webnovel

Istri Kecil Presdir

Keluarga Grissham memiliki 2 penerus. Hanya saja, lahir dari wanita yang berbeda. Gavin Grissham, penerus pertama dan tentu saja dari Istri pertama, seharusnya menjadi kebanggaan. Namun semua itu hanyalah sebuah mimpi. Davin Grissham terlahir tidak sempurna sehingga hanya tubuhnya saja yang berkembang pesat tapi otaknya memiliki IQ rendah dan membuat Gavin bersikap seperti anak yang berumur 5 tahun. Siapa yang sudi menikah dengan pria tidak normal? Sedangkan, menikah adalah syarat utama dari Tuan Grissham untuk mendapatkan hak waris. Guinnevere, Putri angkat Tuan Grissham harus menelan kepahitan itu karena dipaksa menggantikan Agatha menikah dengan Tuan muda Gavin. Bisakah Guin menerima Tuan muda Gavin?

Sabrina_Angelitta · Teen
Not enough ratings
304 Chs

20. Jadilah Pacarku!

Ting... Tong...

Eve membuka pintu apartement miliknya. Sosok berwajah sendu tengah tapi dingin itu, sedang berdiri di depan pintu.

"Kau... Kau... Kau si mesum!" teriak Eve gugup.

"Hssssstttttt... Bisakah kau diam?" Ralio langsung menyergap masuk dan menutup pintu.

"Apa yang mau kau lakukan?"

Brakkk...

Tangan Ralio menempel pada dinding. Tubuh Eve terkunci dan tidak berani bergerak karena sama sekali tidak ada jarak di antara mereka berdua.

"Hei, apa yang mau mau lakukan?" teriak Eve.

"Sebuah misi!"

"Misi?"

"Iya, sebuah misi. Bagaimana?"

"Duduklah! Apa pantas bicara hal penting dalam kondisi seperti ini?"

"Ah... Baiklah. Aku akan duduk karena kau memaksa," ucap Ralio.

Eve ikut duduk menyusul Ralio. Dia duduk di depan Ralio dengan kedua tangan yang di lipat antara dadanya.

"Katakan! Aku sangatlah sibuk!" ucap Eve tanpa basa-basi.

"Ehem... Apa di sini sedang kemarau? Tidak ada air dalam gelas," sindir Ralio.

"Sialan! Kau membuatku terlihat sangat tega pada tamu," Eve langsung beranjak dari duduknya.

"Aku minum kopi tanpa gula!" ucap Ralio.

Eve berbalik lalu mencengkrang kerah kemeja Ralio. Memberikan tatapan mata tajam. Mata indah yang saat ini tengah terbelalak kesal.

"Kau ini tamu. Bisa-bisanya kau menganggapku seperti pelayan di caffe!" ucap Eve dengan matanya yang hampir keluar.

"Aku harus bertemu orang penting, jadi kau tidak boleh membuat bajuku kusut."

Eve melepaskan Ralio. Ralio bernafas lega. Kemudian menarik tangan Eve supaya Eve duduk di sebelahnya.

"Aku hanya bercanda. Aku akan mulai membicarakan misi yang tadi aku tawarkan!"

"Aku tidak tertarik. Sekarang kau keluar dari rumahku!" Eve menarik Ralio keluar dari apartement miliknya.

'Wanita yang begitu kasar,' batin Ralio.

***

Srashhhhh...

Entah berapa berkas yang terlempar di atas lantai bahkan mengenai wajah staff yang bertugas mengerjakannya.

"Aku selama ini selalu memberikan kebebasan. Asal pekerjaan selesai dengan baik, aku tidak menuntut hal lain. Mau bergosip, mau keluar di jam kerja, asal pekerjaan beres, aku tidak akan protes tapi, apa ini hasilnya? Kalian jadi tidak memiliki kemampuan? Kalian semua yang ada di sini sudah tidak becus bekerja, silahkan undurkan diri sebelum aku memecat kalian!"

"Presdir..."

"Aku tidak pernah bicara karena aku berfikir kalau kalian becus. Biar Ralio yang urus kalian!"

"Presdir..."

"Keluar!"

Benar. Gavin sedang marah dengan staff bagian divisi perencana. Bukan tanpa sebab, tapi tim perencana tidak bisa bekerja dengan baik. Memakai ide dari perusahaan lain dengan iming-iming yang menggiurkan kantong.

Untuk pertama kalinya, Gavin menunjukkan jati dirinya. Untuk pertama kalinya juga, Gavin marah seperti tidak ada lagi ampun.

Tutttt... (Panggilan Tersambung)

"HALLO!"

"Kau di mana?" tanya Gavin.

"DI DEPAN PINTU!"

"Ahhhh... Sialan! Cepatlah masuk!"

Gavin minum air putih sebanyak-banyaknya. Menetralkan emosi yang meraung-raung ingin di redupkan.

"Aku ingin Guin!" gumam Gavin.

Ralio masuk. Dia merasa stress ketika melihat ruangan yang biasa dia pakai berantakan. Ruangannya seperti baru saja mendapatkan guncangan angin.

"Hei, apa-apaan ini?" tanya Ralio.

"Aku baru saja marah, Kenapa? Apa kau keberatan?"

"Aku akan adukan pada Guin!"

"Kau berani?"

"Kenapa aku harus takut? Kau hanya anak umur 5 tahun," ejek Ralio.

"Aku sudah memasang iklan untuk menerima karyawan baru. Divisi perencana sepertinya kekurangan orang sampai bisa memakai rencana orang lain."

"Manda? Manda yang melakukannya?" tanya Ralio.

"Kau urus dengan baik. Aku tidak ingin ada kecacatan apapun."

"Hei, kau mau ke mana?" tanya Ralio saat Gavin menyambar jas miliknya.

"Makan! Apa kau tidak akan ikut?" tanya Gavin.

"Ikut! Aku juga lapar."

***

Guin berdiri di depan gerbang sebuah gedung. Dia menatapnya dengan lekat. Tidak terasa, airmata bahagianya menetes. Dia bahagia bisa kembali lagi melanjutkan kuliahnya yang tertunda.

"Guin!" panggil Eve sembari melambaikan tangan.

"Hai!" balas Guin.

Dua sahabat yang kembali bisa bercengkrama. Tidak ada yang perlu di khawatirkan lagi.

"Eve, baru saja Gavin menghubungi untuk mengajakku makan malam. Bagaimana kalau kau ikut?"

"Tidak-tidak!" tolak Eve tanpa berfikir panjang.

'Aku tidak sudi bertemu dengan si mesum itu lagi!' batin Eve.

"Kau, menolak untuk pergi denganku?"

"Jangan sedih. Aku akan ikut denganmu," tegas Eve.

'Pada akhirnya, aku tidak bisa melihat Guin sedih,' batin Eve.

Kelas terlewati dengan aman. Tidak ada lagi kendala. Agatha juga tidak terlihat. Mungkin kehancurannya sudah sampai pada titik terendah sampai membuatnya tidak berani menunjukkan diri pada publik.

Guin berada di perpustakaan. Eve keluar untuk membeli makanan juga minuman di caffe seberang. Eve terlalu fokus pada laya ponselnya, tanpa sadar dia sudah berjalan di jalanan yang padat kendaraan.

Brummmmm...

"Awas!" seseorang merangkulkan tangannya pada pinggang Eve dan menariknya. Hanya ponsel Eve yang terlindas oleh mobil yang lewat.

Hosh... Hosh... Hosh...

Eve terkejut. Wajahnya pucat pasi. Dia hampir saja tertabrak oleh mobil yang terlintas jika orang yang menyelamatkannya terlambat sedikit saja.

'Apa yang baru saja terjadi? Ak--aku baru saja melewati kematian?' batin Eve.

"Nona, apa kau tidak apa-apa?"

Eve mendongak. Melihat siapa yang menolong dan mengulurkan tangan untuknya. Setelah melihat siapa yang menolongnya. Dalam hatinya, ada rasa bersyukur, kagum, dan orang itu terlihat sangat mempesona.

"Aku tidak apa-apa!" jawab Eve.

"Tapi kau terlihat pucat!"

Deg... Deg... Deg...

'Kenapa aku berdebar saat dia mendekatkan wajahnya? Dia terlihat sangat berbeda. Dia seperti seorang pangeran,' batin Eve.

Jantungnya berdebar hebat. Siapa sebenarnya pria yang telah membuat Nona muda terpikat?

"Nona!" panggilnya karena Eve terlalu tenggelam dalam khayalannya.

"Ah, iya. Terimakasih sudah menolongku, Tuan Ralio!"

"Duduk dan minumlah!"

Ralio memberikan sebotol air putih dan juga duduk di kursi yang tersedia di depan Universitas tempat Eve dan Guin melanjutkan pendidikannya.

Eve duduk, lalu minum. Perasaannya membaik. Diam-diam mereka berdua sama-sama menyimpan ketetarikan. Mereka juga saling curi-curi pandang.

"Lain kali, kalau sedang jalan, jangan fokus pada ponsel. Tadi itu hampir saja. Kalau tidak ada super hero yang datang, kau bisa saja mati," omel Ralio.

"Kau mengkhawatirkanku?" tanya Eve penuh harap.

"Tidak sama sekali."

"Kau takut aku mati?"

"Aku takut kalau Nyonya muda tidak lagi memiliki sahabat," elak Ralio.

"Aku sudah jauh lebih tenang. Aku harus membeli makanan dan minuman untuk Guin."

"Tidak perlu! Aku sudah membawa makanan untuk kalian," cegah Ralio.

'Cihhh... Alasan apa yang sedang aku pakai? Bahkan, aku saja belum makan. Bagaimana bisa aku membeli makanan untuk mereka? Bukankah ini adalah kebohongan?' batin Ralio.

"Nona Eve, aku akan kembali ke mobil. Lebih berhati-hatilah kemana pun kau pergi."

Ralio beranjak dan sudah melangkah beberapa langkah. Eve seperti ragu untuk membalas ucapan Ralio.

"Ralio!" teriak Eve.

"Iya, Nona!" sahut Ralio.

"Ralio, jadilah pacarku!"