Ana menangkap ekspresi wajah Ravi ketika melirik ponselnya. Wajah pria itu tidak biasa, membuat perasaannya gelisah. Ia yakin ada yang disembunyikan oleh pria itu.
“Sebelum memeriksa persiapan pernikahan, bagaimana kalau kita makan dulu?” tawar Ana, ia menatap lekat pria itu yang terlihat kehilangan fokus.
Pandangan Ravi beralih, ia mengangguk semangat dengan senyuman lebar. “Baiklah.” Jari-jarinya mengetuk setir. “Makan di tempat biasa?” usulnya.
Senyuman terukir di wajah Ana, ia menggeleng. “Jalan saja dulu, nanti aku beri tahu di mana kita berhenti.”
Kedua alis Ravi terangkat, ia terlihat heran. Namun, ia mengangguk kemudian sambil melajukan mobil. “Bagaimana tadi di sekolah?” tanyanya basa-basi, daripada canggung karena hanya diam.
“Seperti biasa, selalu berwarna.” Ana bersandar nyaman, ia melipat kedua tangan di depan dada. “Kali ini lebih ekstrem ….”
Sesekali Ravi memandang wanita di sebelahnya yang terlihat menyimpan banyak beban pikiran. Ia bersiap mendengarkan, karena sepertinya wanita itu ingin bercerita.
“Dua siswa berkelahi di kelas, dan ketika aku membawa mereka ke kantor guru untuk diurus kepala sekolah …,” ia menoleh, memandang pria di sebelahnya yang terlihat membagi fokus antara jalanan dan mendengarkannya, “ternyata saat aku kembali ada dua siswa lagi yang berkelahi. Padahal baru aku tinggal beberapa menit.” Ia mengernyit, sangat antusias bercerita dengan mata melebar. “Kamu tahu? Akar permasalahannya ada pada mainan gambar.” Ia mengacak-acak tas di pangkuan.
Ravi tertawa kecil melihat wanita itu yang sangat lucu di matanya. Lagi-lagi ia kagum karena wanita itu selalu bersemangat, ceria, dan menyenangkan ketika berada di dekatnya. “Mainan gambar?”
Tawanya menyembur ketika melihat wanita itu mengeluarkan satu plastik penuh mainan gambar--berbentuk kartu-kartu kecil, ada gambar di depannya--, mainan khas anak-anak.
“Aku mengambil semua punya siswa, dan mengancam akan membakar jika masih ada yang berani membawa ini ke sekolah.” Ia tertawa, mengangkat plastik di tangan. “Ini dalangnya.” Ia pun kembali menyimpannya.
“Ternyata kamu bisa menjadi kejam?” Ravi terhibur dengan tingkah dan cerita wanita itu.
Ana mengangguk kuat. “Tentu saja.” Ia beralih memandang jalan. “Belok kanan, Vi,” pintanya. Pandanganannya kembali ke arah pria itu. “Aku ini sebenarnya sangat kejam,” candanya dengan wajah serius.
Walaupun heran karena instruksi arah dari wanita itu, Ravi tetap memutar setir, mematuhinya. Pasalnya, jalan ini searah dengan studio tempat Risa bekerja dan kawasan mereka sering bertemu.
“Jadi, akan kamu apakan semua mainan gambar itu, Zea?” tanyanya dengan tawa kecil.
Senyum Ana mengulum. Ia terpikirkan ide yang sedikit keterlaluan. Seplastik mainan gambar tadi kembali ia keluarkan. “Ponakanku suka menggeledah dan mengambil barang-barang.” Ia membuka laci dasbor, dan menyimpan mainan itu di sana. “Aku titip semua hasil barang rampasanku di mobil, ya?” Senyumannya mengembang tanpa dosa. “Sepertinya akan banyak barang lagi nanti.”
Ravi tertawa, ia mengangguk. “Silakan, Bu Zea. Simpan saja di sini.”
Ana tertawa. “Eh, itu tempatnya. Kita makan di sana.” Ia menunjuk sebuah kafe terdekat.
Kening Ravi berkerut halus. Ia tetap mengikuti meski saat ini jantungnya berdegup kencang. Itu adalah kafe tempat ia dan Risa sering bersama. Apa maksudnya? Apakah wanita itu mengetahui sesuatu? Tiba-tiba ia menjadi cemas.
“Aku dan Inka sering ke sini.” Ana membuka sabuk pengaman, ia mengetahui perubahan ekspresi pria itu. “Kamu pernah ke sini?” tanyanya, pura-pura tidak tahu. Padahal, ia belum pernah ke kafe dan sengaja hanya untuk melihat sikap pria itu.
“Tentu saja pernah,” balasnya, berusaha tetap tenang. Untung saja hari ini Risa tidak ke studio. “Kamu berbohong, ‘kan?” Ia telah melepas sabuk pengaman, kemudian menatap wanita itu.
“Ha?”
“Kamu tidak sering ke kafe ini. Ya, aku tahu karena aku langganan di sini,” ujarnya berterus terang.
***
Saat ini Ravi dan Ana telah duduk di dekat meja paling sudut lantai atas. Ana merasa sangat asing dan canggung. Apalagi orang-orang di sekitar diam-diam meliriknya, para pelayan juga menatap heran. Berbeda dengan pria di hadapannya yang terkesan santai dan tidak peduli.
“Apa aku terlihat aneh?” Ana melihat dirinya sendiri, ia masih mengenakan seragam guru. “Apa aku mempermalukanmu, Vi?” tanyanya pelan.
Ravi yang sedang membaca buku menu, langsung menutup dan menaruhnya di atas meja. “Apa yang kamu bicarakan? Tolong abaikan saja jika ada yang mengganggu.”
“Aku merasa sedang ditatap semua orang--”
“Itu hanya perasaanmu saja, Zea.” Ia tersenyum kecil, meyakinkan. “Kamu ingin makan apa?”
“Samakan saja,” jawab Ana cepat. Keputusannya untuk ke tempat ini sepertinya salah, apalagi memakai baju kerja. Terlihat mencolok dibandingkan pengunjung lain.
Ravi mengucapkan pesanan kepada pelayan yang datang, sementara itu pelayan itu malah menatap Ana.
“Adikmu, Vi?” Wajahnya terlihat ragu. “Tidak mungkin saingan Risa, ‘kan?” candanya dengan tawa mengejek.
Mendengar itu Ana sontak memandang pelayan yang terlihat sudah akrab dengan Ravi. Ia tahu wanita yang disebut tadi, dan rasanya sangat sakit dengan pertanyaan itu.
“Tutup mulutmu!” Ravi marah sekali, tetapi masih mempertahankan wajah datar yang dingin. “Kerjakan saja apa yang menjadi urusanmu. Antarkan makanan kami … segera,” suruhnya penuh penekanan.
Pelayan tadi tersentak, ia menjadi takut-takut. Untuk pertama kalinya melihat pelanggan yang sudah seperti temannya itu berperilaku di luar biasanya. Ia lantas bergegas pergi.
Beberapa saat terjadi keheningan. Ravi maupun Ana tidak ada yang berbicara. Rasanya sangat banyak yang ingin disampaikan, tetapi mulut sulit untuk bersuara.
“Maaf,” ungkap Ravi, ia menatap wanita di hadapannya. “Hal itu tidak akan terjadi lagi. Kamu boleh bertanya apa pun, Zea, aku akan menjawabnya.”
Kedua sudut bibir Ana terangkat. “Wanita itu … hanya masa lalu, ‘kan?” tanyanya hati-hati. “Tidak, tidak usah dijawab. Kita sudah sejauh ini, itu artinya kamu serius.”
Di satu sisi Ravi terus merasa berdosa. Wanita itu terlalu baik untuk diperlakukan seperti ini olehnya. “Aku ….” Ia terdiam melihat wanita itu mengeluarkan selembar kertas dan pena. “Untuk apa?”
“Menulis perjanjian pranikah, hanya di antara kita berdua saja.” Ana menatap serius, ia menggenggam erat pena di tangan. “Supaya kita tahu apa-apa kewajiban dan hak masing-masing, dan tidak berjalan melampaui batas.”
Tangannya mulai menulis “Perjanjian Pranikah” di tengah paling atas kertas. Lalu angka yang berjajar ke bawah. “Kamu setuju?”
Ravi terdiam memandang kertas itu. Ia pun mengangguk. “Jika aku tidak setuju, kamu ingin membatalkan pernikahan?” tanyanya memastikan. Wanita itu tidak menjawab, hanya menatapnya lekat. “Baiklah, aku setuju.”
“Pertama, tidak ada kekerasan dalam bentuk apa pun. Bagaimana?” tanya Ana memastikan sebelum menulisnya di kertas.
“Setuju. Lagian aku bukan pria yang seperti itu.”
Ana tersenyum, ia mengangguk dan mulai menuliskannya. “Kedua, harus saling menghargai, menghormati, dan memperlakukan dengan baik.” Ia menatap pria itu. “Tidak boleh mengabaikan.”
“Baiklah,” ucap Ravi enteng.
“Selanjutnya, berkomitmen untuk terus bersama dan merawat satu sama lain.”
Ravi menelan ludah mendengarnya. Ah, rasanya cukup sulit. Ia akhirnya mengangguk karena tidak ingin pernikahan ini batal.
Total ada enam perjanjian yang mereka sepakati setelah sepuluh menit berlalu. Ana bahkan melekatkan matrai di sana. Paling bawah disahkan oleh tanda tangan mereka berdua.
“Aku yang akan menyimpan ini.” Ia tersenyum lebar. “Aku harap tidak ada penyesalan.”
“Perjanjian itu hanya berisi hal-hal umum, tidak akan ada penyesalan.”
“Penyesalan atas pernikahan kita,” koreksi Ana dengan senyuman kecil yang sendu.