webnovel

Kacaunya hari Kana

Kana menarik tangannya dari Damian, gadis itu berdiri dan membiarkan darahnya menetes begitu saja. Lena dan Laras memandang Kana takut, gadis yang biasanya hanya diam saat mereka perlakukan secara tidak adil itu tampak sangat berbeda kali ini.

" Kalian takut?" Kana bertanya dengan mata pandangan datar. Kakinya melangkah mendekati ibu dan anak itu, " sudah ku bilang untuk diam tadi, kan?"

" Kenapa malah lancang?" tangan penuh darahnya membelai wajah Lena.

" Harusnya bibir merahmu berbalut lipstik yang dibeli dengan uangku ini diam saja, Lena. Berani-beraninya kamu menghina Mamaku? Mau mama kandungku ataupun Lily, mereka tetap lebih baik daripada kalian. " dengusnya.

" Singkirkan tangan kotormu, Kana. Aku jijik. " ringis Lena ketakutan.

Tangan Kana bergerak menampar mantan saudara tirinya, " harusnya aku yang merasa jijik sama manusia tanpa otak seperti kalian " desis Kana penuh emosi.

" Apa salahku hingga kalian selalu hina aku? "

" Memangnya itu salahku kalau mama kandungku pergi dan ninggalin aku? Kalian pikir aku bisa memilih apa yang terjadi untuk hidupku? " tanya Kana.

" AKU JUGA GAK MAU DITINGGALIN MAMA!" bentak Kana dengan air mata menetes. Kenapa ia selalu disalahkan atas sesuatu yang bahkan tidak ia mengerti? Ia juga sama sekali tidak ingin seperti ini.

" Kenapa sih kalian selalu ganggu aku? Gak bisa kah kalian biarin aku hidup tenang sedikitpun? "

Dengan kuat ia membuang wajah Lena ke arah sofa, " pergi dari sini. "

" Gak bisa gitu dong! Kita kan mau tinggal disini " tolak Laras. Mana mungkin ia terima diusir begitu saja.

" Tyron, kasih mereka lihat contoh apa yang terjadi kalau mereka masih saja muncul dihadapanku " ujar Kana. Tangannya melemparkan sebuah apel ke arah Tyron, dengan sigap Tyron menangkap apel itu dan meremasnya hingga mengeluarkan airnya.

Tyron membuka tangannya dan jatuh lah apel yang terlihat keriput sisa kulit dan batang. Laras dan Lena bergidik takut, tidak menyangka orang sekuat itu ada didunia nyata.

" Lihat, kan? Lain kali, kalau kalian masih muncul dihadapanku... kepala kalian yang akan jadi apel itu. " kekeh Kana dengan senyuman dan lambaian dari tangan penuh darahnya.

" Antarkan mereka dan jangan pernah biarkan mereka masuk kerumah ini lagi. " perintah Kana.

Dengan cepat para pengawal dan pelayan itu menggiring ibu dan anak itu pergi dari sana.

" Sayang " panggil Damian menyadarkan Kana yang sedari tadi tampak seperti bukan dirinya.

"Ah, ya Dami?" jawabnya yang mulai terfokus pada Damian.

" Tanganmu berdarah " ujar Damian sambil menyeka darah dari tangan Kana secara perlahan dengan kapas dan alkohol yang sudah dipersiapkan pelayan.

Damian mengobati istrinya dalam diam, benaknya berulang kali berpikir apakah ia memang setidak pantas itu untuk Kana andalkan? Kenapa istrinya selalu memilih untuk mengurus masalahnya sendiri?

" Kamu marah, Dami?" tanya Kana pelan. Suaminya menggeleng, " tidak. "

" Aku hanya berpikir kenapa kamu sama sekali tidak pernah membiarkanku ikut membantu masalahmu. " lirih Damian dengan senyuman hampa. Ia merasa tidak berguna.

" Ini urusan wanita, dan mudah diselesaikan. " jawab Kana.

" Masalah apapun bisa kuurus, Kana. Kamu tau jelas itu "

Kana tertegun, jarang-jarang Damian memanggil namanya langsung.

" Tapi aku bisa urus masalah ini dan sekarang udah selesai Damian " ujar Kana.

" Selesai dengan hasil kamu terluka seperti ini " gumam Damian tanpa mau melihat mata Kana. ia hanya fokus mengobati dan membereskan perlengkapan pengobatan Kana.

" Aku emosi makanya gini, lain kali gak akan begini lagi kok " bantah Kana.

" Lain kali? Ah, jadi lain kali pun kamu berniat menyelesaikan masalahmu sendiri ya, Kana?" tanya Damian dengan senyum tipis.

Para pelayan dan pengawal yang merasa atmosfer ruang tamu itu mulai memanas memilih untuk pergi tanpa suara, mereka takut mengganggu.

" Enggak, lain kali aku akan minta bantuan kamu " ucap Kana yang menyadari suaminya tampak kesal karena ia selalu menyelesaikan masalahnya sendiri.

" Aku gak yakin, setiap kali kamu ada masalah juga kamu selalu berkata 'biarkan kali ini saja aku selesaikan sendiri' dan akhirnya setiap masalah selalu kamu urus seperti itu, kan?" pria itu selesai membereskan perlengkapan pengobatan namun tetap masih tidak memandang Kana.

" Untuk apa ada aku disini kalau kamu selalu tidak pernah mengandalkanku sedikitpun, Kana?" tanya Damian lirih.

" Tampaknya aku sama sekali tidak memiliki arti apapun dalam hidupmu, Kana " ujar Damian lalu pergi dari ruang tamu begitu saja. Meninggalkan Kana yang terpaku setelah mendengar perkataan Damian.

Bukan, maksud Kana bukan seperti itu. Kana takut jika terlalu manja dan mengandalkan Damian malah akan membuat pria itu bosan dan merasa lelah padanya. Kana takut dibuang. Tanpa sadar Kana mulai terisak dan menelungkupkan wajahnya pada ketua tangannya, hingga darah dari lukanya dari merembes melalui kapas yang Damian pasang tadi.

Kana terisak pilu, kenapa semuanya berjalan tidak lancar seperti ini? Apakah ia tidak pantas bahagia? Apakah kini Damian kecewa padanya? Bagaimana jika Damian membuangnya yang kini sudah mencintai pria itu? Kana tidak tau harus hidup dengan cara apa tanpa Damian disisinya. Ternyata, tanpa Kana sadari Damian benar-benar memiliki peran terpenting dan sangat berharga.

Ini pertama kalinya Damian meninggalkannya seperti ini, tanpa mengatakan ia akan pergi kemana. Bahkan pria itu memanggil namanya langsung alih-alih kata sayang yang biasa pria itu gunakan. Kana takut. Selama ini Damian selalu bilang Kana adalah nafasnya, ternyata begitu juga sebaliknya. Hanya dengan Damian yang bertingkah tak seperti biasanya saja Kana merasa hatinya nyeri sekali hingga ia beberapa kali memukul dadanya lantaran sulit bernafas disela-sela tangisnya.

Para pelayan dan pengawal yang menyadari Kana menangis pun memilih diam, hanya berjaga didekat ruang tamu itu untuk menjaga kenyamanan Kana. Ini pertama kalinya mereka melihat Kana menangis dan keadaan Tuan mereka yang sama kacaunya.

Raven pun turut berjaga dibalik dinding terdekat dari ruang tamu itu, hatinya nyeri mendengar tangisan pilu Kana. Ia ingin merengkuh Kana dan menghibur gadis itu, namun ia tau bahwa itu hal yang sama sekali tak mungkin untuk dilakukan.

Disisi lain, ruang tersembunyi di ruang kerja Damian tampak kacau. Kaca berserakan dimana-mana dan berbagai senjata terletak disana. Banyak benda yang telah menjadi korban amukan pria itu. Damian bukan marah pada Kana, ia hanya sedikit kecewa karena meskipun mereka sudah menjadi suami istri Kana tetap tidak pernah mengandalkannya sedikitpun.

Ia ingin tau apa yang sedang Kana lakukan saat ini, bisa dibilang ini masalah suami istri pertama yang mereka hadapi kan? Apakah Kana akan tetap santai seperti biasa? Memakan cemilan sore dan kue-kue nya? Atau malah menangisi masalah ini? Tidak mungkin, Kana tidak mungkin sampai seperti itu hanya karena masalah ini. Menurut Damian, Kana tidak mencintainya sedalam itu.

Damian segera keluar dari ruang kerjanya dan segera mandi, membersihkan darah dan lukanya akibat mengamuk diruang tersembunyi tadi. Ia harus segera kembali menjadi Damian yang biasa, Damian yang selalu menerima apapun tindakan Kana.

' Harusnya kau tidak usah banyak protes, Damian. Kana bahkan sudah menerima dirimu yang seperti monster ini, kenapa malah tidak tau diri hingga memintanya mengandalkanmu sih?' pikirnya miris.

" TUAN!" teriak Raven menggedor pintu kamar Damian dan Kana dengan terburu-buru.

Damian mengenakan handuk dengan cepat karena yakin Raven benar-benar terpaksa hingga harus meneriakinya yang sedang mandi.

" Nyonya menghilang " ujar Raven yang membuat tubuh Damian menegang. Jantungnya serasa copot dari rongganya.