webnovel

14. Pengantin yang Ditukar (?)

“Penyesalan atas pernikahan kita,” koreksi Ana, membuat wajah pria di depannya berubah. Pria itu tersentak dengan sebelah alis terangkat. “Aku akan berusaha menjadi pendamping yang baik.” Ia tersenyum.

Ravi tidak mampu menjawab. Matanya melirik ke bawah, melihat vas bunga kecil yang berada di tengah meja. Tatapan wanita di depannya terlihat tulus dan polos, ia merasa bersalah telah banyak membohongi wanita itu. Namun, ia tidak punya pilihan lain. Baginya hanya satu hal yang penting, yaitu wanita di depannya ini mau menikah dengannya. Itu saja. Perihal bagaimana perasaan dan lainnya, tidak penting sekarang.

“Aku ke toilet sebentar,” pamit Ravi, bersamaan dengan pelayan yang menyajikan pesanan mereka. Tanpa menunggu jawaban dari Ana, ia sudah pergi begitu saja menuruni tangga.

Saat menapaki anak tangga terakhir, kedua mata Ravi terbuka lebar karena berpas-pasan dengan Risa. Ia sangat terkejut.

“Kenapa, Sayang?” tanya Risa dengan senyuman menggoda. “Aku tahu kamu dan wanita itu di sini, santai saja, tidak akan aku ganggu,” ungkapnya santai tanpa beban.

Ravi segera menarik lengan wanita itu, membawanya ke area parkir karena tidak banyak orang di sana.

Alisnya bertaut, ia khawatir. “Bukannya kamu--” Ravi menghentikan ucapan karena telunjuk Risa di depan bibirnya. Wanita itu terlihat mengintimidasi.

“Aku sengaja ingin menemuimu.” Ia pun bersedekap dada dengan bibir mengerucut. “Pakaianmu tertinggal. Jemput malam ini, ya?” pintanya.

“Hari ini aku mempersiapkan pernikahan, mungkin akan terlalu malam jika ke sana. Besok pagi saja, ya?” tanyanya lembut sambil merendahkan badan, menyamakan posisi kepala dengan wanita di hadapannya.

Risa menggeleng gemas. “Tidak apa-apa.” Ia mendekatkan wajah, berbisik di telinga pria itu, “Menginap lagi saja.” Melihat raut wajah penuh pertimbangan dari pria itu, membuatnya memelas, “Sebentar lagi aku akan pergi. Di luar negeri nanti aku pasti merindukan masakanmu, makan berdua--”

“Baik, Sa.” Sebelah tangan Ravi terulur untuk mengusap rambut wanita itu. Ia tersenyum hangat, menatap penuh cinta. “Sampai ketemu di apartemen, ya.”

***

Decak kagum Ana terdengar ketika ia melihat deretan gaun pernikahan di depannya. Ternyata butik yang dipilih Ravi sangat mewah dan tidak main-main. Ia bahkan hanya pernah melihat gaun ini di internet, tidak menyangka akan berkesempatan memakai gaun indah saat pernikahannya.

“Kamu yakin?” tanya Ana kepada pria yang berdiri di sebelahnya.

Ravi mengangguk. “Aku telah menyeleksi sehingga menyisakan lima mode. Silakan pilih dua untuk gaun setelah akad. Kalau pakaian akad sudah aku tentukan.” Ia terlihat berpikir. “Aku rasa kamu pasti suka, atau jika tidak kamu bisa bilang ingin yang seperti apa.”

“Tidak-tidak. Kita menikah dalam waktu dekat ini, jadi apa yang ada saja.” Ana tertawa senang. Lagian semuanya bagus. “Aku tidak meragukan seleramu,” pujinya.

“Selamat sore, Pak Ravi dan …,” seorang wanita berpakaian rapi menyapa mereka, ia tersenyum canggung ketika melihat Ana, kemudian kembali menatap Ravi, “calon mempelai wanitanya tidak ikut ke sini, Pak?”

Ana tersenyum kecil, nyalinya sedikit surut. Apakah ia terlihat seperti ibu dari Ravi? Entahlah. Sementara itu, Ravi tersenyum kecil, ia menjelaskan, “Ini calon saya.”

Raut wajah wanita itu terlihat terkejut, ia seperti tidak bisa berkata-kata. Namun, ia tersenyum ramah ke arah Ana.

“Zea, kamu bisa melihat setiap gaunnya lebih dekat.” Ravi meminta tolong pada dua orang pegawai yang langsung membawa Ana pergi dan menjelaskan lebih lanjut.

“Maaf, untuk ….”

“Yang kemarin itu adik saya,” terang Ravi langsung. Ia mengetahui arah pembicaraan dari wanita di depannya yang terlihat bingung. “Ukuran mereka hampir sama, mungkin calon saya ini lebih pendek, tetapi nanti bisa diakali dengan sepatu bertumit tinggi.” Ia tersenyum lebar, memberi tahu dengan ramah. “Pakaian akad juga sudah sesuai. Jadi tinggal pemilihan dua gaun pesta.”

Wanita itu terlihat lega. Ia tertawa kecil. “Oh, jadi Risa itu adik dari Pak Ravi?” Kedua tangannya di depan, dengan tangan kanan yang menggenggam lengan kiri. “Maaf sekali, Pak, saya pikir Bu Risa itu calon pengantin Pak Ravi dan kalian sedang menyiapkan pernikahan.” Ia mengangguk. “Tidak biasanya calon pengantin pria datang dengan saudarinya. Apalagi kemarin sempat mencoba pakaian bersama, jadi kami salah paham ….”

“Karena calon saya sangat sibuk, dan selera adik saya bagus jadi calon saya pasti suka.” Ravi tertawa kecil. “Mungkin nanti jika ada sedikit permintaan dari calon saya, saya mohon bantuannya, Bu.”

“Ravi!”

Ravi berbalik, mengikuti sumber suara. Sontak kedua alisnya terangkat ke arah Ana yang berdiri di panggung kecil di sana memakain gaun pernikahan lengkap dengan jilbab. Wanita itu tersenyum cerah, auranya terpancar indah berkali-kali lipat. Bahkan karyawan di sana termasuk si wanita yang berbicara dengannya tadi bertepuk tangan serentak. Mereka kagum dan turut bahagia.

Gaun putih itu cocok di tubuh Ana, sangat pas dan mewah. Pinggangnya terlihat ramping dengan bagian rok mengembang, jilbab melilit di leher, veil panjang di bagian belakang, serta mahkota kecil di atas kepala. Ada selendang yang menggantung di kedua bahu, menutupi bagian dada. Senyumannya mengembang cerah dan bahagia.

Tidak bisa dipungkiri, Ravi terpana melihatnya. Ana seperti seorang putri yang baik hati dan pemeran utama di sebuah cerita dongeng. Jantungnya berdebar nyaman. Namun, ia menyadari sesuatu. “Tunggu … bukannya gaun itu tidak ada di antara lima gaun yang aku tawarkan?”

“Memang,” jawab Ana, masih berdiri di atas panggung. “Kelima gaun itu sungguh sangat bagus, dan berlengan panjang … hanya saja ada bagian terbuka di punggung, ada bagian leher yang terlalu ke bawah, ada yang bolong di bagian pinggang …,” ia tersenyum tidak enak, “sepertinya kamu lupa kalau aku memakai jilbab, Vi.”

Ravi refleks menunduk, ia merutuki diri sendiri. Ternyata ia masih kecolongan. Semua gaun yang diinginkan dan dipilih oleh Risa itu tidak bisa dipakai Ana. Ia pun kembali menatap Ana sambil tersenyum kecil. “Maaf,” ungkapnya penuh penyesalan.

Ana menggeleng, ia tertawa kecil. “Aku boleh pilih yang ini, ‘kan?” tanyanya penuh harap dengan mata berbinar. “Aku tidak tahu apa boleh mengatakan ini, tetapi aku bersyukur gaun ini tidak jadi diambil karena calon pemiliknya batal menikah. Jadi aku ditawarkan ini, dan langsung suka.”

“Silakan,” balasnya. “Kamu cocok memakainya.”

Mendengar pujian itu membuat Ana tersipu malu. “Terima kasih,” ungkapnya dengan senyuman tertahan. “Kamu juga harus mencoba pakaianmu, Vi, aku ingin melihatnya,” pintanya, senyumannya kembali mengembang.

“Tidak,” tolak Ravi cuek. “Aku sudah mencobanya. Lebih baik kita segera bergegas ke tempat berikutnya.” Ia melihat jam di tangan, kemudian berlalu pergi diikuti salah satu karyawan di sana.

Senyuman Ana berganti senyum kecil yang dipaksakan. Ia mengangguk, dan memerhatikan punggung pria itu yang menjauh. "Dasar, aneh," gerutunya dengan bibir mengerucut. "Dari dulu sampai sekarang sikapnya masih sulit ditebak."