webnovel

4. Nyawa Terenggut

Bella menelan ludah. Wanita itu tidak berani menggeleng tapi keberatan mengangguk.

Hadrick sudah menyentuh perlahan wajahnya, mengusapkan satu jempolnya ke pipi kanan Bella yang menghangat.

"Kamu boleh meminta apapun padaku, jika membiarkanku menciummu."

Tawaran Hadrick cukup menggiurkan bagi Bella. Tapi wanita itu menggeleng, "Maaf—"

Sebelum Bella sempat menolak Hadrick sudah menekan kuat pinggangnya, mendorong perlahan wanita itu ke belakang dan mendaratkannya ke dinding dapur. Benturan yang cukup kuat di punggungnya membuat Bella lemas.

Hadrick mencium Bella dengan lembut, Bella sempat berusaha untuk memberontak tapi sedikit gerak penolakan dari wanita itu membuat Hadrick menjadi semakin buas.

Hadrick sedikit menarik bibirnya, menyela ciuman mereka hanya tiga detik. Lelaki itu memerintah sebelum melanjutkan, "Buka mulutmu."

Bisikan tajam tersebut membuat Bella semakin mengatup rapat bibirnya.

Hadrick mengecup bibir Bella bertubi-tubi, memintanya terbuka. Bella tetap keras kepala, membuat Hadrick terpancing.

Hadrick menjadikan perut Bella sebagai sasaran. Tangannya menangkup di sana lalu meremuk perlahan, membuat ringisan Bella terdengar.

Akhirnya Hadrick mendapatkan kesempatan. Lelaki itu langsung melumat kasar, menggigit bibir wanita itu kuat-kuat. Bella mengalah dan membuka mulutnya, lidah hangat Hadrick langsung menerobos sesuka-hati. Benda kenyal itu menjelajah ke rongga mulut, memperodak-adiknya dengan kasar, menikmati apapun yang ada di sana, tidak perduli Bella kesusahan bernapas dan semakin terhimpit ke dinding.

Hadrick tidak memerdulikan rasa perih di lehernya karena Bella mencakarnya. Lelaki itu tetap menuntaskan apa yang tadinya dia berani mulai.

Kedua lengan Hadrick melingkari pinggul Bella, lalu menaikkannya ke atas, melingkarkan kedua kaki Bella ke tubuhnya.

"Turunkan aku," Bella memelas dengan tubuh gemetar.

Akhirnya Hadrick menyadarkan diri. Lelaki itu menjauhkan kepalanya dan menurunkan Bella dari tubuhnya.

Hadrick berdesis kesal saat melihat panci yang dia tinggalkan meluap. Hadrick langsung mematikan kompor dan rencana memasak tersebut hancur sudah.

"Kita pesan makanan saja," Hadrick memutuskan sambil melirik Bella yang menyenderkan punggungnya ke dinding.

"Katamu, aku boleh minta sesuatu tadi …," Bella mengungkit meski sempat memberontak.

Hadrick mendelik sinis, lalu mengalah. "Baiklah, apa maumu?"

"Boleh aku ke rumah ibuku …?" Bella bertanya ragu.

"Ke rumah ibumu?" Hadrick terlihat keberatan.

Bella menganggukkan kepalanya perlahan. "Ya, aku sangat merindukannya. Aku ingin makan siang dengan sup iga buatannya."

"Baiklah, aku akan mengantarmu ke sana—"

Bella langsung memotong, "Aku ingin datang sendiri ke sana."

"Kamu bercanda?" Hadrick sedikit berteriak. "Rumah ibumu itu di luar kota, kamu ingin pergi ke sana tanpaku?"

"Aku pergi bersama sopirmu, jika kamu tidak membiarkanku pergi sendiri menggunakan kendaraan umum."

"Kenapa segitunya tidak mau pergi bersamaku?"

"Ayahku pasti memukulimu lagi," Bella menunduk sambil menundukkan kepala.

Hadrick menatapnya sejenak, "Itu yang kamu khawatirkan?"

Bella mengangguk, "Waktu itu ayahku memukulimu 'kan?"

"Memang," Hadrick menjawab. Karena ingat jelas kejadian beberapa bulan yang lalu.

"Kamu bahkan tidak membalas pukulannya, aku takut jika bertemu untuk keduakalinya, kamu akan mati di tangannya."

Hadrick tertawa sinis, "Aku tidak mungkin mati semudah itu, Bella. Jangan meledekku."

"Lagian jika kubiarkan kamu pergi sendiri tanpaku hanya ditemani sopir apa ada jaminan kamu akan diterima baik oleh keluargamu?" Hadrick bertanya serius, lelaki itu melangkah mendekat ke dinding yang disandari oleh Bella. Satu tangan Hadrick terulur dan menyentuh dinding, mengurung Bella di antara dadanya agar tidak bisa menghindar. Seringaian menyebalkan Hadrick terlihat, lelaki itu meneliti wajah cantik Bella dengan tatapan meledek karena Bella tidak secantik wanita-wanita lain.

"Ayahmu itu kasar, apa ada jaminan beliau tidak akan memukul anak gadisnya yang hamil duluan dengan pria kaya?"

"Ayahku tidak akan melakukan itu," Bella berbohong. Padahal perempuan atau lelaki, didikan ayahnya sangat keras. Saat ketahuan hamil di luar nikah, Bella sempat dihajar dan ditampar oleh ayahnya yang untung dilerai sang ibu. Bella pulang hanya ingin bertemu ibu dan adik-adiknya, di dalam hati berdoa semoga ayahnya tidak ada di rumah. Karena Bella tidak ada keberanian untuk menghadapinya, bisa saja tuduhan Hadrick benar adanya. Tidak ada Hadrick, Bella yang akan dipukuli oleh ayahnya sendiri.

"Baiklah," Hadrick menarik kembali lengannya.

"Setelah kembali langsung temui aku dan lepas bajumu di depanku. Aku perlu mengecek ada atau tidaknya memar atau bekas luka di tubuhmu untuk membuktikan benar atau tidaknya perkataanmu."

***

Hanya ditemani sopir dan seorang pelayan perempuan, Bella menumpangi sebuah mobil mewah ke rumah ibunya. Ini kali pertamanya Bella keluar dari kediaman Hadrick setelah berbulan-bulan. Tidak Bella sangka pergi dari rumah itu meski akan kembali lagi semudah ini.

Sepanjang perjalanan Bella diam, sang sopir di depan maupun pembantu di sebelahnya juga tidak berniat mengajaknya mengobrol. Bella melirik jalanan luar di kaca mobil, lalu tersenyum haru. Rasanya bahagia melihat pemandangan-pemandangan indah yang kendaraan mereka lewati. Mulai dari jalanan, bangunan-bangunan rumah yang berbaris rapi, pepohonan yang tumbuh di beberapa halaman, gedung-gedung pencakar langit dan kendaraan-kendaraan lain. Semuanya benar-benar memanjakan mata Bella. Selama ini di rumah Hadrick, yang bisa Bella lihat adalah satu-satunya bangunan megah yang dia tempati dengan halaman luas di sekitarnya, selain itu hanya langit atas yang bisa Bella pandangi. Benar-benar membosankan, meskipun rumah mewah itu harapan nyaris semua perempuan di dunia ini.

Tiga jam lamanya, akhirnya sampai ke tujuan. Bella hampir saja turun, tapi keberaniannya mendadak ciut saat mendapati ayahnya ada di teras rumah, tengah memainkan ponsel sambil menikmati secangkir kopi hangat.

"Ada apa, Nyonya?" Sang sopir akhirnya menanyai.

Bella menggeleng pelan, lalu menutup kembali pintu dan kaca mobil. "Kita pulang saja."

"Sudah jauh-jauh datang kemari, kita pulang begitu saja?" Sang sopir membelalak tidak percaya.

Bella mengiyakan merasa bersalah. Sang sopir hanya bisa mengalah, protes tidak mungkin. Karena tugasnya di sini mematuhi perintah bukan komplain.

Di perjalanan pulang, langit mendung. Bella menikmati setiap tetesan hujan gerimis dan kabut yang menutupi kaca mobil. Yang terjadi di kedepannya berlangsung begitu saja. Untuk mengelak dari sebuah truk yang oleng, sang sopir memutar setir ke sebelah, tidak sengaja menghantam kendaraan lain hingga kecelakaan beruntun terjadi.

Tubuh Bella terhempas ke tepi jalan, melayang jauh dari mobil yang terbalik di ujung jalan.

Wanita itu tidak bisa menjerit, seperti ada batu yang menyumpal kerongkongannya. Satu-satunya hal yang bisa dia lakukan hanyalah berkedip, menggerakkan satu jarinya saja tidak bisa. Napas Bella mulai menipis, air matanya menetes, rasa sakit yang dia dapatkan di sekujur tubuh tidak bisa dibayangkan.

Melebihi nyawanya sendiri, satu yang Bella khawatirkan. Bayi di dalam kandungannya, yang seharusnya lahir tak lama lagi tapi harus kehilangan nyawanya hari ini.