Matahari pagi masih malu-malu menampakkan dirinya. Didalam kamar dengan lampu temaram, dua anak manusia itu, sepasang suami istri yang masih terlelap dalam tidurnya. Si pria tertidur diatas ranjangnya, sedang sang wanita berbaring dengan lelapnya diatas sofa. Waktu sudah menunjukkan pukul 7 pagi, Bara terlebih dahulu terbangun dari tidurnya. Dia mengerjap-ngerjapkan matanya dan menatap seseorang sedang terlelap dalam tidur pulasnya. Diatas sofa!
"Dasar perempuan aneh! Bisa-bisanya dia tidur di sofa!." gumamnya sambil menatap lembut kearah sofa tempat Cinta tertidur pulas.
Tanpa basa basi Bara bangkit dari ranjangnya dan bergerak pelan kearah sofa. Tangannya bergerak meraih tubuh kecil istrinya yang terlelap tidur. Yang satu meraih ke belakang leher dan yang satu meraih tekukan kedua kaki Cinta. Perlahan-lahan ia mengangkat tubuh Cinta dan membaringkannya keatas ranjang. Beruntung Cinta masih tertidur, mungkin ia kelelahan sehabis pesta semalam. Setelah membaringkan tubuh Cinta, ia melangkah pergi menuju kamar mandi.
Beberapa saat kemudian, barulah Cinta terbangun dan mendapati dirinya sudah berada diatas ranjang. Sontak tangannya membuat gerakan menyilang menutupi dadanya.
Bara yang baru keluar kamar mandi menatap heran dengan tingkah Cinta. Dan mengernyitkan keningnya.
"Kenapa?". Tanyanya datar.
"Kok? A-aku, bisa ada disini? Kakak nga-ngapain aku??!". Dengan terbata-bata Cinta bertanya perihal kenapa dia bisa tiba-tiba berpindah tempat tidur.
Bara melangkah pelan mengarah ke lemari pakaian untuk mengambil pakaian. Dan sedikit terkekeh dengan pertanyaan Cinta.
"Aku? Ngapa-ngapain kamu? Jangan berfikir yang bukan-bukan! Aku belum sampai ketahap itu. Lagipula kalau aku melakukannya memang apa masalahnya? Kamu lupa? Kalau kamu sudah menjadi istriku!". "ucapnya jahil sambil tersenyum. Dia ingin melihat ekspresi Cinta seperti apa ketika ia dengan sengaja berbicara seperti itu untuk menjahilinya.
"Ka-kakak jangan macam-macam ya! Aku aduin ke KPAI loh!".
Bara sungguh tidak bisa lagi menyembunyikan tawanya mendengar pernyataan Cinta. "KPAI? Apa kamu fikir usiamu masih anak-anak?. 19tahun bukan usia anak-anak lagi!".
Cinta nampak tertunduk malu dalam diamnya. Dia baru sadar usia 19 tahun bukan lagi tergolong usia anak-anak. Wajahnya memerah merasa malu akan hal yang diucapkannya. "Tenggelamkan saja aku ke laut!" batinnya. Diambilnya bantal di dekatnya kemudian menutupi seluruh wajahnya dengan bantal!
"Ngapain tutup wajah pake bantal? Malu?. Cinta, dengar. Aku tidak berbuat apapun padamu. Aku bahkan baru sadar kalau kamu semalaman tertidur di sofa. Jadi ketika aku bangun pagi barusan, aku langsung memindahkanmu ke ranjang. Setelah itu aku mandi. Tidak ada yang lebih. Lagipula kenapa memilih kamu tidur di sofa? Ranjang ini besar, kamu bisa berbaring disebelahku. Aku tidak melarangmu, inikan kamarmu juga!."
Panjang lebar Bara menjelaskan, namun Cinta masih menutup wajahnya dengan bantal. Bara melanjutkan perkataannya. "Dengar Cinta, kita memang di jodohkan. Tapi untuk yang satu itu. Aku tidak akan melakukannya, atau bahkan memaksamu melakukannya. Aku akan memintanya jika aku benar-benar sudah mencintaimu. Untuk sekarang. Maaf! Aku belum mencintaimu!".
Kalimat panjang yang terakhir sukses membuat Cinta melepaskan bantal yang dibenamkan diwajahnya, setelah di cernanya baik-baik diotaknya.
"Kakak, nggak bohong kan?." tanyanya.
Bara mengangguk sebagai jawaban. Kemudian dilanjut oleh ucapan menyuruh Cinta bergegas mandi. "Mandilah. Bereskan dirimu. Setelah itu kita sarapan bersama. Dan membicaran bagaimana pernikahan kita kedepannya. Itu perlu, mengingat kau sepertinya juga sama sepertiku."
Hanya anggukan antusias yang dibalas Cinta, kemudia ia bergegas menuju walk in closet.
*******
Mereka berdua menikmati sarapannya di meja makan kamar hotelnya. Karena kedua orang tua mereka terlebih dahulu meninggalkan hotel dan kembali ke rumah masing-masing. Sambil menikmati makanannya dalam hening, Bara memecah keheningan itu dengan membuka suara terlebih dahulu.
"ekheem... Jadi apa rencanamu setelah ini?".
Cinta mendongakkan kepalanya dan menatap Bara. "Rencana? Maksudnya?".
"Cinta, aku tahu pernikahan kita terjadi karena perjodohan orang tua. Dan aku yakin kamu tidak mencintaiku, begitu pun aku. Bagaimana kalau kita membuat pengaturan." jelas Bara.
Cinta menatap penuh arti kearah Bara. "Jadi, apa pengaturannya?".
"Bagaimana jika kita saling menghormati keputusan 1 sama lain. Kita tidak saling ikut campur urusan satu sama lainnya. Pernikahan kita hanya sebatas perjodohan dari orang tua kita. Kita tetap menjalani aktivitas seperti biasanya. Bagaimana menurutmu?".
"Ok aku setuju!" jawab Cinta kilat sambil tetap memakan sandwich di tangannya. Kepolosan sikapnya yang ini membuat Bara menatap dalam seperti apa sebenarnya pribadi Cinta.
Tak terasa waktu berlalu begitu cepat. Mereka berdua memutuskan untuk segera kembali ke rumah menemui orang tua mereka masing-masing. Bara melajukan mobilnya menuju ke rumahnya terlebih dahulu untuk memgemasi barang-barangnya. Karena hari itu juga mereka akan pindah kerumah baru hadiah pernikahan dari kedua orang tuanya.
Setelah itu baru mereka ke rumah orang tua Cinta untuk berpamitan juga.
Sesampainya disana Cinta langsung berlari menuju pintu rumahnya. Bara hanya menatap datar, entah apa yang dilakukan Cinta. Seperti berpisah lama saja.
"Mama!!! Papa!!!". Cinta langsung berhambur ke pelukan Mamanya, kemudian bergantian ke arah papanya.
Dielusnya kening anaknya, menatap heran seperti tidak bertemu bertahun-tahun. "Kamu ini ya! Seperti berpisah dengan mama dan papa bertahun-tahun saja. Kamu sudah menikah loh!.
"Biarin aja! Cinta kangen!". Jawabnya ketus. Matanya mulai berkaca-kaca.
Bara baru muncul dari arah belakang hanya menggelengkan kepalanya melihat pemandangan di depan matanya. "Benar-benar anak manja". Gumamnya lirih, bahkan hampir tidak terdengar.
"Kalian mau langsung pindah hari ini?". Tanya Atma, pada anak dan menantunya.
Bara mengangguk." iya pa, Cinta akan berkemas hari ini dan kami langsung ke rumah baru kami. Terimakasih hadiahnya pa!".
Dengan merangkul menantunya dan sedikit menggiring menantunya menjauh dari ibu dan anak yang sedang berpelukan, pak Atma memberikan wejangan penuh arti. "Bara!. Papa tahu, pernikahan kalian berkat perjodohan. Tapi papa minta dengan setulus hati papa, tolong jangan sakiti hati anak papa yang paaa...ling papa sayang itu. Hatinya mudah rapuh. Cinta memang anak yang sedikit manja. Tapi dia juga bisa mandiri ketika tidak bersama kami. Kami sering meninggalkannya sendiri, dan itu juga sering membuat kami khawatir. Tapi setelah menikahkan anak papa dengan kamu, papa sepenuhnya percaya padamu. Papa percayakan anak kesayangan papa, dengan kamu".
Bara menegang mendengar permintaan papa mertuanya. Rasa bersalah tiba-tiba muncul di hatinya. Seorang ayah yang sangat mempercayakan putrinya padanya. Dia tadi bahkan membuat pengaturan tentang pernikahannya. Lalu apa yang akan terjadi jika mertuanya tahu kehidupan pernikahannya? Juga kedua orang tuanya. Otaknya kini berfikir keras, antara rasa bersalah dan rasa ego nya. Tak ada jawaban lain untuk situasi kali ini, selain mengiyakan dan menerima permintaan mertuanya. "Papa tidak perlu khawatir, Bara pasti menjaga Cinta. Tanpa papa meminta pun Bara pasti lakukan".
Yahhh... hanya itu yang bisa dijawabnya, lalu apalagi?.
Cinta pov
Hari ini aku mengunjungi rumah mama dan papaku, setelah tadi aku juga sudah mengunjungi mama yuli dan papa wira di rumahnya.
Kulihat papa dan kak Bara sedang berbicara serius. Karena wajah mereka sama-sama tegang. Aku dan mama pun menghampiri mereka yang sedang mengobrol di sofa, ingin ikut dari bagiannya juga. Tiba-tiba papaku mengajakku duduk di sebelahnya dan meraih lembut puncak kepalaku dan membelainya.
Papaku kemudian berbicara. "Anak papa sayang, sekarang sudah tidak sendiri ya?". Aku hanya tersenyum tanpa berbicara.
"sayang, dengar. Besok mama dan papa akan berangkat ke London. Mengurus cabang bisnis papa yang baru".
Aku terlonjak kaget, sampai-sampai mulutku menganga lebar mendengar bahwa papa akan pergi meninggalkanku untuk perjalanan bisnisnya. "apa-apaan ini? Aku baru menikah. Dan laki-laki ini kan orang yang baru ku kenal, walaupun dia suamiku sekarang. "teganya papa meninggalkanku.
"papa kok tega ninggalin aku lagi. Apa jangan-jangan ini alasan mama sama papa mempercepat pernikahanku?". Ucapku lirih. "berapa lama?". Lanjutku
"satu sampai dua tahun. Tergantung bagaimana nanti kondisi bisnis papa disana". Hatiku sedikit sesak mendengar papa akan pergi dalam waktu yang lama. Papaku tidak pernah pergi selama ini. Tentu saja aku sangat sedih. Tak terasa air mataku menetes, dan aku hanya memeluk erat tubuh papaku. Kak Bara? Aku bahkan tidak ingat ada dia di hadapan kami.
"Sudahlah sayang. Mama papa kan pergi hanya perjalanan bisnis. Kamu juga bisa mengunjungi kami disana, tentunya dengan suamimu".
Walaupun mamaku mencoba menghiburku dengan berkata aku boleh mengunjunginya, tetap saja ini tidak mudah. Ini bukan perjalanan Jakarta-Bandung atau Jakarta-Jogja.
Aku menangis sesegukan dipelukan papa, dan mama juga ikut berpelukan. Kami bertiga pun berpelukan layaknya teletubbies. Sedang Bara hanya memandangi kami, sesekali ia menunduk.
"Cinta pasti bakal rindu kalian disini. Sering-sering telfon cinta ya ma, pa!".
Mama papa pun mengangguk bersamaan sambil tersenyum manis.
Hari ini sungguh kejutan yang sangat-sangat tak terduga. Perjodohan dengan orang yang tak kukenal, menikah diusia 19tahun, bahkan mama dan papa pergi mengurus bisnisnya di London dalam waktu yang lama. Haaah... Tragisnya hidupku.
*******
Aku dan suamiku akhirnya sampai di rumah yang lumayan besar, bercat hijau kombinasi putih di beberapa sisinya. Nampak indah, rumahku sendiri cukup besar, tapi hadiah pemberian kedua orang tua kami juga juga tak kalah bagus. Aku berlari menuju kedalam rumah, kutinggalkan suamiku yang sedang menurunkan barang-barang kami. Beruntung barang-barang yang kubawa tidak terlalu banyak, karena aku hanya membawa satu buah koper berisi pakaian dan diapun juga begitu. Karena kedua orang tua kami memang sudah melengkapi rumah yang dibeli dengan segala perlengkapan didalamnya.
"Kak Bara! Dimana kamarnya?". Aku berteriak memanggil namanya.
"disini!"sahutnya
"Yang ini kamar siapa? Aku atau kak Bara?". Tanyaku lagi.
"Terserah! Kalau kamu mau kamar ini, pakai saja. Aku akan ke kamar sebelah!". Sambil menyeret kopernya dia melangkah pergi.
Kubiarkan dia pergi dari kamarku. Aku dan kak Bara memang memutuskan untuk berpisah kamar. Dia akan menempati kamar tepat disebelah kamarku. Sesuai kesepakatan kami akan saling menghormati keputusan masing-masing dan tetap berpura-pura menjadi pasangan suami istri. Itu jika dihadapan kedua orang tua kami.
Hari ini aku dan kak Bara mengantar mama dan papaku ke bandara. Mereka akan pergi ke London untuk perjalanan bisnis yang aku sendiri tidak tahu kapan mereka akan kembali. Meskipun mereka bilang aku boleh mengunjunginya, tetap saja aku sedih. Aku tidak pernah berpisah selama ini dengan mama dan papa.
"anak mama jangan sedih dong! Malu tuh sama suami kamu. Kayak anak kecil aja, padahal sudah menikah ya pah!?". Kata mamaku sambil menyeka air mata yang jatuh dari kedua pipiku seperti air terjun yang deras.
"Cinta pasti kangen sama mama dan papa".ku peluk erat leher mama dan papa bersamaan sambil terus menangis.
"sudah, jangan nangis lagi. Cengengmu tidak berkurang ternyata". Kali ini suara papaku. Kemudian beralih menatap kak Bara sambil menepuk pelan pundaknya berkali-kali. "Tolong ingat janjimu dan tepati ya!?. Menjaganya adalah tugasmu sekarang!." kali ini menatap lembut ke arahku.
Aku sedikit terkejut ketika tangan kak Bara meraih pinggangku lembut dan memeluknya. "Papa jangan khawatir, Cinta aman sama Bara".
Aku langsung mendongakkan kepalaku, sejenak pandangan kami bertemu. Kemudian dengan cepat ia menatap ke arah papa, begitupun denganku. Kami berdua melambaikan tangan kepada mama dan papa sebelum akhirnya mama dan papa menghilang di belokan lorong setelah pengecekan tiket. Kami pun memutuskan pulang ke rumah kami. Karena aku juga sedang libur kuliah. Dan kak Bara juga libur mengajar, mengingat pekerjaannya adalah sebagai dosen. Tunggu? Dosen? Aku bahkan belum pernah bertanya dimana dia mengajar?.
Tiba- tiba saja saja pertanyaan itu muncul. Rasa penasaranku mulai timbul, dan kalau sudah begini aku harus dapatkan jawaban.
Setelah 45 menit berlalu. Akhirnya kami pun sampai di rumah, kami juga memutuskan untuk berteman. Agar tidak ada lagi rasa canggung diantara kami, mengingat kami juga tinggal serumah hanya berdua! Ah ya! Kami hanya berdua di rumah yang menurutku cukup besar karena hanya ada kami berdua.
"Kak, aku mau buat teh, kakak mau dibuatin sekalian nggak?". Tanyaku menawari. Jelas aku bertanya dulu, kalau langsung kubuatku,iya kalau diminum. Kalau tidak?!. Mubadzir kan?!.
"Boleh!". Jawabnya singkat.
Aku membuat teh untuk kami berdua. Dan ketika sudah siap aku memberikan kepadanya yang sedari tadi sudah duduk santai di depan televisi. "Ini kak tehnya."
"Hmm, makasih". Lagi-lagi jawabnya singkat. Tiba-tiba pertanyaan yang tadi muncul kembali. Dan buru-buru aku menanyakannya, takut keburu lupa.
"Kak Bara. Kalau tidak salah kak Bara dosen ya?".
"Iya, memang kenapa?"..
Kudengar dia bertanya alasanku, sedikit menimbang-nimbang kata-kataku untuk bertanya lagi padanya, tapi kuputuskan untuk tetap bertanya.
"Dimana kak?".
"Universitas Bakti Mulia".
Deg! Jantungku langsung berdegup kencang. Kurasa juga tubuhku kaku setelah mendengar jawaban terakhir kak Bara. Apa-apaan ini! Aku menikah dengan seorang pengajar. Dan suamiku bahkan dosenku sendiri?! Oh Tuhan! Sesempit inikah duniaku?.
Aku tidak bisa membayangkan bagaimana kami akan bertemu juga di kampus. Tapi tunggu! Kalau suamiku adalah dosen di kampusku. Kenapa aku sama sekali tidak pernah melihatnya? Dosen apa dia?.
"Dosen jurusan apa kak?". Tanyaku lagi penasaran.
"Dosen Administrasi Bisnis! Dan baru mengajar disana 3 bulan" jawabnya, sambil sesekali menyesap tehnya. Aku menunduk sambil berfikir, pantas saja aku tidak pernah melihatnya. Ternyata dia dosen yang lumayan baru toh.
Saat aku sedang asyik bergemul dengan pikiranku sendiri tiba-tiba suara kak Bara mengagetkanku dengan pertanyaannya ."kenapa?".
"Ah..hmm tidak ada". Jawabku kilat.
Aku bersyukur kak Bara tidak melanjutkan tanya nya. Bisa gawat kalau dia tau aku juga satu kampus dengannya. Aku hanya tidak mau saja kalau dia tahu aku juga salah satu mahasiswinya. Iihh apa kata orang jika tahu dosen menikah dengan mahasiswi. Apalagi dalam satu kampus!.