webnovel

Bab 11 Cemburu 2

"Hari ini kemana Mba Mai?" tanya Dini.

"Ke kampus terus kerja kelompok," sahut Maira polos.

"Sama siapa dan dimana kerja kelompoknya?" Dini masih setia membordir.

"Sama temen kampus, Dik. Kenapa sih?" Maira mulai bingung saat kedua majikannya ikut menatapnya.

"Ada cowoknya?" tanya Dini sekali lagi membuat Maira memandang ketiga orang di hadapannya bergantian sembari menelan saliva dengan susah payah.

"A-ada." Maira menunduk usai mengatakan hal itu. Entah mengapa ia mulai merasa tidak nyaman dengan hal itu.

"Apa adik bilangkan?" Dini berseru senang karena tebakannya benar.

"Kenapa sih, Dik? Kok Mba jadi takut?" kata Maira dengan nada memelas. Ia bingung dengan maksud pertanyaan Dini.

"Udah sana cari Mas Arka dulu. Nanti Dini kasih tahu," usul Dini. Ia memang ingin melihat sendiri bagaimana respon kakaknya itu.

Maira pun beranjak menuju kamar Arka yang sekarang pasti sudah menunggunya. "Ada apa, Mas?" tanya Maira yang sudah masuk. Ia merasa sedikit terancam karena pintu di tutup.

"Lo kuliah alasan doang kan?" tuduh Arka membuat Maira mengernyit. "Nggak usah sok bingung. Kerjaan lo tuh diluar jalan-jalan aja," tambahnya dengan nada sinis.

"Maksudnya Mas Arka itu apa sih? Saya bingung. Saya kuliah bener-bener lho," kilah Maira yang tidak terima dengan ucapan Arka. "Mas Arka nyuruh saya kesini cuma buat begini?" lanjutnya.

"Kamu harusnya tahu diri dengan posisi. Jangan kesenengan kamu karena dikasih kebebasan," kata Arka mengabaikan kekesalan Maira di hadapannya.

"Maksudnya Mas Arka apa? Saya tahu diri kalau Mas Arka perlu tahu. Saya nggak pernah melupakan tugas saya di rumah karena saya cuma pembantu disini," sembur Maira yang sudah benar-benar tersinggung. Arka sudah keterlaluan. Air matanya pun luluh.

Arka tercenung melihat Maira menangis tanpa suara. 'Apa gue udah kelewatan?' bathinnya bersuara.

"Jangan karena saya pembantu Mas Arka bisa seenaknya menilai saya," tambahnya kemudian berlalu begitu saja. Tapi langkahnya terhenti karena Arka menyekal tangannya dengan segera.

"Mai," suara Arka seperti tertelan. Ia tidak mengira jika Maira akan tersinggung.

"Saya permisi, Mas." Maira menyentak kuat tangannya agar terlepas. Tidak ada yang perlu ia lakukan dan dengar lagi dari lelaki itu.

"Loh Mai!" Witara terkejut Maira keluar dari kamar Arka sembari menangis. "Ada apa?" kejarnya menuntut penjelasan, tapi gagal. Maira sudah masuk kamar dan menguncinya. Ia pun memutar haluan menuju kamar putranya. "Kamu apain Maira?" tanyanya tanpa basa-basi. Tak hanya mulut, tangannya pun tak berhenti memukuli lengan Arka.

"Aduh Mama apaan sih? Sakit, Ma," kata Arka sembari berjalan menjauhi sang Mama meskipun tetap dikejar.

"Kamu apain Maira? Dia nangis dan sekarang kunci pintu kamar," kata Witari yang tidak mau menerima alasan apapun. "Jelasin!" tegasnya kemudian.

"Arka nggak ngapa-ngapain." Ia pun melangkah masuk kamar mandi demi menghindari sang mama. Tapi perasaan bersalah tetap mengejarnya.

"Arka awas ya kalau sampai Maira kenapa-kenapa," ancam Witari pada putra sulungnya itu. Ia tidak habis pikir kenapa putranya itu bisa sampai membuat Maira menangis.

"Kenapa, Ma?" Dini yang mendengar keributan segera mendatangi sang mama.

"Udah kamu masuk kamar aja nggak usah ikut campur," omel Witari membuat Dini bengong.

"Salah Dini apa, Ma?" tanyanya kemudian. Ia melangkah masuk ke kamar dengan kesal. Sampai kamar ia mengambil ponsel dan mencoba menghubungi Arka untuk menanyakan kejadian apa yang membuatnya bahkan harus menerima kemarahan sang mama. Tapi Arka tak menjawab telponnya.

Tok tok tok

Dini masuk ke kamar Arka setelah dipersilakan oleh empunya. "Sibuk, Mas?" tanyanya kemudian.

"Nggak. Kenapa?" jawab Arka sembari mengalihkan pandangan dari Ipad ke adiknya.

"Mama ngamuk kenapa sih?" tanya Dini. Ia tidak ingin basa-basi lagi.

"Emang mama marahin kamu?" tanya Arka kali ini serius.

"Iya. Lagian Mas Arka apain Mba Mai sih sampe nangis gitu anak orang?" kesal Dini yang ditanggapi dengan helaan napas oleh Arka.

"Cuma ngingetin aja biar nggak sembarangan diluar," jawab Arka santai.

"Sembarangan gimana? Mba Mai kan kuliah, Mas," jawab Dini.

Arka kembali menghela napas. "Tahu dari mana?" ketusnya kemudian. Ia masih ingat betul apa yang dilihat saat makan bersama sahabatnya di restauran tadi siang.

Dini tersenyum. "Mas Arka lihat Mba Mai dimana sih?" tanyanya kemudian. Sepertinya apa yang ia bahas tadi ada hubungannya dengan kemarahan Arka.

"Di restauran." Arka mendelik ke arah Dini yang sepertinya tahu sesuatu. "Jangan mikir yang macem-macem," katanya kemudian.

"Nggak. Satu macem doang," sahut Dini sembari tersenyum mengejek pada kakaknya itu.

"Apaan?" kesal Arka.

"Mas Arka lihat Mba Mai sama cowok lain makanya ngamuk sampe rumah?" Dini benar-benar puas memandang wajah pias Arka kali ini. Tawa jahatnya pun menguar tanpa bisa di cegah bahkan oleh Arka.

"Nggak!" Arka masih menjawabnya dengan ketus. Ia harus menjaga harga diri di hadapan adiknya. Lagi pula sejak kapan ia peduli dengan yang dilakukan Maira diluar sana.

Dini terkekeh pelan. "Iya juga nggak apa, Mas. Tapi Mas Arka harus bujukin Mba Mai tuh nangis dia," katanya.

"Ngapain gue?" tanya Arka sembari mengalihkan pandangan.

"Mas Arka yang bikin Mba Mai nangis ya Mas lah yang bujukin," kata Dini. "Udah ah Dini mau balik ke kamar," sambungnya kemudian berlalu meninggalkan Arka yang masih diam saja.

Arka menghela napas. Ia memandang Dini dengan tatapan memohon.

"Nggak ah. Adik nggak tahu soalnya masalah apa yang bikin Mas Arka marah sama Mba Mai," tolak Dini keras. Ia tidak ingin turun tangan begitu saja membuat Arka sekali lagi menghela napas.

"Ya udah ntar Mas aja yang ngomong," pungkas Arka kemudian. Di usapnya wajah dengan kasar saat adiknya itu pergi begitu saja. Ia pun bergegas ke kamar mandi untuk membasuh wajahnya kemudian menuju kamar Maira. Lama Arka berdiri disana dengan penuh keraguan.

Witari yang melihat putranya hanya bisa menghela napas pelan. "Kenapa sih, Mas?" tanyanya kemudian.

"Ma." Arka menatap mamanya meminta bantuan. Ia tersenyum melihat tangan mamanya terulur.

"Mai bisa buka pintunya," pinta Witari. Ia pun beranjak meninggalkan Arka ketika terdengar suara kunci diputar. Tersenyum penuh ejekan pada putranya yang menatapnya dengan penuh keterkejutan. Ia semakin melebarkan senyum saat melihat Arka menyebut namanya pelan tapi penuh penekanan. Ia lebih terkejut saat melihat mata sembab Maira yang enggan menatapnya.

"Mau apa?" ketus Maira. Ia melirik jam dinding dan memang biasanya Arka akan memintanya membuatkan sesuatu entah minuman atau memotong buah.

"Mangga," jawab Arka yang entah kenapa hanya itu saja yang terlintas di kepalanya. Ia pun segera merutuki dirinya sendiri.

Maira menghela napas pelan kemudian keluar kamar menuju dapur. Arka memang selalu meminta dirinya yang menyiapkan itu. Entah alasannya apa. Ia pun menyiapkan sesuai permintaan lelaki itu. "Minumnya?"

"Nggak usah itu aja," kata Arka masih memandang setiap gerakan Maira sampai selesai memotong mangga untuknya. Ia bisa sedikit bernapas lega karena gadis itu masih bersedia memenuhi permintaannya meskipun sedang kesal.

"Nih." Maira menyerahkan Mangga potong sekaligus air putih hangat. Ia tahu Arka akan susah tidur jika tidak minum air hangat.

"Mau kemana?" tanya Arka saat melihat Maira beranjak meninggalkannya usai memberikan buahnya.

"Belajar," sahut Maira tanpa menoleh ataupun berhenti. Ia tidak menyadari jika Arka pun mengikuti langkahnya.

"Eh eh Mas Arka mau ngapain?" tanya Maira saat akan berbalik menutup pintu dan melihat Arka ada di belakangnya.

"Liatin lo belajar lah. Emang apa?" sahut Arka santai dan justru mendahului masuk ke kamar Maira.

"Nggak usah. Mai bisa sendiri. Lagian Mai masih kesel sama Mas Arka," sungut Mai membuat Arka terkekeh pelan.

"Udah sana belajar." Arka mendorong pelan bahu Maira kemudian menarik kursi di depan meja rias untuk dirinya sendiri.