Lilia berjalan mengelilingi taman itu sendirian sambil berusaha mengatur pikirannya yang kacau.
Dia dipaksa untuk menikahi pria yang tidak dia kenal demi kebaikan keluarga yang tidak pernah menyayanginya. Walau Lilia kini sudah menerima nasib itu, ibunya masih terus menekannya untuk mengikuti semua keinginan wanita itu. Kehadiran Sylvia terasa seperti batu besar yang menekan dada Lilia, membuatnya kesulitan bernafas.
Lilia menendang kerikil di tanah sambil berharap ada seseorang yang bisa menghiburnya saat ini.
Mendadak wajah Jean melintas di pikirannya.
Lilia buru-buru menghapus pikiran itu. Walau pria itu telah membantu Lilia dalam beberapa hal, dia tetaplah sumber segala masalahnya saat ini.
Di tengah heningnya malam, telinga Lilia menangkap suara mesin mobil yang berhenti di dekat sana. Dia mengerutkan kening dan memandang berkeliling dengan gelisah. Kalau dia terlibat masalah di sini, tidak ada siapapun yang bisa menolongnya.
Lilia memungut dahan pohon yang cukup tebal dari tanah sebelum mendekati sumber suara itu dengan hati-hati. Dia bersembunyi di balik semak dan mengintip ke arah mobil itu. Namun pencahayaan yang kurang membuat Lilia kesulitan mengenali mobil itu.
Lilia membuka ponselnya dan menekan nomor panggilan darurat 112. Dia memposisikan jarinya di tombol 'Call' supaya dia bisa langsung menelepon bila dibutuhkan. Lilia kembali mengangkat wajah untuk mengawasi mobil itu—
"Hei!" Sebuah tangan memegang bahunya.
Lilia terlompat dan langsung menekan tombol 'Call' sambil menjerit. Dia mengayunkan potongan kayu di tangannya dengan liar, berharap itu cukup untuk menjauhkan siapapun yang berusaha menyerangnya ini.
"Woah! Lilia! Tenanglah! Ini aku, Vivi!"
Setelah Lilia mendengar suara yang tidak asing itu, barulah dia berhenti mengayunkan dahan pohonnya. Dia menjatuhkan 'senjata' di tangannya dan memperhatikan orang yang berdiri di depannya.
"…Vivi?" Lilia membeo dengan tatapan kosong.
Vivi menghela nafas. "Kamu benar-benar mengagetkanku, tiba-tiba menjerit seperti itu. Memangnya kamu pikir aku hantu?!"
Lilia segera membela diri dengan wajah merah padam. "Kalau begitu jangan mengendap-endap tanpa suara! Wajar saja kalau aku menjerit saat disergap dari belakang!"
"Hah?! Siapa yang menyergap—?!"
"Halo, ini operator nomor panggilan darurat. Apa ada yang bisa saya bantu?"
Pertengkaran keduanya diinterupsi oleh suara dari ponsel Lilia. Dia buru-buru meminta maaf pada operator itu dan menutup sambungannya. Selama sesaat, kedua wanita itu saling bertatapan.
Pada detik berikutnya, keduanya tertawa lepas. Tindakan itu membantu mereka menghilangkan semua ketegangan mereka.
"Vivi, kenapa kamu datang mencariku di sini?" Lilia akhirnya bertanya setelah mereka puas tertawa.
"Hmm, ini mungkin terdengar aneh, tapi asisten Jean Widjaya meneleponku. Dia memintaku mencarimu karena mungkin ada sesuatu yang terjadi…" Vivi terdiam sesaat. "Bukannya malam ini seharusnya kamu bertemu dengan Keluarga Widjaya? Apa yang terjadi?"
Jantung Lilia berdebar kencang saat dia menyadari kalau Jean sengaja menyuruh Vivi datang untuk menghiburnya. Mungkinkah pria itu sudah menduga kalau Sylvia akan memarahinya habis-habisan? Tapi kenapa Jean repot-repot melakukan itu?
"Lilia?" Vivi memanggilnya lagi dengan khawatir.
Lilia tersadar kalau dia diam saja dari tadi. "Mm…ada sedikit masalah dengan ibuku, makanya aku pergi dari rumah. Saat sadar, aku sudah sampai ke sini."
Vivi tersenyum dan berkata, "Begitu rupanya. Saat aku ke rumahmu, Paman Robert hanya berkata kalau kamu lari keluar rumah setelah pertengkaran itu. Aku langsung tahu kamu pasti ada di sini. Kamu selalu datang ke sini setiap kali kamu sedang sedih."
Mendengar kelembutan dalam suara Vivi, air mata Lilia kembali menggenang dan dia melemparkan diri ke pelukan sahabatnya.
Malam itu, Lilia menginap di apartemen Vivi.
*****
Setelah tiga hari mengungsi di apartemen Vivi, suasana hati Lilia akhirnya membaik. Dia menghabiskan setiap hari berlatih yoga dan melakukan fitness untuk menjaga bentuk tubuhnya.
Dua minggu lagi Lilia akan pergi untuk mengikuti Milan Fashion Week. Dia berencana mengerahkan seluruh kemampuannya sebagai model dan menampilkan yang terbaik di fashion show internasional pertamanya.
Selama tiga hari itu, Robert menelepon setiap hari untuk menanyakan keadaannya. Namun dia tidak pernah mengucapkan sepatah kata pun tentang Sylvia maupun pertengkaran mereka. Lilia pun melakukan hal yang sama.
Walau dia sudah terbiasa dengan sikap dingin Sylvia, luka di hatinya kadang masih terasa sakit. Maka Lilia berusaha untuk tidak memikirkan wanita itu.
Hal lain yang saat ini mengisi waktu luang Lilia adalah mengikuti perkembangan skandal tentang Sara Hartanto.
Reputasi dan imej Sara hancur lebur, sampai pada titik dimana para fans William menuntut agar William mengganti manajernya.
Di sisi lain, nama Lilia dihilangkan dari topik viral sesuai permintaannya pada Harold. Manajernya itu bahkan menyewa orang untuk memposting foto-foto Lilia yang terbaik dan membahas soal Milan Fashion Week mendatang di internet. Semua itu dilakukan untuk memperbaiki reputasi Lilia setelah insiden Sara.
Siang itu, Lilia bersantai di ruang duduk setelah berlatih yoga dan mulai berpikir untuk membeli apartemen untuk dirinya sendiri. Lilia menyalakan TV dan mengakses internet lewat telepon genggamnya. Dia ingin melihat-lihat harga apartemen, tapi dia justru menemukan notifikasi dari aplikasi Lain.
Lilia membuka aplikasi itu dan melihat kalau seseorang bernama 'Tom' telah mengirimkan friend request pada Lilia. Orang itu bahkan mengiriminya pesan.
[Tom] : "Sis, add aku!"
Lilia mengerutkan kening. Sis? Dia tidak ingat punya adik lagi selain adik laki-lakinya Daniel, jadi siapa orang ini?
Lilia menerima permintaan [Tom] karena penasaran. Hanya sedetik kemudian, Lilia menerima undangan untuk bergabung dalam sebuah group chat.
[Tom] : "@Lilia, selamat datang di grup ini!"
Lilia membuka daftar peserta group chat itu dan menemukan kalau ada tiga orang lagi selain Lilia dan [Tom] dalam grup ini.
[Tom] : "Bro @Jean, aku sudah membawa saudara iparku ke sini!"
Lilia mengangkat alisnya. Cara [Tom] memanggil Jean terdengar sangat akrab sehingga Lilia terdorong untuk membuka foto profilnya. Dia segera mengenalinya sebagai Tom Wibowo, putra tunggal dari Grup Wibowo yang kekayaannya hampir setara dengan Keluarga Widjaya.
Lilia teringat kalau dia pernah berpapasan dengan Tom saat dia menemui Jean di kantornya. Namun waktu itu suasana hati Lilia sedang buruk setelah permintaannya ditolak Jean dan dia tidak terlalu memperhatikan pria itu.
[Alex] : "Oh, jadi ini saudara ipar kita!"
[Chris] : "Salam kenal, Sis!"
[Tom] : "Sis, apa nanti malam kamu akan datang?"
[Chris] : "Aku tidak sabar ingin segera bertemu dengan saudara ipar kita!"
[Alex] : "Kamu harus datang ke acara nanti malam, Sis!"
Lilia tersenyum kecil saat melihat mereka terus-terusan memanggilnya dengan sebutan 'sis' dan 'saudara ipar'. Mereka pasti cukup dekat juga dengan Jean kalau mereka menganggap pria itu seperti saudara sendiri.
Dia sedikit penasaran dengan acara yang mereka sebutkan. Dia menunggu Jean atau salah satu dari mereka memberi penjelasan, tapi grup itu mendadak berubah sepi.
Saat Lilia terus menunggu seseorang muncul, dia menjadi curiga dan memeriksa daftar anggota grup tersebut. Sesuai dugaannya, hanya tersisa Jean dan dirinya saja dalam grup itu.
Pada saat yang sama, Tom mengirimkan pesan pribadi pada Lilia, "Sis, Bro Jean menendang kami semua keluar dari group chat!". Pesan itu diikuti stiker wajah menangis.
Lilia tidak bisa menahan diri dan mulai tertawa. Tom terdengar lebih polos dan bersahabat dari yang diduganya.
[Jean] : "Di mana kamu?"
Tiba-tiba Jean mengiriminya pesan pribadi. Lilia segera membalasnya, "Rumah teman."
[Jean] : "Di Apartemen Metropolitan?"
Lilia mengangkat alisnya dengan terkejut. "Bagaimana kamu tahu?"
Jean tidak membalas pesannya itu. Dua puluh menit kemudian, dia hanya mengirimkan tiga kata, "Aku sudah sampai."