webnovel

Perang Batin

"Lepasin gue, Bia!"

"Makasih Cher, ternyata lo peduli sama suami lo yang super perfect ini."

Cherry terkekeh dengan ucapan Bia.

"Pastilah dia semakin bucin ke gue!" pikir Cherry.

Bia mengambil mobil Cherry di parkiran. Kemudian turun, membukakan pintu dan mempersilakan Cherry masuk dan duduk manis di kursi sebelahnya.

"Mau kemana tuan putri?"

Hari itu, nampaknya Cherry sedang tidak ingin bermain-main dengan Bia. Matanya terlalu berat untuk dibuka dan berlama-lama menatap Bia yang tidak begitu penting baginya.

"Cher!"

"Serah lo, Bi!"

Belum juga sepuluh menit mereka meninggalkan Praja 5, Cherry sudah terlelap dalam tidurnya.

"Cher ... yah, dia udah molor aja!" ucap Bia sambil mencuri-curi pandang ke arah Cherry.

Bia menepikan mobilnya sebentar, melepas hoodienya dan menyelimutkannya ke tubuh Cherry.

"Lo cantik, sayang jutek, sayang lo misterius!"

Bia menarik nafas dalam-dalam.

"Sepertinya ngantuk itu penyakit yang menular."

Melihat Cherry yang tidur pulas, Bia menguap dan segera menyusulnya ke alam bawah sadar. Sebuah mobil terparkir di bahu jalan dengan dua manusia yang terlelap dalam tidurnya. Tidur yang begitu aneh, dua anak manusia dalam satu mimpi yang sama.

"Lo?"

"Kayaknya kita emang ditakdirkan hidup bersama deh, di dalam mimpi aja kita bisa ketemu."

"Dih PD banget lo!"

"Apa namanya kalo bukan jodoh?!"

"Bia, pergi ga lo dari mimpi gue! Lo ngerusak alam bawah sadar gue, tau gak."

Bahkan sekarang, alam bawah sadar Cherry telah dipenuhi rasa benci. Apa mungkin kebencian itu bisa dihilangkan oleh Cherry? Atau seumur hidupnya akan ia habiskan untuk memupuk rasa benci itu.

Cherry memilih terbangun daripada berdua dengan Bia, di alam lain.

"Aww ... gara-gara Bia. Pala gue jadi pening. Pasti ini karena gue kurang tidur. Ga di alam nyata, di alam bawah sadar, lo tetep aja ngerusuhin hidup gue, Bi!" gerutu Cherry.

Dipandangnya Bia yang masih asik dengan alam bawah sadarnya. Dengan sedikit mulut yang menganga dan bunyi yang lumayan kencang, cukup mengganggu Cherry. Mulanya Cherry mengelus lembut leher Bia yang pastinya tidak sengaja mendongak keatas. Tiba-tiba kukunya menjadi panjang dan pupilnya membesar. Bola matanya berubah menjadi merah.

"Aaarggh ...!"

Cherry menggeram, berusaha menghentikan gerakannya, tapi ternyata energi yang ada di dalam tubuhnya begitu kuat. Energi itu mengendalikan semua gerakan tubuh Cherry. Kini, kedua tangan Cherry sudah berada di leher Bia. Bersiap-siap untuk mencekik leher itu.

"Nyawa lo berakhir hari ini, di tangan gue, Bia!"

Bia terbatuk-batuk karena sesak nafas. Keringatnya mulai terasa dingin. Mata Bia mulai terbuka. Dia terbangun.

"Che-Cherr ...," suaranya terputus-putus.

Cherry masih belum menyadari bahwa seseorang yang kini telah menjadi suaminya hampir mati di tangannya. Bia masih terus manghalau tangan Cherry sekuatnya. Bahkan kini, cengkraman itu makin kuat. Beberapa ujung kukunya menyobek bagian kulit leher Bia hingga meneteskan darah. Kini, nyawa Bia benar-benar di ujung maut. Melihat Bia yang kesakitan, tiba-tiba pupilnya mengecil, namun matanya masih merah menyala, otot mukanya mulai mengendur. Cengkraman itu lambat laun mulai melemah. Bia bisa sedikit lega, namun nafasnya keburu tersenggal-senggal. Sulit baginya untuk segera mengembalikkan nada nafasnya menjadi ritme yang normal.

"Cher ...."

Air mata Bia mulai menetes dan kini dia terbatuk-batuk. Cherry sudah benar-benar melepaskan leher itu.

"Aaargggh!"

Cherry histeris dan berteriak. Barangkali, dia mulai menyadari dan kini ia sedang berperang dengan dirinya sendiri. Cherry menjedotkan dahinya ke bagian depan mobil. Bia belum bisa melakukan apa pun untuk menolong Cherry.

"Goldiiii!" teriak Cherry.

"Kenapa tiba-tiba ia memanggil nama itu. Bukankah itu nama tunangannya yang udah meninggal. Atau jangan-jangan rohnya ikut mengendalikan dia dari dalam. Dia ngebantu gue? Dia ga mau Cherry melakukan hal yang sama ke gue. Untung aja gue ga mati!" batin Bia, antara lega dan takut.

Tiba-tiba ingatan Cherry mem-flash back semua kejadian di belakang. Kejadian saat ia merenggut nyawa tunangannya. Tempat yang sama, di dalam mobil. Dengan kondisi yang berbeda, namun hampir berakhir sama. Kini, otak dan hatinya berperang. Sungguh menyakitkan baginya. Luka yang tidak berdarah, namun lebih sakit. Sekarang, dia seolah-olah melihat dirinya sendiri yang dulu pernah mencekik leher Goldi hingga tewas. Mukanya mengerikan. Giginya bertaring dengan mata merah dan wajah yang penuh dengan otot-otot yang mencuat. Fisiknya tidak kuat mengimbangi gejolak dalam dirinya. Dia terpental ke jok belakang. Kemudian meringkuk ketakutan di bawah. Bia mulai bisa mengatur nafasnya dengan baik.

"Cher ... gue bantu ya?" tawarnya dengan suara parau.

Sambil memegangi lehernya yang tersayat, Bia mencoba meraih tubuh Cherry yang sekarang berubah menjadi sangat panas.

"Aww!" teriak Bia kaget saat menyentuh lengan Cherry.

Bia mengecilkan suhu AC mobilnya. Seharusnya, mobil itu seperti dalam freezer. Tapi, suhu badannya belum juga normal. Merasa kehabisan cara, namun tidak mau kehilangan Cherry dengan hal yang konyol, Bia melompat ke kursi belakang. Kini dia bisa dengan leluasa meraih Cherry. Direngkuhnya tubuh itu. Dipeluknya erat-erat. Cherry mengerang ketakutan dan kesakitan.

"Maaf, maafin gue Cher. Gue ga pernah bermaksud ngebuat lo begini. Cher, please, sadar!" ucapnya dengan berlinang air mata.

Air mata itu menetes ke pipi Cherry. Sebuah keajaiban terjadi. Suhu badannya mulai normal. Kukunya memendek. Mata yang kemerahan itu sudah kembali menjadi mata yang lembut dan penuh kehangatan. Tubuh Cherry mulai terasa lemas.

"Cher ... Cherry!"

Bia mulai merasakan perubahan pada Cherry. Dia sudah berangsur normal. Ada bekas gosong di salah satu pipinya. Bekas air mata yang terjatuh ke sana. Air mata Bia-kah yang sudah menyembuhkan Cherry? Atau jiwa Goldi yang menahan dan memenangkan peperangan ini?

Bia sedikit lega. Meski berakhir dengan dramatis. Ia merebahkan Cherry di kursi belakang. Mobil itu melaju pelan. Sesekali berhenti untuk memastikan bahwa Cherry dalam kondisi yang baik. Bia berhenti di sebuah mini market. Dibelinya alkohol dan kain kasa untuk menutup luka di lehernya.

"Ouch! Perihnya!"

Ia meneguk minuman sodanya.

"Terasa lebih baik. Ga nyangka, hari ini nyawa gue hampir melayang."

Sedikit mengecek Cherry, dia keluar dari mobilnya dan masuk lewat pintu belakang.

"Lo udah sadar?"

Tidak ada jawaban dari Cherri. Tatapannya masih kosong, kondisinya masih lemas. Bia mengelus rambut Cherry, namun Cherry menghardik tangan Bia. Matanya melotot ke arah Bia.

"So-sorry."

Kini, Bia bak patung. Tidak berani bergerak sedikitpun. Menyadari leher Bia yang diperban, Cherry membuka mulutnya.

"Ayo naik, gue mau pulang!"

"I-iya."

Bukan karena AC mobil yang dingin. Tapi, suasana menjadi dingin, lebih dingin dari AC karena tidak ada sepatah kata pun keluar dari mulut mereka sampai tiba di rumah. Ada papi yang selalu menyambut Bia dengan hangat. Kali ini, Bia tidak menyambut mesra pelukan papi lantaran kondisi hatinya sedang tidak baik. Dia menolaknya.

"Ke-kenapa Bi?"

"Aku capek, Pi."

Bia menyelonong masuk. Diikuti Cherry dari belakang. Dua buah kamar yang berbeda yang mereka tuju. Mami yang tengah duduk di kursi santainya melihat Cherry melintas. Segera menyusulnya menuju kamar. Langkahnya terlalu cepat, sampai-sampai mami tidak bisa menyusulnya. Diketuknya pintu kamar Cherry beberapa kali. Tidak ada jawaban.