webnovel

Istana Ruby

Matt memimpin jalan. Interior dari istana ini sungguh luar biasa. Langit-langitnya tersusun dari kristal stalagtit yang indah berwarna merah. Beberapa bagian dari tembok batu berwarna abu-abu kecoklatan tertutup kristal yang menjuntai. Walaupun begitu, istana cukup tinggi sehingga kristal-kristal itu tidak akan mengenai kepalamu, kecuali kau seorang raksasa.

Lantainya terbuat dari batu yang terlihat tidak rata. Namun, saat aku berjalan mengikuti Matt, aku menyadari bahwa permukaan lantai istana ini benar-benar rata. Selain itu, hal yang paling menarik adalah langkah Matt membuat warna lantai istana berubah. Saat Matt berdiri diatasnya, lantai batu berwarna abu-abu gelap akan berubah menjadi kemerahan, seperti batu yang telah lama dibakar atau bahkan lava. Jejak yang ditinggalkan tetap menyala, sebelum akhirnya memadam dengan sendirinya, kembali menjadi batu abu-abu tua.

Aku melihat sekitar, dan mempelajari bahwa penjaga di sepanjang jalan istana ini juga membuat lantai istana menyala merah.

Lalu aku menunduk, memperhatikan langkahku. Aku tidak membuat lantai membara dengan sinar merah terbakar. Apakah lantai istana ini hanya bereaksi pada penduduk asli Kerajaan Merah? Aku bertanya dalam hati. Tetapi sepertinya apa yang kupikirkan benar adanya.

Aku dan Matt berhenti di depan pintu batu besar. Pintu itu tertutup rapat dan terlihat berat. Penjaga di sisi kanan dan kiri menoleh ke arah Matt, dan salah satunya membuka pelindung wajahnya.

"Perihal?" Penjaga itu bertanya

"Penculikan dari dunia lain. Oleh makhluk Spalvia." Matt menjawab. Penjaga satunya menoleh dengan cepat, seperti terkejut.

"Dan siapa dia?" Penjaga itu menunjukku dengan tombak besinya.

"Keluarga dari korban."

"Tidak cukup untuk membawa orang dunia lain ke Spalvia. Dia tidak boleh menemui Ratu." Penjaga itu memberi sinyal kepada penjaga lain untuk menangkapku. Aku menoleh ke kanan dan kiri, mulai bergerak panik. Matt mencengkram pergelangan tanganku.

"Aku percaya dialah yang diincar oleh Dover." Matt berkata dengan lantang. "Dia harus menemui Ratu."

"Dover? Di dunia lain?"

"Benar. Masih belum diketahui bagaimana cara Dover keluar dari Spalvia. Karena itu aku harus melapor pada Ratu." Matt menatap penjaga itu dengan mata yang bersinar terang. Sinarnya lain, seperti api yang berkobar.

Penjaga itu mundur, dan memberi sinyal kepada penjaga lain untuk mundur. Rupanya mereka sudah mengepung kami dengan tombak besi dari setiap sudut. "Baiklah."

Matt masih menatap penjaga itu dengan tegang. Aku menyentuh bahunya. "Matt?" Aku memanggilnya. Ia menggeleng. Penjaga itu kembali ke posisinya disamping pintu batu

***

"Sekarang apa? Ia takkan membukakan pintunya untuk kita?" Aku berbisik pada Matt.

Wajah Matt yang kaku berubah menjadi ekspresi senyum yang tulus, lalu Ia tertawa.

Matt yang biasa. Ia tidak pernah marah dalam waktu yang lama.

"Aku bisa membukanya sendiri, Jen." Matt meletakkan tangannya di tengah-tengah pintu.

Setelah melihat pintu itu, aku mempelajari bahwa pintu batu besar itu terdiri dari dua daun pintu yang diberi segel di bagian tengahnya. Seperti gembok batu besar berbentuk bulat dengan ukiran-ukiran yang tidak kumengerti.

Setelah Matt meletakkan tangannya di gembok batu, perlahan pintu itu memancarkan warna merah terbakar, seperti efek lantai istana ini. Perlahan merambat dari cap tangan Matt sampai dengan keseluruhan pintu. Saat semua bagian telah berwarna merah menyala, pintu itu terbakar, kobaran api berpendar merah dan kuning. Aku berlindung di belakang punggung Matt.

Pintu itu akhirnya terbuka, walau masih terbakar. Karpet merah terbentang panjang, ujungnya memancarkan api yang berasal dari pintu batu.

"Indah, bukan? Seperti gua batu yang bersinar." Kata Matt. "Kau tahu, dengan kristal-kristal di atas."

Aku mengangguk, lalu mengikuti Matt berjalan. Ruangan itu besar, masih dengan kristal stalagtit sebagai langit-langitnya, tetapi terdapat tangga rendah yang ditutupi dengan jejeran penjaga berbaju besi berwarna merah dan emas. Mereka begitu tinggi dan berbaris rapat, sehingga aku tidak dapat melihat apa yang berada di balik para penjaga itu.

Matt berlutut hormat. Aku terlambat menyadarinya, dan salah satu penjaga memberiku tatapan yang galak dengan mata merah menyalanya. Aku segera berlutut di belakang Matt.

"Aku berharap untuk menemui Ratu."

Dan jejeran penjaga itu membuka jalan, berganti posisi dari jajaran horizontal menutupi bagian depan ruangan menjadi barisan di sepanjang dinding ruangan.

Bagian yang ditutupi oleh penjaga adalah singgasana Ratu Merah, yang terbuat dari batu kristal yang lebih merah dari kristal-kristal yang sebelumnya kulihat. Ukiran di sepanjang singgasana dibuat begitu teliti dan indah. Terdapat beberapa butir emas sebagai hiasan.

Namun, tidak ada yang menduduki singgasana tersebut.

Matt berdiri, dan aku pun mengikutinya. "Dimana Ratu?" Matt bertanya pada penjaga yang berada paling dekat dengannya.

"Disini." Seorang wanita masuk kedalam ruangan dari pintu lain, bersisian dengan singgasana. Kulitnya berwarna kuning langsat, rambutnya bergelombang merah, dan bukan merah ginger head, melainkan benar-benar merah. Tekstur rambutnya yang bergelombang terlihat indah dan cantik, tetapi juga terlihat seperti api yang sedang berkobar. Matanya berwarna merah, jauh lebih cemerlang dari Matt. Tubuhnya tinggi dan ramping, aku memperkirakan umurnya sekitar 27-30 tahun. Ia terlihat kuat namun anggun secara bersamaan. Terdapat lima buah batu permata merah menghiasi dahinya, terbingkai mengikuti alisnya yang merah.

"Aku berlatih. Berlatih! Kau tahu situasi apa yang menyebabkan seorang ratu berlatih bertempur?" Ratu berbicara dengan suara yang lantang. "Ada sesuatu yang salah, Matthew."

Matt tersenyum pada ratu. "Benar, Yang Mulia."

"Sesuatu yang salah. Beberapa hewan di utara mulai kembali liar, dan tidak tunduk kepadaku. Aku sudah mengirim penjaga untuk memanggil mereka kesini, tetapi tidak ada yang kembali. Satupun!" Ratu mondar-mandir di sekitar singgasana, dan langkahnya meninggalkan efek terbakar yang hebat. Kobaran api setinggi pria dewasa membakar jejak sang ratu. Bahkan gaun Sang Ratu yang cantik berwarna merah berkilau dengan ornamen emas terlihat terbakar.

"Perang akan segera tiba, Matthew. Dan aku tidak bisa membayangkan kita akan melawan siapa. Tidak ada yang mengganggu kedamaian Spalvia selama lebih dari 5 abad. Dan... dan... dan siapa ini?" Ratu menghentikan gerakannya saat melihat kepadaku. Api yang terlihat hinggap di jejak dan gaunnya menjinak.

Aku salah tingkah, dan kembali menunduk hormat kepada Sang Ratu. "N-namaku Jen, Yang Mulia."

"Ah, Jen. Kulihat kau bukan dari kerajaanku." Ratu berjalan mendekati singgasananya. "Mengapa kau membawanya kesini, Matthew?"

"Adik Jen diculik dari dunia lain oleh Dover, Yang Mulia." Matt menjawab. Ratu menatap Matt dengan tatapan terkejut. "Dan ada beberapa hal yang perlu kulaporkan."

"Katakan." Ratu duduk di singgasananya. Singgasana dari kristal itu bersinar terang saat tersentuh oleh ratu.

"Dover berkeliling di dunia lain dan menculik manusia biasa. Aku berusaha mencari portal yang aktif disekitar Desa Greyhose, tetapi tidak ada satupun. Semua portal masih harus diaktifkan oleh penduduk Spalvia yang memiliki tanda warna."

"Bagus, berarti portal masih terkunci. Tetapi itu tidak menjelaskan bagaimana Dover bisa keluar masuk ke dunia lain." Ratu terlihat cemas.

"Benar. Dan tidak jelas apa yang mereka cari." Matt menghela napas. "Sesungguhnya aku merasa bahwa adik Jen bukan target dari para Dover itu."

Ratu duduk tegak di singgasananya. Ia menatapku dengan prihatin.

"Lalu, Yang Mulia." Matt melanjutkan. "Ada hal mengejutkan yang terjadi di portal saat aku dan Jen hendak memasuki Spalvia."

Ratu kembali memperhatikan Matt.

"Jen memancarkan sinar putih yang sangat terang di sekujur tubuhnya."

Ratu terkejut. "Kapan?" Tanya Ratu.

"Saat aku mengaktifkan portal. Sinar rembulan mengenai portal dan Jen turut bersinar." Matt berbicara sambil menatap mata ratu.

Ratu berdiri dan menghampiriku. Ekspresinya sangat dingin, dan sinar dari matanya membuatku takut. Ingin sekali rasanya aku meraih Matt dan berlindung dibalik punggungnya.

"Namaku Ruby." Ia bekata padaku. Ekspresinya berubah menjadi ramah saat Ia berbicara. Aku tidak tahu harus berkata apa, sehingga aku hanya mengangguk. "Turut berduka soal adikmu, Jen."

Aku menunduk. Ratu menepuk tangannya, memanggil penjaga. "Siapkan makanan untuk tamu kita!" Dan berpaling kepadaku dan Matt. "Kalian pasti lapar. Ikuti aku."

***

Kami mengikuti Ratu Ruby ke ruang makan dari pintu alternatif disamping singgasana. Kami melewati tiga lorong dan sebuah tangga keatas untuk sampai ke ruangan itu.

"Duduklah." Perintah ratu. Akupun duduk bersebrangan dengan Matt di meja panjang.

Ruangan itu sedikit sempit, mungkin karena meja yang begitu besar mengisi ruangan itu. Meja itu mungkin bisa menampung sekitar 50 orang untuk makan diatasnya. Dindingnya berbulu merah dengan motif mandala yang cantik, dan langit-langitnya bukan lagi stalagtit, melainkan awan-awan kemerahan yang melayang berterbangan.

"Bawakan makanannya masuk!" Sahut ratu.

Matt mengangkat tangannya, seperti hendak berbicara dengan guru didalam kelas. Ratu melihatnya.

"Ah, dan makanan berbahan sayur untuk Matthew." Ratu menambahkan. Pelayan menunduk hormat sebelum pergi meninggalkan ruang makan.

"Aku tidak mengerti mengapa Matthew menolak untuk makan daging, Jen. Hidangan Spalvia sangat lezat." Ratu tersenyum kepadaku. Aku tersenyum kembali.

Matt bukanlah seorang vegetarian, ataupun vegan. Matt makan daging di dunia kami hampir setiap harinya. Setidaknya kami sering makan daging bersama, baik hamburger ataupun jajanan Greyhose lainnya. Aku menatapnya bingung.

"Jelaskan kepadaku, Jen. Seperti apa Dover yang kau lihat?" Ratu bertanya padaku. Ia duduk di sisi depan, paling jauh dari aku dan Matt.

"Uhm, bentuk kepalanya seperti alien. Tubuhnya kurus sekali, dan tangan serta kakinya panjang." Aku menjawab ratu. Ia manggut-manggut.

"Kau tahu bahwa mereka mendeteksi kesedihan, bukan?" Ratu bertanya. Aku mengangguk mengiyakan. "Apakah kau merasa sedih beberapa hari ini?"

Aku mengingat kembali apa yang kurasakan. "Mungkin, sedikit."

"Bolehkah aku mengetahui apa yang membuatmu sedih?"

Aku sedikit memanyunkan bibirku, sebenarnya aku tidak senang mengatakan hal ini kepada orang lain, tetapi mungkin ini ada hubungannya dengan penculikan Carson. "Aku merindukan ayahku."

Ratu tidak bertanya lagi, dan Matt menatapku dengan sangat prihatin. Ia terlihat terkejut dengan jawabanku.

"Kemana ayahmu pergi?" Sang Ratu kembali bertanya setelah beberapa saat diisi oleh keheningan.

"Ayahku meninggal beberapa tahun lalu. Kadang aku merindukannya."

"Apakah kau kesepian?" Tanya ratu. Pertanyaannya mengarah pada sesuatu, tetapi aku tidak tahu apa tujuannya. Aku tidak tahu harus menjawab apa.

Sebenarnya, aku tahu pasti akan menjawab apa. Aku tidak kesepian. Aku punya Carson yang lucu dan Matt yang selalu tiba-tiba muncul. Ibu juga selalu ada untukku, walau Ia sibuk. Aku hanya merindukan ayah. Itu hal yang normal, kan?

"Aku bertanya untuk mengetahui perasaanmu sebenarnya, Jen." Ratu berkata lagi. "Dover hanya memakan rasa sedih dan takut yang kelam. Depresi, keinginan bunuh diri, dan lain-lain. Ia takkan dapat meraihmu apabila yang kau rasakan hanya sekedar rindu pada ayahmu."

Aku menatap Sang Ratu. "Kesedihan berdasar cinta mungkin mematikan, namun apabila benar cinta yang kau rasakan, Ia pasti akan membuatmu lebih kuat lagi." Ia tersenyum. "Aku yakin ayahmu ingin melihatmu menjadi yang kuat, bukan begitu Jen?"

Aku tersenyum dan mengangguk. Tiba-tiba pintu terbuka dan tiga orang pelayan berkaki kambing masuk membawa nampan-nampan emas. Mereka berdiri disisiku, ratu dan Matt lalu menghidangkan makanan pembuka.

Aku memandangi hidanganku. Sebuah daging dengan porsi kecil, dari teksturnya terlihat seperti daging ikan. Daging itu terlihat segar dengan warna biru layu, yang disiram dengan saus warna merah. Aku mengira rasanya akan pedas, namun ternyata tidak. Rasanya asin, dan dagingnya sangat empuk dan memberikan sensasi meledak dengan rasa gurih. Lezat sekali.

Aku memuji hidangan tersebut. "Makanan ini lezat sekali." Ratu tersenyum.

"Terimakasih. Ini adalah hidangan khas Spalvia. Dibuat dari-" Dan saat ratu sedang menjelaskan bahan hidangan, Matt menyela.

"Apa yang kau makan berbeda denganku, Jen." Matt menatapku dan ratu bergantian. "Kau mau mencobanya?"

Aku menatapnya heran. "Ah, tidak. Terimakasih." Ada apa dengan cecunguk ini? Bukankah sangat tidak sopan untuk menyela perkataan ratu? Dan saat aku melihat Matt, Ia menunjukkan tatapan jijik terhadap makananku. Alisnya mengerut dan bibirnya terangkat di satu sisi.

"Apa?" Aku berbisik padanya. Matt tidak mendengarku.

Makanan pembuka selesai, kemudian pelayan kembali dengan membawa makanan utama. Sepertinya daging sapi, bentuknya seperti steak pada umumnya dengan garis-garis barbecue. Beberapa sayur hijau dan saus putih. Terlihat normal.

"Apakah kau dan Matthew adalah teman, Jen?" Ratu bertanya kepadaku.

"Benar, Yang Mulia. Kami berteman sejak kecil."

"Ah, apakah kau Intan? Apakah dia Intan, Matthew?" Ratu berpaling kepada Matt. Matt menunjukkan ekspresi kaget dan mengisyaratkan 'Diam!' kepada ratu. Aku terkejut dengan reaksi Matt. Aku bertanya-tanya dalam hati, apakah Matt dan Ratu Ruby akrab?

"Ah, rahasia. Tetapi akhirnya aku bertemu denganmu, Jen." Ratu kembali menaruh perhatiannya kepadaku. Aku masih tidak mengerti apa yang mereka bicarakan.

Aku mengunyah makananku, dan sekali lagi aku melihat Matt memberi tatapan jijik terhadap makananku. Dahinya merengut lebih dari tadi.

"Apakah Ia menyebalkan?" Tanya ratu.

"Eh?" Aku melihat Matt sebelum menjawab ratu. Aku menunjukkan senyum meledek. "Benar, Matt menyebalkan sekali."

Ratu tertawa kecil. "Nakal, memang Matthew. Suatu hari, Ia pernah kabur latihan kesatria dengan melepaskan semua kuda kerajaan." Ia bercerita. "Butuh beberapa jam untuk mengejar kuda-kuda itu. Dan Ia dihukum latihan tujuh kali lebih berat selama seminggu."

Matt meledek ratu dengan membuat ekspresi merengut. "Paling tidak, karena latihan itu sekarang aku adalah kesatria bintang tiga."

"Dan aku Ratunya, Matthew. Kau tidak bisa sombong. Aku tidak iri." Kami semua tertawa.

***

Kami menyelesaikan makanan utama dan pelayan datang lagi untuk mengantar makanan penutup.

"Aku akan melewati makanan penutup." Matt berdiri dan membungkuk hormat kepada ratu. "Perlu usaha untuk mempertahankan ini." Ia menepuk-nepuk perutnya.

Ratu tertawa. "Pertahankan selagi kau membolos latihan tiga kali berturut-turut, Matthew."

Matt tertawa, lalu keluar ruangan. Pelayan meletakkan makanan penutup di meja. Kue berwarna putih dan saus manis berwarna biru. Ada hiasan seperti lidi berwarna coklat diatasnya. Aku memakannya.

Setelah dua suap, aku menyadari bahwa hiasan coklat diatas kueku bergerak. Aku terkejut. "Apa ini? Mengapa coklatnya bergerak?" Aku bertanya pada ratu.

"Oh, itu adalah kue malaikat. Terbuat dari tepung gandum, buah surga dan antena serangga rimba." Jawab ratu. "Lezat bukan? Oh dan saus birunya terbuat dari darah pohon Aquorea."

Aku mengangguk, namun tidak melanjutkan makanku. Mendengar serangga dan darah sudah cukup untuk membuatku mual.

"Kenapa?" Tanya ratu. Aku menggeleng, berkata bahwa aku sudah kenyang. Ratu mengangguk dan memberi sinyal kepada pelayan untuk membersihkan mejaku.

"Temui Matthew, dan menghadaplah kepadaku di ruang singgasana." Ratu berkata padaku setelah meja sudah bersih. Aku mengangguk, berdiri dan memberi hormat kepadanya. Aku berterimakasih atas makanan yang telah Ia hidangkan. Ratu tersenyum.

***

Matt duduk diantara pillar kristal di taman istana. Ia terlihat sedang membersihkan pedangnya.

"Hey, ratu memerintahkan kita untuk menghadapnya di ruang singgasana." Aku menyapa Matt. Ia masih sibuk dengan pedangnya, sambil sesekali menatapku. Senyum jahil tampak di wajahnya.

"Apa?" Aku bertanya pada Matt. Ia tertawa.

"Kenyang?" Tanya Matt.

"Uhm, ya."

Matt tertawa saja. Lalu Ia bangkit dan berjalan menuju pintu istana. Aku menarik lengannya.

"Apa, Matt? Jangan sembunyikan apapun dariku." Matt masih tertawa, membuatku gusar.

"Bolehkah aku bertanya padamu, Jen?" Kata Matt. Aku mengangguk. "Apakah makanan Spalvia enak?"

Aku mengingat makanan yang dihidangkan ratu tadi, semuanya lezat. "Ya. Walau tadi aku mendengar sesuatu tentang makanan penutup. Terbuat dari serangga." Aku bergidik pelan. "Konyol, bukan?"

"Sekarang, pikir. Kalau makanan penutup saja dibuat dari serangga, daging dari makanan pembuka dan utama itu daging apa?" Mata Matt mengerling jahil.

Aku terkejut. Benar juga! Apa yang telah kumakan barusan? "Matt! Kau harus beritahu aku apa yang tadi kumakan!"

Matt tertawa. "Aku tidak tahu, Jen. Saat di Spalvia, kalau kau ingin makan dengan enak, lebih baik tidak mengetahui bahan-bahannya."

Aku bergidik ngeri membayangkan daging apa yang kemungkinan kumakan tadi. Apakah akan separah cicak raksasa yang kulihat di jalan? Sekujur tubuhku merinding.

"Kau tahu, aku pernah makan daging disini. Rasanya lezat sekali, kalau kau memakannya pasti kau suka." Matt bercerita.

"Lalu?" Aku bertanya.

"Karena aku menyukainya, aku bertanya apa nama makanan itu dan apa bahannya." Matt membuat ekspresi jijik seperti di meja makan tadi. "Aku memakan campuran lidah tikus raksasa dan atretochoana. Jangan cari hewan apa itu karena wujudnya seburuk yang kau pikirkan."

Aku ikut merinding mendengar cerita Matt. "Tetapi benar, rasanya benar-benar enak."

"Lalu apa yang kau lakukan?" Tanyaku, berjalan disisi Matt. "Setelah kau tahu apa yang kau makan?"

"Aku muntah." Jawab Matt. Aku tertawa terpingkal-pingkal mendengarnya.

"Terserah kau saja, Jen. Tapi aku peduli dengan apa yang masuk ke tubuhku! Kau takkan pernah tahu apa yang ada didalam daging-daging itu."

***

Kami kembali menghadap ratu di singgasananya. Ia menyambut kami lagi dengan senyuman hangat.

"Matthew, pergilah dan bawa Jen ke Nuvol, penjaga perpustakaan awan Spalvia Barat. Ia akan memberi tahu cara-cara untuk menemukan adikmu." Ia mengambil gulungan kertas kuno dari singgasananya. "Dan sampaikan pesan ini padanya."

Matt menerima gulungan kertas itu dan berterimakasih kepada ratu.

"Dan untukmu, Jen." Ratu mengalihkan pandangannya kepadaku. "Aku akan memberimu sebuah gaun dan sedikit hal lain."

Sang Ratu memberiku gaun berwarna merah dengan sedikit detail emas di kerah dan potongan tengah gaun. Gaun itu panjang, ringan, dan tentu saja cantik. Selain itu, Ia memberiku tas selempang yang cukup besar, dua kantung kulit dan sebuah buku. Aku tidak langsung memeriksa isinya, karena kupikir akan sangat tidak sopan membuka hadiah didepan pemberinya.

"Terimakasih banyak, Yang Mulia!" Aku sangat senang. Ratu tersenyum.

"Berikan aku kabar sesegera mungkin apabila terjadi sesuatu, Matthew." Ratu berkata kepada Matt. "Sesuatu yang salah sedang terjadi di Spalvia. Dan aku ingin kalian berhati-hati."

Ratu juga menyerahkan kantung kulit kepada Matt. Kami menunduk hormat untuk terakhir kali, lalu pergi dari ruangan singgasana.

"Bagaimana aku bisa berganti pakaian?" Aku terlihat sibuk sendiri dengan hadiah yang baru diberikan oleh ratu. Matt tersenyum melihatku. Ia menunjuk ke pintu di sebelah tangga istana.

"Bergantilah disana, cepat." Kata Matt.

***

"Bagaimana menurutmu?" Aku menunjukkan penampilanku kepada Matt.

Aku mengenakan gaun yang pas sekali ukurannya dengan tubuhku. Gaun merah dengan detail emas di kerah dan potongan tengah gaun. Tidak berlebihan, namun tetap saja, aku terlihat fantastis.

Matt terdiam sejenak, lalu membuang pandangannya. "Ya, bagus."

Aku sedikit kecewa dengan reaksi Matt. Sebenarnya aku tidak berharap, tapi akan sangat menyenangkan apabila Ia mengakui betapa cocoknya gaun ini di tubuhku.

"Sekarang kita akan pergi ke perpustakaan awan." Matt melihat peta yang Ia pegang. Sepertinya termasuk pemberian ratu tadi. "Oh, Jen. Kau akan menyukai tempat ini."

Next chapter