webnovel

Pemakaman Yang Menegangkan

"Bia, nagapain lo disini?!" bisik Cherry.

"Lo pikir gue ngapain disini?" Bia balik bertanya.

"Balik ga! Lo ngerusak moment aja, tau ga!"

"Ga! Gue ga akan kemana-mana sebelum pemakaman selesai."

"Oh!"

"Sorry banget, Kak. Tapi, gue disini buat nemenin Papi. Sebelum Papi pergi, gue ga akan pergi. Lo bisa ngusir gue kemana aja, selama gue sendirian."

"Ok, kalo itu mau lo. Gue yang akan pergi dari sini."

Cherry pergi dari pemakaman adiknya, benar saja, sudah tidak ada rasa sedih di dalam dirinya. Yang tersisa hanya rasa marah dan dendamnya pada Bia. Dia mengabaikan perasaan Mami yang masih sangat kehilangan adik angkatnya itu. Dia melepas kerudungnya dan melemparnya ke dalam mobil. Ketika akan membuka bagasi mobil, kacamata hitamnya copot, Cherry berjongkok untuk mengambilnya. Sepasang kaki yang tidak beralas tampak jelas di belakangnya. Namun, begitu Cherry menengok, tidak ada siapapun di belakangnya. Ia ulang sekali lagi.

"Shiiiit....!" umpatnya.

Cherry berdiri tegap. Begitu menoleh, sosok nenek tua dan berbadan bungkuk sudah berdiri di depannya. Tentu saja Cherry terkejut setengah mati. Dia berteriak, semua yang menghadiri pemakaman juga ikut terkejut dengan teriakan Cherry. Papi menyuruh Bia menghampiri Cherry.

"Bi, coba lihat, kenapa Cherry berteriak kayak gitu!"

"Ya, Pi. Papi ga apa-apa, aku tinggal sendiri?"

"Ya, pergilah."

Bia berlari kecil menuju tempat Cherry berdiri.

"Kenapa lo, Kak?"

Cherry tidak menjawab, tapi wajahnya begitu pucat. Keringatnya pun terasa amat dingin. Bia menggoyang-goyangkan tubuh Cherry beberapa kali.

"Kak, lo ga apa-apa? Kenapa?" tanya Bia memastikan.

"Menurut lo, gue baik ga?"

"Gue ga yakin sih, lo kenapa, kayak abis lihat hantu aja!"

"Kayaknya emang iya deh."

"Hantu? Bener?" Bia terus bertanya seolah tidak percaya.

Kali ini Cherry hanya mengangguk sambil mengusap keringat dinginnya. Cherry celingukan seperti mencari-cari sesuatu, atau seseorang?

"Hei...lo cari apaan, Kak?"

"Gue rasa dia masih disini," ucap Cherry pelan.

"Dia, siapa?"

"Syuuut....." Cherry memberikan kode.

"Nenek-nenek yang tadi ngagetin gue, Bia!"

"Kata lo hantu. Jadi hantu apa nenek-nenek?"

"Bia!! Bawel banget sih lo jadi cowok. Lo mau nolongin gue apa mau ngeledek gue doang?" Cherry sewot. Sepertinya Cherry sudah kembali menjadi dirinya sendiri. Cherry si gadis sangar dan jutek.

"Gue rasa hantu nenek-nenek itu ga bakalan balik deh."

"Sok tahu lo! Lo tau dari mana? Emang dia bilang sama elo!"

"Secara elo lebih galak dari dia!"

Bia meninggalkan Cherry seorang diri.

"Sialan si Bia. Berani-beraninya dia ngatain gue galak!"

Cherry masih berdiri di samping mobilnya. Dia memutuskan untuk meninggalkan pemakaman itu. Dia mengambil kacamata hitamnya tanpa melihat ke arah belakang. Cherry masuk ke dalam sedan silver kesayangannya. Beberapa kali ia mencoba untuk menyalakan mobilnya, tapi selalu gagal.

"Kayaknya ini hari sial gue!" gumamnya sambil melempar tasnya ke kursi belakang.

"Ah, hape gue masih di dalem tas lagi. Gue jadi bego kayak gini sih!" gerutunya.

Cherry memutar badannya ke arah belakang.

"Aaaaaa...." teriaknya.

Si nenek yang ia cari di luar tadi ternyata ada di dalam mobilnya. Duduk tepat di belakang kursi kemudinya.

"A-Apa mau lo?" tanya Cherry gelagapan.

Si nenek bukannya menjawab, dia malah tersenyum sinis menatap Cherry yang ketakutan.

"Lo mau apa?" ulangnya sekali lagi.

"Tolong! Tolong! Tolong!" teriak Cherry.

"Percuma! Tidak akan ada yang mendengar suaramu."

"Siapa lo?"

"Kamu tidak perlu tau siapa aku, cukup kenali saja dirimu. Dengar gadis cantik, kamu salah jalan, seharusnya kamu tidak mengikuti amarah dan rasa dendammu. Itu akan menjadi pisau bermata dua. Itu akan membunuhmu perlahan. Tinggalkan rasa dendam itu. Kembalikan ini semua pada kakek buyutmu. Ini sama sekali tidak akan menyelesaikan. Sebelum terlambat!"

"Kenapa lo bisa tau semua tentang gue?"

Nenek itu tertawa terbahak-bahak. Suaranya begitu terngiang-ngiang di telinga Cherry, bahkan hingga nenek itu menghilang, suara khas nenek-nenek itu masih saja bisa di dengarnya.

"Biaaaa...semua ini gara-gara lo. Hidup gue jadi hancur. Gue selalu diikuti suara yang mengerikan dan kejadian-kejadian yang aneh. Liat aja, gue bakal kasih lo peringatan!"

Sekarang, pintu mobilnya terkunci otomatis, setirnya berputar dengan sendirinya. Cherry tidak bisa mengendalikan mobilnya. Klakson terus berbunyi. Cherry menangis di dalamnya. Sayangnya hanya ia sendiri yang merasakan kejanggalan itu. Buktinya ada banyak orang di luar sana, tapi tak ada yang menolongnya. Seolah semua berjalan normal dan tidak ada sesuatu yang terjadi.

Pemakaman berlangsung dengan khidmat tanpa ada gangguan. Semua pelayat pulang, kecuali Mami, Papi dan Bia yang masih bersimpuh di pusara si kecil Valdi. Beberapa kali Papi membujuk istrinya, tapi selalu gagal.

"Mi... ayo pulang," rayunya.

"Enggak, Pi. Mami masih mau disini, nemenin Valdi, nanti kalo Valdi nangis dan minta susu gimana? Biasanya kan Mami sama Cherry yang suka ngasih susu ke Valdi."

"Valdi ga akan nangis, Valdi udah senang, udah bahagia sama ibunya di sana," jelas Papi.

"Mami kan disini Pi, Mami kan ibunya Valdi. Papi gimana sih?"

"Mi.... please, jangan begini. Ayo pulang."

Papi masih berusaha membujuk istrinya dengan sabar. Ia tahu rasanya kehilangan. Tapi, mungkin Papi tidak pernah tau rasanya ditinggalkan untuk selama-lamanya. Ini adalah kali keduanya, Mami ditinggalkan oleh anaknya yang masih bayi. Sebelum menikah dengan Wilson, Mami sudah pernah menikah dengan seorang laki-laki dan memiliki anak. Kecelakaan merenggut keduanya. Anaknya yang berusia sama dengan Valdi, yang meninggal secara tragis dalam kecelakaan maut itu. Mungkin ada trauma dalam dirinya.

***

Cherry seperti berada di alam yang berbeda. Dia masih diselimuti perasaan mistis dan mencekam. Keadaan yang gelap, sunyi dan sendiri. Tidak ada setitik cahaya pun yang meneranginya. Dadanya terasa sesak.

"Tolooooong!" rintih Cherry.

Tentu saja tidak ada yang menolongnya. Hal yang sia-sia. Cherry hanya membuang-buang tenaganya saja untuk berteriak.

"Hei, simpan saja energimu untuk bertahan hidup. Jangan berteriak! Tidak ada yang mendengarmu. Tidak ada yang akan menolongmu. Kamu sendiri!"

Kembali suara mistis itu terdengar. Suaranya sangat dekat, namun kali ini tidak berwujud. Yang jelas, bukan suara si nenek bungkuk tadi.

"Tolong...tolong!" Suara Cherry melemah. Dadanya semakin sesak, dia tidak bisa bernapas. Cherry kehilangan kesadarannya. Disaat yang sama, Papi sudah berhasil membujuk istrinya untuk pulang dan meninggalkan pusara anak angkatnya. Papi memapahnya, sementara Bia berjalan mengikuti mereka dari belakang.

"Pi... itu bukannya mobil Kak Cherry, ya?"

"Iya, kenapa anak itu belum juga pergi. Padahal ini udah lama banget loh. Udah hampir sore. Ngapain Cherry disitu, daripada diam di mobil, harusnya ia ikut berdoa untuk Valdi bersama kita. Dasar si anak keras kepala!"

"Sebentar Pi, aku cek dulu kesana."

Bia berlari ke arah sedan yang terparkir di pelataran pemakaman. Dia mendongakan kepalanya ke arah kaca depan. Tampak Cherry yang tidak sadarkan diri. Beberapa kali Bia mengetok kaca mobil, Cherry tidak juga merespon.

"Pi....Papi, Kak Cherry pingsan."

"Pingsan? Cepat buka pintu mobilnya!"

"Dikunci Pi."

"Pecahin, pecahin kaca pintunya, Bi. Cepetan!"

Bia mengambil batu yang cukup besar untuk memecahkan kaca mobil Cherry. Anehnya batu itu yang kalah, batu itu hancur lebur begitu Bia menggetokannya ke arah kaca. Bia mengambil batu yang lain yang lebih besar. Hasilnya tetap sama. Papi dan Mami merasa sedikit aneh. Mami sadar, sesuatu telah terjadi kepada putrinya. Kali ini, Mami yang mencoba mengetok kaca mobil Cherry.

"Cherr.... Cherry... bangun, Nak. Ini Mami, bangun Cher, sadarlah!" teriak Mami dari samping mobil itu. Beberapa kali Mami mencobanya, akhirnya Cherry tersadar.

"Buka kuncinya, Nak!" perintah Mami.

Cherry membuka kunci mobilnya, namun energinya tidak cukup banyak untuk keluar dari sana. Cherry memegangi dadanya.

"Kamu kenapa?" tanya Mami cemas.

Cherry tidak memberi jawaban apapun.

"Bi, bantu Cherry. Gendong dia ke dalam mobil Papi!"

"Ya, Pi."

Tidak ada perlawanan dari Cherry, ketika Bia menyentuh bahkan menggendongnya menuju mobil Papi. Papi dan Mami masuk ke dalam mobil yang sama dengan Cherry. Dia masih terlihat lemas dan tidak berdaya. Tentu saja, andaikata Cherry sudah kembali kesadarannya, sudah pasti dia menolak bantuan dari Bia. Mana mungkin ia sudi di gendong oleh Bia.

"Bi.... kamu urus mobil Cherry, ya. Kalau perlu, di bawa ke bengkel aja. Nanti Papi kirim nomer orang bengkel langganan Papi. Papi pulang dulu, ya."

Bia mengangguk mengiyakan. Sebenarnya Bia masih heran dengan kejadian janggal tadi, kaca mobil Cherry yang tidak pecah oleh hantaman batu yang cukup keras. Dia yakin sekali, hantaman itu cukup keras untuk bisa memecahkan kaca mobil. Dia memungut serpihan kacanya.

"Ini kaca mobil biasa, tapi kenapa tadi sulit banget dipecahin, ya?" Bia bertanya-tanya.

"Gue yakin ada yang aneh sama kejadian hari ini. Sebelum ini, dia dihantui nenek-nenek, terus pingsan di dalam mobil, udah gitu kaca pintu mobilnya ga bisa dipecahin. Sebenernya dia salah apa, ya?"

***

Mobil Papi sudah berada di rumah, mereka turun, kecuali Cherry. Dia masih tergolek tidak berdaya.

"Pi.... kayaknya mending panggil Mang Ojo aja buat bantuin gendong Cherry sampai dalem deh."

"Papi aja yang gendong Cherry, Mi. Masa anak gadis Papi di gendong orang lain."

"Emangnya Papi kuat?"

"Kuat-kuat." Papi meyakinkan Mami.

Seorang lelaki sekaligus ayah, yang meski dibenci oleh anak gadisnya sekalipun, ia tetap tidak rela kalau anak gadisnya harus disentuh, apalagi di gendong oleh orang lain. Bagaimanapun caranya, ia akan berusaha untuk membantu putri kesayangannya.

"Hati-hati, Pi," ucap Mami khawatir.

Mami paham betul kondisi fisik suaminya yang sudah tidak sekuat dulu. Kondisinya yang sering ngedrop membuat berat badannya juga menurun drastis. Sama dengan Mami, yang sekarang bertubuh kurus, sejak kejadian itu. Mami mengimbangi langkah Papi yang terseok-seok menahan berat badan Cherry.

"Ternyata putri kita udah sama besarnya dengan kita ya, Mi?" ucap Papi sambil menidurkan tubuh Cherry di salah satu sofa yang letaknya paling dekat dengan pintu.

"Pi....Pi.... makanya sadar, kalo kita tuh udah tua, putri kecil kita juga udah dewasa, jangan suka bikin masalah baru. Cukup nikmati masa tua kita dengan tenang, dengan damai. Jangan neko-neko. Ga usah semaunya sendiri!"

"Laaaah..... itu Mami tau. Bukannya selama ini, Mami yang selalu menolak ketenangan di hari tua kita, Mi."

Cherry yang sedari tadi diam, dia menatap ke langit-langit rumah dengan pandangan kosong. Dari mulutnya keluar kata-kata di luar kendalinya. Sesekali tangannya menunjuk ke atas. Mami dan Papi menjadi khawatir.

"Kenapa dengan Cherry, Pi. Apa yang udah dia alami, kenapa Cherry jadi begini?"