webnovel

Terungkap

Berbeda dari kemarin, hari ini matahari muncul dan menjulang tinggi. Memancarkan sinar berwarna kuning dengan terang dan cerah, padahal waktu masih menunjukan pukul enam pagi namun terlihat seperti sudah pukul delapan pagi. Zio bergegas menuruni tangga menuju meja makan, ia duduk dan memulai sarapan. Tidak ada siapapun di rumah ini selain dirinya dan juga asisten rumah tangga yang hanya datang di pagi hari dan pulang di sore hari.

Zio memang tidak tinggal bersama orangtua nya, ia nekat tinggal di Bandung demi seseorang. Kedua orangtua Zio tidak mempermasalahkan itu, mereka tetap mengirim uang dan juga memberikan fasilitas rumah untuk anak sematawayang mereka. Apalagi Zio termasuk dalam kategori laki-laki yang tidak pernah mencemarkan nama baik keluarga, justru selama ini ia membuat bangga karena banyak prestasi yang di capai.

"Bi, Zio berangkat dulu. Assalamualaikum," Zio sedikit berteriak karena asisten rumah tangganya sedang berada di dapur. Ia pergi menggunakan motor sport nya hari ini, karena pasti jalanan sudah macet.

Dengan kecepatan dibawah rata-rata Zio membawa motornya dengan tenang, sesekali ia bersenandung kecil untuk menghibur dirinya sendiri. Benar saja, jalanan sangat macet hari ini, mungkin karena cuaca cerah yang membuat orang mengira kalau ini sudah siang. Dengan kelihaiannya membawa motor, Zio tidak banyak kesulitan untuk mencari celah membelah kemacetan sampai ia tiba di depan gerbang sekolah.

Perihan kemarin, Zio berpikir untuk mengungkapkan semuanya pada Irona. Ia yakin kalau Irona masih ingat dengan kisah mereka dimasa lalu. Bagaimanapun caranya, ia harus segera mendapatkan hati Irona.

Setelah beberapa menit ia berjalan dari koridor akhirnya sampai didepan pintu kelas sebelas. Zio melirik ke arah meja Irona, kosong, tidak ada siapapun. Ia melirik jam yang terpasang di pergelangan tangan kirinya, 06.30 WIB, tapi kenapa Irona belum sampai? kepalanya menoleh ketika melihat sosok Arina muncul dari balik pintu.

"Rin!"

"Eh Zio, kenapa?" Arin menghampiri Zio yang berada beberapa langkah di depannya.

"Irona mana?" tanya Zio langsung

"Oh., dia ngga masuk. Sakit" jawab Arin sebari menarik nafas pelan.

"Oh gitu, yaudah" Zio melangkah meninggalkan Arin, yang hanya dibalas dengan anggukan sedikit samar.

Zio merasa tidak enak hati sejak tahu kalau gadis pujaannya tidak masuk hari ini, ia khawatir sekaligus takut Irona kenapa-kenapa. "Malam ini juga gue harus ungkapin semuanya", gumamnya.

"Ungkapin apaan?"

"Setan lo ngagetin orang aja", Zio menatap marah pada Daffa yang tiba-tiba datang.

"sorry... " balas Daffa dengan santai

"Gue mau nembak cewek", Zio sepertinya akan membuka sesi curhat dan meminta saran pada Daffa.

"Terus?," sebagai teman yang baik Daffa sigap untuk mendengarkan Zio bercerita. Terbukti ia langsung mengubah posisi duduknya yang semula menatap lurus ke depan, saat ini sudah menghadap Zio.

"Tapi gue takut dia ngga nerima gue" ucap Zio

"Lo ganteng, pasti dia mau sama lo"

"Ck., bukan ganteng nya. Dia itu dendam banget sama gue, bisa dibilang musuh gue" Zio berdecak kesal, ia kesal mengapa sejak awal tidak berdamai saja pada Irona, kalau sudah begini siapa yang salah?

"Tunggu. Jangan bilang...."

"Iya. Steffani Irona Najma" potong Zio

"Waaahh.." prok prok prok "Mantep bro, gue dukung lo sama Ro-----"

"Berisik goblok, lemes banget mulut lo," Zio membekap mulut Daffa, takut kalau percakapan mereka didengar oleh orang lain, apalagi kalau Arin tahu.

"Hehe.. gue lupa, saking semangatnya" Daffa menggaruk tengkuk dan mengukir senyuman kuda yang memamerkan gigi rapi nya.

"Tapi gue bingung mau nembak dia kayak gimana" Zio terlihat berpikir, ia tidak tahu apa yang Irona sukai, ia tidak tahu tempat seperti apa yang akan menjadi saksi kisah cinta mereka nanti, terlebih lagi ia takut kalau Irona menolak cintanya.

***

Malam pun tiba, sejak tadi pagi Irona merasa perutnya mual-mual. Seharian pula ia hanya bisa berbaring tak berdaya di atas tempat tidur. Magh nya kambuh, ia lupa tidak makan kemarin malam, akhirnya saat pagi menjelang perutnya tidak bisa diajak kompromi.

"Na, obatnya udah diminum?" Selvia datang membawa nampan berisikan cemilan-cemilan untuk Irona, ia tidak ingin kejadian seperti terulang lagi. Sebisa mungkin anaknya tidak kekurangan makanan.

"Udah, Ma. Udah baikan juga kok" Irona bergegas duduk, ia menyandarkan punggung pada kepala ranjang. Badannya sudah sedikit segar, wajahnya pun tidak sepucat seperti pagi tadi.

"Nih mama bawain cemilan, jangan sampe perut kamu kosong ya, Na" Selvi menaruh nampan di atas nakas.

"Makasih, Ma" balas Irona tersenyum

Selvi menganggukan kepalanya, "Mama keluar dulu" ia beranjak dari kamar anak sematawayang nya itu.

Irona menghembuskan nafas berat, ia kapok, tidak ingin seperti ini lagi. Ia beranjak dari tempat tidur, berdiri di depan jendela melihat suasana di malam hari. Namun ia melihat cahaya di tengah-tengah kebun stroberi, matanya memicing agar bisa melihat lebih jelas. Irona penasaran dan bergegas pergi keluar, ketika membuka pintu utama, betapa terkejutnya ia melihat kelopak-kelopak bunga mawar yang berserakan membentuk cantik menjadi namanya. Lalu disusul dengan kelopak bunga lainnya yang menjadi.... petunjuk jalan? Irona mengerutkan dahi, siapa yang lakuin ini, pikirnya.

Irona berinisiatif untuk mengikuti jejak kelopak-kelopak bunga mawar merah ini, ia berjalan sedikit menunduk untuk melihat kemana arah kelopak mawar ini. Ketika tiba di kelopak bunga terakhir, ia takjub dengan kebun stroberi yang sudah dihiasi banyak lampu-lampu kecil dan beberapa lampion.

"Wah... bagus banget" pujinya takjub, ia tidak pernah melihat dekorasi secantik ini, apalagi berada di tengah kebun stroberi seperti ini.

"Irona"

"Suara itu" ucapnya pelan

Irona membalikan tubuhnya, dan melihat siapa sosok yang berada dibelakang nya.

"Zio" gumamnya

Zio mendekat ke arah Irona, tatapannya teduh, tidak seperti biasanya. Penampilannya juga sangat maskulin, dengan kaus berwarna putih dan di padukan kemeja berwarna hitam yang kancingnya dibiarkan terbuka. Irona tidak berkedip sama sekali, ia takjub dengan penampilan Zio yang tidak seperti biasanya.

"Ada yang mau gue omongin" Zio menatap kedua manik mata Irona

"Ng.. ngomong aja" Irona gugup, ia mengalihkan pandangannya agar tidak salah tingkah karena ditatap seperti itu oleh Zio.

Zio tersenyum, "Gue ini Aksa yang selama ini lo cari"

Irona terkejut, ia berpaling menatap Zio dengan tatapan yang sulit diartikan. "Lo ngomong apa barusan"

"Gue Aksa, temen kecil lo" Zio memegang bahu Irona lembut, ia berusaha meyakinkan Irona.

Irona tersenyum remeh, ia tidak percaya dengan semua ini. Zio sangat berbeda dengan Aksa yang yang ia kenal dulu.

"Na, gue serius" Zio membaca keraguan di mata Irona, ia meraih kedua tangan Irona.

"Tapi kenapa lo ngga bilang, hah?!" Irona menaikan nada suaranya, tangisnya pecah, tubuhnya bergetar. Ia tidak percaya dengan jalan yang di gariskan Tuhan.

Dengan sigap Zio memeluk tubuh Irona, ia juga merasakan kerinduan yang selama ini Irona pendam. Ia kira hanya merasa rindu sendirian, tapi salah. Rindu ini terbalasakan.

"Maafin gue, Na. Tapi sekarang gue ada di depan lo. Gue mohon lo jangan nangis" ucapnya sedikit lirih, Zio tidak suka ketika melihat gadisnya menangis.

"Gue kangen lo, Aksa" perlahan Irona membalas pelukan Zio, ia merindukan lelaki ini, sangat rindu.

Zio melepas pelukan mereka, "Lo mau jadi pacar gue?" ucapnya tegas. Irona berusaha mencari kebohongan di kedua mata Zio, namun ia tidak menemukan itu. Spontan Irona mengangguk dan Zio kembali memeluk Irona erat.

***

Benar kata Banda Neira, yang patah tumbuh yang hilang berganti.

Next chapter