webnovel

Jangan Duakan Aku

21+ (Zona Dewasa)!!! Harap bijak salam memilih bacaan saat membaca! Liana adalah gadis remaja yang menikah di usia muda. Ia menikah di umur 20 tahun. Pernikahaannya dengan seorang pria bukanlah kesengajaan. Namun karena ia telah hamil di luar nikah. Karena itulah ia terpaksa menikah sebelum ia puas menikmati masa mudanya. Ia menikah dengan seorang pria berkecukupan. Bukan dari kalangan keluarga yang kaya. Pria itu bernama Iwan. Iwan yang terpaksa menjadi kepala rumah tangga untuk mencukupi kebutuhan keluarga kecilnya menjadikan ia harus merantau ke luar kota untuk pekerjaannya. Namun, segalanya berubah saat ia mengenal beberapa wanita cantik dalam kehidupan pada pekerjaannya itu. Lantas apakah Iwan akan tergoda dengan wanita-wanita itu? Lalu apakah kehidupan rumah tangga Liana akan baik-baik saja setelahnya?

Winirosa · Fantasy
Not enough ratings
9 Chs

Kecurigaan Orang Tua

"Kamu ambil obat untuk siapa Sari? Memangnya siapa yang sakit?" Tanya Hendra yang baru saja keluar dari ruang dapur.

Sari pun kaget saat tiba-tiba mendengar suara yang berkata padanya.

"Ogh! Itu pak, eee non Liana muntah-muntah, mungkin dia sakit." Jawab Sari.

"Muntah-muntah? Memangnya sakit apa sampai muntah?" Hendra terheran mendengar jika Liana muntah-muntah. Ia berpikir bukannya sejak tadi pagi ia masih terlihat sehat bugar.

"Emm. Mungkin masuk angin pak." Ujar Sari.

"Oh, masuk angin." Sahut Hendra.

"Ya sudah pak, saya ke atas dulu. Obatnya sudah di tunggu." Ujar Sari sembari ia berjalan meninggalkan Hendra yang menyeruput kopinya.

Sesampainya di atas, Sari segera memberikan obat anti mual untuk Liana pada Maria.

"Ini bu, obatnya." Ucap Sari sambil memberikan obatnya.

"Terimakasih Sari." Ujar Maria.

Lalu Maria segera membuka obat yang ada di tangannya, lalu memberikannya pada Liana.

"Ini sayang, di minum obatnya. Supaya kamu tidak mual-mual lagi."

Liana pun menerima obat yang di berikan ibunya.

Maria segera mengambil air minum yang terletak di meja dekat ranjangnya. "Ini airnya, sayang."

Melihat hal itu, Sari sedikit merasa khawatir pada kondisi Liana. Bagaimana tidak? Namanya orang hamil muda pasti ada rasa mual-mual dan muntah.

Ia tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika orang tua Liana mengetahui rahasia yang Liana tutupi.

Lalu dari arah belakang Sari datanglah Hendra yang menyusul masuk dalam kamar Liana.

"Liana, kamu baik-baik saja?" Tanya Hendra sembari ia memegang kening Liana. Memastikan suhu tubuhnya.

"Baik-baik saja kok, Pa." Liana yang merasa sedikit ketakutan berusaha tetap tenang dan seolah-olah merasa sehat.

"Memangnya seharian tadi kamu kemana saja?" Hendra menanyakan aktifitas Liana sejak pagi sampai ia pulang.

"Emm, tidak kemana-kemana, cuma pergi ke rumah Sinta." Jawab Liana.

"Pergi ke rumah Sinta? Bukannya tadi kamu bilang sama mama sedang bersama Iwan?" Tanya Maria heran.

"Iya, ma. Tadi memang aku awalnya bersama Iwan, nongkrong dulu sebentar di taman kota, lalu setelah itu aku pergi ke rumah Sinta bersama Iwan, biasa lah cuma kumpul-kumpul. Tidak kemana-kemana lagi kok." Liana beralasan dengan membuat rangkaian cerita palsu pada orang tuanya untuk menutupi.

Mendengar nama Iwan, raut wajah Hendra seketika berubah menjadi datar. "Hmm. Kamu masih ada hubungan dengan laki-laki itu? Apa tidak ada laki-laki lain yang jauh lebih baik dari dia di matamu?" Sahut Hendra.

Maria pun menanggapi, "Iya, seperti tidak ada laki-laki lain saja. Memangnya apa yang istimewa dari dia di mata kamu?"

"Sudahlah, yang penting papa sudah memperingatkan kamu. Jika terjadi apa-apa dengan kamu, tanggung sendiri saja resikonya." Ucap Hendra ketus.

"Orang tua itu memberitahu juga yang terbaik untuk masa depan anaknya. Tidak ada orang tua yang menjerumuskan." Ucap Maria.

Mendengar cecaran kedua orang tuanya, membuat Liana semakin merasa frustasi dengan kondisi yang di alaminya saat ini. "Sudahlah ma, pa. Itu sudah pilihanku. Aku yang mengenal Iwan, aku hanya meminta doa terbaik saja dari mama sama papa."

"Ya sudah. Terserah kamu." Ujar Hendra ketus.

Sari yang melihat hal itu hanya terdiam sembari ia mendengarkan percakapan mereka.

Lalu Maria yang melihat-lihat sekeliling, ia melihat baju yang bukan baju milik anaknya itu tergeletak di atas ranjang anaknya.

"Loh, itu baju siapa sayang? Perasaan kamu tidak memiliki baju seperti itu disini." Ucap Maria sembari mengambil dan melihat-lihat baju itu.

Liana kaget melihat hal itu yang mana ia memang lupa menyembunyikan baju Iwan yang ia pakai saat pulang. Ia hanya menaruh baju itu di atas ranjangnya saja.

"Emm, i-itu.." Liana mulai gugup.

"Pasti baju Iwan. Dari model saja kelihatan jika itu baju laki-laki." Sahut Hendra.

"Apa benar sayang? Ini baju Iwan?" Tanya Maria.

Liana yang bingung harus beralasan apalagi di situasi seperti itu. Dalam keadaan stress yang di alaminya seperti itu ia tak bisa berkata-kata dan beralasan lagi, ia terpaksa mengakuinya.

"I-iya, ma. Itu baju Iwan." Ucap Liana sambil tertunduk. Pasrah, tak tau harus beralasan bagaimana lagi. Pasti kedua orang tuanya berpikir yang bukan-bukan terhadapnya.

Ia tak bisa berkata apa-apa selain mengakui.

"Kenapa bisa kamu pakai baju Iwan? Kamu mampir di kontrakannya?" Tanya Maria.

Karena benar-benar bingung dan tak bisa berkata apapun, Liana hanya tertunduk dan kembali mengakuinya. "I-iya, ma. Aku tadi mampir ke kontrakan Iwan." Di tengah rasa panik, bingung, stress dengan keadaannya, membuatnya tak bisa berkata apapun untuk membela diri selain berbohong sebisa mungkin.

"Bagus! Seorang perempuan mendatangi gubuk laki-laki! Apa namanya perempuan seperti itu jika bukan perempuan murahan! Pasti kamu sudah melakukan hal yang bukan-bukan! Iya kan!" Sahut Hendra yang mulai di kuasai amarahnya. Karena sedari awal memang ia tidak menyukai Iwan, terlebih mendengar anaknya mampir ke kontrakan Iwan dan memakai bajunya yang ia bawa.

"Tunggu dulu penjelasanku, pa! Aku memang mampir ke kontrakan Iwan, tapi aku tidak melakukan apapun disana! Saat aku nongkrong dan minum kopi, kopi tertumpah di bajuku, lalu aku yang akan ke rumah Sinta sempat mampir dulu ke kontrakan Iwan untuk meminjam baju!" Ujar Liana sebisa mungkin mengarang cerita.

"Aah! Alasan saja kamu! Mana ada logikanya seperti itu! Kalau memang benar, kenapa tidak meminjam baju Sinta yang sesama perempuan! Padahal alasanmu juga akan pergi ke rumah dia!" Ucap Hendra.

"Pasti kamu sudah melakukan hubungan dosa! Pantas saja kamu muntah-muntah seperti itu! Atau jangan-jangan kamu sudah hamil!?" Sambung Hendra yang masih terlihat kesal.

Maria terkejut mendengar apa yang di ucapkan suaminya itu.

"Pa, jangan bicara sembarangan begitu, pa! Tidak ada bukti jika Liana hamil. Mungkin memang benar dia hanya masuk angin!" Maria mencoba membela putrinya.

"Bela saja putrimu itu! Ingat! Kamu itu berasal sari keluarga yang terpandang! Kalau sampai kamu melakukan hubungan seperti itu dan kamu sampai hamil, papa tidak akan segan-segan memenjarakan Iwan dengan tuduhan pemerkosaan! Dan kamu, akan papa usir dari rumah ini, karena itu benar-benar memalukan! Ingat itu!" Ucap Hendra tegas.

Hendra yang diselimuti emosi pun berjalan keluar meninggalkan mereka.

Liana hanya bisa menangis setelah melihat kemarahan ayahnya hanya karena kecurigaan dari sebuah baju milik Iwan yang ia bawa.

Disisi lain, memang benar adanya jika ia sudah melakukan perbuatan dosa itu, dan lebih parahnya lagi kini ia sedang mengandung tanpa sepengetahuan orang tuanya.

Karena itulah ia hanya bisa menangis tanpa berkata apa-apa. Ia merasa hidupnya sudah di ambang kehancuran.

Maria yang melihat putri semata wayangnya menangis pun membuatnya merasa iba, tak tega melihatnya.

"Sudah sayang, sudah. Jangan menangis. Mama percaya kamu. Karena itu pilihan kamu, semua kamu yang menanggung." Ucap Maria menenangkan Liana, sembari ia memeluk putrinya itu.

Liana tak bisa berkata apapun. Karena sejatinya memang ia sudah melakukan dan kini ia menanggung hasil perbuatannya. Mau mengelak dan mengarang cerita lebih dalam pun dirasa percuma.

Ia hanya bisa terhanyut dalam tangisnya.

"Ya sudah, kamu tenangkan diri kamu dulu. Jangan pikirkan kata-kata papamu jika kamu memang merasa benar. Mama keluar dulu ya." Ucap Maria.

Liana hanya terdiam tanpa menanggapi apapun pada ibunya.

Maria hanya memandangi Liana, lalu ia berjalan keluar meninggalkan putrinya.

Sedangkan Sari yang sedari tadi berdiri mendengarkan percakapan mereka, segera berjalan menghampiri Liana.

Ia merasa kasihan terhadap kondisi Liana.

Yang pada dasarnya ia adalah anak dari majikannya, tapi sudah lama dalam hatinya menganggap Liana seperti adiknya sendiri. Karena dari segi umur pun Sari lebih tua 7 tahun dari Liana.

Ia mendekati Liana, mendekap bahunya.

Mencoba menenangkan Liana sebisa mungkin.

"Non, yang sabar ya. Saya yakin pasti non Liana bisa melewati semua ini." Ucap Sari sembari mengusap bahu Liana.

"Iya mbak, semoga saja." Jawab Liana dalam tangisnya.

"Saya pamit keluar dulu ya non, mungkin non Liana butuh waktu untuk sendiri." Ucap Sari.

Sari pun berdiri dan hendak berjalan meninggalkan Liana.

Namun itu di cegah oleh Liana. Liana segera meraih lengan Sari.

"Mbak, disini dulu, aku butuh di temani." Ucap Liana sembari ia merengek dalam isak tangisnya.

Saat seperti ini ia merasa tidak bisa untuk sendirian, ia merasa membutuhkan seseorang yang bisa menemaninya, yang mau mengerti isi hati dan pikirannya.

Ia merasa ingin di temani Sari, walau notabene-nya Sari hanyalah seorang assistant rumah tangga di rumahnya, tapi Liana sendiri juga menganggap Sari seperti kakaknya sendiri. Begitu pula sebaliknya Sari.