Nyonya Wilson mengurungkan niatnya menemui putrinya. Dia segera mengerti situasi hati anaknya yang terlalu gampang berubah dan sangat mudah ditebak.
"Lebih baik, nanti aja!" gumamnya sambil menuruni anak tangga.
Papi sibuk di dapur sepulangnya Bia. Mami menghampiri Papi dan berdiri di sampingnya. Saking sibuknya atau memang tidak mendengar langkah kaki istrinya saat datang, Wilson berjingkrang kaget karena tiba-tiba menyenggol lengan mami.
"Astaga Mami!" gerutunya.
"Kenapa? Lebih dari lima menit loh Mami berdiri di sini, mungkin Papi terlalu serius dengan urusan Papi, sampai-sampai ...."
"Stop-stop, jangan mulai deh, Mi. Kenapa Mami cariin Papi?"
"Ga jadi. Lanjutin aja!"
Dia mengurungkan niatnya, situasi hatinya menjadi kurang baik begitu melihat Papi yang terlalu fokus pada kepentingan Bia.
"Menikmati kebun mawarku, mungkin lebih baik. Sepertinya hari ini memang tidak begitu baik, semua orang sibuk dengan urusannya masing-masing. Aku terlalu berharap lebih tentang menikmati hari tua berdua dengan Mas Wil." Mami menarik nafas panjang kemudian melanjutkan khayalan indahnya di masa tua.
Kali ini mami menyandarkan kepalanya di kursi goyang kesayangannya. Sambil menikmati kicauan burung peliharaan suaminya. Beberapa kali matanya terpejam karena rayuan angin dan nyanyian burung. Tempat ternyaman di rumahnya. Tempat paling bisa diandalkan, bagaimanapun kondisi rumah.
"Hhhh...." Nafasnya terdengar berat.
Krompyaaaaang ....
Seketika mami meloncat dari kursi santainya. Dia celingukan mencari sumber suara itu.
"Pasti Papi nih!"
Mami berlari ke dapur, hanya ada Cherry yang ia temukan di sana. Sebelumnya ada papi yang sedang memasak sesuatu.
"Kenapa Cher?"
Glotak-glotak!
Tanpa jawaban dari mulut Cherry, hanya suara panci yang saling bertumbukan dengan di sengaja.
"Cher?" ulang Mami.
"Mi, aku anak siapa sih?"
"Loh?"
"Anak papi itu aku atau Bia?"
"Kenapa sih?"
"Mami ga liat, Papi nganterin makanan ke kamar Bia. Ngapain coba! Lebai banget sih jadi orang. Emangnya Bia ga bisa jalan, sampai harus di masakin, di anterin ke kamar? Kebiasaan nanti begitu. Emang aku pernah di gituin sama Papi, dimasak-masakin segala. Lah manja banget. Orang yang begitu doang juga!"
Mami hanya mendengarkan celoteh Cherry. Bukannya Mami tidak muak dengan tingkah suaminya, justru mami merasa kesal dan iri dengan perbedaan perlakuannya antara Cherry dengan Bia. Dia merasa suaminya lebih mengistimewakan Bia.
"Sabar sayang, Mami tau kok perasaan kamu."
Mereka berdua saling berpelukan. Air matanya meleleh. Mungkin tindakan papi yang sedemikian rupa tidak benar-benar disengaja, tapi itu sungguh melukai hati wanita-wanitanya. Mungkin rasanya tidak akan sama, jika Cherry pernah mendapat tindakan yang serupa.
Kreeek ....
Pintu kamar Bia terbuka, Papi muncul dari dalam, kemudian melihat istri dan anaknya yang sedang saling berpelukan.
"Ada apa ini?"
"Ga usah nanya-nanya, Pi!"
Papi mengernyitkan kedua alisnya. Merasa benar-benar tidak mengerti.
"Loh, kenapa sih kalian?"
Cherry berlari meninggalkan mereka. Memilih meluapkan emosinya sendiri tanpa menyakiti orang lain. Pasti setelah ini, akan ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Cherry mengunci pintu kamarnya dari dalam. Ditutupnya rapat-rapat semua tirai yang ada di kamarnya. Benar-benar tidak ada cahaya matahari yang bisa masuk ke dalam kamarnya.
"Aaargh ...."
Cherry menjerit sepusanya, tanpa ada yang bertanya kenapa. Hatinya sedikit lega. Nafasnya tersengal-sengal. Beberapa kali ia bercermin, melihat sekujur tubuhnya, khawatir akan ada yang berubah seperti biasanya.
"Oh ... ternyata engga!"
Hatinya lebih lega setelah tidak ada yang berubah dengan fisiknya. Kali ini, ia melemparkan dirinya di kasur empuknya. Kedua tangannya ia perhatikan dengan seksama. Dilihatnya berulang-ulang, di bolak-balikan tangannya. Sepertinya akan ada yang ia lakukan. Konsentrasinya penuh, ia tujukan pada sebuah gelas di dekat meja riasnya. Tanpa mendekat untuk meraihnya, gelas itu terangkat dan mendekat ke arah Cherry.
"Yes! Gue berhasil!"
Lalu dia loncat-loncat di atas kasur empuknya. Kegirangan lalu menjatuhkan dirinya kembali. Berkali-kali ia melakukan hal serupa pada benda yang berbeda.
"Akhirnya, gue bisa ngendaliin kekuatab gue! Hahaha ...."
Tertawanya begitu lepas. Orangtuanya dan juga Bia bisa mendengar suara Cherry dari dapur. Bia sudah bisa menduga apa yang sedang terjadi pada Cherry. Sebaliknya, Papi dan istrinya bertanya-tanya dan sedikit ngeri.
"Aduh, kenapa ya Cherry?" tanya Papi cemas.
Bia mencoba menenangkan papinya, " Tenang Pi, Mi, aku yakin Cherry ga kenapa-napa. Biarkan dia sendiri dulu, dia butih ruang untuk sendiri. Nanti kalo udah mendingan, aku yang temui Cherry."
Tentu saja Papi sedikit lega dengan kata-kata yang keluar dari mulut Bia. Bia sedikit paham tentang diri Cherry yang sekarang. Dia merasa yakin bahwa Cherry bukan lah gadis biasa. Orangtuanya tidak mengetahui hal ini sama sekali. Bia ingin membantu Cherry sebisanya. Sepertinya Cherry belum ingin berbagi keanehannya pada siapa pun. Sebenarnya hal ini, juga tidak sengaja Bia dapatkan. Ia hanya mengamati setiap kejadian yang melibatkan Cherry kemudian mengaitkannya. Setelah itu, ia cross ceck kan kepada si empunya kejanggalan. Dan ternyata benar adanya. Meski begitu, rasa sukanya pada Cherry tidak lantas sirna begitu saja. Semakin hari, hati Bia justru semakin jatuh pada Cherry.
Hari sudah gelap, tapi Cherry masih belum juga keluar dari dalam kamarnya. Mereka mulai bosan menunggu sesuatu yang belum jelas terjadi.
"Mi, bisa buatkan teh atau kopi untuk Papi ga?"
Tanpa menjawab, Mami berdiri dan mengambilkan segelas kopi untuk suaminya.
"Ini!" sambil menyodorkan secangkir kopi hitam kesukaannya.
Kelihatannya Wilson tidak begitu menyukai kopi buatan istrinya.
"Kenapa?" tanya Mami sambil melirik ke cangkir di hadapan Papi.
"Bi, apa kamu masih punya kopi susu yang seperti kemarin?"
"Ada Pi, ambil aja di kamar."
"Ya Tuhan! Papi ... !" Mami mendengus kesal lalu pergi.
Sepertinya memang kali ini, Wilson sedikit keterlaluan. Dia kurang menghargai minuman buatan istrinya. Padahal sebelumnya, itulah minuman favorit Wilson. Sebelum Bia mengenalkan kopi susu yang pernah ia sajikan kala itu, Wilson tidak pernah sekalipun mencela rasa dari black cofee. Setiap teguk ia nikmati penuh rasa dan penuh cinta.
Memang Wilson tidak mengatakannya secara langsung, tapi perkataannya itu yang meyakinkan Nyonya Wilson bahwa ia tidak menyukai black cofee buatannya.
"Apa-apaan Papi. Kenapa begitu banget sih. Biasanya juga minum kopi itu. Mentang-mentang ada Bia. Semua yang diberikan Bia seolah-olah jadi istimewa dan paling enak rasanya."
"Kenapa Mi?" tanya Cherry yang entah sejak kapan berdiri di belakanh maminya.
"Cherry, sejak kapan kamu disini?"
"Belum lama, tapi cukup tau untuk mengetahui isi hatinya mami."
"Duduk sini!"
"Enggak Mi. Cherry malas di sini. Cherry mau keluar."
"Tapi apa ga terlalu malem untukmu keluar sendirian, Cher?"
"Ga jauh kok, Mi. Cuma ke depan situ aja. Mau makan mi goreng."
"Biar mami buatkan aja ya atau mau di belikan bibi?"
"Ga usah, biar sekalian cari udara seger, Mi. Rumah ini terlalu pengap udaranya."
Mami tau maksud Cherry apa. Itu bukanlah makna sebenarnya. Apalagi kalau bukan karena papi dan anak laki-lakinya itu.