti itu, untuk perasaan yang sudah lama ada di sini."

Kavin menyentuh dadanya tepat di mana bagian hati berada. Dia tampak bersungguh-sungguh. Namun gadis di depannya malah menggeleng.

Kavin bermimpi bisa membangun rumah tangga dengan Shintia, sejak kanak-kanak dia sudah memikirkan seperti itu bersamanya. Dan semakin lama semakin Kavin yakin dengan perasaannya, jadi itu bukan lah perasaan yang baru kemarin sore. Hanya Shintia lah wanita satu-satunya yang Kavin cintai di dunia ini.

"Mungkin ini mengejutkan bagi kamu, baiklah, aku akan memberi kamu waktu untuk menjawabnya."

Kavin menatap wanita di depannya yang masih bergeming. Wajahnya tampak penuh dengan tanda tanya dan kebingungan, sementara Kavin berusaha untuk mengerti itu. Meskipun dia merasa, seharusnya Shintia tahu perasaan Kavin selama ini.

Selama ini sikap Kavin yang benar-benar terbuka pada Shintia, meski dia tidak mengatakan perasaan cintanya itu. Namun dari cara Kavin memperhatikan Shintia, meluangkan waktunya untuk wanita itu, dan bagaimana tatapan dia saat melihat Shintia. Sudah dapat dilihat dan bisa dipastikan, jika Kavin memiliki cinta yang begitu besar untuknya.

Kavin melangkah pergi, dia ingin memberikan ruang untuk Shintia memikirkan ungkapan dari hatinya, yang baru saja dia katakan. Dia berharap Shintia berpikir jernih dan mengingat semua yang mereka lewati selama ini. Dan Kavin lah orang yang tepat untuk menerima cintanya, Kavin lah laki-laki yang paling mencintainya dan pasti akan memberikan dia kebahagiaan.

"Kavin!"

Namun terdengar suara wanita tinggi itu memanggil namanya, hingga membuat langkah Kavin yang tidak jauh darinya terhenti. Kavin tersenyum lebar, mengira jika Shintia menyadari semua itu begitu cepat.

Bersambung ....