webnovel

Bab 10 Cemburu?

Arka pulang kantor dengan lesu. Ia menghela napas saat sudah memarkirkan mobilnya di garasi berdampingan dengan mobil sang papa. Pikirannya entah risau karena apa. Ia turun dan di sambut oleh Maira yang kebetulan juga baru sampai.

"Biar saya bawakan tasnya, Den," sapa Maira saat melihat wajah masam anak majikannya.

"Dari mana lo?" sinis Arka sembari menyerahkan tasnya. Ia tidak suka melihat Maira yang nampak bahagia sepulang 'jalan-jalan'.

"Kuliah, Den. Memangnya darimana lagi?" sahut Maira yang tidak terima saat mendengar nada curiga yang dilontarkan Arka.

"Kuliah dimana?" Arka kembali menatap Maira sinis saat gadis itu hanya meliriknya kesal. "Jangan sampai lo buang duit nggak ada guna," tambahnya saat Maira memilih diam dibanding menyahutinya. Ia berdecak kesal.

"Kalian pulang barengan?" Witari menyambut anak dan calon mantunya dengan sumringah.

"Nggak sengaja ketemu di depan, Nya." Maira yang menyahut karena Arka langsung melangkah menuju kamarnya.

"Oh Mama kira dia jemput kamu ke kampus. Tapi kok mukanya masem gitu?" Witari mulai penasaran.

Maira tersenyum. "Coba Nyonya yang tanya. Saya pamit ke dalam ya, Nya," ucapnya dengan sopan. Ia pun beranjak ke kamar Arka yang ternyata pintunya tidak tertutup sempurna. Itu artinya ia bisa masuk tanpa harus mengetuk terlebih dahulu.

"Lain kali kalo kuliah ya kuliah aja nggak usah pake keluyuran," sembur Arka begitu melihat Maira masuk untuk meletakkan tas di meja kerjanya.

Maira cukup terkejut. Ia kira Arka sudah berada di kamar mandi. "Aden mau mandi sekarang? Saya siapkan baju gantinya," kata Maira yang memilih tak menanggapi ucapan pedas anak majikannya itu.

"Lo denger gue ngomong nggak sih? Ato pura-pura nggak denger," kesal Arka karena Maira tidak meladeninya. Menggerutu pun rasanya tidak pantas.

"Saya ini nggak paham maksud Aden terus saya harus meladeni gimana?" jawab Maira yang ikut sewot karena sikap Arka yang tidak jelas.

"Gue mau mandi," sewot Arka. Ia menutuskan langsung masuk ke kamar mandi untuk menyiram kepalanya dengan air dingin. Sudah kepalang tanggung karena Maira ternyata tak paham maksudnya.

Di dalam kamar. Maira masih menyiapkan pakaian untuk Arka. Biasanya tidak pernah tapi beberapa kali Arka minta disiapkan jadi ia pun berinisiatif melakukan hal itu sebelum di minta. Arka akan jadi manusia paling menyeramkan kalau permintaannya tidak dituruti. Ia pun menghela napas pelan usai mengambil baju sesuai dengan gaya berpakaian Arka dalam keseharian. Baju dan celana banyak tapi hanya beberapa saja yang dipakai. Bisa dibilang Arka adalah tipe CuKerPak (Cuci, Kering, Pakai).

"Kamu sama Arka ketemu dimana tadi?" Witari masih belum menyerah menanyai calon mantunya saat terlihat keluar dari kamar Arka.

Maita menghela napas pelan. "Sudah di halaman rumah, Nyonya. Tumben Den Arka pulang cepet," jelasnya kemudian. Ia cukup terkejut karena ternyata majikannya itu menunggunya.

"Jangan panggil Nyonya dong Mama nggak suka dengernya. Den Arka lagi. Biasakan Mas Arka." Witari memang masih sangat getol meminta Maira untuk menjadi menantu di rumahnya. Bahkan statusnya pun tidak menjadi masalah bagi wanita yang tetap terlihat cantik meski usianya tak muda lagi itu.

"Haduh susah, Nyah. Saya panggil Ibu saja ya?" pinta Maira dengan tidak enak hati.

"Ya sudah tidak apa-apa. Jangan lupa juga Mas Arka." Witari tersenyum saat Maira mengangguk. "Ya sudah kamu ke kamar bersih-bersih terus keluar lagi kita siapin makan malam," katanya kemudian. Ia sekali lagi tersenyum saat gadis cantik itu tersenyum.

Maira kembali ke kamar dan langsung menuju kamar mandi. Tak lupa membawa serta pakaian gantinya. Hal itu sudah menjadi kebiasaannya sejak masih di kampung dulu. Hanya butuh waktu 15 menit ia pun sudah selesai. Berharap cepat selesai pekerjaan rumah dan beristirahat.

"Lelet amat lo mandi." Suara ketus seseorang membuat tubuh Maira yang baru keluar kamar mandi mendadak kaku. "Gosokin apaan sih?" lanjut suara itu tanpa menutupi kejengkelannya.

"Mas Arka ngapain disini?" tanya Maira yang juga tidak menutupi kekesalan.

"Mas Arka?" beo Arka merasa aneh dengan panggilan itu. Ah tidak, hanya sedikit tidak bisa menutupi sesuatu.

"Ibu yang suruh. Katanya jangan panggil Aden panggil Mas aja," sungut Maira menatap wajah Arka yang seolah mengejeknya.

Arka mengalihkan pandangan seraya berdecak. "Ayo makan," ajaknya kemudian. Entah mengapa kekesalan yang tadi ingin diluapkan tiba-tiba menghilang entah kemana. Maira pun mengikutinya dalam diam. Entah apa yang sudah terjadi pada anak majikannya itu.

"Mas Arka kenapa manyun gitu?" tanya Dini yang melihat kakaknya itu berjalan menuju ruang makan diikuti Maira dibelakangnya. "Berantem?" sambungnya yang kali ini ditujukan pada Maira.

"Iya Ka. Muka kamu masem banget," imbuh Witari yang mendukung Dini. Ia melirik sekilas pada Maira yang hanya diam saja. "Bantu Mama bawa makanan ke meja ya Mai," katanya kemudian.

"Baik, Bu," jawab Maira. Ia pun beranjak ke dapur mengikuti majikannya.

"Mas Arka kenapa?" tanya Witari saat sudah di dapur. Ia sangat ingin tahu.

"Kurang tahu Bu. Dari tadi Mai kena sembur terus," sahut Maira ikut bingung dengan lelaki yang memang selalu aneh itu.

"Tapi kalian nggk berantem kan?" tanya Witari memastikan.

"Enggak, Bu. Dari pulang tadi Mas Arka terus sewot sama Mai. Barusan ke kamar juga buat marah-marah aja," tutur Maira polos membuat Witara membulatkan kedua matanya tidak percaya.

"Arka ke kamar kamu?"

"Iya Bu. Makanya tadi ke ruang makannya barengan," aku Maira sekali lagi.

Witari hanya tersenyum. Penuh makna dan cerita karena dalam pikirannya sudah tersaji runtutan perkara sesuai imajinasinya sendiri. "Nanti aja mama tanyain ya," katanya untuk menyenangkan menantunya yang sudah kena amuk anak sulungnya entah dengan alasan apa.

"Nggak usah Bu. Nanti biar Mai aja yang bicara sama Mas Arka," cegah Maira yang merasa tak enak hati jika melibatkan majikannya yang baik hati itu. Ia juga tidak ingin semakin menjadi bulan-bulanan Arka.

Mereka pun makan dalam diam. Suasana menjadi tidak nyaman karena Arka tetap memasang wajah masam dan menatap Maira yang dipaksa sang mama untuk ikut makan bersama dengan anggota keluarganya.

"Mas kenapa mandang Mba Mai kayak gitu sih?" tanya Dini yang sejak tadi memerhatikan kakaknya dalam diam.

Arka mendengus pelan tanpa minat menyahut. Ia melirik sinis Maira yang sempat menatapnya sekilas.

"Saya sudah selesai, Bu. Mohon pamit ke belakang," kata Maira segera berlalu membawa piring bekasnya. Ia melirik sekilas pada Arka.

"Arka kenyang." Ia pun beranjak dan menyerahkan piringnya pada Maira. "Ke kamar selesai cuci piring," katanya.

"Iya, Mas. Mau dibuatin minum anget?" kata Maira.

"Nggak usah," kata Arka ketus. Ia berlalu mengabaikan keluarganya yang memandang aneh.

"Kenapa sih anak kesayangan mama itu?" Dharma kali ini bersuara. Ia merasa heran dengan sikap putranya yang berubah mendadak.

"Kayaknya lagi marahan sama Maira. Tapi nggak tahu masalahnya apa," sahut Witari yang ikutan heran.

"Mas Arka kayak orang yang lagi cemburu ya ma. Tanya sama Mba Mai lah," kata Dini yang merasa memiliki ide terbagus dan tepat sasaran kali ini. Ia pun beranjak mencari Maira dan membawanya kembali ke meja makan. "Hari ini kemana Mba Mai?" tanyanya.

"Ke kampus terus kerja kelompok," sahut Maira polos.

"Sama siapa dan dimana kerja kelompoknya?" Dini masih setia membordir.

"Sama temen kampus, Dik. Kenapa sih?" Maira mulai bingung saat kedua majikannya ikut menatapnya.

"Ada cowoknya?" tanya Dini sekali lagi membuat Maira memandang ketiga orang di hadapannya bergantian sembari menelan saliva dengan susah payah.