18 Aku Yakin Dia Anak Pungut

Dipta tau kalo itu sindiran untuknya tapi dia bodo amat. Ngelayanin mulut dakjal Hening nggak ada habisnya. Lebih baik menikmati angin sepoi, ketek basahnya perlahan kering. Untung nggak burket macam bapak-bapak di kebun teh tadi.

Baunya keikut angin, Dipta hampir muntah pas aromanya semriwing di hidungnya. Untung bisa tahan napas, walau hampir mati nahannya sebab bapak itu betah kali memperkenalkan diri dengan jarak yang nggak terlalu jauh darinya.

Herannya pak Banyu nggak terganggu, mungkin udah kebal hidungnya.

"Jangan pelit jadi orang, ibu dan abah nggak pernah ajarin kamu kaya gitu." Susi mengingatkan putrinya.

Hening mengeluarkan enam buah jambu dari plastik, "satu orang dua. Kalo ibu mau kasi dia ..., ya kasi aja bagian dia. Hening mah ... ogah."

"Lo pikir gue serakus lo? Jambu busuk kaya gitu bukan selera gue." Ketus Dipta sambil melotot pada Hening. Bulu mata Dipta sangat lentik dan lebat, mirip kaya bulu gagak kalo kata orang jaman.

"Oh ... bagus-bagus cangkemmu itu!" Hening membelah jambunya lalu menunjuknya pada Dipta, "mana busuk?" Tanyanya. Kemudian dia melanjutkan, "nggak pernah sejarahnya buah yang tumbuh di ladang Hening Permata Hati busuk!"

Dipta pas dengar suara renyah jambu itu terbelah agak selera sama tu buah, apalagi keliatannya manis. Cocok kali di makan sore-sore gini tapi, tadi harus jaga gengsi.

"Udah ... jangan tengkar terus bisa? Pusing pala ibu dengarnya, coba semenit aja kalian akur, paling nggak pas depan makanan." Keluh Susi yang berhasil membuat Banyu terkikik geli.

Susi menatap jengah suaminya, "abah ini ... ibu ngeluh kok di ketawain? Lucu?" Kesalnya tapi tetap dengan suara yang lembut. Susi nggak bisa besar suara sama suami tercinta. Kadang Hening heran juga, ibunya kok cuma bisa teriak-teriak sama dia, sama abah nggak.

Sebelum Banyu menjawab istrinya, Hening lebih dulu menyahut, "makanya pulangkan dia tempat orangtuanya, jangan numpang sama kita."

Wajah Dipta berubah dingin, tatapannya buat Hening agak takut, "lo pikir gue mau tinggal di sini! Asal lo tau, gue muak dengan semua yang ada di sini." Setelah mengatakan itu dia pergi meninggalkan ladang.

Banyu menghembuskan napas dan membuangnya pelan, "lain kali jangan singgung orangtuanya ya nak? Itu sangat sensitif untuknya."

"Dia egois, nggak mau di singgung tapi nyinggung orang. Hening nggak suka sama kepribadiannya, nggak ada sopan santunnya sama orangtua. Macam anak nggak sekolah." Kesal gadis itu.

Banyu mengelus surai putrinya dengan sayang, "anggap saja dia memang tidak di didik dengan baik. Jadi Hening coba mengerti ya?"

Dia menatap ayahnya penuh pertanyaan, "apa dia anak pungut di keluarga juragan? Terkucil gitu?"

Susi yang tadinya terharu langsuny menghela napasnya dengan kasar, "selain itu apa nggak ada kemungkinan lain yanh bisa kamu pikirkan wahai anak baik budiiiii?" Geramnya.

Hening geleng, "nggak ada. Dan aku yakin dia memang anak pungut. Mungkin kaya di sinetron-sinetron bu, pas dia lahir mamaknya nggak sanggup bayar rumah sakit. Kebetulan ada jura--"

Susi mengibaskan tangannya, "nggak usah ngelantur. Cuci jambunya, habis ngerujak kita pulang. Udah petik sayur?"

Hening memutar bola matanya, "kalo ular udah matok."

Susi yang mendengar itu langsung menoleh kearah keranjang yang udah berisi sayuran segar hasil petikkan Hening. Susi cengegesan sementara Hening pergi ke mencuci jambu. Benar-benar cuma enam buah di cucinya, pas di tanya Susi yang lain mau di kemanain, mau di kasinya ke Ratih besok.

Dan Hening pun menceritakan apa yang terjadi di sekolah tadi. Termasuk kehadiran ayang embeb. Dia senyum-senyum kambeng pas nyeritainnya sama abah dan ibu.

Tanggepan abah senyum santai, kalo ibu apalagi kalo nggak merepet sambil nistain dia.

Ibunya paling nggak dukung dia sama Dimas bersatu. Bukan apa, Susi nggak mau mendukung mimpi yang nggak bakal terwujud, sia-sia.

**

Dipta heran pas sampe depan gubuk Hening ngeliat ada dua tukang tengah memasang papan sekat antara kamarnya dan gadis gila itu.

Banyu benar-benar merealisasikan niatnya yang ingin menyekat kamar agar lebih nyaman. Dengan pembatas papan kokoh seperti ini nggak mungkin terjadi kegaduhan lagi, semoga saja begitu.

Tukang yang melihat kehadiran Dipta mengangguk sopan. Pemuda itu masuk melengos mengambil alat mandi dan handuk. Dia juga sempat memeriksa tasnya, takut ada benda yang hilang.

Bisa-bisanya pak Banyu nggak mandorin, percaya amat sama orang. Ntar kalo rongsokkannya di curi, nangis. Ya ... Dipta menganggap harta benda yang ada di rumau Hening itu rongsokkan.

Kalo gadis itu bisa baca isi pikiran Dipta apa nggak ngamuk? Ya ngamuk lah, kiamat mau.

Setelah memastikan barangnya nggak ada yang hilang, segera dia menyimpan tasnya di sudut kamar dengan kancing sudsh tergembok. Dia emang nggak bawa barang berharga, tapi kalo di bandingin sama seisi gubuk ini, miliknya jauh lebih berharga.

Baju dan dalemannya bukan barang muraj, di jual bekas dengan harga murah sekejap mata juga habis. Di tambah lagi ponsel mata boba, auto sultan yang nyolong.

Dipta menganggap penghuni desa orang miskin, nggak tau aja dia kalo orang desa pasti punya tanah walau sepetak.

Males berlama-lama di gubuk itu, Dipta segera pergi kesungai. Hari masih terang dan dia bisa sedikit lama berenangnya. Tapi begitu sampe di sungai dia melihat ada segerombolan mahasiswa yang tengah mandi, menikmati air gunung asli.

Darimana Dipta tau mereka mahasiswa? Tentu dari almamater yang teronggok di atas batu.

Salah seorang gadis melihat keberadaannya yang baru tiba dengan gayung di tangan kiri berisi peralatan mandi juga handuk yang tersampir di bahu kanannya..

Handuk motif spiderman yang di belikan kakeknya pas menuju desa ini. Motif anak-anak, nggak banget sebenarnya. Tapi, apa boleh buat, nggak ada lain.

Gadis itu berseru ketika melihat Dipta, dan itu menarik perhatian Dimas yang tengah duduk bersama seorang gadis di pinggiran sungai.

Baru kali ini dia melihat Dipta.

"Dia bukan warga sini," ucapnya, membuat semua temanbya ber 'oh' ria. Pantes gayanya keren walau cuma pake kaos hitam dan celana selutut.

Dipta yang dasarnya emang ketus sama semua orang lantas memilih menjauh dari kerumunan itu dengan wajah nggak selo dan tanpa nyapa sama sekali.

"Sombong banget," ucap gadis yang tadinya melempar senyum termanisnya tapi di anggurin Dipta.

Dimas yang melihat itu langsung menyipitkan matanya, dia nggak suka kalo ada orang kota sombong yang datang ke kampungnya.

"Untung ganteng," ucap gadis yang tadi duduk sama Dimas. Pemuda itu langsung menatap gadis yang bakal jadi calon pacarnya itu dengan tajam.

"Jangan gara-gara bocah pedekatenya gagal bro." Johannes yang sedang berendam berteriak kencang, meledek Dimas. Dan berhasil, teman-temannya terbahak-bahak.

Gadis itu tersenyum kikuk lalu mengelus punggung tangan Dimas, "jangan salah paham. Wajar kali kali muji orang, itu bentuk kekaguman pada makhluk ciptaan Tuhan."

"Bagiku tidak wajar." Dimas memilih nyebur ke dalam sungai.

avataravatar
Next chapter