17 Hadiah Untuk Elena

Wajah Elena memerah saat memikirkan hal itu. Astaga… mengapa ia tiba-tiba berpikiran mesum dan membayangkan dirinya mandi berendam bersama Elleard di jaccuzi mewah itu?

Ia menepuk-nepuk kepalanya dan berusaha menghilangkan bayangan itu dari pikirannya. Elleard dan dirinya… akan segera menikah.

Walaupun sebenarnya keinginan menikah ini datang dari Elleard dan Elena merasa belum siap serta belum mengenal Elleard sepenuhnya, kalau dipikir-pikir lagi ia tidak dirugikan atau merasa keberatan dengan pernikahan itu.

Elleard selalu bersikap baik kepadanya. Ia juga ternyata bersungguh-sungguh dengan niatnya. Ia tidak hanya sekadar bicara ingin menikahi Elena, melainkan ia juga menunjukkan keseriusannya dengan meminta Elena secara terbuka kepada Bibi Ursula.

Dan kini… ia sudah menyediakan kamar yang demikian cantik untuk membuat Elena senang.

Dada gadis itu seketika berdebar-debar. Rasanya, ia akan bisa mencintai suaminya nanti.

Elena kembali mengedarkan pandangannya sesaat ia melangkah lebih dalam untuk masuk dalam kamarnya. Ia mendekati ranjang, hendak merasakan selembut apa seprai dan selimut yang membungkusnya.

Ujung jarinya membelai selimut putih licin berbahan satin nampaknya sangat tebal. Perlahan ia mulai duduk. Astaga… benar saja rasanya sangat nyaman dan lembut. Elena memejamkam mata dan tersenyum sendiri.

Ia dapat membayangkan dirinya beristirahat di tempat tidur mewah ini seperti gadis-gadis dari keluarga kaya.

Ia lalu merebahkan langsung tubuhnya ke atas ranjang. Hidungnya mencium wangi lembut dari tempat tidurnya yang begitu empuk. Ia merasa seolah hidup di negeri dongeng tentang putri kerajaan dan ia menjadi tokoh utamanya.

Elena menggulingkan tubuhnya dengan bibir tipisnya tersenyum lebar. Ia merasa sangat bahagia, Ah, jika ia sedang bermimpi atau tersesat di negeri dongeng, Elena tidak ingin kembali lagi. Elena lalu menggulingkan tubuhnya sekali lagi dan menghirup wangi seprai lembut di tempat tidurnya.

TOK

TOK!

Elena terdiam saat mendengar suara pintu diketuk dengan lembutnya. Astaga.. siapa itu?

Elena langsung terperangah kemudian duduk di tempat tidur. Saat ia menyadari tindakannnya tadi telah membuat ranjangnya menjadi sedikit berantakan, ia segera membereskan selimut dan bantal-bantal di atas ranjang. Setelah membuat ranjang itu kembail rapi, Elena melangkah membuka pintu.

"Iya?"

Elena membuka pintu dan menemukan seorang gadis seusianya yang rapi dengan seragam pelayan segera membungkuk hormat dan menyapanya.

"Maaf, Nyonya . Anda tidak perlu membuka pintu. Jika Nyonya mengijinkan saya masuk saya akan membukanya sendiri," ujar pelayan itu dengan gugup.

"Aaah, tidak a-apa… Aku juga kebetulan akan keluar." Elena tertawa canggung.Ia masih belum biasa diperlakukan seperti nona besar dari keluarga kaya seperti ini, apalagi oleh gadis sebayanya.

"Ah, baik, Nyonya," kata pelayan itu yang kini terlihat lega.

"Ada apa?" tanya Elena lagi. Ia menduga pelayan itu dikirim Elleard untuk mengurusinya.

"Tuan Elleard lupa ingin memberikan ini, tadi sebelum pergi ia menitipkan ini, Nyonya. Tuan juga berpesan saya harus membantu Anda memilih pakaian-pakaian yang ada di walk-in closet Anda," kata sang pelayan dengan hormat.

Ia menambahkan, "Jika ada yang Nyonya tidak suka katakan kepada saya, saya akan membantu mengeluarkannya untuk dikembalikan. Atau jika ada yang Nyonya inginkan, saya akan melayani Anda."

Pelayan di rumah ini semuanya mengenakan seragam hitam beraksen putih yang rapi dan profesional. Ada name tag di bagian dada yang menunjukkan nama mereka. Berada di mansion besar ini dengan begitu banyak staf membuat Elena merasa seolah sedang berada di sebuah hotel mewah.

Ia melihat papan nama di baju pelayan itu yang bertuliskan 'GRETA'. Elena lalu mengulurkan tangannya dan mengajak bersalaman.

"Panggil aku Elena." Katanya sembari tersenyum.

Greta membalas senyuman ramah Elena. "Nama saya Greta, Nyonya."

Elena batuk-batuk saat mendengar Greta berkali-kali memanggilnya dengan sapaan 'Nyonya', padahal ia belum menikah dengan Elleard.

"Aku belum menikah dan sepertinya umur kita tidak berbeda jauh, jadi kau tidak perlu memanggilku Nyonya. Panggil saja aku Elena."

"Maaf, tidak bisa seperti itu, Nyonya. Tuan Elleard ingin Anda diperlakukan dengan hormat, sama seperti kami memperlakukan beliau dan adiknya Tuan Xavier."

"Adik Tuan Elleard bernama Xavier? Apakah dia tinggal di sini juga?" Elena ingat saat ia menginap lagi di rumah Xavier, lelaki itu tidak pulang ke rumahnya. Apakah malam itu Xavier tidur di sini?

"Tuan Xavier jarang ke sini," Greta menjelaskan. "Uhm… dan saya juga harus memanggil Anda nyonya karena Anda akan segera menjadi istri tuan. Jadi sebaiknya kami membiasakan dari sekarang."

Elena batuk-batuk mendengar penjelasan Greta. Ia tidak membantah lagi dan membiarkan saja pelayannya itu memanggilnya seperti yang diperintahkan Elleard.

"Baiklah kalau begitu," Elena mengangguk. "Oh, ya, tadi kau bilang Tuan Elleard menitipkan sesuatu untukku? Apa itu?"

Greta mengambil tas hitam dari balik punggungnya dan menyerahkannya kepada Elena. "Ini titipan tuan Elleard."

Ragu-ragu Elena menerimanya.

"Saya permisi, Nyonya."

"Mm… terima kasih."

Elena menutup pintu selepas kepergian Greta yang datang membawakan tas tadi. Ia lalu duduk pinggiran ranjang dan membuka tas itu untuk melihat isinya.

Sepasang mata bulatnya membelalak saat menemukan sebuah kotak hitam berisi ponsel mahal keluaran terbaru. Ia meletakkan ponsel itu di sampingnya lalu beralih pada kotak hadiah lain yang terikat pita putih.

Elena menarik pita itu lantas membuka kotaknya. Isinya adalah beberapa kartu kredit atas nama Elleard Salvator Osbart dan kartu-kartu yang lain yang tidak Elena ketahui fungsinya untuk apa juga secarik kertas berisi tulisan tangan.

"Ingat nomor pin-nya adalah 2305 beli apa pun yang kau inginkan, baik untuk keperluan kuliahmu atau apa saja. Kau bisa keluar bersama Vincent. Dia adalah supir yang akan mengantarmu. Elleard."

Seulas senyum menghiasi wajah cantik Elena. Ia membayangkan Elleard menuliskan pesan pendek itu untuknya dan membungkus hadiah-hadiah kecil itu untuknya. Ia merasa sangat diistimewakan.

Elena menghela napas panjang. Ia lalu membaringkan tubuhnya di atas ranjan, melihat langit-langit tempat tidurnya yang dihiasi tirai berenda berwarna biru muda, sungguh mengingatkannya akan kamar seorang putri.

Semua kartu yang ada di tangan Elena hamburkan sampai terjatuh di sekitar wajahnya lantas ia tertawa, menertawakan keadaan yang kini tidak masuk akal.

Ponsel mahal, kartu kredit, kamar mewah, sopir pribadi? Boleh belanja apa pun sepuasnya? Ahh.. rasanya sangat sulit dipercaya!

Astaga… apakah Elena sedang gila saat ini dan semua ini hanya khayalannya? Ataukah sebenarnya kamar ini adalah rumah sakit jiwa. Elena ingin tertawa, jangankan orang lain. Ia sendiri saja tidak mempercayai keadaan ini.

***

avataravatar
Next chapter