webnovel

JEN: Adventure in Red Kingdom

Jen merupakan anak biasa. Sepeninggal Ayahnya, hidupnya yang berwarna sekarang hanya tinggal aura abu-abu yang kusam. Hingga suatu hari, adiknya, Carson diculik oleh Dover ke dunia lain, Tanah 3 kerajaan, Spalvia. Dengan bantuan Matt, teman sejak kecil sekaligus kesatria di kerajaan Merah Tanah Spalvia, Jen dapat tiba di Tanah Spalvia dan mempelajari apa saja yang harus Ia hadapi untuk menemukan Carson. Dapatkah Jen dan Matt menyelamatkan Carson?

sophiadew · Fantasy
Not enough ratings
12 Chs

Hangatnya Scithsie

Suasana di Scithsie sungguh hangat, dengan penerangan berwarna kekuningan dan suara orang-orang yang sedang berbincang dan tertawa. Dindingnya terbuat dari kayu coklat terang, dan banyak meja tersebar diseluruh ruangan. Atmosfernya hangat, dan aroma udaranya manis. Banyak orang berkumpul untuk bercengkrama sambil minum.

Begitu aku dan Matt masuk ke bar ini, beberapa pasang mata menyambut kami. Lilith, sepertinya senang sekali melihat Matt sampai Ia meremas kain lap yang dipegangnya. Saat ini, bar terlihat tidak terlalu ramai. Matt memberiku sinyal untuk duduk di kursi depan meja island.

"Matt! Kau mampir! Apa yang ingin kau pesan?" Lilith meletakkan gelas yang sedang Ia keringkan dan langsung meluncur menuju Matt dibalik meja bar. Pada dinding di belakang Lilith, terdapat rak tinggi yang menunjukkan koleksi minuman berbotol warna-warni. Aku melihat Lilith dan Matt bergantian. Sepertinya Matt tidak tertarik, walaupun Lilith terlihat sangat menyukainya.

"Hmm, aku membawa orang baru, Lilith. Aku akan pesan Red Steam untukku, dan Dandelion Cotton Candy untuk dia." Matt menunjukku dengan ibu jarinya. Lilith memandangku.

"Dan siapa ini?" Lilith berusaha tersenyum kepadaku.

"Ah, namaku Jen." Aku menjawabnya. "Senang bertemu denganmu."

Dibelakang kami, seseorang menepuk pundakku dan Matt secara bersamaan. Ia adalah raksasa tadi. "Oi, Matt. Kau datang juga." Ia baru menyadari pundak siapa yang Ia sentuh, dan bereaksi cepat. "Eh, maafkan aku nona. Kau teman Matt?"

Aku mengangguk, tetapi Matt yang menjawab. "Ya, Hoggie. Jen ini temanku." Matt menatapku. "Jen, ini Hoggie. Raksasa Spalvia. Dan ini Lilith, nona penjaga Scithsie."

Hoggat dan Lilith melambaikan tangannya, menyapaku. Aku balas melambai sedikit, salah tingkah. Aku tersenyum kepada mereka.

"Apa yang membawamu kemari, Jen?" Hoggie duduk di kursi bar sebelahku. Aku menerka apabila kursi itu bisa bicara, Ia akan minta tolong. Hoggie terlihat sangat besar dari dekat.

Aku ingin menjawab, tapi suaraku tercekat. Matt mengambil alih. "Hal-hal buruk terjadi, Hoggie. Dapat dikatakan sekarang sedang siaga satu."

Hoggie membelalak menatap Matt. "Spalvia?" Ia bertanya. Matt hanya mengangguk.

Matt memandang sisi lain bar, dan Ia seperti melihat seseorang yang Ia kenal. "Aku permisi sebentar." Aku menatapnya pergi meninggalkanku sendirian ditengah-tengah orang asing. Maksudku, bagaimana bisa Ia lakukan ini padaku? Aku tidak hebat dalam berbicara dengan orang asing.

Hoggie membuka percakapan kami lagi. "Kau berasal dari mana?"

"Uhm, aku dari dunia lain."

"Woah, tidak mungkin! Mengapa jauh-jauh ke Spalvia?" Hoggie memperbaiki postur duduknya. "Paling tidak, Spalvia lebih bisa dinikmati saat tidak ada bahaya yang sedang mengintai, bukan? Biasanya turis yang kena batunya"

Hoggie tertawa. Aku tidak paham dengan humornya, yang terdengar sedikit seperti ancaman ditelingaku. Tetapi aku tetap tertawa. Pertama, aku ingin terlihat sopan. Kedua, aku takut Ia akan mengamuk dan membantingku ke meja bar. Walaupun kemungkinannya kecil, aku tidak ingin mengambil resiko.

"RED STEAM DAN DANDELION COTTON CANDY!" Seorang wanita, lebih tua dari Lilith tetapi berseragam sama keluar dari bagian dalam dapur bar. "Apakah kau yang memesannya, sayang?"

Wanita itu tinggi dan berisi-sedikit gemuk, malah-tetapi terlihat sangat menarik. Kulitnya sehitam eboni, dan rambutnya yang begitu pendek berwarna hitam legam. Dengan pakaiannya yang sama dengan Lilith-kurasa seragam penjaga bar ini-Ia terlihat sangat keibuan. Campuran sifat keibuan dan cara bicaranya yang terus terang dan seperti dinamit membuatnya sangat menarik.

"Astaga naga, Hoggie! Kau apakan pengunjungku! Lihatlah, Ia sudah tidak berdaya dan sangat pucat. Jangan menakutinya!" Wanita itu meletakkan dua minuman di meja island tempatku duduk. "Jangan khawatir sayang, Momma disini."

Hoggie menyampaikan protesnya kepada Momma. "Aku tidak melakukan apa-apa, wanita tua! Aku hanya menemaninya!"

"Kau jaga cara bicaramu kepada wanita, Hoggart." Momma memicingkan matanya kepada Hoggie. "Lagi pula, siapa yang memesan Red Steam di siang bolong seperti ini?"

Hoggie hendak membalas perkataan Momma, mengatakan bahwa bukan dia yang memesan Red Steam. Namun, Momma sudah mengalihkan perhatiannya kepadaku.

"Halo, sayang. Kau baru disini? Aku belum pernah melihatmu sebelumnya." Ia memandangku dengan mata marun seperti Lilith, namun lebih besar dan lebih berbinar. "Namaku Maple. Momma Maple. Semuanya memanggilku Momma."

Aku tersenyum dan menjabat tangannya. "Halo, Momma. Aku Jen."

"Dan kau sudah kuanggap anakku sendiri sekarang. Semua yang berkunjung ke Snitchsie adalah keluarga untukku." Ia tersenyum, menampilkan barisan gigi putih yang menawan.

"Hey, Momma!" Matt sudah kembali, dan Ia menyapa Momma. Momma yang terlihat senang disapa oleh Matt, memeluknya. Memeluknya begitu erat sampai sepertinya tidak ada udara untuknya bernapas. Atau bergerak.

"Matt, anakku sayang! Kemana saja kau hah?" Momma akhirnya melepaskan Matt. "Astaga. Kalian berdua bersama lagi. Sedang berencana apa, kalian? Jangan ledakkan barku!"

Yang Momma masksud adalah laki-laki di belakang Matt. Ia tertawa jahil. "Tidak meledakkan, Momma. Bagaimana dengan petasan didalam ruangan?"

Momma mengerang. "Jangan coba-coba ya, penyihir cilik!" dan mereka tertawa bersama. Matt melihat minumannya yang telah datang. "Oh, hey. Minumanku sudah siap!" Ia segera mengambilnya.

Menurut pengamatanku, minuman yang dipesan Matt, yang kurasa bernama Red Steam adalah cairan berwarna merah yang beruap. Aromanya manis namun juga pedas, seperti cabai dan gula bersamaan. Minuman itu disajikan di gelas besi besar. Matt langsung meminumnya, dan menimbulkan uap merah pada napasnya. Seperti saat cuaca bersalju, napasmu akan mengeluarkan uap? Nah, seperti itu. Hanya saja warnanya merah. Sedangkan untuk minumanku, cairan kuning terang seperti limun dengan awan kekuningan diatasnya. Sesuai namanya, Cotton Candy, aku rasa itu permen kapas.

"Aku sungguh tidak mengerti mengapa kau menyukai minuman itu Matt." Momma memandang Matt heran. "Cuaca Spalvia sudah cukup panas, dan kau merebus tubuhmu dengan itu. Di siang bolong!"

Matt tertawa. "Apa maksudmu, Momma? minuman ini hebat sekali!"

Momma menggeleng, lalu pergi karena pelanggannya yang lain memanggilnya. Matt berpaling kepadaku. "Cobalah minum!" Ia menunjuk minumanku.

Aku menghisap sedotanku, dan merasakan sensasi manis-amat manis-didalam mulutku. Rasanya hampir seperti permen. Namun selang sedetik, rasa manis itu hilang. Minuman itu berganti menjadi air biasa didalam mulutku. Aku segera menelannya.

"Apa ini?" Aku bertanya kepada Matt. Ia tersenyum dan mengeluarkan bunga dandelion dari balik telapak tangannya.

"Dandelion liar. Cantik bukan?" Matt menatap bunga itu. Lalu Ia meniupnya, dan satu persatu kelopaknya beterbangan. "Hilang. Seperti itulah minuman ini."

"Ah! Aku paham. Kau tahu rasanya manis sekali?"

"Ya, aku pernah meminumnya sekali. Gigiku sakit." Matt bergidik, memeluk lengannya. Aku tertawa.

"Uhm. Ahem." Seseorang dibelakang kami mendeham. Ia adalah laki-laki yang tadi berdiri dibelakang Matt. Matt menepuk pundaknya.

"Oh, ya! Hampir saja aku lupa." Wajah laki-laki itu menunjukkan ekspresi malas. "Karena perjalanan kita nantinya akan sangat jauh dan berbahaya, Jen, aku akan mengajak teman."

Laki-laki itu tersenyum, menjabat tanganku. "Halo, Jen. Aku Dylan. Nama manusia, he-he."

Ia berkulit putih, sama seperti Matt dengan rambut pirang kuning terang. Wajahnya sungguh tampan, dengan bibir merah merona dan pipinya yang tirus. Badannya jauh lebih berisi dan sedikit lebih tinggi dari Matt, tapi masih terhitung proporsional. Ia mengenakan pakaian berupa kemeja dan celana hitam pas badan, dengan jubah merah panjang-panjangnya semata kaki-menjuntai dari lehernya. Ia menakis jubah merah panjangnya ke belakang bahunya. Matanya merah cemerlang seperti Matt, dan ada sesuatu mengenai senyumnya yang membuatmu tertarik. Senyumnya sungguh mencerminkan bahwa Ia adalah seorang yang usil.

"Halo, Dylan. Aku Jen." Aku menjabat tangannya sambil tersenyum.

"Dylan ini seorang penyihir." Matt memandang Dylan dengan tatapan kagum. Namun Ia mendekat kepadaku, dan berbisik, "Yang amatir."

Dylan mendengarnya, dan meninju bahu Matt. "Tidak, Nona Jen. Aku memang belum terlalu hebat, tapi aku berusaha."

"Tolong panggil aku Jen saja."

"Baiklah, Jen saja."

Aku memutar bola mataku, namun tertawa setelahnya. Matt menyorakinya "Lelucon yang payah! Kau seperti orang tua!" dan mereka berdua kembali saling pukul.

Aku setuju dengan Matt. Itu lelucon yang payah.

***

Bar ini sungguh terasa hidup, dan kekeluargaan terasa di setiap sudutnya. Aku melihat Momma sedang bercerita dengan heboh kepada pengunjungnya, sepertinya Ia sudah mendengar berita siaga Spalvia dari Hoggie. Beberapa orang berkumpul di sudut untuk mendengar cerita Momma. Matt dan Dylan sedang berbincang tentang strategi menuju Dunia Bawah, meninggalkanku sendiri dengan pikiranku.

Diujung ruangan, aku sekilas melihat seseorang yang sedang memperhatikanku. Ia adalah makhluk merah yang aku lihat saat menuju Perpustakaan Langit tadi. Ia bergerak mendekatiku.

"Hal yang baru, Spalvia, eh?" Ia duduk di sisi kiriku yang kosong. Senyumnya sangat menarik, membuatnya yang sudah terlalu tampan menjadi lebih bersinar.

Makhluk itu berwarna merah-maksudku-benar-benar merah, aku tidak bercanda. Sekujur kulitnya rata berwarna merah. Aku baru menyadari Ia memiliki tanduk kecil berwarna hitam. Mungkin itu sebabnya tanduk itu tersembunyi dibalik rambutnya. Ia menggunakan celana hitam panjang dan sepatu bersinar berwarna hitam, namun tidak mengenakan baju. Ya, Ia bertelanjang dada. Tubuhnya berotot namun tidak berlebihan. Seperti Zac Efron pada tahun 2007-2008. Dan apabila kalian tidak tahu rupa Zac Efron pada era itu, kuberi tahu saja, Ia terlihat menakjubkan. Rambutnya bergelombang hitam dan alisnya tebal sekali. Ia memandangku dengan mata merahnya yang dalam.

"Ah, ya. Masih berusaha memproses semua ini." Aku menjawab, dengan sedikit tawa supaya terlihat manis.

Apa-apaan itu barusan? Aku menunduk, memikirkan tawa kecil yang barusan kulontarkan. Aku pasti terlihat bodoh.

Namun Ia tertawa. "Aku Diavolo. Kau pasti terlalu sopan untuk bertanya apa yang terjadi pada kulitku." Ia menunjuk tubuh bagian atasnya. "Merah pekat."

Aku mengangguk, dan memberikan perhatian penuh kepadanya. "Aku seorang Setan. Sebenarnya, aku keturunan setan ke..." Diavolo terlihat menghitung dengan jarinya. "...sekian. Tapi kami tidak semuanya jahat, kau tahu. Aku tahu cerita turun temurun di duniamu tentang Setan. Kejam sekali, kau tahu?"

"Oh, aku tidak berpikir seperti itu!" Sebenarnya, aku berpikir seperti itu. Aku takut pada setan. Semua orang takut. "Paling tidak, tidak kepadamu!" Yah, kalau itu benar.

Aneh sekali, aku tidak biasanya seperti ini. Belum genap lima menit aku mengenal Diavolo, dan aku sudah kehilangan kendali dalam bersikap. Pesonanya memang tidak main-main.

Diavolo tersenyum mendengar responku. "Kau terlihat baik. Jen, kan?"

Aku mengangguk, tersenyum.

"Kau cantik sekali. Aku sudah dengar soal adikmu. Turut bersedih, ya. Seandainya aku bisa membantu." Ia menghela napas.

Aku tidak mendengar kalimat setelah 'Kau cantik sekali.' Selama ini banyak yang memujiku, tetapi sepertinya hanya ini yang aku pedulikan. Aku merasakan wajahku panas, dan menebak bahwa pasti aku terlihat merah sekarang.

"Ah, Volo! Sang pangeran cinta Spalvia. Kau tidak memikirkan yang tidak-tidak kan, kawan?" Dylan dengan rusuh memaksa masuk diantara aku dan Diavolo. Matt hanya diam menyaksikan.

Diavolo, yang tadinya berekspresi senang, berubah menjadi gusar. Ia menepis tangan Dylan yang merangkulnya, dan berdiri. "Senang bertemu denganmu, Jen." Ia menatapku, tidak memperdulikan Dylan ataupun Matt. "Kuharap kita akan bertemu lagi." Dan Ia berkedip, lalu berbalik pergi. Aku kehilangan kata-kata, memetung sejenak. Dylan memberi gestur meledek seakan berkata 'bagaimana denganku?' lalu berpaling kepadaku.

"Tidak, tidak, Nona Jen!" Dylan menjentikkan tangannya didepan wajahku. "Kau tidak akan berpikir tentang apapun yang kau pikirkan sekarang!"

Aku masih melayang dalam pikiranku. "Hmm?" Aku menjawab Dylan. Mataku masih kosong, melihat udara kosong. Dylan menjentikkan tangannya sekali lagi, dan gelas berisi air yang berada di meja terbang ke arahnya. Ternyata benar Ia seorang penyihir.

Matt diam saja. Dylan mengguncang-guncangkan tubuhku. "Oh, Jen! Ini buruk sekali. Volo adalah penghancur hati, pemberi harapan palsu, perayu wanita, pengembara cinta, dan... dan..." Ia melihat kanan dan kiri, mencari inspirasi. "Buruk sekali Jen! Jangan masuk perangkapnya!"

Aku tertawa. "Tentu saja tidak, Dyl. Aku baik-baik saja. Tidak memikirkan apapun itu."

"Oh ya, dia baik-baik saja. Tatapan kosongnya mengatakan itu." Momma muncul di belakang meja bar, membersihkan gelas-gelas kami. Ia mengatakannya untuk meledekku, karena untuk orang yang buta akan cinta pun pasti melihat reaksiku dan mengerti bahwa aku terpikat pada Diavolo. "Tampan dan menawan, Volo. Untung saja aku sudah terlalu tua untuknya. Tidak akan patah hati seperti gadis-gadis malang itu." Momma menunjuk ke ujung ruangan, dimana perempuan-perempuan muda duduk dan berkumpul. "Tapi kadang aku merasa Volo berusaha merayuku, asal kalian tahu. Aku tidak luput dari perhatiannya." Momma tertawa.

Perempuan-perempuan itu mengenakan gaun cantik yang mengembang, namun kepala mereka... berbeda. Kepala mereka tidak memiliki rambut panjang sepertiku, melainkan kelopak bunga. Kelopak bunga berwarna-warni yang besar dan cantik. "Diavolo selalu suka yang cantik, kau tahu Jen. Semua suka yang cantik." Momma menatapku. "Jadi jangan biarkan lelaki haus perempuan itu masuk ke kepalamu."

Aku tersenyum lalu mengangguk. "Bahkan, jangan percaya pada lelaki manapun. Mereka hanya berbohong kepadamu sepanjang hari." Momma berkacak pinggang, mengerutkan dahinya. Matt dan Dylan mengerang tidak setuju. "Kami lelaki baik-baik!"

Aku tidak tahu mengapa, tetapi perkataan Dylan dan Momma masuk dan keluar begitu saja dari telingaku. Aku mendengarkan, tapi tidak memasukkan intinya kedalam kepalaku. Kalaupun dia jahat dan penghancur hati, bukan berarti Ia takkan berubah, kan?

Matt memotong. "Sudahi pembahasan ini. Kita harus berpikir keras tentang Dunia Bawah." Ia menjentikkan tangannya. "Untuk mencari Carson."

***

Kami berpindah tempat, dari meja island dihadapan Momma ke meja biasa diujung ruangan. Aku duduk berhadapan dengan Matt dan Dylan.

"Koin lambang tujuh dosa paling mematikan. Itu adalah langkah pertama yang harus kita lewati." Matt membuka pembicaraan.

"Atau tujuh." Dylan memotong. Matt menoleh perlahan, tatapannya marah. "Tujuh koin tidak berada di tempat bersamaan kan? Tujuh langkah!"

Matt memutar bola matanya, tidak memperdulikan Dylan yang masih mengoceh aku tidak salah! "Aku belum pernah melihat koin itu sebelumnya."

Bunyi mengetuk terdengar dari meja sebelah kami. Diavolo. Matt menghela napasnya. "Ada yang bisa kubantu, Volo?"

Dylan menjentikkan tangannya, dan minumannya terbang dari meja menuju tangannya. Ia menyeruput minumannya dengan canggung, matanya tertuju pada ketegangan antara Matt dan Diavolo.

"Kalau disini benar ada yang butuh bantuan, itu adalah kalian, Matt." Mata Diavolo berhenti pada mataku. Ia menatapku dalam, lalu tersenyum.

Dylan, tanpa malu menghadang tatapan Diavolo dengan telapak tangannya didepan wajahku. Separuh tubuhnya berada diatas meja, karena aku berada cukup jauh di seberangnya. Dia sungguh terlihat konyol untuk seseorang dengan perawakan yang tampan. Kepribadian dan wajahnya tidak sesuai. Aku memelototi Dylan. Apa yang salah denganmu?

Diavolo menghela napas, menggeleng. "Aku mendengar sesuatu tentang koin tujuh dosa paling mematikan, apa aku salah?" Ia menatap Matt sekarang. Tatapannya berbeda. Ia memandangku dengan dalam dan teduh, namun Ia memberikan tatapan dingin-namun-membakar kepada Matt. Matt pun sama, tatapannya tidak kalah tajam dari Diavolo.

"Benar." Matt menjawabnya.

"Hey, mengapa tak datang kepadaku? Walaupun aku setan berhati baik, aku masih mengetahui satu-dua hal tentang itu." Ia berkedip kepadaku. Aku tertawa kecil.

Matt menatapku sedikit, seperti mengintip. Ia kembali fokus kepada Diavolo.

"Ya? Apa yang kau ketahui?"

"Banyak hal, prajurit." Diavolo tertawa sinis, lalu menghisap minuman yang Ia pegang. "Apa yang ingin kau ketahui?"

Matt terlihat geram sekali, Ia mengepalkan tangannya. "Volo." Ia tertawa sedikit. Mungkin Matt tidak terlihat spesial di mataku, namun aku mengerti mengapa Lilith dan beberapa perempuan lain terpesona olehnya. "Mengapa tidak cepat saja kau sampaikan, kawan? Kau ingin membantu Jen, bukan?" Matt menunjukku tanpa menoleh.

Diavolo melemparkan pandangan pedasnya dari Matt menjadi tatapan dalam dan teduh kepadaku. Lalu tatapan biasa untuk Dylan. Dylan merespon tatapannya dengan memberi ekspresi apa? kepada Diavolo. "Tentu saja aku mau membantumu, Jen."

Diavolo duduk disebelahku, merangkulku. Gesturnya membuat Dylan maju sedikit, hendak menghajar Diavolo. Diavolo mengangkat tangannya dari pundakku, dan meletakkannya di udara. "Whoa, santai kawan. Baiklah."

"Koin lambang tujuh dosa paling mematikan tersebar bersama orang-orang yang memiliki dosa tersebut." Diavolo bersandar pada kursinya. "Itu artinya kalian harus melewati tujuh orang, mungkin bukan orang, pemiliknya. Tidak harus penghuni Dunia Bawah, kalian tahu. Bisa saja pemiliknya adalah peri, hewan, goblin..."

Diavolo melihat sekitar. "...ataupun manusia." Matanya berhenti saat bertatapan dengan Matt. Ia berdiri, bangkit dari kursinya. "Carilah siapapun yang paling terlihat memiliki sifat-sifat dosa itu."

Diavolo pergi dari meja kami. Ia melewati meja perempuan-perempuan berkepala bunga, yang matanya mengikuti Diavolo pergi.

"Oke, jadi seperti itu." Dylan kembali membuka pembicaraan. "Jadi kita harus... Apa?"

Matt duduk, dan membuka salah satu gulungan yang diberi oleh Nuvol. "Kesombongan, Ketamakan, Iri Hati, Kemarahan, Hawa Nafsu, Kerakusan dan Kemalasan." Ia menatapku dan Dylan bergantian. "Ada ide siapa?"

"Oh, aku punya list orang-orang keparat yang menyebalkan." Dylan mendengus. "Tapi kemarahan, kau ingat Marge?" Dylan berbicara pada Matt, yang membuat mereka berdua tertawa lepas. Sepertinya tegangan Matt dan Diavolo barusan sudah menguap ke udara.

"Mad Marge adalah warga Kerajaan Merah, Jen. Ia pemarah sekali. Tidak ada yang tahu kenapa Ia begitu pemarah. Segala hal dapat menjadi alasan atas kemarahannya." Matt berkata dan tertawa bersamaan.

"Kau tahu, suatu hari aku dan Matt pernah memberikan dinamit kecil pada kucingnya. Saat kucing gemuk keparat itu masuk ke rumah Marge, dinamitnya meledak dan menyebabkan bunyi keras yang tak kunjung selesai. Marge berjalan keliling desa dengan obor, marah kepada semua orang yang lewat. Ia berkata 'siapapun yang memberi dinamit kepada kucing malangku akan kubakar dengan obor ini.' seperti orang gila. Karena itu kami menjulukinya Mad Marge."

Matt dan Dylan tertawa. "Aku tidak mengerti. Aku juga akan marah bila seseorang memberi dinamit ke kucingku." Aku berkata pada Dylan. Bagaimanapun, sangat menyebalkan apabila hal itu terjadi kepadaku.

"Oh, ada lagi. Suatu hari Ia sedang berbelanja lampu di pasar, dan karena terlalu mahal Ia tidak menjadi membeli lampu tersebut." Dylan melanjutkan. "Karena tidak jadi dibeli, orang lain akhirnya membelinya. Dan Marge marah, mengapa lampu itu tidak disimpan untuknya."

"Segala hal dapat menjadi pemicu kemarahan Marge." Matt menambahkan. "Tetapi kita juga harus memastikan Marge memiliki koinnya, kalau tidak, semuanya bisa jadi sia-sia."

Dylan mengangguk setuju. "Kita harus ke Flame District untuk menemui Marge."

***

Kami berpamitan dengan Momma sebelum pergi. "Bawalah ini, anak-anakku! Kalian pasti akan lapar hari ini." Momma memberi kami lima buah roti besar yang berkilau kecoklatan dan beraroma maple manis. Kelihatannya lezat sekali.

"Terimakasih, Momma! Kami akan kembali setiap saat!" Matt mengambil rotinya.

"Doakan kami, Momma! Kami sayang Momma." Dylan yang usil, memberikan ciuman di udara dengan tangannya. Momma memicingkan matanya.

"Aku tidak pernah yakin denganmu, Dylan. Tapi aku sayang kau juga. Aku sayang kalian semua! Pulanglah kepadaku, ya? Lalu makanlah disini. Makan yang banyak agar kalian sehat!"

Aku tersenyum melihat mereka. Hubungan mereka sepertinya penuh dinamika, namun erat. Seperti melihat seorang ibu dan dua anak laki-lakinya yang nakal. Matt dan Dylan dengan kompak memberi hormat, dan menggandengku pergi dari Scithsie.

"Pemberhentian selanjutnya, Scarlett Zone!" Dylan meloncat-loncat kecil. Sungguh, Dylan terlihat konyol dengan tingkahnya. Ia sepertinya tidak peduli dengan pemikiran orang lain di sekitarnya.

"Kupikir kita akan langsung menuju Marge?" Aku bertanya pada Dylan. Ia tersenyum padaku sambil memutar jari telunjuknya didepan wajahku. Dengan gerakannya, aku seperti didorong untuk menghadap ke arah yang ditunjuk olehnya. Kaget, tetapi aku berpikir Dylan pasti menggunakan sihirnya kepadaku.

Aku menghadap Matt.

"Sudah terlalu sore untuk mengunjungi Marge saat ini, Jen. Kita juga harus memikirkan cara untuk menghadapinya terlebih dahulu."