Zero Alpha yang Pertama

"Kami sangat berterimakasih. Berkat keberanian anak anda, anak saya akhirnya ditemukan." Ayah Adith segera menghampiri Ibu Alisya yang sedang memeluk erat anaknya yang terus menangis hebat sebelumnya. Ibu Adith tersenyum bangga sembari terus membelai rambut Alisya, untuk menenangkannya.

"Dia anak yang sangat berani. Kami tidak menyangka anak seumuran dia sama sekali tidak takut menghadapi puluhan anjing yang menyalak dan terus berusaha melindungi Adith." Ibu Adith menatap penuh kasih sayang kepada Alisya yang sesegukan dibalik pelukan ibunya. Adith muncul dibelakang ibunya, sembari memandangi Alisya dengan malu-malu.­­­­

"Kami tidak tahu harus bagaimana untuk bisa membalas apa yang sudah dilakukan oleh anak ibu …." Ayah Adith yang belum menyelesaikan ucapannya segera terhenti ketika melihat ibu Alisya menggeleng kuat.

"Jangan berkata seperti itu," ucap Ibu Alisya dengan cepat.

"Ali memang anak yang pemberani. Sejak dulu, dia sudah diajarkan oleh ayahnya untuk bisa melindungi dirinya. Kalian pasti berpikir apa yang sudah dia alami diumurnya yang masih 5 tahun sampai bisa menjadi anak yang sangat berani. Itu semua karena didikan ayahnya dan kakeknya yang sedikit jauh berbeda dengan anak-anak lain pada umumnya. Saya yang tahu alasan dibalik perlakuan mereka itu, hanya bisa memberikan dukungan sepenuhnya kepada dia," ucap ibu Alisya dengan logat bahasa Indonesia yang masih terpengaruh dengan logat Jepangnnya. Ibu Alisya terus menatap wajah Alisya yang masih saja menyembunyikan wajahnya, karena Adith terus saja menatap kearahnya.

"Ali? Apa dia anak laki-laki? Saya pikir dia anak perempuan." Ayah Adith terkejut mendengar ibu Alisya memanggil anaknya dengan nama pria, meski anaknya memang tampak memakai pakaian laki-laki. Tapi ayah Adith sangat yakin kalau anak itu adalah perempuan.

"Hahahaha … seperti yang saya bilang sebelumnya, dia didik sedikit jauh berbeda dengan anak-anak lainnya." Ibu Alisya tertawa melihat ayah Adith yang tak menyangka kalau anaknya akan dipanggil dengan nama yang diperuntukkan kepada anak laki-laki.

"Bukankan itu sangat kejam jika anak berusia lima tahun dan seorang perempuan … Auch!" Ayah Adith mendapat sikutan yang kuat dari istrinya.

Ibu Alisya hanya tertawa melihat tingkah suami istri yang tampak saling berdebat satu sama lainnya. Sedangkan Adith yang mengalami luka pada bagian kakinya dan sudah mendapatkan pengobatan, terus memandangi Alisya tanpa menghiraukan peracakapan kedua orang tuannya. Dia tidak menyangka, kalau anak yang saat ini sedang menangis dan bersembunyi dipelukan ibunya adalah anak yang sama dengan yang menyelamatkannya tadi.

Adith akhirnya menghampiri Alisya secara perlahan-lahan, lalu memegang tangan Alisya dengan sangat erat. Alisya yang kaget dengan sebuah tangan yang kecil dan hangat sudah menggenggam tangannya, segera menoleh. Mengetahui Adith yang memegang tangannya, membuat Alisya dengan cepat menarik tangannya karena terkejut.

Alisya yang terlalu kuat menarik tangannya, membuat keseimbangan Adith goyah dan menghantam tubuh ibu Alisya dan Alisya. Ibu Alisya yang semula tak memperhatikan apa yang terjadi pada keduanya segera melihat tangan Adith yang masih memegang erat tangan Alisya, sembari berdesis sakit karena kakinya yang terluka.

"Dithya … Dithya suka sama Ali yah?" tanya ibu Adith, sembari tertunduk menatap anaknya yang tidak ingin melepaskan tangannya, meski kakinya terasa sakit dan Alisya tampak berusaha melepaskan diri.

"Iya … Dithya suka sama kak Ali," ucapnya dengan tegas, tanpa menoleh kepada ibunya.

"Dithya … Kamu tidak boleh memaksa orang jika dia tidak suka." Ayahnya berusaha menarik Adith agar tidak bersikap kurang ajar. "Dia memang seperti itu. Jika dia sudah menyukai sesuatu, maka dia akan mengenggamnya erat dan takkan pernah melepaskannya," ucapnya lagi dengan ekspresi tidak enak kepada ibu Alisya, atas tingkah laku Adith.

"Umur Dithya, lima tahun?" tanya ibu Alisya pada Adith. Anak itu mengangguk cepat dengan polosnya, membuat ibu Alisya tersenyum sangat lebar.

"Kalau begitu, kalian adalah teman. Dithya mau kan, jadi teman Ali?" tanya ibu Alisya lagi sembari memegang pipi Adith dengan lembut.

"MAU!" jawabnya dengan sangat lantang. Ibu Adith dan Ayah Adith sangat terkejut melihat sikap anaknya tersebut. Adith adalah anak yang sangat tenang dan sedikit pendiam serta jarang menunjukkan keinginannya kepada orangtuanya, namun saat ini mereka melihat mata anak mereka sangat bersinar cerah ketika menatap kearah Alisya.

"Hahahaha … kamu anak yang sangat manis. Tante sangat yakin kalau kalian akan bisa menjadi teman yang sangat akrab. Tapi, kamu mungkin harus sedikit berusaha lebih keras untuk mendekati Ali, karena dia tidak memiliki banyak teman. Dia hanya memiliki satu orang teman bernama Karin, tapi keduanya sangat jarang sekali bertemu." Ibu Alisya bercerita sembari menatap Alisya yang sudah mulai tenang dan tidak lagi terisak-isak.

"Kenapa?" tanya Adith penasaran kenapa Alisya dan Karin, jarang untuk bertemu satu sama lainnya. Adith jadi terlihat sedikit kecewa, karena takut dia juga mungkin akan mengalami hal yang sama dengan Karin.

"Maaf … Apa kami bisa meminta beberapa keterangan dari kalian?" seorang polisi tiba-tiba saja datang menghampiri kedua orang tua Adith dan Ibu Alisya. Polisi itu membutuhkan keterangan mereka, selaku orang tua dari anaknya yang diculik dan yang menemukan Adith secara tak sengaja.

Ibu Alisya tersenyum lebar sembari membelai kepala Adith, karena tidak bisa menjawab pertanyaanya saat itu. Pada akhirnya, Adith melupakan apa yang sudah dia tanyakan dan perhatiannya terpusat kembali pada Alisya yang kini sudah berbalik menggenggam erat tangannya, saat kedua orang tua mereka tengah sibuk berbicara dengan polisi.

"Bagaimana kakimu?" tanya Ali masih mengkhawatirkan kaki Adith.

"Kakiku baik-baik saja. Bagaimana denganmu?" tanya Adith balik, karena khawatir saat sembelumnya melihat Alisya menangis jauh lebih kencang dari dirinya.

"Sekarang sudah baik-baik saja. Hiiiii .…" Alisya yang tersenyum sembari memamerkan giginya yang hampir terlihat sepenuhnya membuat Adith tertawa kecil.

Keduanya terus bermain dan bercanda sembari menunggu kedua orang tua mereka selesai memberikan keterangan. Adith yang semula masih merasa takut berhadapan dengan laki-laki dewasa, akhirnya ikut memberikan keterangan lebih lanjut kepada pihak kepolisian setelah dia ditemani oleh Alisya. Karena keduanya masih kecil, polisi hanya memberikan beberapa pertanyaan saja dan berharap bisa mendapatkan keterangan lebih lanjut dengan cerita Adith kepada kedua orangtuanya nanti.

"Apa kami bisa bertemu lagi nanti?" tanya Adith tak ingin berpisah dengan Alisya.

"Kalian baru pertamakali bertemu, tapi sudah tidak ingin berpisah seperti ini." Ayah Adith tertawa dengan tingkah anaknya yang tampak sangat sedih karena harus terpisah dari Alisya.

"Dithya … kamu nggak boleh gitu. Ali juga harus pulang ke rumah mereka dan istrahat," bujuk ibu Adith dengan suara lembut.

"Jangan khawatir, Ali yang akan pergi menemuimu." Alisya berkata dengan penuh keyakinan, hingga membuat kedua orang tua Adith dan ibunya membelalak kaget.

"hahahaha … Sepertinya, Ali juga sangat menyukaimu." Ibu Alisya membelai rambut anaknya dengan usapan kuat.

"Benar. Adith tidak perlu khawatir, karena kalian pasti akan bertemu kembali. Kalian sudah jadi teman kan sekarang?" tanya ibu Alisya pada Adith yang wajahnya kini terlihat ceria.

"Ung …." Jawab Adith dengan mengangguk kuat.

Setelah saling mengaitkan jari kelingking mereka, sebagai bentuk pernjanjian diantara mereka untuk dapat bertemu kembali, membuat keduanya akhirnya berpisah dengan perasaan legah. Adith dan Alisya yang kelelahan, tampak tertidur lelap dipangkuan ibunya masing-masing.

Adith dan Alisya, sudah sangat dekat satu sama lainnya. Mereka bahkan sering bermain bersama, setiap kali ibu Alisya menculiknya dari pantauan Ayahnya dan suaminya yang sangat ketat memberikan pelatihan pada Alisya. Meski Adith penasaran kenapa dia tidak bisa pergi mengunjungi Alisya, dia tetap merasa sangat senang begitu Alisya datang kerumahnya. Dirumah Adith, Alisya juga ikut bermain bersama seorang anak laki-laki lagi, yang merupakan anak dari sekertaris ayah Adith. Nama anak itu adalah Yogi.

"Cause you my Iron man, and I love you 3000" seru ketiga anak tersebut sembari menggerakkan robot tokoh pahlawan super yang mereka mainkan.

"Aku akan menjadi seorang Iron Man dan melindungi semua anak-anak di dunia!" seru Adith dengan lantang, sembari menunjukkan robotnya kepada Alisya dan Yogi.

"Kalau begitu, aku akan menjadi kapten America agar bisa melindungi kalian berdua." Yogi juga tak ingin kalah dan bangkit sembari berlagak seperti seorang kapten America.

"Aku ingin menjadi kekasihmu," ucap Alisya dengan suaranya yang cempreng, sembari menunjuk kearah wajah Adith. Yogi menatap Adith dengan bingung, karena tak paham dengan apa yang dimaksudkan oleh Alisya.

"Ali, kita lagi main rumah-rumahan. Aku memang jadi Iron Mannya, tapi kamu tidak bisa jadi kekasihku." Adith segera menolak dengan tatapan polosnya.

"Kamu bisa jadi Spider Man, Ali. Dia juga keren kan?" Yogi ingin menengahi mereka yang tampak mulai sedikit cekcok.

"Tapi aku suka sama Iron Man!" Alisya berdiri, sembari bertolak pinggang dihadapan Adith.

"Kalau begitu, kamu bisa jadi Iron Mannya dan aku yang akan menjadi Spider Man saja." Adith mencoba untuk mengalah dan memberikan robot Iron Mannya kepada Alisya.

"Tidak, aku tidak ingin menjadi Iron Man. Aku hanya ingin menjadi kekasih dari seorang Iron Man, karena aku yakin kalau kau yang akan menjadi Iron Mannya, maka akan terlihat sangat cocok dan tampan. Kamu bisa menggantikan Iron Man yang sekarang. Dia terlihat tua untuk di puja," ucapan Alisya segera membuat kedua orang tua Adith dan ibu Alisya tertawa terbahak-bahak.

"Aku hanya mau sama perempuan cantik." Adith berteriak dengan keras karena merasa Alisya adalah seorang laki-laki. Meskipun dia sangat menyayangi dan mengagumi Alisya, dia menolak dengan keras jika seorang pria menjadi kekasihnya.

"Aku akan menjadi perempuan yang cantik, saat besar nanti. Dan aku akan menikahimu meskipun kau menolakku," balas Alisya dengan suara yang tak kalah keras juga.

"Tapi, kau kan laki-laki. Jadi, takkan pernah bisa menjadi perempuan. Kau takkan bisa menjadi kekasihku," ucap Adith juga tak mau kalah.

"Eh … kenapa kalian jadi bertengkar sih?" Ibu Adith akhirnya datang untuk menengahi mereka. Yogi yang terus melihat pertengkaran kedua temannya, tidak tahu harus berbuat apa.

"A chan …." Suara lembut ibunya membuat Alisya menurunkan amarahnya dan memalingkan wajahnya dari Adith dengan penuh amarah.

"Ini nih Ma … masa Dithya mengatakan kalau aku tidak bisa menjadi seorang perempuan." Alisya tampak mengadu pada ibunya.

"Kamu kan memang bukan seorang perempuan!" bantah Adith dengan kesal.

"Tante, apa seorang laki-laki bisa menjadi kekasih Iron Man?" Yogi bertanya dengan polosnya kepada ibu Adith.

"Aku memang seorang perempuan, dasar bodoh!" Alisya semakin tidak bisa menahan emosinya dan berteriak pada keduanya dengan keras. Yogi tampak menahan tangisnya karena mendapatkan ledakkan amarah dari Alisya.

"Sudah … tenanglah. Kamu tidak perlu marah seperti itu kan?" ibu Alisya berusaha untuk menenangkan anaknya.

"Dithya … dia memang anak perempuan." Ibu Adith juga ikut membantu untuk menjelaskan.

"Mana mungkin seorang perempuan memakai baju laki-laki seperti yang kau kenakan dan bermain-main permainan anak laki-laki?" bantah Adith dengan penuh amarah juga, karena tak suka dengan Alisya yang terus menganggap dirinya seorang laki-laki.

"I-itu …." Alisya kehilangan kata-kata. Apa yang dikatakan oleh Adith tentang dirinya memanglah benar. Apa yang dia kenakan, serta sikapnya tidak mencerminkan kalau dirinya adalah seorang perempuan.

"Kamu tidak bisa menjawabnya kan?" Adith merasa menang pada perdebatan mereka.

Ibu Alisya tampak sangat sedih melihat anaknya tidak bisa memberikan penjelasan apapun. Melihat Alisya yang tertunduk dalam membuat hatinya sangat terluka. Alisya perlahan-lahan mengangkat wajahnya kemudian memandang wajah Adith dengan tatapan mata merah dan berkaca-kaca.

Adih tampak tertegun melihat wajah sedih Alisya. Dia tidak bermaksud untuk membuat hati Alisya tersakiti.

"Dithya no baka! (bodoh dalam bahasa Jepang)" Alisya berteriak sembari mendorong tubuh Adith dengan kuat.

"Kau akan menyesal suatu saat nanti." Alisya langsung melangkah pergi dari rumah Adith.

"Ali … Alisya!" panggil ibu Alisya, yang mengangguk pelan kepada ibu Adith untuk meminta izin, mengejar anaknya.

"Dithya! Kamu tahu kalau apa yang kamu katakan itu salah?" ibu Adith tampak meninggikan suaranya, memarahi Adith.

"Dithya nggak tahu. Mama hanya sayang sama Ali, Mama sudah tidak sayang pada Dithya lagi." Adith segera bangkit dan berlari menuju ke kamarnya.

"Dithya … Radithya!" ibu Adith memanggil Adith yang melarikan diri.

"Sudahlah … dia masih kecil. Dia belum bisa memahami apa yang sedang terjadi, biarkan dia tenang dulu." Ayah Adith segera menenangkan ibu Adith.

Yogi yang menyaksikan itu semua akhirnya meledak dalam tangis. Yogi segera berlari ke pelukan ayahnya, sembari menenggelamkan wajah sedihnya dipelukan ayahnya. Ayah Yogi hanya bisa tersenyum sembari terus menenangkan anaknya bahwa semua itu akan baik-baik saja.

Semenjak kejadian itu, Alisya tidak pernah lagi datang kerumah Adith. Awalnya, Adith tak peduli dan tak pernah menanyakan tentang keberadaan Alisya pada ibunya. Namun, setelah beberapa minggu berlalu dan Alisya tak juga kunjung datang, membuat Adith akhirnya merindukan anak itu. Adith kemudian meminta kepada ibunya untuk mencari dimana keberadaan Alisya, namun karena tidak tahu dimana rumah mereka dan tidak memiliki no kontak ibu Alisya, membuat ibu Adith tidak bisa menemukan keberadaan Alisya.

Sementara itu, Alisya yang tak pernah lagi pergi ke tempat Adith, terus mengikuti pelatihan ayah dan kakeknya dengan penuh amarah. Amarah yang dia keluarkan karena kekesalannya pada apa yang dikatakan oleh Adith padanya, membuatnya bisa menyelesaikan semua pelatihan yang diberikan oleh ayah dan kakeknya dengan sangat baik. Hingga tanpa sadar, waktu sudah berlalu dengan sangat cepat. Sudah setahun lebih Alisya tak pernah lagi mendapatkan waktu untuk bisa pergi menemui Adith dan Yogi.

"Bagus!" ucap Ayah Alisya, begitu melihat Alisya sudah menyelesaikan latihannya.

"Kamu boleh istrahat sekarang." Ayah Alisya lalu pergi meninggalkan anaknya dengan cepat. Dia tidak tega melihat anaknya yang terlihat sangat kelelahan mengikuti semua pelatihan yang dia berikan, mengingat umur anaknya baru akan menginjak umur tujuh tahun.

Meski hatinya sangat sedih melihat Alisya tertunduk dengan kedua tangan bertumpu pada lututnya serta menarik napas dengan susah payah, Ayah Alisya hanya bisa menguatkan dirinya untuk tidak melemahkan hatinya.

"Ini semua demi kebaikanmu, sayang. Maafkan, Bapak!" ucapnya lagi berhenti sejenak melihat anaknya yang sudah terbaring di tanah untuk melepas lelahnya. Dia akhirnya pergi, meninggalkan Alisya sendiri dengan hati yang sangat berat.

Huh … huhhh ... huh … Ohok! Ohok!

Alisya terbatuk-batuk pelan karena hampir kehabisan napas. Dia benar-benar mengerahkan seluruh tenaganya, ketika melaksanakan pelatihan yang diberikan oleh ayahnya. Dalam beberapa hari kemudian, ayahnya mungkin akan datang untuk memberikan pelatihan secara langsung lagi setelah kembali dari tugasnya. Dia hanya akan dilatih oleh bawahan ayahnya yang tidak begitu ketat, sehingga dia punya banyak waktu untuk bisa beristirahat.

Saat iya akan kembali ke dalam rumahnya, Alisya mendengar ibunya tengah berdebat dengan ayahnya. Alisya menduga kalau keduanya bertengkar karena sikap ayahnya yang terus memaksa Alisya untuk berlatih, disaat ibu Alisya tak ingin anaknya mendapat perlakuan seperti itu. Alisya yang mengira kalau ayahnya sudah tidak mencintai ibunya maupun dirinya, akhirnya memilih untuk tidak masuk kedalam rumah.

"Anda mau kemana tuan Ali?" tanya seorang pengawal melihat Alisya datang menuju ke mobil yang terparkir.

"Antarkan aku ke rumah Ditya," ucapnya dengan nada dingin.

"Tapi, Tuan …." Pengawal itu tampak ragu mengiyakan perintah Alisya.

"Aku sudah mendapatkan izin dari Kapten!" ucapnya dengan tatapan yang tak bisa dibantah lagi.

Alisya memang selalu mendapatkan waktu bebas, jika sudah menyelesaikan pelatihan ayahnya dengan baik. Hal itu membuat sang pengawal akhirnya pasrah meski dia masih merasa ragu, namun melihat tubuh anak itu dipenuhi keringat dan tampak kelelahan membuatnya berpikir bahwa atasannya mungkin memang sudah memberikan izin kepada Alisya.

 Alisya hanya bisa memandang jendela kamar Adith dari kejauhan. Dia tidak yakin, kenapa dia bisa berakhir disana disaat hatinya sedang kalut. Waktu yang dia habiskan bersama dengan Adith adalah waktu-waktu yang sangat menyenangkan, dimana dia tidak akan pernah bisa mengulang semua kebersamaan mereka tersebut. Hal itu dikarenakan ayahnya sudah mengetahui hubungan diantara mereka. Ayahnya kembali melarang Alisya untuk bermain bersama dengan Adith lagi.

"Tuan … ini sudah larut. Sebaiknya kita pulang sekarang juga." Khawatir dengan kondisi Alisya dan suasana hatinya yang buruk, membuat sang pengawal ingin membawanya pulang dan beristirahat.

"Apa kita bisa pergi ke taman terlebih dahulu? Aku ingin bermain-main sebentar saja, sebelum pulang." Mata Alisya yang sarat akan kesedihan membuat pengawal itu sangat hancur. Dia sangat tidak tega melihat anak gadis yang baru akan berumur tujuh tahun, sudah melalui banyak hal yang tidak seharusnya dialami oleh anak kecil seumurnya.

Meski dia sangat tahu dan bisa memahami alasan dibalik pelatihan dan kerasnya sikap ayah Alisya pada anak itu, tetap saja hatinya merasa hancur setiap kali melihat anak itu terus berusaha untuk tetap tegar. Hanya sebuah permintaan kecil darinya, tentu akan membuat dia siap melakukan apapun. Meski dia harus mendapatkan hukuman yang berat dari atasannya, namun untuk bisa melihat sebaris senyum tipis dari wajah mungil anak itu, sudah sangat lebih dari cukup untuknya.

"Tentu saja!" jawabnya dengan penuh senyuman dan tatapan hangat.

Alisya akhirnya duduk di ayunan sembari mengayun pelan menatap langit malam yang menampakkan banyak kemilau bintang. Kenangannya tentang kebersamaan yang tercipta antara dia dengan kedua orang tuanya saat sedang bermain-main ditaman itu membuat air matanya mengalir deras. Alisya tak tahu sejak kapan ayahnya tiba-tiba berubah menjadi sangat tegas dan keras padanya. Saat dia masih berumur tiga tahun, ayahnya sangat menyayanginya dan bahkan, sangat memanjakannya. Namun, semua itu berubah tepat dia berumur empat tahun, dimana ayahnya jarang tersenyum padanya lagi dan sering menatapnya dengan tatapan penuh kebencian.

Para pengawalnya hanya bisa mengamati Alisya, dari kejauhan. Mereka tahu, jika mereka berada di dekat Alisya, maka dia tidak akan bisa mengeluarkan semua kesedihannya. Air matanya takkan keluar, karena dia harus menunjukkan keteguhan hati sebagai seorang anak dari Menteri pertahanan Indonesia.

"Aku pikir, anak pemberani seperti dirimu tidak akan mengeluarkan air mata." Seorang pria tiba-tiba saja sudah berdiri tepat dihadapan Alisya yang sedang menangis.

Alisya yang terkejut karena orang itu tiba-tiba saja sudah berada dihadapannya, segera melompat dan mundur sejauh mungkin untuk menjaga jarak. Instingnya mengatakan kalau pria itu sangat berbahaya, sehingga dia dengan segera ingin meminta bantuan kepada para pengawalnya. Namun, begitu dia menoleh kearah mobil yang terparkir, mereka sudah terkapar berlumuran darah.

"Siapa kau?" tanya Alisya dengan penuh waspada.

"Bukankah tidak sopan, jika berkata 'Kau' pada yang lebith tua?" suara pria itu tiba-tiba saja sudah berada tepat disampingnya, hingga membuat Alisya terkejut dan berusaha menghindar sekali lagi.

"Gerakannya cepat sekali. Aku bahkan tidak melihat gerakannya saat dia mendekatiku," batinnya terus berusaha memperhatikan pergerakan pria tersebut.

"Sepertinya kau anak yang hebat. Refleskmu sangat baik," ucapnya sekali lagi, sudah berada di belakang Alisya.

Karena kaget, Alisya mencoba untuk memberikan serangan kepada pria tersebut, namun tiba-tiba saja pukulan yang sangat kuat mengenai punggung lehernya. Matanya perlahan-lahan kabur dan dia hanya mendengar ucapan pria itu dengan samar-samar.

"Kau akan menjadi bahan uji coba yang sangat bagus," ucapnya sembari tersenyum licik.

Alisya yang merasakan kepalanya sangat sakit dan berat, perlahan-lahan mencoba untuk membuka matanya. Akan tetapi, yang dia temukan adalah keadannya tetap dalam kondisi gelap gulita. Matanya sudah di tutup oleh sesuatu, tangan dan kakinya pun terikat. Dia tidak tahu saat ini sedang berada dimana dan apa yang akan terjadi padanya. Setelah beberapa kali berusaha untuk melepaskan diri, dia yang kelelahan akhirnya kembali jatuh pingsan.

Pyashhh ….

Air dingin yang tersiram ditubuhnya, membuat Alisya sadarkan diri. Matanya sudah tidak ditutup lagi, namun dia masih dalam keadaan terikat. Dia terikat disebuah ranjang yang biasanya dijadikan sebagai tempat untuk melakukan operasi kepada seseorang.

"Siapa kau sebenarnya? Apa yang kau inginkan padaku?" tanya Alisya sembari meronta-ronta, berharap kalau ikatannya bisa terlepas.

"Apa yang aku inginkan? Mungkin jawaban yang tepat adalah mengambil kembali apa yang sudah kau rebut dariku," ucapnya dengan nada dingin.

"Huh? Aku tak paham apa yang kau katakan!" Alisya tidak juga berhenti meronta-ronta untuk terus berusaha melepaskan ikatannya.

"Kau … jika bukan karena kamu, aku mungkin sudah bisa menikmati tubuh anak tampan itu. Tapi kau …." Pria itu menggebrak ranjang tempat Alisya terbaring, hingga membuat ranjang itu bergetar kuat.

"Kau yang sudah membuat anak tampan itu lepas dariku, jadi kau yang harus menggantikan posisinya." Pria itu memegang pipi Alisya dengan sangat kasar.

Mendengar perkataan pria itu, Alisya akhirnya ingat siapa yang dimaksud olehnya. Dia sangat ingat dengan jelas, perkataan yang dia dengarkan dari percakapan antara ibunya dengan kepolisian yang menangani kasus Adith, dimana pelaku yang melakukan penculikan kepada Adith adalah seorang pedofilia.

"Jadi, kau … ugh!" Alisya tidak bisa melanjutkan kata-katanya, karena rasa sakit diwajahnya.

"Hahahaha … Sepertinya kau sudah mendengar sesuatu tentang diriku," ucapnya sembari membuang wajah Alisya dengan kasar.

"Para polisi bodoh itu menyebutku dengan Kidsnapper, karena aku selalu berhasil menculik anak-anak. Sudah banyak anak yang aku culik, namun mereka tidak pernah bisa menemukan keberadaan anak-anak itu, maupun siapa sebenarnya aku." Pria itu memandang Alisya, dengan tersenyum mengerikan.

"Tapi suatu hari, ada seorang anak yang berhasil lolos dariku. Dan itu juga, karena bantuanmu. Jika saja saat itu kau tidak tiba-tiba muncul disana, anak itu pasti akan tetap berhasil aku tangkap kembali. Kau adalah anak pertama yang membuat aku gagal untuk pertama kali. Tapi karena itu juga, aku selalu berharap untuk bisa mendapatkanmu." Pria itu terus berbicara sembari mengitari ranjang tempat Alisya terbaring.

"Dan … siapa yang sangka kalau hari itu, akhirnya datang juga. Cukup sulit untuk menemukan dirimu, karena kau sangat jarang terlihat berada diluar. Aku bahkan tidak menemukan dimana kamu bersekolah. Namun kemudian, aku melihat seorang anak sedang bersedih ditaman. Siapa yang sangka aku yang semula hanya ingin melampiaskan kekesalanku dengan menculik anak lain malah berakhir menemukanmu?" Pria itu berkata sembari mencium rambut Alisya dengan ekspresi mengerikan.

"Sayang sekali, kau sudah menculik orang yang salah." Alisya meronta berusaha menjauhkan diri dari pria tersebut.

"Puhahahahah … kau memang anak yang menarik. Karena aku menyukaimu, aku akan memberitahu kamu siapa diriku. Setidaknya, kau harus tahu nama orang yang akan memberikan kenangan indah padamu hari ini." Pria itu membuat ranjang Alisya berdiri, sehingga posisi Alisya, kini menggantung dan menghadap pria tersebut.

"Kau bisa memanggilku, Artems. Ayo … panggil namaku dengan bibir mungilmu itu!" Pria itu mendekat kearah Alisya dengan napas memburu yang membuat tubuh Alisya, menggigil ketakutan. Dia sangat tahu dengan jelas, kalau pria itu pasti akan melakukan sesuatu yang buruk padanya.

"Jangan mendekat!" teriak Alisya memperingatkan pria itu.

"Ahhh … Kau yang memberontak seperti ini, membuatku semakin ingin melahapmu." Pria itu dengan segera meletakkan tangannya pada salah satu area di tubuh, Alisya.

"Apa?!" dia terkejut dengan apa yang ditemukannya.

"Apa maksudnya ini? Tidak mungkin!" Dia dengan segera menarik celana Alisya, untuk memastikan sesuatu.

"Dimana pisang burung itu?" tanyanya sembari menatap heran pada Alisya.

"Dasar tidak sopan!" Alisya membenturkan kepalanya pada pria tersebut dengan keras.

"Kenapa itu tidak ada disana? Ka-kau … kau seorang perempuan? Kau bu-bukan anak laki-laki? Ba-bagimana bisa!?" pria itu terus tergagap dan mengamuk dengan hebat.

"Bukankah sudah aku katakan, kalau kau sudah menculik orang yang salah." Alisya tertawa pelan melihat reaksi pria tersebut.

"Jadi, semua yang aku lakukan selama ini sia-sia?" Pria itu tampak sangat frustasi ketika mengetahui kalau anak laki-laki yang selama ini dia kejar, ternyata adalah seorang perempuan.

"Ini semua karena kau … Kau yang harus menanggung akibatnya!" pria itu menarik sebuah tongkat besbol dan memukulnya kebagian telinga Alisya dengan sangat kuat, hingga telinga anak itu mendengung kencang. Tidak hanya berhenti saja disitu, dia terus melampiaskan kekesalannya pada Alisya hingga dia benar-benar tidak sadarkan diri.

"Bagaimana? Apa kau sudah mendapatkan kabar mengenai keberadaan Alisya?" ibu Alisya yang melihat ayah Alisya pulang, segera berlari menghampiri suaminya.

" … " melihat ayah Alisya hanya terdiam dan tak mengatakan apapun, membuat ibu Alisya jatuh melemas di sofa.

"Ayumi … kau harus kuat. Kau tidak boleh terlihat lemah seperti ini. Alisya akan sangat sakit hati jika melihat kau kurus dan tak berdaya seperti ini. Kau harus percaya, kalau Alisya pasti akan baik-baik saja. Dia anak yang cerdas, Mama yakin dia bisa menjaga dirinya dengan baik." Nenek Alisya, segera menghampiri anaknya untuk menguatkannya.

"Jangan khawatir, aku akan mengerahkan semua kemampuanku untuk menemukannya. Aku takkan pernah membiarkan hal buruk terjadi pada cucuku," ucap kakek Alisya, juga menenangkan anaknya.

"Sayang … kau harus menemukan Alisya, apapun yang terjadi. Aku … aku tidak akan pernah memaafkanmu, jika terjadi sesuatu padanya." Ibu Alisya memegang baju suaminya dengan sangat kuat dan tatapan penuh amarah.

"Kau tenang saja sayang … aku pasti akan menemukan dia bagaimanapun caranya. Bahkan jika harus mengerahkan semua pasukan elit yang dimiliki oleh Indonesia. Aku pasti akan menemukan anak kita, karena aku juga takkan pernah memaafkan diriku sendiri jika terjadi sesuatu padanya." Ayah Alisya lalu mendekap istrinya dengan sangat erat.

"Sudah satu tahun dia menghilang … aku sangat takut. Aku takut sesuatu yang buruk terjadi padanya." Ibu Alisya terus menangis dalam pelukan suaminya. Nenek Alisya juga tidak bisa menahan kesedihannya, hingga air matanya ikut mengalir deras saat suaminya memeluk dirinya untuk menenangkannya.

"Jangan takut. Alisya adalah anak yang sangat kuat. Aku yakin, dia pasti baik-baik saja saat ini." Meski sebenarnya dia juga merasakan ketakutan yang sama, Ayah Alisya tetap berusaha tegar dan meyakinkan dirinya sendiri, kalau anaknya pasti akan baik-baik saja.

Tepat seperti keyakinan mereka, meski kondisi Alisya bisa dibilang jauh dari kondisi baik. Akan tetapi, dia masih bisa terus bertahan hidup dengan semua perlakuan yang dia dapatkan. Alisya masih terus berusaha melakukan penolakan atas apa yang diberikan padanya, hingga membuat dia berakhir dalam sebuah kurungan. Alisya yang dijual ke sebuah organisasi gelap Black Falcon, mendapatkan serangkaian suntikan serum yang membuat tubuh Alisya kesakitan. Namun, dia yang terus berusaha untuk menolak untuk menunjukan perubahan dan mengikuti sejumlah pelatihan yang diberikan padanya, membuat dia selalu saja berakhir di kurungan.

"Oy … kode 0505!" seorang anak laki-laki tiba-tiba memanggil Alisya dari balik kurungan.

"Siapa kau? Pergilah dari sini, jika kau tidak ingin terkena masalah." Alisya sengaja mengusirnya, karena tidak ingin ada anak lain yang terlibat karena dirinya.

"Kau memang anak yang keras kepala yah … Apa kau tidak bosan, selalu berakhir di tempat yang sama terus selama hampir satu tahun ini?" ucapnya sekali lagi dibalik kegelapan. Alisya tidak bisa melihat wajah anak itu, sehingga dia hanya bisa mendengar suara anak itu saja.

"Bukan urusanmu!" jawab Alisya dengan dingin.

"Hem … memang benar. Tapi, apa kau tahu kalau kau adalah anak pertama yang bisa bertahan cukup lama? Banyak anak-anak lain yang sudah tidak pernah kembali lagi setelah mendapatkan tiga kali suntikan serum itu. Melihat kau bisa bertahan setelah mendapatkan puluhan kali suntikan, anak-anak yang berada disini sangat yakin, kalau kau berbeda dari yang lainnya." Alisya tidak menanggapi apa yang dikatakan oleh anak itu, dan hanya terus mendengarkan apa yang dikatakan olehnya.

"Melihatmu bisa melalui semua ini, memberikan anak-anak lainnya secercah harapan. Mereka yang semula terus saja menangis dan merindukan kedua orang tuanya, kini mulai tersenyum dan terus membicarakanmu. Mereka benar-benar mengidolakanmu, karena kamu begitu berani, kuat dan tak takut menghadapi orang-orang menakutkan itu." Anak itu terus bercerita dengan begitu lancarnya.

"Apa yang kau inginkan sebenarnya, dengan menceritakan semua itu padaku?" Alisya mulai kesal mendengarkan anak itu terus berbicara padanya.

"Aku akan mengatakannya padamu nanti. Aku akan membantumu untuk …." Belum juga ia menyelesaikan kata-katanya, Alisya segera menjawab dengan cepat.

"Aku tidak butuh bantuanmu. Pergilah," usirnya pada anak itu lalu membelakangi sumber suara tersebut.

"Sudah ku duga kau akan berkata seperti itu." Suara anak itu terdengar kecewa.

"Percuma jika kau terus melawan, karena semua itu akan sia-sia. Aku akan memberikan kamu satu saran, meskipun kau mungkin tetap tidak ingin mendengarnya. Tapi aku ingin kamu tahu, kalau cara terbaik untuk melawan mereka adalah bukan dengan cara seperti yang sedang kamu lakukan ini," jelasnya dengan suara yang sedikit terdengar setengah berbisik.

"Kau hanya perlu mengikuti semua pelatihan yang mereka berikan, namun kau harus bisa menyembunyikan kemampuanmu yang sebenarnya. Kami sudah pernah mencobanya, tapi semua itu tidak berhasil. Kami yakin kamu pasti bisa melakukannya, karena kamu berbeda dengan kami. Kami akan mencoba menunjukkanya padamu besok, karena besok adalah pertarungan pertamamu." Alisya yang terkejut mengetahui kalau besok dia akan melakukan pertarungan, segera kembali menoleh kearah sumber suara anak tersebut.

"Siapa kau sebenarnya? Mengapa kau mengatakan semua ini padaku?" Alisya jadi sedikit penasaran pada anak laki-laki tersebut.

"Aku tidak bisa memberitahukanmu tentang kodeku, tapi kamu bisa memanggilku Zaky. Sudah aku katakan, kalau aku akan mengatakan alasanku padamu nanti. Tapi sebelum itu, kamu harus makan ini dulu." Sebuah roti dingin dan keras tiba-tiba sudah jatuh tepat dihadapannya.

"Maaf… Aku harus pergi sekarang!" ucap anak itu dan tak bersuara lagi.

"Hei … tunggu sebentar. Hei …." Panggil Alisya pada anak tersebut, sembari mendekati pintu jeruji besi yang mengurungnya.

"Apa yang kau lakukan? Tidak usah ribut dan tidurlah. Kau hanya membuat keributan saja!" seorang penjaga yang mendengar Alisya berteriak, segera menghampiri tempat kurungan Alisya dan meletakkan alat kejut listrik di jeruji besi yang dipegang oleh Alisya, untuk membuatnya terdiam.

Arrrggghhh …

Alisya berteriak kencang sembari menjauhi jeruji besi tersebut, begitu penjaga itu melepaskan alat kejut listriknya.

"Akan sangat bagus jika kau tenang dan tidak terus melakukan pemberontakkan," ucapnya dengan penuh amarah, lalu meninggalkan Alisya setelah tertawa senang melihat Alisya kesakitan.

Alisya yang tidak bisa berbuat apa-apa, hanya bisa meringis kesakitan sembari memandangi roti yang sebelumnya sudah dilemparkan oleh anak laki-laki yang bernama Zaky tersebut. Meski dia semula tak ingin memakan roti tersebut, dia akhirnya kalah pada rasa laparnya yang terus berteriak untuk mendapatkan sumbangan energi.

Keesokan harinya.

Alisya sudah berada disebuah ruangan, dimana dia hanya berdiri seorang diri saja di dalam ruangan yang cukup luas itu. Mata Alisya terus melihat kesekelilingnya, untuk memastikan dimana keberadaannya sekarang. Tiba-tiba saja, sebuah pintu besi bergeser dan memperlihatkan sebuah ruangan dibalik kaca tebal dimana terdapat beberapa orang sudah berdiri disana menyaksikan dirinya.

"Kau pasti kebingungan saat ini." Sebuah suara mengenjutkan Alisya.

"Kau yang selalu memberontak dan tidak pernah mau mengikuti pelatihan yang ada, akhirnya membuat kami melakukan sedikit permainan yang seru untukmu." Pria itu berbicara dengan cara yang sedikit aneh bagi Alisya, dimana dia terdengar licik dan terlalu bersemangat.

"Kau harus bertarung melawan salah satu anak yang ada disini. Jika kau tidak melakukannya, maka kami yang akan membunuh anak itu. Maka dari itu, kamu tidak punya pilihan lain selain bertarung dengannya. Jika kau melakukan hal tersebut dan bisa mengalahkannya tanpa membunuhnya, maka kami juga tidak akan membunuhnya. Nyawa anak tersebut ada ditanganmu sekarang." Bertepatan dengan penjelasannya tersebut, sebuah gerbang terbuka dan seorang anak perempuan keluar dari sana.

"Aku tak akan pernah mau bertarung dengan siapapun." Alisya menatap anak itu dengan sendu, karena benar-benar tak ingin bertarung seperti keinginan mereka.

"Kalau begitu, biar aku yang menyerangmu!" anak perempuan itu dengan segera menyerang Alisya, namun berhasil dihindarinya.

Meskipun anak itu sudah mengerahkan semua kemampuannya untuk menyerang, namun dia tetap tidak bisa menggapai tubuh Alisya. Alisya selalu saja bisa menghindar setiap kali anak itu menerjang dirinya, hingga tiba-tiba saja anak itu diam dan terpaku.

Boommm …

Sebuah ledakkan yang terdengar dari dalam tubuh anak itu seketika membuat anak itu terkapar begitu saja. Anak itu akhirnya tidak bergerak lagi dan hal itu sangat mengejutkan Alisya. Dia tidak menyangka akan menyaksikan anak tersebut tewas dihadapannya.

"Kau tentu tahu kalau kami setiap saat selalu memberikan suntikan serum energi nano pada kalian. Serum itu terus terpompa keseluruh tubuh kalian, melalu jantung kalian. Apa yang akan terjadi jika serum nano itu kami buat bekerja secara berlebihan?" tanya pria tersebut kepada Alisya dengan suara dingin.

"Kalian meledakkan jantungnya?!" Alisya menatap pria tersebut dengan penuh amarah dan rasa shock yang membuat semua urat di tubuhnya timbul di permukaan kulitnya.

"Kau memang anak yang cerdas. Jika kau sampai semarah itu, sebaiknya kau melakukannya dengan baik." Pria itu memperingatkan Alisya, sembari memasukkan dua orang anak lagi untuk dia lawan.

Meskipun tak ingin melawan keduanya, Alisya tidak punya pilihan lain. Jika dia tidak bisa melawan keduanya, maka mereka berdua akan terbunuh persis seperti anak sebelumnya. Dan hal itu terjadi karena dirinya, yang akan membuat Alisya menyesal seumur hidupnya. Dia masih belum bisa menghilangkan bayangan wajah anak perempuan yang mati karena dirinya.

Alisya akhirnya mencoba melawan mereka, namun tetap saja keduanya tiba-tiba terdiam terpaku dan terkapar begitu saja dilantai. Hal itu membuat Alisya berteriak keras dan menatap kearah sumber suara dengan tatapan penuh kebencian.

"Kau tidak boleh melawan mereka setangah hati seperti itu. Kau harus bertarung dengan mengeluarkan semua kemampuan yang ada. Bahkan jika harus memperlihatkan keinginan untuk membunuh, maka itu lebih baik. Bukankah sudah aku katakan sebelumnya, kalau nyawa mereka berada ditanganmu." Pria itu tertawa dengan sangat besar melihat reaksi Alisya.

"Sebaiknya kamu tidak mencoba untuk membuat nyawa anak-anak yang lainnya terus berjatuhan di hadapanmu. Untuk itu, kali ini kau jangan mencoba untuk bermain-main lagi," ucapnya sekali lagi sembari mengeluarkan seorang anak laki-laki.

Belum sempat Alisya mengatakan apapun, tiba-tiba saja anak itu sudah mencekik lehernya dan membenturkannya ke dinding. Alisya sampai shock karena tidak menduga kalau anak laki-laki itu memiliki kecepatan dan kekuatan yang sangat tinggi.

"Bukankah aku sudah memperingatkanmu semalam!" bisiknya di telinga Alisya, hingga membuat mata Alisya terbelalak kaget.

Dia sangat tahu dengan jelas pemilik suara itu. Suara itu adalah anak yang semalam datang untuk menemuinya, memperingatkannya tentang pertarungan hari ini dan memberikannya sebuah roti kering yang memberikannya sedikit tenaga, sehingga dia bisa bertarung dengan baik.

Bugh … Bagh … Bugh …

Alisya melancarkan serangan fatal, hingga membuat Zaky memasang jarak dan bersikap waspada pada Alisya.

"Kau tidak perlu menahan diri lagi, karena aku tak akan kalah darimu begitu saja." Zaky tersenyum lebar agar Alisya tidak perlu khawatir dan menyerangnya dengan seluruh kemampuan yang dimilikinya.

"Aku …." Zaky tidak memberikan kesempatan kepada Alisya, untuk berbicara. Dia segera menyerang Alisya begitu dia membuka mulutnya.

Pertarungan diantara mereka terlihat cukup sengit, dibandingkan dengan pertarungan yang sebelumnya.

"Jangan meremehkan aku, karena aku jauh lebih kuat darimu," ucap Zaky sembari terus memberikan serangan mematikan yang mengenai tubuh Alisya dengan telak.

"Aku … tidak akan bersikap lunak pada perempuan. Jadi sebaiknya kau mengeluarkan kemampuan terbaikmu kali ini. Atau … kau ingin terus bermain-main seperti ini?" serangan yang diberikan oleh Zaky memang sulit untuk diikuti oleh Alisya. Selain itu, serang yang diberikan olehnya seolah sengaja untuk mempermainkan dirinya, sehingga hal tersebut membuat Alisya semakin merasa kesal.

Brakkk … Badum! Gubrakk …

Pertarungan mereka jauh melebihi ekspetasi dari orang-orang yang sedang memperhatikan mereka. Bahkan tembok dan gerbang besi yang berada disekitar itu tampak hancur lebur akibat dari pertarungan mereka yang sangat sengit. Bahkan, Alisya yang sebelumnya tidak bisa mengimbangi kekuatan dan kecepatan Zaky akhirnya bisa memberikan serangan balik yang tak kalah kuatnya. Aura membunuh Alisya pun ikut menyeruak, hingga membuat mereka yang berada dibalik kaca itu merasa sangat senang.

"Bagus … sekarang yang perlu kau lakukan adalah mengatur pernapasanmu dan memusatkan seluruh energimu pada jantungmu. Jika itu berhasil, maka mereka tidak akan merasakan perbedaan yang cukup besar dibandingkan dengan yang lainnya. Kau harus bisa menyemunyikan kemampuanmu yang sebenarnya." Zaky lalu memberikan petunjuk kepada Alisya, untuk bisa meredam kekuatannya.

"Jangan lengah!" Zaky memperingatkan Alisya, ketika keduanya harus tetap bertarung sembari menghindari serangan yang dikeluarkan untuk membuat mereka semakin kesulitan.

Pertarungan itu berlangsung cukup lama, hingga keduanya benar-benar kelelahan dan jatuh karena sudah tak sanggup lagi untuk bertarung. Tubuh mereka sudah kehabisan tenaga, sehingga tubuh mereka terbaring kaku di lantai.

"Tidak buruk … meskipun tidak ada yang kalah, tapi aku sangat menikmati pertarungan kalian. Kalian boleh beristirahat sekarang," ucap pria tersebut, meninggalkan Alisya dan Zaky yang terbaring dilantai.

Keduanya saling menatap satu sama lainnya, lalu tertawa dengan keras.

"Seperti yang sudah di duga, kau memang sangat hebat, 0505." puji Zaky pada Alisya.

"Ali … bukan. Kau bisa memanggilku Alisya," ucap Alisya memberikan nama aslinya pada Zaky.

"Nama yang cantik!" Zaky menarik napas dalam dan tersenyum legah.

Semenjak hari itu, keduanya menjadi sangat akrab. Mereka terus bekerja sama secara diam-diam, untuk mengajarkan anak-anak lainnya agar bisa meningkatkan kemampuan bela diri mereka. Mereka akan bersikap tidak mengenal satu sama lainnya dihadapan para anggota organisasi, namun mereka terus melakukan komunikasi secara diam-diam.

"Aku sangat penasaran, bagaimana rasanya bisa melihat alam bebas dan merasakan sejuknya matahari diluar sana. Aku sangat ingin melihat matahari sore yang akan terbenam. Warna orange dilangit sangat cantik sekali, terlebih jika kita melihatnya bersama-sama." Zaky memandang langit-langit ruangan pelatihan saat mereka baru saja dikumpulkan untuk bertarung satu sama lainnya lagi.

Zaky adalah anak yang sudah berada di tempat penelitian tersebut sejak dia masih berumur tiga tahun. Dia yang tidak tahu apapun tentang apa yang sedang terjadi padanya, berakhir ditempat mengerikan itu dalam waktu yang cukup lama, hingga kini dia sudah mencapai usia sepuluh tahun.

"Kita akan terus bersama dan pergi menatap matahari yang terbenam juga bersama-sama. Aku yakin, suatu saat kita pasti akan keluar dari tempat ini dan melakukan apapun yang bisa kita lakukan." Alisya yang berkata dengan lantang membuat semua anak-anak disana jadi sedikit bersemangat.

"Ya benar … kita pasti akan keluar dari sini dan kita akan terus bersama-sama nanti," seru yang lainnya dengan penuh semangat. 

"Apa yang sedang kalian lakukan? Kembali keruangan kalian masing-masing!" ucap seorang penjaga memberikan mereka perintah untuk kembali keruangan mereka masing-masing.

Hari demi hari terus berlalu dengan serangkaian tes dan suntikan serum energi nano yang selalu mereka terima. Beberapa anak yang sudah tidak bisa bertahan, perlahan-lahan menghilang hingga menyisakan sedikit anak diantara mereka.

"Apa yang terjadi?" Alisya yang terbangun, tampak kebingungan dengan ruangan luas yang sudah menampung mereka semua. Ruangan itu adalah ruangan yang baru pertama kali mereka masuki.

"Aku juga tidak tahu, tapi sepertinya kita semua dikumpulkan ditempat ini." Zaky mendekati Alisya yang sedang meninjau tempat mereka berada tersebut.

"Entah kenapa aku merasa takut. A-aku tidak suka berada di tempat ini." Salah seorang anak terlihat sangat ketakutan dengan ruangan tersebut.

Ruangan itu memang sangat luas, namun entah bagaimana. Mereka merasakan firasat buruk dengan keberadaan mereka yang tiba-tiba dikumpulkan tanpa sepengtahuan mereka, dimana mereka sampai dibuat tidak sadarkan diri sebelumnya.

"Selamat kepada kalian semua yang sudah berkumpul di tempat ini." Suara seorang pria yang muncul dari pengeras suara tiba-tiba saja mengejutkan mereka semua.

"Kalian sudah menjalani serangkaian pelatihan yang cukup ketat dengan sangat baik, sehingga kalian semua bisa bertahan hidup sampai saat ini," terang pria tersebut.

"Sekarang kalian sudah sampai pada tahap akhir, dimana kalian semua harus bertarung satu sama lainnya. Namun kali ini, nyawa kalianlah yang akan menjadi taruhannya. Mereka yang bertahan hidup sampai pada batas yang ditentukan akan dianggap lolos dan mendapatkan hadiah yang cukup besar, yaitu bisa keluar dari tempat ini dan kembali melihat alam bebas." Anak-anak yang mendengar itu menunjukkan berbagai reaksi. Mereka tidak tahu apakah harus senang atau takut dengan apa yang sedang mereka dengarkan tersebut.

"Untuk itu … kalian hanya memiliki waktu selama lima belas menit saja. Jika dalam tiga detik kalian tidak mencoba untuk melakukan penyerangan, maka jantung kalian akan diledakkan." Pria itu mengakhiri ucapannya begitu saja, menyisakan kebingungan anak-anak yang saling menatap satu sama lainnya.

Benar saja, tepat setelah tiga detik. Beberapa anak-anak yang sama sekali tidak melakukan pergerakan mulai terkapar satu demi satu. Hal itu segera memicu kepanikan mereka semua, hingga membuat beberapa anak-anak mulai menyerang satu sama lainnya.

Ruangan itu seketika dipenuhi teriakan histeris semua orang. Darah yang berserahkan dimana-mana membuat Alisya tidak bisa mengendalikan dirinya. Telinganya yang sangat sensitive membuat semua teriakan memilukan itu terdengar menyiksa dirinya.

Tanpa sadar, dia melihat tubuhnya yang penuh dengan darah, berdiri di tengah-tengah puluhan anak-anak yang sudah terkapar tak sadarkan diri. Di tangannya ada sebuah belati kecil yang juga berlumuran darah. Karena terkejut dengan apa yang dilihatnya, Alisya menjatuhkan pisau itu dan menoleh ke belakangnya. Dia melihat Zaky yang sudah berlumuran darah diseluruh tubuhnya, menatap Alisya dengan sangat ketakutan.

"Arggghhh … Tidak, Jangan bunuh aku!" Zaky sangat terlihat ketakutan dan memohon ampun kepada Alisya.

"Bunuh dia … Hanya dengan cara itu agar kau bisa membuktikan bahwa kaulah yang terkuat." Perintah seorang pria yang suaranya hanya terdengar dipengeras suara.

"Tidak .…" ucap Alisya menggeleng kuat menolak hal tersebut.

"Kau sudah tidak punya pilihan lagi. Jika kau tidak membunuhnya, maka anak itu akan merasakan penyiksaan secara terus menerus dengan nyawa yang tersisa. Bukankah akan lebih baik jika dia mati ditanganmu?" suara dingin seorang pria semakin membuat tubuh Alisya bergetar hebat.

"Tidak … Aku tidak akan pernah melakukannya. Aku tidak akan membunuh temanku sendiri," tolak Alisya dengan tegas sembari berjalan mundur menjauhi anak laki-laki tersebut.

"Benarkah? Teman? Bukankah kau sudah membunuh banyak anak yang kau sebut teman itu?" ucapnya dengan setengah tertawa licik.

"Jika kau masih tidak ingin melakukannya, kalau begitu bagaimana dengan ini?" Sebuah pintu terbuka dan memperlihatkan puluhan ekor serigala yang menyalak dengan liur menetes kelaparan.

"Mari kita lihat, apakah kamu akan membunuhnya atau malah membiarkan dia mati dimakan oleh serigala lapar itu," ucap sang pria langsung meminta tali yang mengikat para serigala itu dilepaskan.

Seketika itu pula, para serigala itu langsung mengerubuni Zaky yang sudah tidak bisa berdiri dengan baik karena kakinya yang terluka. Tampak para serigala itu berkerumun disana dan tidak menghampiri Alisya, sehingga anak laki-laki itu tampak menatap pasrah kepada Alisya.

"Tidak .…" Alisya berlari secepat kilat tepat bersamaan dengan serigala itu menerjang kearah Zaky. Alisya berusaha untuk menyingkirkan beberpa serigala itu, namun karena jumlah mereka yang banyak membuat Alisya tidak bisa melindungi Zaky dari serangan seekor serigala yang lain.

Alisya merasa aneh karena serigala-serigala itu tidak mengejar dirinya, melainkan mengejar hanya mengejar Zaky saja. Seandainya beberapa serigala terfokus padanya, maka dia bisa saja menghabisi mereka dengan tetap melindungi Zaky, namun seolah ada hal lain yang membuat mereka mengabaikannya.

"Kau baik-baik saja?" Alisya berhasil menggapainya setelah mengerahkan semua tenaganya membuat serigala itu menjauh dari Zaky.

"Ohokk ... ohok… Aku baik-baik saja." Zaky terbatuk hebat dan mengeluarkan darah.

"Bertahanlah! Aku akan …" Alisya yang mencoba untuk membuatnya berdiri dan ingin mengeluarkannya dari sana segera terhenti ketika Zaky menarik tubuhnya.

"Kau ingat janji kita, jika kita bisa keluar dari sini kan? Kita akan terus bersama dan melihat matahari terbenam juga bersama-sama. Ohokk … " suara Zaky terdengar lirih dengan napas yang semakin sesak.

"Sepertinya aku tidak bisa menepati janji itu, tapi aku ingin kamu melakukannya demi kami semua," ucapnya sembari menunjuk kearah pintu dari para serigala itu yang setengah terbuka karena belati yang dipegang oleh Alisya, membuatnya tak tertutup rapat.

"Pergilah … Serigala itu tidak akan mengejarmu karena kau adalah seorang Alpha Dominan diantara mereka. Kau lebih hebat dari mereka sehingga serigala itu hanya akan mengejarku saja. Meskipun kau tidak membunuhku saat ini, aku sudah tidak bisa bertahan lebih lama lagi," ucapnya sekali lagi sembari menatap bagian perutnya yang sudah terkoyak habis.

Melihat itu Alisya langsung shock. Dia bahkan tidak sempat memperhatikan luka Zaky yang sangat besar itu, karena terlalu terfokus pada semua serigala yang mengerubuni mereka. Tubuh Alisya bergetar hebat, dan mentalnya semakin jatuh.

"Larilah … Jadilah lebih kuat dari ini, kemudian suatu saat nanti kembalilah kemari dan hancurkan semua ini, agar tidak ada anak lain lagi yang merasakan hal yang sama dengan apa yang kita rasakan." Zaky berkata dengan kesadaran yang perlahan menghilang.

"Tidak … Aku tidak akan mungkin meninggalkanmu disini!" tegas Alisya, menolak permintaan anak laki-laki tersebut.

"Pergilah dari sini … Aku ubah janji yang kita buat. Mulai saat ini, kau harus berjanji untuk menjadi lebih kuat dan kembali ke tempat ini lagi. Kau harus ingat itu! Aku mohon, kau bisakan memenuhi permintaanku ini?" pintanya kepada Alisya yang sudah berderai air mata tak ingin pergi meninggalkan Zaky.

"Aku menyukaimu Alisya …." bisiknya di telinga Alisya sembari mendorongnya pelan agar ia bisa berani mengambil langkah. Alisya hanya terpaku dan terdiam beberapa saat.

"Tak aku sangka kau malah memilih untuk melindunginya, bukan membunuhnya!" suara seorang pria itu terdengar dingin dan penuh amarah.

Berkat suara pria itu, Alisya tersadar dan menatapnya tajam. Dia lalu dengan segera berlari kearah pintu masuk serigala sebelumnya, dan membukanya secara paksa. Hal itu membuat dia diburu oleh semua penjaga yang ada disana, hingga tanpa sadar dia terus berlari masuk ke dalam hutan. Begitu putus asanya dirinya, ketika melihat pagar listrik yang menjulang tinggi dihadapannya.

"Kapten … kami baru saja melihat ada seorang anak yang sedang berlari menuju kehutan dan dikejar oleh puluhan anggota organisasi." Lapor seorang anggota pasukan khusus kepada ayah Alisya.

"Dimana anak itu sekarang berada?" tanya ayah Alisya langsung melihat ke monitor yang memindai lokasi hutan yang menjadi tempat Alisya melarikan diri.

"Dia sudah berada di sekitar pagar kawat listrik," jawabnya cepat.

"Lakukan yang terbaik yang bisa kalian lakukan untuk melindunginya, sampai anggota lainnya bisa memutuskan aliran listrik pada kawat besi tersebut!" perintah ayah Alisya dengan sangat tegas.

"Siap, Kapten!" ucapnya tegas dan segera berlalu pergi dari sana.

"Anda mau kemana, Kapten?" seorang bawahannya segera menghentikan langkahnya.

"Tentu saja, menyelamatkan anakku!" tatapan begis ayah Alisya, membuat bawahannya tersebut tidak bisa menghentikan atasannya lagi.

Ketika dia dihadapkan oleh jalan buntu dan tak punya pilihan lain, selain terus mengitari pagar kawat listrik tersebut. Alisya berharap, dia menemukan celah untuk bisa meloloskan diri dari kawat tersebut. Suara tembakan terus terdengar di dalam hutan, hingga membuat Alisya sangat yakin kalau mereka sudah semakin dekat dengan dirinya.

Alisya akhirnya berusaha untuk terus berlari, hingga tiba-tiba saja ada seorang pria sudah berdiri tak jauh dari hadapannya. Melihat tatapan pria itu, instingnya mengatakan kalau pria itu sangat kuat dan dia tidak akan sanggu melawannya. Dia akhirnya melangkah mundur perlahan-lahan, namun begitu pria itu melompat ingin menghujamnya dengan menggunakan pedang, sebuah tembakan melesat tepat mengenai jatungnya. Alisya bisa menghindari pedangnya yang melayang kearahnya, hingga membuat pedang itu berhasil menyayat pagar besi dan menyetrum pria itu hingga tewas.

Meski tak tahu dari mana asal tembakan tersebut, namun berkat hal itu dia akhirnya berhasil meloloskan diri. Dengan penuh rasa takut, Alisya terus berlari tanpa menoleh kebelakang. Dia yang terus berlari tanpa sadar sudah berada ditepi jurang, dimana hanya ada air terjun disana. Tak punya pilihan lain, Alisya akhirnya memilih untuk terjun ke dalam arus air terjun tersebut.

"Kapten! Kami sudah menemukannya. Disebelah sini," panggil bawahannya, ketika melihat tubuh Alisya yang tertahan pada sebuah dahan di pinggir sungai.

"Alisya …." Tanpa pikir panjang, Ayah Alisya langsung terjun dan menyelamatkan anaknya.

avataravatar
Next chapter