40 28- Bra Berwarna Merah

Peluru melesat begitu cepat, berlari melewati Adeeva yang tengah tersenyum dengan ekspresi setenang mungkin. Gadis itu, tidak ketakutan sedikitpun. Bahkan, tidak terkejut saat mendengar suara tembakan yang cukup kencang.

Mata Yudistira tidak lepas dari Adeeva. Bagaimana tenangnya gadis itu di tengah-tengah hal yang dapat membuat nyawanya melayang begitu saja. Peluru yang Yudistira layangkan bisa saja bersarang dalam otak atau jantung gadis itu hingga membuatnya meninggal di tempat. Tetapi, Adeeva seakan tidak peduli. Bahkan, gadis itu tersenyum.

"Seperti yang kukatakan, kau tidak akan melakukannya." Yudistira tertegun, menyadari dirinya yang terkejut di tengah insiden ini. Matanya terbuka lebar setelah mendengar suara Adeeva bersamaan dengan langkah kaki yang mendekat.

Sekarang gadis itu berada tepat di depan Yudistira. Keduanya hanya berjarak beberapa centimeter. Yudistira sedikit membungkuk, memperhatikan wajah cantik yang akhir-akhir ini mengisi pikirannya.

"Aku ingin tahu sekelam apa masa lalumu, Adeav." Kata Yudistira. Mata elangnya terus menelisik Adeeva, seakan mencari kelemahan gadis itu.

"Jika kau mengetahui masa laluku, kau tidak akan mau menerimaku, Sir." Balas Adeeva sambil tersenyum, kemudian meninggalkan Yudistira begitu saja.

Yudistira seakan membuat dunianya sendiri. Di tengah lapangan tembak yang luas, bersamaan dengan matahari yang menyorot, pria tersebut tertegun. Merasa kagum sekaligus semakin penasaran dengan gadis misterius yang sialnya dia cintai.

"Siapa kau sebenarnya, Adeav? Mengapa kau membuatku merasa sangat tertarik dengan setiap gerak gerikmu?" Gumam Yudistira.

***

Dua hari sudah berlalu semenjak keduanya pulang dari Las Vegas. Yudistira menjalani hari-harinya seperti biasa. Terus mencari tahu mengenai Adeeva yang menurutnya sangat misterius. Sedangkan gadis yang berhasil membuat Yudistira terpikat, juga menjalani hari-harinya seperti biasa. Mengumpati bosnya yang selalu kurang ajar.

"Sialan! Bisa-bisanya aku dipermalukan." Kesal Adeeva. Dadanya naik turun tidak menentu, merasa lelah dan kesal secara bersamaan.

Dia lelah karena telah berlari sangat cepat di atas heels lima centi yang dia gunakan. Selain itu, dia kesal karena dipermalukan Yudistira di depan umum.

Bagaimana bisa pria itu menyebutkan warna bra yang tengah Adeeva gunakan secara terang-terangan di depan umum? Memang, Adeeva salah karena tidak sengaja menabrak Yudistira hingga membuat kopi di tangannya tumpah mengenai kemeja putih Yudistira dan juga kemeja yang dia gunakan.

Tetapi, Adeeva sudah meminta maaf dengan bersungguh-sungguh sehingga tak ada alasan untuk Yudistira membalasnya dengan sangat kejam.

"Sudah berapa umpatan yang kau berikan padanya hari ini?" Adeeva terkejut saat melihat sosok Zion di depannya. Dia sedikit membungkuk, menumpukan wajahnya dengan tangan di atas meja Adeeva.

"Kau sudah mendengar beritanya?" Adeeva berdecak kesal, kemudian kembali menghela nafasnya dengan berat.

"Warna merah adalah favorit Yu—" Zion tidak berani melanjutkan ucapannya saat melihat Adeeva melotot dengan sadisnya. Gadis itu terlihat menyeramkan.

"Diamlah atau aku akan membunuhmu." Ancam Adeeva.

"Tidak. Aku yang akan membunuhnya terlebih dahulu." Sahut seseorang membuat Adeeva dan Zion menoleh bersamaan.

Melihat sosok Yudistira yang berdiri di depannya dengan kedua tangan berada di dalam saku, membuat Adeeva segera memposisikan dirinya sesopan mungkin. Yudistira terlihat sangat marah. Rahangnya terlihat mengetat, bersamaan dengan mata yang dipenuhi api kemarahan.

"Selamat siang, Sir." Sapa Adeeva dengan canggung. Dia menyikut Zion, menyuruhnya agar menjaga jarak dari Adeeva mengingat jarak mereka yang terbilang cukup dekat.

"Apa ucapanku waktu itu masih tidak mempan, Adeav?" Suara Yudistira terdengar berat, syarat akan kemarahan.

Ucapan yang mana maksud Yudistira? Memang pria tersebut pernah mengancamnya sesuatu? Lagipula memangnya Adeeva salah apa hingga Yudistira terlihat semarah itu.

"Apa aku melakukan sebuah kesalahan, Sir?" Tanya Adeeva, mengabaikan ucapan Yudistira sebelumnya.

Yudistira mengangguk. Matanya kini beralih menuju Zion. Tatapannya benar-benar tidak bersahabat. Mata keduanya terkunci, Yudistira dengan mata elang yang terlihat penuh kemarahan, dan Zion dengan mata teduhnya yang terlihat sangat santai.

"Kau melakukan kesalahan besar, Adeav." Jawab Yudistira sebelum akhirnya meninggalkan Adeeva dan Zion begitu saja.

Sepeninggalan Yudistira, Adeeva lagi-lagi mengumpat, mengeluarkan sumpah serapahnya untuk pria tersebut.

"Sialan! Brengsek! Memang apa salahku? Kenapa dia seperti perempuan yang selalu ingin di mengerti?" Kesal Adeeva dia sudah tidak peduli kalaupun suaranya terdengar sampai ke telinga Yudistira.

"Kau masih tidak tahu mengapa Yudistira marah?" Pertanyaan Zion membuat Adeeva terdiam seketika. Bibirnya terbungkam rapat, sebelum akhirnya kembali terbuka untuk bertanya. "Memang kau tahu?"

Zion mengangguk, kemudian menyeringai tajam. "Dia cemburu bodoh."

***

"Ada apa?" Zion mendekati Yudistira yang sudah menatapnya dengan mata kelaparan, seakan Zion adalah santapan yang sangat nikmat untuk Yudistira.

"Gue memang tertarik sama Adeeva, tetapi bukan berarti gue bisa merebut dia dari lo." Ucap Zion sembari mendaratkan pantatnya di atas sofa yang terletak di depan Yudistira.

Pagi-pagi sekali Yudistiranya menyuruhnya untuk datang. Saat di tanya perihal apa, pria tersebut sok misterius dan tidak menjawab. Mau tidak mau Zion datang meskipun terpaksa.

"Gue lagi gak mau bahas itu. Duduk!" Pinta Yudistira. Meskipun dia terbakar api cemburu, tetapi Zion tetaplah temannya.

Yudistira menyodorkan sebuah buku tebal berwarna hijau lumut kepada Zion. Pria tersebut menyuruh Zion untuk meraih buku itu. "Buku angkatan?" Tanya Zion.

Yudistira mengangguk, "buka aja, terus jelasin ke gue kenapa ada Adeeva dari salah satu siswa angkatan kita?"

avataravatar
Next chapter