14 Something's happened

Langit mendung tak berarti hujan, sama halnya dengan cinta, banyaknya perhatian bukan berarti ia akan membalas perasaan. Malam itu, tingkah Jianghan sedikit berbeda ia datang ke rumah dan berpesan pada Ibu supaya aku meneleponnya, dalam panggilan telepon yang kugunakan ia hanya berkata untuk belajar. Sebenarnya apa yang terjadi? Apa Jianghan sedang mempermainkan diriku?

Jika boleh berkata jujur, mencintai sosok Jianghan adalah hal yang paling mengesankan untukku dimana ia selalu membuatku semangat untuk pergi ke sekolah dan memotivasiku untuk belajar walaupun kapasitas otakku tak secemerlang Jianghan, perbedaan enam tingkat kelaslah yang menjadi dinding penghalang antara perasaanku dengannya. Benar sekali, Xiao Jianghan adalah cinta pertamaku. Cinta yang sudah tumbuh subur sejak setahun yang lalu, ketika pertama kali Jianghan datang untuk menolongku.

Hari itu tepat di mana hari pertamaku masuk sekolah, rasanya agak sedikit canggung karena aku harus beradaptasi dengan sekolah dan suasana yang baru. Amat sangat menjengkelkan jika harus berkenalan dan mencari teman, aku takut jika tak ada yang mau berkawan denganku yang buruk seperti ini.

Pagi hari yang cerah jam di tangan sudah menunjuk pukul 7, tapi aku masih tetap setia menanti bus sekolah yang datang menjemput siswa baru hari ini. Lihat, itu busnya! Bus kuning bertuliskan bus sekolah yang akan mengantarkanku sampai di sekolah baruku.

"Selamat pagi, non." sapa hangat sang sopir bus dengan ramahnya dihiasi senyuman tulus di bibirnya.

"Selamat pagi, pak." jawabku yang tak mau kalah ramah dengan pak supir yang setengah tua namun jiwa semangatnya tak kalah muda. Kakiku mulai melangkah masuk memasuki bus, mataku terbelalak kaget melihat seluruh kursi bus penuh dengan penumpang. Terlihat juga beberapa siswa yang berdiri bergelantungan berpegangan pada benda di sekitar sebagai tumpuannya. Aku hanya terbelalak sembari menelan ludahku. Lalu, bagaimana aku pergi sekolah?

Kuputuskan untuk berdiri dan meraih pegangan bus yang tersedia. Gas mulai diinjak kuat-kuat, bus melesat dengan kecepatan penuh membuat tubuhku bergoyang ke sana kemari bagai layangan. Dalam hatiku berharap agar aku tidak jatuh. Hari pertamaku harus memberikan kesan yang baik bukan kesan yang buruk apalagi memalukan. Aku harus kuat bertahan sampai tiba di sekolah walau rasanya kakiku ingin sekali tumbang.

Tiba-tiba rem diinjak dengan paksa membuat bus sekolah berhenti mendadak. Sontak hal ini membuat seluruh penumpang bus berteriak kencang, peganganku terlepas dan aku jatuh tersungkur hingga membuat semua orang menatap kaget.

"Aww!" desisku yang berusaha bangkit, terlihat lututku mulai memerah dan lecet karena gesekan kasar yang terjadi antara kulitku dengan lantai bus.

"Nona, apa kau baik-baik saja?" tanya pak sopir yang melihat kejadian jatuhku dari kaca spionnya. Aku hanya mengangguk mengiyakan sambil melempar senyum ke arahnya. Ini bukan seberapa sakit luka yang kualami tapi seberapa malunya diriku melihat semua orang menatap aneh ke arahku.

"Bagaimana bapak ini, hati-hatilah dalam mengendarai bus, ini membahayakan kami." protes beberapa siswa pada bapak sopir yang menginjak rem tiba-tiba.

"Maaf, tadi saya tak melihat, jika lampu sudah berwarna merah." jelas Pak sopir yang dengan nada yang menyesal.

Tiba-tiba seseorang pria berjaket hitam mulai bangkit dari kursinya dan melepas earphone yang menggantung di kedua telinganya.

"Duduklah, nona." tawarnya dengan sopan yang mempersilahkanku untuk duduk di kursinya.

"Tidak usah, aku baik-baik saja. Kau saja yang duduk." jawabku yang mulai meringis menahan perih pada lututku. Bisa kupastikan, jika tak ada orang di sekitarku, maka aku akan berteriak dan merintih kesakitan.

"Janganlah menolak permintaanku, duduklah, lututmu terluka. Biar aku saja yang berdiri menggantikanmu." ujarnya dengan sopan terlihat bola matanya berbinar-binar menatapku, sepertinya ia tulus menawarkan bantuan ini padaku.

"Tapi, kau..."

Pria itu mulai mendudukan tubuhku pada kursinya dan ia mulai berdiri dengan menggenggam pegangan yang tersedia di dalam bus. Pria ini sangat tampan dan memiliki mata yang sangat indah bagai sebongkah berlian. Pada pandangan pertama inilah aku mulai tertarik dengan sosok pria unik satu ini, dia sopan dan kurasa ia punya budi pekerti yang baik. Di antara puluhan lelaki yang duduk di dalam kursi bus hanya dia yang berani dan merelakan kursinya untuk kududuki. Kuakui dia pria yang mengagumkan, mungkin di dunia hanya ada seribu banding satu sosok pria seperti dirinya.

Aku yang sedari tadi duduk menatap lututku mencoba untuk membersihkannya dengan mengusap kotoran yang memenuhi luka dengan selembar sapu tangan, sembari bibirku terus meniup agar tak terasa perih tanpa kusadari sosok pria itu terus memandangiku dan mencoba merogoh tasnya seakan ingin mengambil sesuatu yang terselip disana.

"Hei, kau." panggilnya sembari tangannya menyenggol pundakku. Aku mulai menoleh ke arahnya dan menatapnya.

"Ambilah, untuk menutup lukamu." ucapnya yang menyodorkan sebuah plester luka kepadaku.

"Terima kasih." jawabku yang meraih plester itu dari tangannya.

"Sebelum kau menggunakannya, basuhlah lukamu di kamar mandi sekolah agar tidak infeksi dan jangan kau gunakan sapu tanganmu untuk membersihkannya, itu akan membuat lukamu semakin sakit karena bahan yang kau gunakan itu kasar." jelasnya lagi kali ini ia memalingkan pandangannya dan tangannya mulai masuk dalam sakunya. Aku masih terbelalak kaget, pria ini bersikap dingin namun sangat menggemaskan. Aku hanya mengangguk membalas ucapannya dan menyandarkan kepalaku pada kursi bus. Hari itu, aku tak percaya bisa bertemu teman baik sebaik dirinya.

Itulah pertama kali aku bertemu dengan sosok pria dingin sedingin es dan cuek secuek batu, dimana dalam kesan pertama ia sudah membuatku selalu teringat dan terbayang akan sikap manisnya. Namun sayang, dalam pertemuan perdanaku, aku tak sempat berkenalan dengannya, aku baru mengetahui namanya saat sahabatku, Shu In menyebutnya, Xiao Jianghan, si siswa pintar dari kelas A.

Tak terasa sudah setahun yang lalu aku menyimpan rasa pada Jianghan. Nampaknya, rasaku ini bukan main-main. Menurut psikologi yang kubaca, jika kau tertarik pada seseorang dan rasa itu hanya bertahan sampai empat bulan berarti itu hanyalah kagum biasa tapi jika lebih dari empat bulan berarti kau sungguh-sungguh mencintainya dan tak mau kehilangannya. Kurasa itu yang kurasakan.

Tiba-tiba ponselku kembali berdering dan membangunkanku dari lamunan yang tak berarti di malam hari, kuraih ponselku dan kulihat nama Jianghan ada dalam daftar pengirim pesan, tidak mungkin Jianghan tak mungkin mengirimkan pesan untukku, apalagi di malam-malam seperti ini. Aku mulai mengusap kedua mataku dan menampar pipiku.

"Apakah aku sedang bermimpi? J..Jianghan mengirimkanku pesan." sorak gembiraku dengan menjatuhkan tubuhku di atas kasur kebanggaanku.

"Sekian lama aku mendambakan momen ini. Akhirnya Jianghan mengirimkan pesan padaku, mungkinkah jika ia merasakan apa yang kurasakan saat ini atau mungkinkah ia juga menyukaiku sama seperti aku menyukainya?" gumamku kali ini dengan mendekap erat ponselku dalam dadaku sembari mataku terus manatap langit-langit kamar, seakan sebuah keajaiban langka kini kembali berpihak padaku.

Kubuka pesan itu diiringi detak jantung yang berdegup kencang dengan tubuh yang ikut menggigil karena gemetar tak karuan.

"Silahkan tinggalkan pesan." gumamku dengan mulut yang terperangah lebar membaca isi pesan singkat dari Jianghan. Apa yang ia lakukan lagi? Lagi-lagi Jianghan mengirimkan pesan aneh yang tidak bisa kumengerti dengan baik.

"Apa maksudnya ini? Sungguh keterlaluan." geramku kali ini dengan tangan yang meremas bantal yang ada di dekatku. Ternyata ekspetasiku tak sesuai dengan realita, kukira Jianghan akan mengirimkan emotikon cinta tapi malah berakhir luka dan tanda tanya.

Dengan rasa geram yang menyelimuti dada melihat sikapnya, kuputuskan untuk membalas pesan dari Jianghan.

"Apa masalahmu hingga kau berani mengirimkan pesan seperti ini padaku?" Tanda terkirim sudah terlihat. Tak lama ponselku kembali berdering nyaring, kulihat Jianghan turut membalas pesanku dengan sigap kubuka pesan itu.

"Karena aku ingin melakukannya." Aku mulai meringis miris bagaimana bisa ia menjawab pertanyaan seperti ini. Tak habis pikir. Dia pria yang penuh dengan teka-teki.

"Dasar pria gila!" balasku lagi dan terlihat tanda terbaca sudah kuterima, Jianghan sudah membaca pesanku dan kali ini ia tengah menuliskan balasan untukku terlihat dalam ruang obrolan bertuliskan "Jianghan is typing…"

"Terima kasih." Aku lagi-lagi terperangah kaget membaca balasan pesannya, dia membalas pesan seperti ini? Kurasa ini bukan sosok Jianghan yang kukenal. Ini mengerikan.

avataravatar
Next chapter