1 Nasib Gisell

Entahlah, sejak kapan anak keluarga Hangkusumo rakus dengan harta. Setelah, kedua orangtua meninggal Daffa, anak tertua memiliki ide untuk menjual rumah dan membagi harta warisan dengan sama rata.

Meski pun begitu tak banyak yang menentang keputusan Daffa. Hanya saja hati Gisell merasa tak terima dengan keputusan yang di sepakati oleh Daffa, Lubis dan Lisa.

Namun, Gisell cukup sadar diri, ia hanyalah anak bawang yang usianya masih 10 tahun. Ucapan yang dirinya utarakan tak akan berpengaruh untuk ketiga kakaknya.

Telinga anak bawang itu mendengar begitu jelas jika Daffa, kakak tertuanya tak membagi harta sama rata.

Lisa, kakak ketiganya mendapatkan bagian yang kecil mungkin hanya 20% dan hak asuh dirinya juga jatuh ketangan Lisa.

Geram saat mendengarkan keputusan Lubis, dari bilik anak bawang itu terdiam dan menyandarkan tubuhnya di balik pintu dengan mata berkaca.

10 Tahun kemudian...

Merawat Gisell bukanlah hal yang sangat mudah bagi Lisa. Sebab Gisell memiliki sifat yang berbeda dari saudara-saudaranya. Lisa sendiri pun, menyesali keputusannya yang bersedia merawat serta memperbolehkan Gisell tinggal bersama dengan dirinya.

Sama halnya dengan pagi ini. Perawan yang seharusnya sudah bangun saat mentari belum terbit, tapi Gisell masih bersembunyi di balik selimutnya. Mau tak mau, Lisa harus mengeluarkan nada tingginya di sebelah Gisell yang sedang tidur.

Ditatapnya dengan geram wajah si bungsu sambil bertolak pinggang. Mengingat bahwa Gisell selalu saja bangun siang dan tak pernah mau membersihkan rumah, Lisa menyingkap selimut yang melingkupi tubuh Gisell

"Gisell!!!" jerit Lisa dengan nada suara yang amat keras.

"Kakak! Kenapa, sih? Aku masih ngantuk," dengus Gisell kembali menutupi tubuhnya dengan selimut.

"Bangun, udah pagi! Lu mau sampe kapan, sih, begini terus!" geram Lisa dengan tatapan tajam.

Lisa menyingkap selimut yang menutupi tubuh Gisell namun, Gisell kembali menarik selimut untuk menutupi tubuhnya lagi. Lisa dan suaminya, Farhan, hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan malas adiknya ini setiap hari.

"Lu cari kerja sana! Tiap hari kerjaan lu cuma makan tidur, makan tidur! Kasihan Mas Farhan duitnya habis semenjak lu tinggal disini, dan pengeluaran juga jadi semakin banyak!" ucap Lisa lagi dengan ketus.

"Iya-iya, kak! Nanti aku cari kerja," jawab Gisell dengan keadaan muka yang masih tertutup selimut.

"Buruan bangun! Lu udah umur 20, Sell, mau sampai kapan begini terus?" oceh Lisa dengan ucapan yang kian menjadi-jadi.

Gisell yang merasa terganggu dengan segala ocehan kakaknya akhirnya memilih bangkit dari tempat tidur, dan segera mengambil handuk lalu masuk kedalam kamar mandi, mengacuhkan ocehan Lisa yang masih berlanjut.

Dulu, Ayah dan Ibu Gisell memang sangat suka memanjakan Gisell. Diantara 4 bersaudara, memang Gisell yang selalu dituruti apa yang menjadi keinginannya. Tapi, semenjak ayah dan ibunya meninggal karena kecelakan tabrak lari, Gisell merasa kekosongan setiap harinya.

Lisa yang dulu merasa sangat kasihan pada Gisell, sebab diusianya yang masih 10 tahun harus kehilangan ayah dan ibu yang selalu ada di samping dia. Sebagai kakak, Lisa mencoba memahami sifat dan kelakuan adiknya yang sangat merepotkannnya. Meski sibuk, Lisa juga meluangkan waktu untuk bisa merawat adiknya. Itu pun dia lakukan karena keterpaksaan

"Kamu kenapa, sih, kok teriak-teriak?" Tanya Farhan sambil duduk di samping istrinya di meja makan.

"Aku kesel, Mas! Gisell tiap hari cuma gitu-gitu doang kerjaannya, gak ada di fikiran dia tuh buat cari kerja apa gimana gitu," keluh Lisa dengan ekspresi wajah yang masam.

"Aku juga bingung harus bilangin dia gimana lagi," sambungnya lagi menatap Farhan.

"Sudahlah, kamu yang sabar aja. Mungkin dia masih butuh waktu atau udah memikirkan kedepannya tapi, belum bisa menjalankannya," bujuk Farhan dengan nada yang halus dan berusaha meredakan amarah Lisa.

"Tapi sampai kapan, Mas?" sahutnya

"Yah, kamu berdoa aja dulu. Semoga aja adik kamu ini lekas di bukakan jalan oleh Allah.Ya sudah aku berangkat kerja dulu, ya?" pamit Farhan sambil mencium kening Lisa.

"Iya, Mas. Hati-hati, ya, di jalan," sahut Lisa sambil mencium punggung tangan Farhan.

Mata Lisa masih menatap lekat punggung Farhan yang mulai hilang dari pandangannya. Ia merasa sangat bersyukur sekali bisa mendapatkan suami sebaik dan sepengertian Farhan. Berbeda dengan dirinya yang suka marah-marah dan mengomel setiap hari.

"Kak, lu bisa dapetin suami sebaik Mas Farhan di mana, sih?" Tanya Gisell sambil duduk di samping Lisa.

Baru saja amarah Lisa reda, tapi kemunculan Gisell dalam penglihatannya membuat dirinya terkejut dan kembali naik darah.

"Lu sejak kapan ada di sini?" tanya Lisa memasang wajah masam.

"Sejak kapan gua di sini itu gak penting, sekarang jawab dulu pertanyaan gua," kekeh Gisell memaksa

"Jawab apaan sih! Lu tanya apa?" Lisa tampak bingung dengan ucapan Gisell.

"Lu bisa dapetin suami sebaik Mas Farhan di mana, sih?" ucap Gisell sambil cengingisan menatap Lisa.

"Ada apa lu? Kok tanya begituan?" Lisa menatap mata adiknya dengan penuh kecurigaan.

"Lu kepengen nikah, ya?" tebak Lisa. " Enggak! Gua gak setuju," Lisa berdiri dari tempatnya. Namun, tangan Gisell berhasil menahan Lisa untuk tidak pergi dari tempat duduknya.

"Ngadi-ngadi lu ngomongnya," sewot Gisell

"Pertanyaan gua jawab dulu, Kak," ucap Gisell menatap Lisa dengan rasa penasaran.

"Tuhan-lah yang mempertemukan gua dan Mas Farhan …. Lu kenapa, sih! Ada apa sama diri lu?" tanya Lisa heran, lalu beranjak pergi dari hadapan adiknya. Sementara Gisell masih termenung di tempatnya.

Gisell berdiri lalu masuk ke dalam kamar. Kakinya berjalan ke arah cermin, lalu menatap lekat tubuhnya.

Mengingat roda kehidupannya yang menjadi beban bagi kakaknya, serba ketergantungan

"Andai aja Ayah sama Ibu masih ada mungkin, hidup gua gak akan seburuk ini dan Kak Daffa gak akan serakus itu," batin Gisell dengan tatapan kosong.

"Kalau pun cari kerja, gua bingung cari kerja apa? Karena, gua gak punya keahlian apa pun," lanjut Gisell dengan raut wajah berganti gelisah.

Gisell sadar, tak bisa seperti ini terus yang hanya menghabiskan uang keluarga kakaknya. Namun, Gisell sendiri kesulitan untuk mencari pekerjaan, sebab tak ada keahlian khusus dalam dirinya.

"Huh, menyebalkan sekali," gerutunya sambil keluar dari kamar, merasa kesal melihat diri sendiri.

Anak bawang itu pun memilih duduk di ruang keluarga dan menikamati setiap acara tv. Belum lama menikmati ketenangan, Lisa datang dan ikut duduk di sebelah Gisell.

"Sell, lu gak pengen cari kerja apa?" tanya Lisa dengan nada yang terdengar sewot.

"Kerja apa, Kak? Gua ini gak punya keahlian apa-apa," dengus anak bawang itu dengan wajah yang masam.

"Argh! Kak, lu jangan bahas kerja dulu,deh. Sumpah otak gua lagi buntu banget," Ucap Gisell sambil beranjak dari tempat duduknya.

"Ettdah, tuh bocah kalau dibilangin selalu aja gitu," heran Lisa menggeleng-gelengkan kepalanya.

Lisa berharap dan berdoa, semoga adiknya segera diberikan hidayah agar dapat berubah menjadi pribdi yang jauh lebih baik.

"Hanya Tuhan bagaimana," ujar Lisakembalikedapur.

Gisell merasa iri pada teman-temannya yang bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang sarjana tidak seperti, dirinya yang pengangguran dan menjadi beban bagi semua kakaknya.

Janji yang di ucapan ayah dan ibunya kini, sudah menjadi debu yang bertaburan yang tak mungkin tercapai.

Gisell menatap nanar langit biru cerah di atas kepalanya selagi berjalan di trotoar. Sesekali matanya terpejam sembari menarik napas, kemudian diembuskan dengan panjang. Terdengar berat. Dan juga tertekan.

"Apa aku merantau ke Jakarta ya," batinnya dengan kaki yang terus berjalan tanpa mempunyai tujuan kemana akan pergi.

Brukk!!!

Tumbukan yang lumayan kencang menghantam bahu kanan Gisell hingga membuatnya terjatuh. Gisell merintih kesakitan sembari mengelus bahu kanannya namun, ada uluran tangan yang melambung di depan wajahnya selagi menunduk.

"Apa kau bisa berdiri, Nona?" Suara pria yang terdengar serak dan berat bertanya sambil mengajukan tangannya untuk membantu Gisell berdiri.

avataravatar
Next chapter