17 Menjaga Yang Bukan Miliknya

"Eh ... kalian nggak pulang?" Tanya Susi yang baru saja menguap. Matanya udah berat, pengen tidur siang. Cuaca mendukung untuk bobok.

"Ini mau pulang bu," jawab Bayu yang di anggukki Susi. Bukannya dia ngusir tapi, kehidupan anak desa nggak kaya anak kota, pulang sekolah bisa leha-leha.

Anak kampung banyak tanggung jawab yang di emban, mulai dari ngutip karet, kopi atau teh, terus ngurus ladang. Semua itu di lakukan bukab karena keterpaksaan tapi gaya hidupnya emang begitu sejak turun temurun.

"Kami pulang bu, makasi ya makan siangnya! Enak kali!" Seru Bayu sambil mengacungkan jempol. Susi cuma melambaikan tangan aja, mata udah ketutup. Selanjutnya dia pun tertidur pulas.

Hening menatap kesal kedua temannya, "kalian nggak malu? Makan siang di tempatku tapi, seharian ini ngetawain aku."

Nur mengedikkan bahu, "yang malu itu kalo cewe tidurnya ngorok!"

Hening melotot lalu menggeplak pala Nur dengan pelan pakek sendok, "aku nggak ngorok. Percaya mana sama aku yang dari lahir jadi temanmu atau anak monyet itu yang baru kamu tau kemarin sore?!"

"Dia sih ... sebab aku tau dia jujur dan kami bohong! Hening ... Hening mau bohongin siapa? Kita udah temenan dari lahir, otomatis kenalnya itu kaya lagi bercermin. Dan kami paling tau kalo kamu bohong itu gimana, ya nggak Bay?"

Nur cari dukungan.

Bayu mengangguk, "iya ...." Dia melanjutkan, "udahlah, ngorok nggak dosa. Siapapun pasti pernah ngorok kalo lagi kecapek-an." Belanya, kasian liat Hening tersudut walau sebenarnya hati pengen ngakak.

Hening geleng, "kalo sampe dia sebarin rekaman itu kaya mana?" Gadia cantik itu takut Dimas mendengarnya, kalo orang lain sebenarnya Hening bodo amat.

"Alah ... macam Dimas peduli aja!" Sungut Bayu yang dapat sikutan dari Nur. Walau dia setuju dengan apa yang di katakan sahabatnya ini tapi, tetap nggak tega kalo liat muka Hening.

Bayu berdecak, "kita harus nyadarin dia kalo nggak sesat selamanya." Kesal Bayu.

Dia emosi sama Dimas yang masih ada hubungan saudara dengannya, bisa-bisanya segitu bencinya sama Hening. Sebagai laki-laki apa nggak bisa tahan emosi?

Tapi Bayu cuma bisa mendumal dalam hati aja, kalo labrak Dimas takut di gebukkin. Masa iya demi Hening babak belur? Nggak lah ....

Hening mendengus kasar, "terserah kalian mau bilang apa. Yang jelas aku masih akan berjuang, selagi masih bernapas kang Dimas tetap di perjuangkan!!!"

"Gila!" Kesal Bayu. Dia melangkah pergi meninggalkan Hening dan semangat empat lima yang nggak guna. Berjuang tu demi kemerdekaan, ini demi cinta sendirian!

Macam nggak ada kerjaan lain aja.

"Nanti sore ketemu di sungai jam enam!" Seru Nur sambil berlari menyusul Bayu. Hening mengangguk sambil mengacungkan jempol pada temannya itu. Walau kesel tetap akrab, mau marahan nggak punya teman lain buat cadangan.

Setelah kepergian dua temannya itu Hening langsung meramban pucuk labu yang mau di sayur ibunya buat makan malam nanti. Hening senang di ladang karena banyak tanaman yang bisa di petik, entah untuk di jual atau di makan sendiri.

Oh ... ya ..., Hening udah ganti baju. Ibunya bawa baju dari rumah buat dia pakek di ladang.

Hari ini sebenarnya banyak kali yang buat Hening kesal dan sedih tapi kalo udah di ladang dan beraktifvitas semuanya hilang tak bersisa. Dia menikmati waktunya dengan baik sambil bernyanyi riang.

Gitulah Hening, anaknya sederhana sebenarnya. Tapi ya gitu, kalo udah mabok cinta jadi gila. Sayangnya cintanya nggak terbalas.

"Nggak apa-apa nggak terbalas, toh ... mencintai nggak boleh pamrih! Sekarang mas Dimas nggak cinta sama aku tapi, siapa tau besok atau lusa jatuh cinta! Iya nggak? Kan rugi kalo aku berhenti sekarang! Cinta bertepuk sebelah tangan itu nggak enak, dan aku nggak akan buat mas Dimas ngerasain apa yang aku rasain." Monolognya seorang diri sambil memetik sayur.

Yang dengar cuma angin sama binatang-binatang kecil di sekitarannya yang udah pasti nggak paham apa yang di maksudnya.

"Pernah sekali ... aku pergi ... dari Jakarta ke Surabaya ... jugijak gijuk gijak gijuk ... kereta berangkat ....!" Hening nyanyo sambil getarin dadanya ala-ala penyanyi dangdut dengan keranjang yang di gendongnya di belakang.

"Jugijak gijuk gijak gijug ... hatiku gembira!" Riangnya nggak ada beban. Dia bernyanyi dengan suara keras nggak ada yang protes sebab ladang luas dan posisinya saat ini sedang jauh dari gubuk tempat ibunya sedang tidur.

Selesai metik semua sayur, Hening kembali ke gubuk. Meletakkan hasil taninya di dipan dengan perlahan setelah itu dia pergi membersihkan diri habis itu menjalankan tugas sebagai seorang muslim, sholat ashar.

Oh ... gara-gara ribut sama Dipta tadi dia melewarkan dzuhur. Emang gitu kalo ada setan, godaannya besar.

Habis sholat dia langsung manjat pokok jambu buat ngambilin buah itu untuk si Ratih, kutu buku yang cengengnya minta ampun. Bisa gitu nangis nggak bisa berhenti.

"Ibu mau!" Seru ibunya yang baru bangun.

Hening yang sedang meluk batang kayu untuk menompang dirinya langsung mengacungkan jempol, "oke! Buat bumbu rujak ya buk?!"

"Ok!" Seru Susi yang langsung turun dari dipan, masuk dalam gubuk buat ambil alat tempur dan bahan-bahan buat rujak. Nggak lupa dia metik nanas sama semangka kuning yang masih ada beberapa buah lagi di dalam gubuk.

Emang di tinggalin suaminya beberapa buat cuci mulut, yang lain udah di jual.

Ladang Hening lebarnya lebih dari satu hektar, maka itu banyak sayuran dan buah-buahan yang di tanam. Dan hebatnya, abahnya Hening bisa mengurusnya sendiri, kadang di bantu sama Hening dan ibunya tapi, bukan bantu yang berat-berat.

Cuma sekedarnya aja. Banyu nggak akan biarin istri sama anaknya capek ngurus ladang. Udahlah nggak bisa nyenengin ya jangan nyusahin, itu prinsipnya.

Maka itu Banyi hanya fokus di ladang, kalo sawah miliknya di garap orang. Dan kerjaan lainnya cuma jadi mandornya juragan Bramantyo, kakeknya Dipta.

Maka itu uangnya sebenarnya banyak tapi, dia dan istrinya udah sepakat menabungkan semua uang itu untuk masa depan Hening. Mereka ingin Hening sekolah di Luar Negri.

Karena hanya dengan ilmu mereka bisa tenang ninggalin anak semata wayang kulit jambu air itu.

Sedang asik mengulek bumbu rujak, Susi melihat suami dan adennya telah kembali. Tampak wajah pemuda tampan itu sangat kesal, dan suaminya tidak perduli.

"Anda harus belajar tentang perkebunan dan para pekerja yang bekerja di bawah anda. Seperti keinginan juragan." Kalimat itu yang bisa di dengar Susi saat keduanya udah berhenti di dekatnya lalu duduk.

Dipta mendengus kasar, "untuk apa aku tau semuanya kalo pada akhirnya bukan aku yang miliki? Kakek cuma mau aku jaga semua ini sementara waktu sampe pewaris sah-nya selesai sekolah!"

Banyu dan Susi saling pandang kemudian hanya bisa menghela napas pelan.

"Aden suka rujak?" Tanya Susi tiba-tiba. Dipta menggeleng pelan, nggak selera mau ngomong. Hatinya dongkol bukan main, kakeknya terlalu kejam, menurutnya.

"Hening mana bu?" Tanya Banyu. Dia menuang air dalam cangkir kayu lalu menenggaknya sampai tandas.

Dengan muncungnya Susi menunjuk pohon kayu. Bayu dan Dipta mengikuti arah muncung Susi.

Dipta cengok ngeliat Hening yang udah di pucuk pokok jambu.

Gadis gila ....

Bukan lagi kaya monyet tapi lebih kaya tarzan si Hening dimata Dipta.

"Anak itu ...." Bayu cuma bisa geleng-geleng kepala.

Dari tempatnya Hening melihat keberadaan ayahnya.

"Abah! Bantu Hening!" Teriaknya.

Banyu langsung menghampiri putrinya untuk mengambil kantong plastik yang berisi jambu air super manis.

Setelah abahnya nerima kantong plastik yang di julurkannya. Dengan secepat kilat dia turun dari pohon. Dipta lagi-lagi cengok melihat itu.

"Kenapa tidak pakai galah?"

"Hening senang metik langsung," ucapnya begitu udah berdiri sempurna depan abahnya. Banyu tersenyum lembut.

Mereka berjalan menuju gubuk, mata Hening beradu pandang dengan mata Dipta. Mereka saling membunuh dari tatapan.

"Bu, jambunya cuma cukup buat kita bertiga. Orang asing nggak boleh makan, kalo mau ya beli." Sindirnya.

avataravatar
Next chapter