webnovel

Kau Kekurangan Uang?

Petra berdiri di sebuah sudut dengan tangan di dalam saku celananya. Setelah Mia mendongak, dia kembali bicara, "Pak Bagas, kebetulan sekali!"

Ketika Pak Bagas mendengar ada yang datang, dia bergegas melepaskan Mia dan melihat bahwa itu adalah Petra. Dia tiba-tiba tersenyum. "Pak Petra datang ke acara makan malam juga…." Dia melirik Mia di depannya dan menjelaskan dengan malu-malu, "Mia, hati-hati kalau berjalan, dan jangan jatuh di depan saya lagi."

Membuatnya tampak menggoda….

Mia menggerutu, memaksakan senyuman, dan berkata, "Terima kasih Pak Bagas…. Kalau tidak Anda bantu, saya bisa benar-benar jatuh." Dia mengakhiri ucapannya dengan indah dan bergegas melanjutkan, "Pak Bagas, saya kembali ke ruangan dulu."

Tanpa menunggu Pak Bagas berbicara, Mia mengabaikan kebas di pergelangan kakinya dan buru-buru melewati Petra da pergi.... Hanya saja, ketika dia melewati Petra, dia jelas merasakan tekanan udara yang dingin melanda.

Kembali ke dalam aula, Mia berkata bahwa kakinya tidak sengaja terkilir dan ingin pergi lebih dulu setelah pamit.

Pak Tahir tidak sempat menyusul Petra, dan orang-orang terus menatap Mia satu per satu, takut dia akan semakin tidak enak, jadi Mia diizinkan untuk pergi lebih dulu.

Setelah pamit, Mia bergegas berjalan keluar tanpa memperhatikan pandangan semua orang…. Tapi ketika sampai di depan, dia bertemu Bayu.

"Mbak Mia, Pak Petra memintamu untuk menunggunya di dalam mobilnya!"

Karena takut akan menyebabkan kesalahpahaman yang tidak perlu, Bayu selalu memanggilnya dengan sebutan Mbak Mia, dan tidak pernah memanggilnya dengan nama yang berlebihan seperti "Bu Petra."

Sudut-sudut mulut Mia berkedut. "Aku boleh menolak?"

Bayu berkata sambil tersenyum santai, "Kata Pak Petra, boleh!"

Mia menghela napas lega ketika mendengarnya…. Tapi dia tidak berhenti sampai di sana. Saat hampir lega, dia hampir tercengang mendengar kata-kata Bayu lagi.

"Tapi, kata Pak Petra…. Kalau Mbak Mia tidak ikut, tidak usah mengajukan balasan apa-apa lagi." Kata-kata Bayu memiliki arti terselubung.

Sudut mulut Mia terus berkedut. Kemudian, dengan enggan, dia mengikuti Bayu ke sebuah Spyker yang mewah dan mencolok.

Sepertinya Bayu mengirim pesan teks ke Petra, dan Petra datang dengan sangat cepat…. Tapi dengan jeda lebih dari sepuluh menit.

"Ke Bar Purnama!" titah Petra setelah masuk ke dalam mobil.

Bayu mengiyakan, menyalakan mobil, dan melaju menuju Bar Purnama. Dia mengemudi dengan saksama, sama sekali mengabaikan suasana aneh yang menguar dari dua orang di kursi belakang mobil.

Setelah tiba di Bar Purnama, Mia tahu bahwa dia melakukan kesalahan hari ini…. Yah, meskipun dia tidak merasa itu adalah kesalahan. Tapi tetap, dia mengikuti Petra keluar dari mobil dengan patuh, lalu menuju ruangan pesanan.

Sudah ada beberapa orang di dalam ruangan. Ketika semua orang melihat Petra membawa Mia masuk, mereka satu per satu dikejutkan, dan kemudian mengerutkan dahi dan menyuruh perempuan-perempuan di sekitar mereka pergi.

Mia mengenal beberapa orang ini, orang-orang terkenal dari sepenjuru Jakarta!

Tidak termasuk Petra, ada Haris Dirgantara, Eddy Trikusuma, dan Kristian Lin…. Mia mengenal beberapa orang ini, tetapi belum pernah bicara dengan mereka, dan mereka hanya mengetahui keberadaan satu sama lain.

"Ck, ck. Jadi bagaimana?" Kristian menyenggol Petra, melihat wajahnya tertekuk, mau tidak mau menoleh pada Mia. "Nah, Kak, dia kenapa?"

Semenjak menikah, Petra belum pernah membawa Mia ikut serta dalam pertemuan mereka berempat. Nyatanya, Mia tidak mengenal beberapa dari mereka, dan hanya mengenal beberapa yang masih muncul di majalah dan surat kabar online.

Mia menaikkan sudut-sudut mulutnya dengan kaku, mencoba tersenyum sopan... tapi dia tidak bisa tertawa dalam suasana seperti itu.

Haris dan Eddy saling memandang namun tidak berbicara, keduanya menatap Petra.

Petra mengeluarkan rokok dan menyalakannya tanpa mengatakan apa-apa.

Kristian Lin adalah yang paling aktif dari keempatnya, dan terlepas dari sikap ketiga orang yang lain, dia langsung menghampiri Mia dan bertanya, "Kak, kenapa orang itu? Ini maksudnya bagaimana?"

Mia agak tidak terbiasa bicara dengan Kristian. Yang lain tidak tahu bahwa dia berhubungan dengan Petra. Mia pikir, orang-orang ini tahu. "Aku—aku tidak tahu…."

Dia tidak tahu apakah Petra marah karena dia menjual gambar desain sore itu, atau marah karena pelecehan yang dilakukan Pak Bagas…. Tapi sejak dia masuk ke mobil, orang ini terus diam. Dan Mia bukan hanya cacing pita yang ada di perutnya. Dia tidak bisa menebak.

"Mia, mau minum apa? Biarkan Kris pergi ke…." tanya Eddy, memecah kekakuan.

Haris pun merasakan suasananya pas, dan segera menyahut, "Nah, benar. Aku baru mau bertanya. Kakak mau minum apa?"

Mia tersenyum, sedikit malu. "Terima kasih,"

"Eh, jangan, biarkan mereka putuskan sendiri. Tidak sopan, 'kan?" Kristian memandang Petra. "Ya, 'kan, Kak?"

Petra masih bersikap dingin.

Semua orang sadar suasananya agak kaku, tapi untungnya mereka semua sudah terbiasa, jadi Haris berkata, "Kalau ada yang perlu diselesaikan, selesaikan saja. Untuk apa berlama-lama bersikap dingin begitu?"

Petra langsung menaruh puntung rokoknya di asbak. "Aku pergi dulu. Hari ini aku yang bayar." Dengan begitu saja, dia menarik Mia tanpa menahan diri meskipun Mia tetap diam. Ditariknya Mia keluar dan berjalan pergi.

Kaki Mia yang baru saja lemas ditarik begitu kuat olehnya, dan rasa sakitnya hampir membuatnya terhuyung…. Jelas Petra sama sekali tidak peduli. Dia hanya menahan rasa sakitnya dengan gigih tanpa mengeluh.

Petra langsung menyuruh Mia masuk ke dalam mobil dan berkata dengan dingin, "Kembali ke Taman Dewata."

Bayu melirik ke kursi belakang dari kaca spion, menyalakan mobil, dan pergi ke Taman Dewata. Meski begitu, dalam perjalanan, dia hanya merasakan suasananya terasa lebih kaku dibandingkan saat dia datang.

Ketika mereka tiba di rumah, Petra masuk ke rumah begitu dia keluar dari mobil.

Mia keluar dari mobil dan melihat tampak belakang Petra, merasa bersalah, tapi masih mencoba menenangkan diri.

Menahan rasa sakit dari pergelangan kakinya, Mia memasuki rumah. Dia berpura-pura tersenyum dan berkata, "Kamu marah?"

Petra memandang Mia dengan tatapan tajam, menariknya dan melemparkannya ke sofa. Sembari melakukannya, dia juga menahan Mia di sofa.

Kaki Mia yang sudah kebas kembali tertekuk karena tekanannya. Meski kesakitan, dia hampir tidak meneteskan air mata.

"Mia, apakah kamu kekurangan uang?"

"Hah?" Mia tidak menanggapi karena dia menahan rasa sakit.

Mata Petra semakin tajam, "Istriku perlu datang ke tempat lelang amal seperti itu untuk menjual desain? Gadisku perlu menjalin hubungan dengan pria seperti Pak Bagas? Hah?"

"Aku tidak punya...." Mia mengerutkan dahi karena kesakitan.

"Tidak?" Petra mencibir, "Omong kosong. Memangnya kau tidak menjual desain itu?"

"Menjual setengahnya, tapi juga melakukan amal...." kata Mia dengan mengelak. Dia merasa agak bersalah di dalam hatinya, tapi dia tetap gigih. Karenanya, dia lupa untuk bersikap lembut, "Soal Pak Bagas, aku tidak merayunya…. Percaya atau tidak, aku sungguhan!"

Semakin banyak dia berbicara, semakin dia merasa sedih, namun dia masih menahan rasa sakit di pergelangan kaki dan dadanya. Dia mendorong Petra. "Aku lelah, bisa biarkan aku tidur hari ini?"

Petra tidak bergerak, hanya menekan bahu Mia. Dari awal pernikahan hingga sekarang, Mia tidak pernah mengurus hidupnya.

Dapat dikatakan bahwa mereka jarang tidur bersama ketika mereka akur.

Tetapi ketika gadisnya membutuhkan uang, ternyata wanita itu justru menjual rancangannya…. Kalau dilecehkan, wanita itu hanya bisa diam saja dianiaya dan tidak bisa berbicara?

Memangnya apa itu amal? Jika ini alasannya, Mia seharusnya tidak berani melihatnya sore itu!

"Kau keluar dari pekerjaanmu besok!" ujar Petra dengan dingin. "Ada aturan tidak tertulis yang harus kamu ikuti dalam posisi pekerjaan yang lebih tinggi. Kamu mau bagaimana?"