Inggrid mengerti bahwa pekerjaan sebagai editor buku itu tidaklah mudah, selain harus menyeleksi naskah yang masuk, me-review dan juga mengoreksi ejaan yang baik dan benar, para editor juga dituntut menyempurnakan sebuah naskah yang tadinya biasa-biasa saja menjadi luar biasa. Tapi apa yang Hellen lakukan menurut Inggrid sangatlah berlebihan, gadis itu terlalu stres memikirkan pekerjaannya tersebut.
Jika saja hari ini Anggi tidak mengajaknya keluar dan mampir ke rumah Hellen, mungkin temannya itu sudah membusuk di bawah kolong meja dengan muntahan menjijikan di tubuhnya.
"Ya, Tuhaaaan ... aku akan mati." Hellen kembali menggumamkan mantra menyebalkan itu, membuat perasaan Inggrid kembali memburu.
"Tahan, Hellen." ucap Anggi menenangkan, Inggrid sendiri sedang kalang kabut menunggu dokter yang tak kunjung datang.
"Kapan Dokter akan datang?" Hellen kembali mengerang kesakitan, keringat dingin semakin banyak bermunculan di wajah pucatnya.
"Entahlah Nona, rapat belum selesai. Mungkin satu jam lagi." Suster yang sedang memeriksa tensi darah Hellen meringis saat mendapat dua pelototan maut dari dua wanita di samping ranjang.
"Apa sama sekali tidak ada dokter jaga? Satu pun?" Inggrid sedikit berteriak pada suster itu.
Dia takut ... bagaimana kematian akan kembali terulang di depan matanya? Bagaimana kalau orang yang berharga dalam hidupnya kembali meninggalkannya?
Suster itu menggigit bibirnya gugup, "Sebenarnya ada satu, tapi saya tidak bisa menjamin kalau beliau akan datang ke sini."
"Kau tidak lihat kalau teman kami sedang sekarat? Cepat panggil dokter itu atau perlu aku yang menyeretnya kemari?" Kali ini Anggi yang meledak pada sang Suster.
"Baiklah, saya akan memanggil dokter Arka tapi saya tidak janji kalau—" Merasa keselamatannya terancam, Suster bernama Dewi tersebut lekas menelan bulat-bulan ucapannya dan lekas pergi untuk memanggil sang dokter.
"Aku rasa akan mati." Hellen kembali mengerang, kedua tangannya memegangi perut yang menjadi sumber rasa sakitnya tersebut.
Anggi maupun Inggrid sama-sama tersentak, "Berkata seperti itu sekali lagi maka kami akan—"
Sreeeek!!!
Suara decit pintu yang digeser oleh seseorang membuat Anggi dan Inggrid terperanjat, wajah mereka berdua sekarang membeku dengan mulut menganga saat melihat siapa yang datang dan sedang sibuk memeriksa Hellen saat ini.
"Hellen benar-benar beruntung." Anggi memulai, memecah keheningan di ruang rawat tersebut.
"Dia dokter, aku yakin Hellen akan kewalahan mengahadapi sikap sombongnya nanti." sanggah Inggrid.
Matanya masih mengawasi sang dokter dengan seksama, ia sedang menilai tingkat kesombongan yang dimiliki pria itu. Dan cara bicaranya yang sedikit songong mengingatkan Inggrid pada sosok Ando.
"Kalian sebaiknya pulang, terimakasih sudah membawanya tepat waktu ke rumah sakit." ucap sang dokter dengan senyum ramah andalannya ketika berhadapan dengan orang yang baru mereka kenal.
Melihat anggukan kepala Hellen, Inggrid maupun Anggi memahami bahwa sahabat mereka sudah baik-baik saja.
"Baiklah Hellen, kami akan pulang dan kalau besok kau perlu jemputan maka hubungi saja kami." mereka berdua kemudian ke luar dari ruang rawat setelah memastikan sekali lagi bahwa Hellen akan baik-baik saja ditangan dokter Arka.
Lorong-lorong rumah sakit terlihat menakutkan saat suasana sedang sepi begini. Anggi merapatkan tubuhnya pada Inggrid untuk dijadikan tameng jika tiba-tiba saja ada hantu yang muncul di belokan.
"Kyaaa ..." dan mereka benar-benar berteriak saat seseorang memegang bahu mereka dari belakang.
"Hey, ini aku!"
Inggrid berbalik dan ia menggeram marah saat melihat siapa yang sedang cengengesan di depannya.
"Ando!!! Sialan, kau membuatku jantungan!" omelnya sambil melayangkan sebuah tendangan pada dokter tampan itu.
"Wow, rasanya masih sama!" erang Ando seraya mengelus tulang keringnya yang selalu menjadi target empuk tendangan Inggrid. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya kemudian.
Kalau Ando tidak salah, ini adalah yang ketiga kalinya Inggrid berada di rumah sakit. Wanita itu tidak akan mau menginjakkan kaki di sini kalau bukan menyangkut hal yang penting.
"Mengantar teman yang sedang sakit." jawab Inggrid masih dengan tatapan sebalnya karena dikagetkan tadi, "kau belum pulang?"
Ando tebak juga apa!
Pria yang memakai baju scrub tersebut membuat wajah masam, "Ada jadwal operasi mendadak, Nak." jawabnya kemudian merentangkan kedua tangannya lebat, "kemarilah, peluk Papa-mu yang malang ini."
Inggrid memutar kedua bola matanya sebal, namun begitu tubuhnya tetap maju ke depan dan memeluk sang sahabat. "Oh, Papa ... aku merindukanmu." ucap Inggrid seraya menepuk-nepuk pundak Ando.
"Papa juga. Tapi Papa masih ada tugas malam, jadi Papa akan menemuimu nanti." ucapnya kemudian meninggalkan sebuah kecupan sayang pada kening Inggrid.
'Aku akan menunggumu Ando, sangat. Lihat saja kejutan apa yang akan aku berikan nanti!' batin Inggrid, senyum misterius terukir di bibirnya.
Anggi yang melihat interaksi dua orang di depannya hanya bisa menganga. Sampai Inggrid menariknya pergi dari sana saja Anggi masih belum bisa berkedip. Otaknya sedang blank. Demi Tuhan, selama ia berteman dengan Inggrid kurang lebih 3 tahun ini, ia baru tahu kalau Inggrid mempunyai seseorang yang seperti dewa.
Anggi menghentikan langkahnya, ia menatap Inggrid dengan tatapan serius. "Inggrid, siapa dewa itu?"
"Huh? Dewa yang mana?"
Anggi gemas sendiri, "Pria tampan tadi!"
Ando?
Inggrid mendengkus geli saat Anggi menyamakan Ando dengan Dewa. Tck, iblis perusak wanita sih iya!
"Dia Ando, temanku sejak SMP." jawab Inggrid seraya memutar bola matanya saat melihat wajah mupeng Anggi setiap melihat pria tampan. "Kau sudah punya Boby, ingat? Lagipula Ando itu bajingan."
Anggi merengut sebal, kenapa ia harus diingatkan pada Boby tunangannya yang super lembek dikala ada pria super tampan dan juga tegas. "Kalau dia bajingan lalu kenapa kau berteman dengannya?"
"Karena dia bajingan makanya kami berteman. Kalau dia pria baik seperti Boby mungkin sudah aku nikahi, Anggi." ucapnya seraya mengangkat bahu.
"Heeey ... jangan coba-coba merebut Boby dariku yah!" teriak Anggi saat melihat kilat jahil di mata Inggrid. Walaupun tahu itu hanyalah godaan, tapi kan Anggi tetap saja takut.
"Ya tergantung bagaimana kau menjaga tunanganmu itu, Nggi. Hati, siapa yang tahu, kan? Kalau kau terus bertingkah seperti itu, bisa jadi Boby akan melirik wanita lain."
"Sialan!" Anggi mengayunkan tas tangannya ke arah Inggrid, "aku akan membeli borgol sepulang dari sini."
Inggrid tergelak, suatu hiburan tersendiri melihat Anggi kebakaran jenggot.
Udah Up ya guys!!!
Gimana sama chapter ini?
Kira- kira apa ya yang bakal dilakuin Inggrid buat membalas Ando?
Tunggu chapter berikutnya...