webnovel

Dia di Sana

Mia punya firasat dia akan ketahuan oleh Petra, dan tidak bisa sembunyi. Dia hanya bisa menggigit jari dan meliriknya…. Tapi, tepat pada saat itu, dia menyesal.

Bibir tipis Petra mencibir, seolah bisa melihat tujuan Mia berada di sana.

Mia merasakan udara di sekitarnya semakin sesak dan menekan hingga detak jantungnya pun melambat…. Mia melirik, dan berkata dengan susah payah, "D-dua ratus juta!"

"Murah!" Petra tersenyum kecil dan langsung menerimanya. Dia mengeluarkan cek, pulpen, lalu menuliskannya dan memberikannya kepada Mia.

Dia melepaskan wanita di sebelahnya, mencondongkan tubuh, sengaja berbisik di telinga Mia, "Begini saja…. Kalau kamu punya desain yang lebih bagus nantinya, Mbak Mia, hubungi saya saja."

"Hah?" Mia seketika merasa melayang, tapi sekejap kemudian tenang kembali. "Oke…. Selama Anda mampu membayar harganya."

"Tahu, tidak…." Wajah Petra tetap tidak berubah, namun suaranya semakin rendah. "Saya mampu membelinya," ucapnya, dan wajah dingin itu menyadarkan Mia dari lamunannya.

Sudut mulut Mia berkedut, tapi dia mencoba untuk menahan senyum agar tidak merekah di mulutnya, tidak membiarkan dirinya menunjukkan terlalu banyak perasaan dan mengkhianati diri sendiri.

"Kalau begitu beri aku informasi kontaknya...." Mia tersenyum secerah sekuntum bunga. Mungkin karena hubungannya dengan Petra memang nyata, cara bicaranya sangat alami dan tidak dibuat-buat. "Kalau tidak, bagaimana kalau ada desain yang bagus? Bagaimana kalau saya menjualnya padamu?"

Melihat Mia bersikap seperti itu, wanita dengan bibir merah itu berdecak sinis, menandakan dengan jelas bahwa Mia mengganggu kesempatannya untuk mendekati Petra.

"Jam delapan malam nanti, saya makan malam di Bar Purnama," kata Petra dengan santai. Setelah memastikan Mia mendengarnya, dia berbalik dan pergi.

Mia tidak melihat cek di tangannya sampai Petra pergi, dan diam-diam dia menertawakan dirinya sendiri…. Akhirnya, dia mengambil uang Petra juga.

Setelah menyisihkan setengah dari uang itu untuk penyelenggara, Mia mengemudikan Hyundai-nya, yang merupakan mobil butut di mata Petra, dan pergi ke rumah sakit.

Setelah Mia menyerahkan cek tersebut ke rumah sakit, dia pergi menemui Dr. Wangsa dan menanyakan tentang kabar terbaru ibunya, Retno, sebelum pergi ke bangsal.

Mia mengambil air dan menyeka tubuh ibunya. Melihat ibunya yang masih tak sadarkan diri, dia merasa sangat cemas….

Ayahnya tidak sengaja jatuh dari gedung di lokasi konstruksi, dan ibunya menderita serangan jantung. Saat ini, ibunya hanya bisa mengandalkan obat-obatan dan peralatan untuk tetap hidup, sembari menunggu donor jantung yang sesuai.

Segalanya terasa berbeda dari malam berhujan itu…. Tetapi, meskipun semua kemalangan itu menimpanya, Mia masih beruntung. Di titik yang paling sulit dalam hidupnya, dia bertemu Petra.

Tidak peduli apapun tujuannya menjadi seorang istri, dia tidak pernah berhenti bersyukur pada saat itu.

"Bu, menantu Ibu sangat kaya, jadi… Jangan khawatir tentang apapun. Ibu bisa sembuh tanpa beban, oke?" kata Mia sambil menyeka tubuh ibunya. "Dia memperlakukanku dengan baik dan menghidupiku. Hal itu membantuku baik di tempat kerja maupun luar…."

Mia menceritakan kejadian sehari-hari dalam hidupnya di depan ibunya seolah-olah dia tidak pernah bersedih.

Setelah semuanya selesai, dia mencium pipi ibunya yang sudah menirus. "Bu, aku pergi dulu. Ibu juga harus berjuang…. Aku akan berjuang juga," ucapnya. Dia tiba-tiba merasakan air mata, dan dia pun terisak. Dia seolah menjadi rapuh di hadapan ibunya.

Ketika keluar dari bangsal, Mia bertemu dengan Dr. Wangsa yang sedang bertugas jaga.

"Dok, saya cemas…." Mia mengernyit. "Kalau ada donor jantung yang cocok, Dokter harus memberitahu saya."

Dokter Wangsa mengangguk sambil menghela napas, dan tidak tahan ingin menghiburnya.

Faktanya, semua orang tahu bahwa sekarang ini, Bu Retno hanya didukung oleh obat-obatan impor, dan biaya pengobatan yang lebih dari 300 juta untuk sebulan itu tidak terjangkau oleh keluarga biasa.

Terlebih lagi, sekalipun ada donor jantung yang cocok untuk tahap selanjutnya, biaya operasinya belum termasuk ke dalam biaya pengobatan. Tidak semua orang mampu membayarnya…. Alhasil, sebagian besar orang kekurangan uang untuk membayar.

"Oh, malang sekali wanita muda itu...." Dokter Wang memandang Mia yang berjalan pergi dan kembali menghela napas, lalu menggelengkan kepala dengan sedih.

Ketika Mia meninggalkan rumah sakit, ponselnya berdering. Melihat teleponnya dari Pak Tahir, dia mengangkat telepon dan berkata, "Pak?"

"Mia, ada acara makan malam hari ini, kamu ikut dengan saya, ya...." Pak Tahir berkata pada dirinya sendiri, "Saya tadi bertanya, Petra Ardian kemungkinan juga akan datang.... Gunakan kesempatan ini untuk melihat apakah kita bisa menawarkan padanya."

Mia merasa sakit kepala. "Pak, saya...."

"Mia, kamu juga kenal Pak Yudhi dan Bu Sirena. dari Departemen Bisnis yang berselisih paham," kata Pak Tahir dengan nada berat. "Sekalipun kamu tidak mempertimbangkan kantor, coba pikirkanlah masa depanmu sendiri. Kamu bisa direkomendasikan ke UCL, lho…."

Mia mendengarkan. Nada suara Pak Tahir memperjelas bahwa dia tidak bisa melewatkan hal ini. Ditambah lagi, alasan yang dia gunakan mengenai Grup Kaisar ketika dia tidak kembali ke kantor hari ini…. Kalau dia menepiskannya sekarang, dia akan terlihat berbohong!

Ketika teringat Petra berkata dia akan pergi ke Bar Purnama malam itu, seharusnya pria itu tidak muncul saat acara makan malam.

Mia pulang dan berganti pakaian dengan terusan sepanjang lutut, dan melirik waktunya. Perlu waktu kurang dari satu jam berkendara dari sana ke hotel yang diberitahukan.

Acara makan malam di Hotel Oriental yang terkenal di Jakarta seperti yang diduga oleh Mia: bahkan batang hidung Petra tidak terlihat di meja makan….

"Maaf, saya mau ke kamar kecil." Setelah izin dengan sopan, Mia beranjak dan keluar dari ruangan.

Dia tidak suka acara makan malam seperti ini. Banyak tatapan ganas dari laki-laki. Petra adalah pria tampan, jadi dia berbeda. Orang-orang ini hanya akan membuat orang merasa muak.

"Mia, ke kamar kecil juga?"

Saat Mia hendak masuk ke kamar kecil, dia dipanggil oleh seorang pria yang berjalan keluar. Ketika melihat bahwa pria itu adalah pemimpin sebuah organisasi, dia menggerakkan bibirnya. "Pak!"

"Kamu duluan saja. Saya akan menunggumu untuk kembali bersama." Pak Bagas tersenyum lebar, dan wajahnya langsung merekah.

Mia diam-diam memutar matanya dan berkata dengan senyum datar di wajahnya, "Tidak, duluan saja, saya harus ke belakang dulu."

"Tidak apa-apa, kebetulan aku mau merokok…."

"..." Mia merasa risih. Lagipula, dia hanya bisa masuk ke kamar kecil kalau sudah begini.

Mia bolak-balik selama sepuluh atau dua puluh menit, bertanya-tanya kenapa Pak Bagas tidak sabaran sekali. Begitu Mia keluar, pria itu masih ada di sana!

"Pak Bagas, maaf sudah menunggu lama…." Mia dengan hati-hati menjaga jarak yang aman darinya, "Baiklah, ayo?"

"Tidak usah terburu-buru…." Mata Pak Bagas menatapnya dengan tidak nyaman. "Dik Mia, tadi Tahir baru saja memberitahu saya kalau desainmu sangat bagus!"

Mia tidak tahu harus melakukan apa, jadi dia mengangguk sambil tersenyum. "Terima kasih atas pujiannya, Pak…."

"Tahir yang memujimu. Ditambah lagi.... " Pak Bagas tersenyum lebar dan berkata, "Kamu tertarik mendesain gedung kantor kita yang baru selesai?"

"...." Mia mendengarnya. Si tua Bagas itu lancang!

"Kalau itu tergantung dengan kantor saya. Saya akan melakukannya jika ditugaskan kepada saya...."

Ketika mendengarnya, Pak Bagas pura-pura sedikit membujuk Mia, "Karena Tahir yang merekomendasikannya, kamu pasti luar biasa.... Atau… nanti akan saya susun dan diserahkan langsung padamu?"

Mia melangkah mundur, "Hehe, terima kasih sudah menyukai rancangan saya, Pak Bagas. Semua desain kita diatur dari atas… Ah…."

Tiba-tiba, Mia mundur, dan tubuhnya terhuyung ke samping.

Begitu melihatnya, Pak Bagas bergegas menangkapnya…. Entah karena sengaja atau tidak, Mia didorong ke dinding olehnya.

Ini pelecehan?!

Ini belum parah. Yang lebih parah adalah.... Mia memiringkan kepalanya karena terdorong menabrak dinding, dan matanya bertemu dengan sepasang pupil sehitam tinta yang begitu dalam sehingga terasa dingin ketika menatapnya.

Petra sebenarnya ada di Hotel Oriental….