webnovel

JEN: Adventure in Red Kingdom

Jen merupakan anak biasa. Sepeninggal Ayahnya, hidupnya yang berwarna sekarang hanya tinggal aura abu-abu yang kusam. Hingga suatu hari, adiknya, Carson diculik oleh Dover ke dunia lain, Tanah 3 kerajaan, Spalvia. Dengan bantuan Matt, teman sejak kecil sekaligus kesatria di kerajaan Merah Tanah Spalvia, Jen dapat tiba di Tanah Spalvia dan mempelajari apa saja yang harus Ia hadapi untuk menemukan Carson. Dapatkah Jen dan Matt menyelamatkan Carson?

sophiadew · Fantasy
Not enough ratings
12 Chs

Perpustakaan Langit

Spalvia berada di satu benua besar, yang terbagi menjadi tiga kerajaan. Bentuknya seperti tiga lingkaran diagram venn yang saling berpotongan di bagian tengah. Tentu lingkarannya tidak sempurna sebagaimana pulau geografis pada umumnya, karena adanya dataran tinggi, rendah dan lain-lain.

"Istana Ruby berada di tengah-tengah Kerajaan Merah." Matt berbicara sambil berjalan. "Kau perhatikan, bagian luar Istana Ruby terbuat dari kristal merah, seperti stalagtit pada interiornya. Saat terkena matahari, istana akan berkilauan."

Matt berhenti sejenak dan menunjuk istana, yang belum jauh kami tinggalkan. Sinarnya begitu menyilaukan.

"Sinar itulah yang memberi kekuatan pada kami, penduduk Kerajaan Merah. Sinyalnya terpancar dari tanah ke penjuru kerajaan."

"Kalau begitu, kalian akan menjadi tidak berdaya saat malam?" Aku bertanya pada Matt.

"Tidak, tidak seperti itu. Tetapi kami berada di titik terkuat saat sinar matahari terlihat." Matt membalik badannya, melanjutkan perjalanan.

Omong-omong soal siang dan malam, aku terpikir sesuatu. Bukankah malam masih panjang saat aku dan Matt menjelajahi Hutan Hela? Dan suasana yang kulihat begitu masuk Spalvia adalah siang, walaupun bintang bertaburan bersisian dengan matahari.

"Matt, bagaimana kau menjelaskan perbedaan waktu di dunia kita dan Spalvia?" Aku bertanya pada Matt, mataku fokus pada padang rumput yang kulangkahi. "Kau ingat saat kita di Hela? Masih malam. Tetapi sekarang seperti siang."

Matt berhenti dan menoleh kepadaku. "Pengamatan yang baik, Jen." Ia menunjuk langit. "Kau lihat langit Spalvia? Tidak biasa, bukan? Matahari dan bintang berdampingan tetapi sinarnya tidak ada yang kalah. Kau bisa melihat semua benda langit dengan jelas tanpa harus menunggu malam."

Aku memandang langit Spalvia yang ditunjuk Matt. Warnanya yang menakjubkan terdiri dari gradasi biru, hijau, kuning, pink, ungu, dan merah dengan bintang yang bertaburan. Aku tidak mengerti bagaimana alamiahnya, tetapi bintang itu bersinar sama terang dengan matahari.

"Dan apabila kau lihat disana," Matt menunjuk sisi lain langit, bersebrangan dengan letak matahari. "Kau bisa melihat bulan. Dengan langit gelap Spalvia yang selalu diselingi aurora."

Mataku mengikuti tangan Matt, sekarang memandang sisi lain langit. Tidak terlalu jelas, karena kami tidak berada di dataran yang terlalu tinggi sekarang, tetapi aku benar melihat perbatasan antara siang dan malam, gelap dan terang. "Menakjubkan, dan sedikit konyol." Aku bergumam.

"Konyol?" Tanya Matt. "Yah, memang hal yang kau temui di dunia kita tidak sama dengan Spalvia. Semuanya begitu berwarna disini."

"Bukan, maksudku, ini hal yang bagus. Aku menyukainya." Terkadang kata-kataku harus kusimpan sendiri. "Dan, oh ya, Matt?"

Matt menjawab dengan Hmm? kecil tanpa menoleh.

"Mengapa jejakmu berbekas saat di Istana Ruby?"

Matt tersenyum. "Coba tebak."

Aku mendengus. "Lalu untuk apa aku bertanya?" Matt tertawa dan meledekku 'dasar ketus'.

"Lantai istana bereaksi kepada penduduk Kerajaan Merah. Bisa kau katakan saat menginjak lantai istana, kami diberi energi dari kerajaan." Ia menjawab dengan senyum bangga. "Keren, bukan?"

Aku mengangguk tetapi menggunakan ekspresi meh pada wajahku. "Dan ada lagi, Jen. Kami tidak hanya meninggalkan jejak di istana."

Matt mengambil pedangnya, dan hendak menyayat ujung jarinya. Aku berusaha menghentikannya. "Apa yang kau pikirkan?"

Tetapi sudah terlambat. Jari Matt mengeluarkan setetes darah, dan Ia menjatuhkan satu tetes darah itu ke tanah di padang rumput yang sedang kami lalui. Matt menatapku sambil tersenyum. Aku membalasnya dengan ekspresi Kau sedang apa, bodoh? dan menaikkan satu alisku.

Tidak lama, setangkai bunga mawar merah tumbuh dari tanah, dengan kecepatan yang sangat tinggi. Mulai dari pucuk, hingga berbunga dengan sempurna dengan semerbak bunga mawar yang khas. Matt memetiknya, dan memberikan bunga itu kepadaku.

"Madam." Lalu Ia tertawa sendiri. Aku memandangi bunga mawar yang sekarang kugenggam. Bunga mawar ini tidak biasa, karena memiliki kilau kaca. "Satu darah penduduk merah yang jatuh di kerajaan ini akan dikenal oleh tanahnya. Itu hal yang baik, kau tahu. Apabila ada yang terluka, kami bisa segera membantunya."

***

Kami melanjutkan perjalanan dan menemui kebun bunga mawar. Mengingat perkataan Matt soal darah yang jatuh di Kerajaan Merah membuatku bertanya-tanya. Siapa yang terluka segini hebatnya? Banyak sekali bunga mawar disini. Tetapi sebelum aku bertanya, Matt menjelaskannya kepadaku.

"Berikan hormatmu kepada warga merah yang telah gugur, Jen." Matt meletakkan tangan kanan pada dada kirinya. "Ini adalah pemakaman."

Aku mengikuti gestur Matt, tangan kanan di dada kiri. "Bagaimana membedakan mawar untuk yang masih hidup dan yang telah meninggal?"

"Kau lihat bungaku? Ada kilau yang menghiasinya bukan?" Matt balik bertanya. "Untuk yang sudah gugur, wujudnya seperti bunga mawar biasa."

***

Padang rumput berakhir, kami kembali memasuki pemukiman warga. Rumah-rumah yang kulihat sama persis dengan perumahan didepan bazaar saat aku sampai di Spalvia. Setelah kupelajari, bazaar tadi berada di selatan, sedangkan sekarang kami berjalan menuju barat.

"Hey Matt! Kau sudah kembali! Apa kabar sobat?" Seorang laki-laki besar-mungkin raksasa menampar punggung Matt dengan tangannya yang gigantis. Matt mengerang. Kalau benar Ia adalah seorang raksasa, maka Ia adalah raksasa yang kecil. Maksudku, tingginya mungkin hanya seukuran pintu standar, tapi fitur yang terdapat pada tubuhnya sangat besar. Tangannya, kakinya, bahkan hidungnya.

"Lilith, lihatlah siapa yang datang." Raksasa itu memanggil seseorang dari dalam rumah-eh-sepertinya bar. Ada gantungan nama di depannya. Scithsie. Seorang perempuan keluar dari bar itu.

Ditengah keributan, aku melihat seseorang, yah, aku tidak yakin bisa disebut seseorang, karena sekujur tubuhnya berwarna merah. Seperti setan yang berwarna merah. Tetapi rambutnya berwarna hitam, dan dengan alisnya yang tebal Ia tersenyum kepadaku. Aku tahu ini sedikit tidak masuk akal, tetapi makhluk itu terlihat tampan. Terlalu tampan. Hampir dapat dikatakan bahwa Ia cantik, untuk sebuah laki-laki.

"Matt! Mampir untuk Red Steam?" Perempuan yang dipanggil oleh raksasa itu berdiri di depan pintu. Tangannya memegang lap yang Ia gunakan untuk mengeringkan gelas yang baru dicuci. Matanya berkedip genit dan tidak berpaling sedikitpun dari Matt. Matt tertawa gugup.

Perempuan itu berambut panjang, namun disanggul. Matanya marun dan sipit, hidungnya panjang dan senyumnya menarik. Semua terbingkai di wajah bulat yang kemerahan.

"Secepatnya, Nona Lil. Aku masih dalam misi ratu." Matt menolak dengan sopan. "Aku akan mampir nanti."

Matt melepaskan diri dari raksasa itu dan melambaikan tangannya seraya berpisah. Aku merasa bahwa mereka tidak menyadari kehadiranku, hanya makhluk merah yang tampan itu saja. Bisik-bisik terjadi diantara raksasa dan Lilith.

"Siapa itu?" Lilith bertanya pada raksasa. Penasaran dan sedikit rasa cemburu muncul dalam dirinya.

"Aku tidak tahu. Tapi manis, Matt punya selera yang bagus." Raksasa itu tertawa, dan Lilith melemparnya dengan lap kotor.

***

Setelah berjalan cukup jauh, kami kembali menjauhi pemukiman warga. Ladang rumput dengan tumbuhan liar setinggi dada kembali menyapaku, dan bunga-bunga yang tumbuh berwarna merah mengeluarkan aroma semerbak. Kami sampai di sebuah jurang.

"Apa yang kita cari disini?" Aku memandangi sekitar jurang, hanya ada satu batang pohon yang telah ditebang. Di bawah jurang, terdapat bebatuan runcing, dan setelahnya membentang lautan luas. Aku melihat Matt.

Matt sedang sibuk memandang ke atas, dan aku mengikutinya. Beberapa benda langit turun sedikit demi sedikit, mulai dari titik kecil berwarna coklat, sampai besar sekali aku pikir benda itu akan menimpaku. Matt menarik tanganku agar mundur.

Dan didepan kami, sebuah pulau-yah, bukan pulau-ukurannya sangat kecil, seperti hanya lingkaran tidak beraturan dengan diameter 5 meter turun didepan kami. Pulau kecil itu ditumbuhi semak berbunga merah dan biru, serta terdapat pilar putih ditengahnya.

Matt meregangkan tangannya. "Ta-da! Keren bukan?" Ia meloncat naik, dan pulau itu sedikit oleng karena gerakannya yang tiba-tiba, namun stabil dengan waktu yang cepat. Ia menyentuh pilar putih yang berada diatas pulau kecil, dan aku tidak tahu bagaimana, muncul tali putih yang bersinar. Matt turun dari pulau itu, dan menalikan talinya ke batang pohon yang telah ditebang di ujung jurang.

"Mengapa kau lakukan itu?" Aku bertanya.

"Agar pulaunya tidak hanyut terbawa angin." Matt mengikat tali dengan simpul. "Semakin tinggi, semakin indah pemandangannya. Kau kan pendatang baru, harus mulai dari level terendah."

Ia tertawa lagi. Terkadang aku lupa bahwa tujuanku kesini adalah untuk menyelamatkan adikku. Aku terlalu terpesona dengan Spalvia dan Matt yang selalu bercanda.

"Ayolah, kita naik." Matt mengulurkan tangannya. Aku menyambutnya. Jarak permukaan tanah dan pulau apung tersebut lumayan jauh, sehingga aku harus membuka kakiku lebar-lebar. Untung saja aku masih mengenakan celana leggingku dibawah gaun merah yang diberikan oleh ratu.

Dan akupun sudah berada di atas pulau apung itu. Aku berdiri menghadap Matt yang sedang senyam-senyum sendiri. Sebenarnya apa yang salah dengan cecunguk ini? Yah, aku tahu semua hal yang aku saksikan di Spalvia ini baru, dan Ia pasti sangat bersemangat untuk menunjukkan segalanya kepadaku, tetapi bukan berarti-

"WOAAH!" Aku berteriak dengan keras, karena tiba-tiba saja pulau kecil ini terbang-terlempar mungkin adalah kata yang lebih tepat untuk digunakan-ke langit. Aku sangat terkejut, aku jatuh terduduk dan segera mencengkram pilar putih yang berada ditengah pulau. Matt tertawa keras-keras.

"Menakjubkan bukan?" Dan pulau kecil berhenti bergerak ditengah langit. Aku masih memproses semuanya. Tubuhku gemetar.

"Matt, kau harus berhenti mengejutkanku dan memberiku peringatan sebelum aku jantungan." Aku berdiri dari posisiku yang sebelumnya duduk, tetapi masih berpegangan pada pilar.

"Apa serunya hidup dengan spoiler?" Matt menyeringai.

Aku menatapnya dengan gusar.

***

Sekarang aku menyadari bahwa enam buah pulau apung kecil terbang mendekati kami. Pulau-pulau itu jauh lebih kecil daripada pulau yang kami naiki, sehingga aku tidak yakin bahwa kami bisa naik keatasnya. Terdapat pilar pendek-mungkin sepinggang-yang diatasnya terdapat burung hantu yang bertengger.

"Apa itu, Matt?" Aku bertanya pada Matt. Dan salah satu burung hantu berwarna cokelat terbang kepadaku, memberiku gulungan kertas.

"Bukalah." Kata Matt. Dan aku membukanya.

Adalah pulau pertanyaan.

Setiap pulau akan menjawab pertanyaanmu.

Pulau 1 akan menjawab Apa,

Pulau 2 akan menjawab Kapan,

Pulau 3 akan menjawab Siapa,

Pulau 4 akan menjawab Dimana,

Pulau 5 akan menjawab Mengapa, dan

Pulau 6 akan menjawab Bagaimana.

Perpustakaan Ilmu Langit tidak dapat menjawab pertanyaan yang bersangkutan dengan masa depan.

Aku bersorak. "Menakjubkan sekali!" Aku membaca gulungan kertas tua dengan tulisan sambung itu sekali lagi. "Jadi perpustakaan ini tidak memiliki buku?"

Dan seekor burung hantu berwarna putih datang lagi, memberiku gulungan kertas. Aku membacanya.

Untuk menghubungi Pustakawan Langit, berdirilah di ujung utara pulau.

Untuk mencari buku sesuai jenis, tariklah tali ilmu dari pilar pulau.

Hmm. Aku tidak mengerti. Aku memandang Matt. "Serahkan padaku." dan Ia berdiri di ujung pulau kami. Matt menunjuk pilar putih. "Kau lihat, dibawah pilar terdapat arah mata angin. Kau tinggal berdiri di ujung utara pulau kecil ini."

Aku hanya ber-ooh pelan. Sebuah pulau besar turun dari atas. Suasana disini luar biasa. Pulau yang kami naiki berumput hijau pendek dan rapi, dan walaupun tidak ada pengaman yang membatasi pulau, kupikir tidak masalah. Orang yang datang ke perpustakaan pasti tidak bodoh, apalagi untuk terjun dari pulau dengan ketinggian kurang lebih 50 meter dari permukaan. Dan juga, pemandangan langit Spalvia terlihat lebih menakjubkan dari atas sini.

Pulau besar tersebut terparkir dihadapan kami. Seorang laki-laki paruh baya, kepala bagian depannya botak namun bagian bawahnya masih berambut putih, dengan janggut putih menjuntai dari dagunya sedang duduk di mimbar besar berwarna putih bersih. Ia mengenakan kacamata bulat dengan ukiran pada gagangnya.

"Dan siapa yang bisa kubantu?" Ia berkata tanpa memandang aku ataupun Matt. Ia sedang membaca diatas mimbarnya.

"Uhm, halo Nuvol." Matt memulai percakapan. Nuvol berpaling dari bacaannya, dan tersenyum. Wajahnya yang kecil ikut tersenyum. Kerutan di wajahnya dan pipinya yang terangkat, Ia pasti sangat senang dengan kunjungan Matt. Nuvol terlihat seperti orang yang tulus. Kurasa aku akan menyukainya.

"Matt! Matt! Anakku Matt! Kau kembali!" Nuvol turun dari mimbarnya. Betapa terkejutnya aku, karena Nuvol ternyata duduk di kursi yang sangat tinggi dibalik mimbarnya. Ia melayang untuk turun, dan saat Ia berhadapan dengan aku dan Matt, tinggi Nuvol hanya sepaha, bahkan tidak sampai pinggangku.

"Oh, Matt! Kau membawa gadis! Siapakah namamu, nona muda?" Ia menjulurkan tangannya kepadaku, aku meraihnya.

"Namaku-" Dan sebelum aku sempat menjawab, Nuvol memberi gestur 'stop' dengan tangannya.

"Tidak, aku tidak memintamu menjawabnya, Who. Aku sedang berbincang dengan nona ini." Ternyata Ia berbicara pada burung hantu tadi, yang memberi jawaban tentang Siapa. Ia memerikan perhatiannya kembali kepadaku. Wajahnya sangat lucu, tersenyum begitu lebar. Aku menahan diriku untuk tidak cekikikan melihatnya.

"Namaku Jen." Aku menjawabnya. Aku tersenyum membalas tatapan Nuvol.

Aku suka orang seperti Nuvol. Orang yang menghargai presensi kita saat itu. Apabila Ia bicara padaku, Ia akan memberi perhatian sepenuhnya padaku. Jarang sekali kutemukan orang seperti itu di Greyhose. Dan bagian terbaiknya adalah, aku merasa sifat Nuvol yang seperti ini tulus, datang dari lubuk hatinya yang terdalam.

"Ah, Jen. Jennifer. Jennifer dalam bahasa Skotlandia berarti Gelombang Putih, dalam bahasa Wales artinya Putih dan Cantik, dalam bahasa Jerman berarti Putih, Cantik dan Menyenangkan." Nuvol melepaskan tanganku dan berjalan mondar-mandir didepanku. "Apakah aku salah?" Ia berhenti dan menatapku dengan senyum usil.

Aku menatap Matt. "Uhm, maaf aku tidak tahu."

"Kau tidak tahu arti namamu sendiri? Aku bahkan membaca buku dari duniamu untuk mengerti makna dari nama-nama." Ia memberi gestur frustasi yang terbaca seperti Ya Tuhan! untuk mengekspresikan kekecewaannya.

"Jadi kau sudah tau Jen berasal dari dunia luar, Nuvol?" Matt memotong percakapanku dengan Nuvol. Nuvol berhenti bergerak dan tersenyum perlahan kepada Matt.

"Ya, Matthew. Aku mengetahuinya." Ia melayang lagi, dan kembali pada mimbarnya. "Tetapi aku belum tahu persisnya, mengapa kau kesini. Firasatku berkata ada sesuatu yang buruk terjadi."

"Benar, Nuvol." Matt menghela napas. "Adik Jen diculik oleh Dover."

Nuvol membuka matanya lebar-lebar. "Dover? Sang iblis Dover?" Nuvol menatapku dengan tatapan sedih. "Ini buruk sekali!"

"Ratu memerintahkan kami untuk menghadapmu, Nuvol. Ia bilang, kau akan tahu cara untuk mencari adik Jen." Matt merogoh tas kulitnya. "Dan juga, Ia menitipkan ini kepadamu."

Matt meyerahkan gulungan kertas yang diberikan padanya oleh ratu. Ia menjulurkannya keatas, dan gulungan itu terbang menuju mimbar Nuvol. Nuvol segera membacanya.

"Ini tidak baik, Matthew. Dover sudah hilang dari pengamatanku selama tiga minggu di Spalvia. Tiga minggu! Dan setelahnya, mereka mulai menculik manusia di dunia lain?" Nuvol mengepalkan tangannya dan memukul-mukul udara kosong. "Lihatlah, Matt."

Nuvol melayang lagi kearahku dan Matt, berdiri diantara kami. "Kau mungkin ingin berpegangan pada sesuatu, Nona Jen." Ia menoleh kepadaku. Aku masih memproses perkataannya, saat Ia menjentikkan tangannya dan pulau kami bergerak dengan sangat cepat. Aku terjatuh dengan posisi duduk.

Matt melihatku dan tertawa. "Kau sudah diberi peringatan, Jen."

"Berarti itu bukan salahku." Nuvol tersenyum meledek bersama Matt. Mereka serasi sekali, pikirku.

Namun percakapan ringan segera berakhir, digantikan dengan kekhawatiran Nuvol. Ia menunjuk kebawah, dimana kami bisa melihat dataran Spalvia dari ketinggian.

"Kau lihat, perbatasan Kerajaan Merah, Biru dan Hijau. Ditengah-tengah persatuan tiga kerajaan, mulai terlihat zona berwarna hitam." Aku dan Matt memicingkan mata, berusaha melihat dengan lebih baik. "Mungkin sekarang belum terlihat jelas, namun ini jauh lebih besar dari sebulan lalu. Kupikir hanya bayangan biasa, namun zona hitam ini terus tumbuh."

Nuvol berhenti dan memandang kami. "Aku percaya hal buruk akan segera terjadi di Spalvia, Matthew. Dan penculikan adikmu adalah salah satu rangkaian kejadiannya."

Aku terkejut mendengarnya. Spalvia dalam bahaya?

"Apa yang harus aku lakukan, Nuvol?" Matt berlutut agar matanya sejajar dengan Nuvol.

"Anakku, pergilah dan cari adik Jen sebelum semua ini terlambat. Sesungguhnya hal ini tidak tercatat pada buku manapun, sehingga tidak ada yang bisa menjawabnya." Nuvol memegang pundak Matt. "Dan kembalilah sebelum bencana lain terjadi."

***

Perkataan Nuvol benar-benar membuatku merinding, karena ini bukan dunia biasa. Kalau disini singa bersayap dapat dianggap jinak, maka apa yang ganas? Membayangkan makhluk-makhluk menakutkan sungguh membuat bulu kudukku berdiri. Aku hanya memperhatikan Matt yang sedang sibuk mengatur strategi dengan Nuvol.

"Persentase hewan Spalvia yang kembali menjadi liar meningkat tajam. Aneh sekali. Seperti pikiran mereka hilang dan dikendalikan oleh orang lain. Mereka bahkan tidak tunduk oleh ratu!" Nuvol gusar, dan hal ini membuat sisa rambut putih di rambutnya mengembang. "Aku masih melacak kemana perginya mereka, karena sepertinya mereka menghilang begitu saja."

Matt hanya mengangguk. "Dimana kami bisa menemukan adik Jen?"

Nuvol menjulurkan tangannya ke udara, dan seekor burung hantu berbulu abu-abu hinggap di lengannya. Ia mengambil gulungan yang dibawa oleh burung hantu itu. Nuvol membacanya keras-keras.

"Disini tertulis bahwa Dover tinggal di Gua Tersembunyi di bawah Spalvia." Nuvol mengerutkan keningnya. "Belum pernah dengar."

Ia menarik tali yang terikat pada kaki mimbarnya. Satu tarikan kecil sudah cukup untuk menarik pulau apung lain yang terikat pada tali tersebut. Pulau itu datang mendekat, dan aku dapat melihat rak-rak buku diatasnya. Rak bukunya terbuat dari pohon, yang dahannya membentuk pegangan untuk meletakkan buku-buku. Didepan pulau tersebut, terdapat papan pemberi nama yang bertuliskan 'Peta'. Pulau ini adalah pulau yang menyimpan buku kategori peta.

Nuvol melayang ke pulau tersebut, dan mengambil beberapa gulungan kertas. Ia membaca beberapa kata dan berpaling pada kami. Pandangannya terlihat prihatin. Aku menelan ludah, karena aku merasa hal yang akan kita hadapi akan sangat sulit.

"Anak-anakku, untuk sampai ke Gua Tersembunyi, kalian harus masuk ke Dunia Bawah." Nuvol melepas kacamatanya, menghapus keringat dingin di dahinya, dan memasang kembali kacamatanya. "Dunia Bawah dihuni oleh para Iblis dan peliharaannya, seperti ular raksasa, dan hal-hal lain yang bisa kalian bayangkan."

Nuvol menjulurkan lengannya lagi, dan burung hantu berwarna hitam bertengger di lengannya. Ia membaca gulungan yang dibawa oleh burung hantu itu. "Terimakasih, How."

"Untuk mencapai Dunia Bawah, kalian harus mencari tujuh koin dari lambang tujuh dosa paling mematikan, yaitu Kesombongan, Ketamakan, Iri Hati, Kemarahan, Hawa Nafsu, Kerakusan dan Kemalasan. Kumpulkan koin-koin tersebut, dan letakkan di portal masuk Spalvia. Ia akan terbuka menuju Dunia Bawah." Nuvol membacakan gulungan tersebut dengan suara yang begitu keras. "Dan saat kalian sampai disana, aku sungguh tidak tahu bahaya apa yang menunggu kalian."

Matt membatu disampingku. Ia terlihat kaget, sama sepertiku. "Aku tidak tahu bahwa segenting ini."

"Tidakkah kita perlu pasukan untuk itu?" Aku bertanya pada Nuvol.

Nuvol menggeleng. "Anakku, Spalvia dan Dunia Bawah memiliki banyak protokol untuk siapa yang bisa masuk dan keluar. Hal itu menjaga perdamaian diantara kami." Ia menghela napas. "Kedatangan prajurit dengan jumlah yang banyak akan memberi sinyal perang diantara kami."

Aku semakin resah. Aku menggigit jariku dan melihat sekitar. Aku baru sadar bahwa banyak sekali pulau apung yang terbang diantara kami. Aku dapat melihat beberapa orang, peri maupun setengah hewan yang sedang duduk di pulau-pulau kecil itu, membaca buku.

Nuvol bergerak mendekati Matt. Ia memberikan gelang dengan batu permata bulat berwarna putih dan dengan tali hitam. "Kau tahu gunanya, Matt." Dan Matt mengangguk. Ia berterimakasih pelan kepada Nuvol.

Dan untukku, Nuvol memberikan 3 buah botol kecil berisi cairan dengan warna yang berbeda kepadaku. Ia berbicara dengan mata abu-abunya yang berkilauan. Seperti menghipnotisku, aku tidak dapat bergerak saat Ia berbicara. "Jen, anakku. Cairan berwarna biru adalah Kehidupan." Ia mengenggam botol dengan cairan biru dihadapanku. "Gunakanlah saat yang seharusnya hidup menghadap kematian."

Lalu Ia mengenggam botol dengan cairan berwarna ungu. "Cairan berwarna ungu adalah Keajaiban. Gunakan saat hati kecil yang tersesat membutuhkan keajaiban."

Terakhir. Ia menggenggam botol dengan cairan berwarna hijau tua. "Dan yang terakhir adalah Cahaya. Gunakan saat kau mencari jalan diantara kegelapan dunia."

Dan dengan itu, aku terlepas dari ikatan tak kasat mata tatapan Nuvol. Aku mengangguk dan mengambil ketiga botol itu. "Terimakasih."

Nuvol memberikan peta Dunia Bawah pada Matt. "Kau harus kembali dengan selamat. Jagalah Nona Jen dan bawalah kembali adiknya." Nuvol mulai menangis.

"Oh, Pak Tua. Jangan menangis." Matt memeluknya sambil tertawa. Nuvol memberontak marah, wajahnya berubah menjadi merah.

"Siapa yang kau panggil Pak Tua, hah?" Nuvol berteriak. Matt hanya tertawa.

"Aku dan Jen akan kembali dengan sehat. Aku janji." Matt berdiri tegak dengan ekspresinya yang serius. Ia menggandeng tanganku. "Jangan membatu seperti itu, Jen. Kita pasti bisa bertemu Carsie lagi."

Matt selalu punya cara untuk menenangkan orang lain, bahkan ketika dia sendiri merasa takut. Ia tersenyum kepadaku, dan akupun membalas senyumannya. Nuvol menghapus air matanya. "Nona Jen, kita bahkan belum kenal dekat. Tapi aku sudah merasa kau adalah anakku sendiri. Datanglah saat kau punya pertanyaan."

Aku mengangguk. Matt melepaskan tanganku dan menunduk hormat kepada Nuvol. "Kami akan pergi dulu, Nuvol. Untuk bersiap melakukan perjalanan."

Nuvol mengangguk setuju. Ia memerintahkan kami mundur menuju pulau pertama yang kami injak. "Nona Jen, sekarang kau harus berpegangan." Dan aku berpegangan kepada pilar putih. Dengan satu jentikkan tangannya, pulau kami turun dengan cepat menuju permukaan lagi.

***

"Bagaimana ini, Matt?" Aku bertanya pada Matt. Ia menatapku.

"Ayo, Jen. Kita pergi ke Scithsie."

"Bar? Disaat seperti ini?" Aku bertanya, tidak percaya dengan keputusan Matt.

"Disana tempat semuanya berkumpul, Jen." Matt berbalik. "Mungkin kita bisa meminta bantuan dari sana."