webnovel

Tertolak mentah-mentah.

Lampung, 23 Mei 2016.

Aku dan ibu saling memegang erat di antara kerumunan bandara. Saat ini hatiku tak lagi menoleh ke arah belakang. Namun, kupaksakan diri untuk melihat keadaan.

Dilan, sahabatku itu melambai sembari memekik ke arah kami.

Dalam koper yang sudah penuh, ibuku menarik tangan dengan spontan.

"Ayo, cepat! Jangan sampai kita ketinggalan pesawat," ucap ibuku dengan segala kekhawatirannya.

Mungkin, ini bukan perpisahan. Saat kumenoleh, mereka masih ada di belakang punggungku. Aku tak bisa menyebutnya satu-persatu.

Akan tetapi, orang terbaik dalam hidupku itu tidak muncul untuk melambai.

Karena kami pergi agar tidak untuk dilambai olehnya.

Roda pesawat segera naik dan bersiap untuk terbang ke kota tujuan. Lampung-Jakarta, tujuan kami akan bermukim.

Di sana pasti ibuku menemui adiknya, yang sedang sibuk menjalani usaha majunya.

"Kita akan pergi ke rumah pamanmu. Kau akan bersekolah di sana, di Jakarta." Kata-kata ibu kali tak main-main. Wanita yang tadinya terlihat lemah lembut, tapi harus bergelut amarah dendam yang terlintas di bola matanya.

"Ibu," sapaku.

"Jangan pikirkan apa pun! Ibu hanya ingin kau bahagia. Tapi, tidak untuk tinggal bersama ayahmu. Ibu mencoba bersabar selama belasan tahun. Dan kini, waktunya kita kembali ke tempat asal kita," lontar sang ibu dengan raut seriusnya.

"Apa ibu akan bercerai dengan ayah?" tanyaku lesu.

"Ya," singkat ibu.

Aku tak berani memandang raut wajah ibu. Tatapanku kembali tertarik oleh kepala dengan seketika.

Kali ini, aku seakan hidup menjadi seorang gadis yang harus kehilangan sang ayah. Padahal, dia adalah cinta pertama dalam hidupku. Dialah orang yang selalu membela diriku.

Akan tetapi, satu waktu mengubah dirinya untuk membuatku menjadi kelam. Dia mengubah seakan menjadi seorang yang harus membenci sosok ayah.

***

Larut malam telah menemaniku dan ibu di depan parkir bandara. Sebuah mobil mewah tiba di hadapan kami.

Ibu segera menarik dua koper sekaligus mendekati mobil tersebut.

"Kenapa mau melamun? Ayo, cepat bawa barang-barangmu!" jerit sang ibu ketika aku sempat melamun.

"Oh ... Baik, Bu."

Kami memasuki mobil mewah yang entah siapa di dalamnya? Aku hanya terdiam bisu di sepanjang perjalanan.

Tiba kami di sebuah rumah mewah bertingkat. Mobil ini masuk ke dalam gerbang lalu berhenti di depan orang yang tampak tak asing. Itu Jordan, pamanku.

Aku terkesima dengan wajah sang paman yang jarang sekali bertemu. Setelah sekian lama aku tak melihat sosok paman, hari ini ibu membawaku kepadanya.

"Ayo, keluar!" ucap ibu padaku.

"Ba-baik, Bu."

Aku berusaha menarik koper milikku beserta tas ransel kesayangan. Di hadapan pria dan seorang wanita bergaya telah menyambut kami dengan wajah cemberut.

"Kakak," sapa paman ke arah ibuku.

"Apa kalian mengizinkan aku tinggal di sini untuk sementara waktu?" tanya ibu.

"Pasti, Kak. Tidak mungkin kami membiarkan dirimu bergelandangan di luar sana," sebut Jordan dengan alisnya sesekali mengerut.

"Kakak ipar, apa yang sebenarnya terjadi padamu?" tanya si istri paman dengan wajah cemasnya.

Aku bisa membaca pikiran satu-persatu orang itu. Dilihat dari sang paman, dia adalah lelaki yang sangat tegas, cerdas dan pandai bermain hati.

Sedangkan istrinya, seorang wanita terhormat, sedikit sombong namun bisa dipercaya.

Aku lebih memilih sang paman, walaupun dia sedikit tegas.

Mungkin aku hanya berfirasat dalam hati. Akan tetapi, aku tak pernah meleset dari perkiraan itu.

Aku wanita berjiwa besar yang memiliki bela diri, satu tekad diriku sering muncul saat membaca raut dan perkataan mereka. Inilah diriku yang bermimpi untuk menjadi seorang Polisi.

"Emira, kau sudah dewasa ya, Nak." Bibiku menciumi pipi kiri dan kananku.

Aku memaksa senyum di hadapan dirinya, "Apa kabar, Bibi?"

"Wah! Bibi baik-baik saja. Bibi sangat senang kau ada di sini," lontar sang bibi.

Yah, dari kata-katanya dia mengatakan senang dan merasa kesepian.

Bibi dan paman tidak memiliki seorang anak. Mereka telah menikah selama puluhan tahun lamanya. Namun, tidak dikaruniai seorang anak.

"Bibi ingin sekali kau tetap di sini," ujar sang bibi.

Aku mulai menatap raut bibi dengan senyumku. Wanita ini sangat ramah, di balik keramahannya.

Belum tentu dia adalah orang ikhlas lagi pemurah. Kebanyakan mereka yang tidak memiliki anak, mereka cenderung egois, tanpa iba, bahkan tidak akan sabar melakukan sesuatu.

Bibi adalah wanita karier yang kesibukan mereka berdua akhirnya jarang bertemu di siang hari.

"Aku sudah katakan padamu dari dulu, Kak. Dia tidak pantas menjadi suamimu!" lontar Jordan kepada ibuku.

"Sudah berlalu! Untuk apa kau ungkit lagi," gerutu ibuku sembari duduk dengan kesalnya.

"Kakak ipar, kalau begitu kau tinggal di sini saja. Tinggalkan suamimu! Lagi pula, Emira harus melanjutkan sekolah," sambung bibiku.

"Aku akan membiayai Emira sampai dia wisuda!" tandas Jordan.

Semua tertoleh ke arah si pria tanpa beranak itu. Yah, aku pun menerobos mata sang paman dari jauh.

"Apa kau yakin? Kau biasanya tidak pernah berbuat baik padaku. Aku bisa melakukannya," balas ibuku.

"Anggap saja ini balas budi kepadamu!" sebut Jordan dengan wajah serius.

"Balas budi?" ucap ibuku dengan tatapan bertanya.

"Kakak, aku tahu. Aku anak yang paling durhaka terhadapmu. Semenjak ibu dan ayah meninggal, aku tidak pernah menghubungimu," ungkap Jordan.

"Sayang ...," lirih si istri Jordan.

Aku berkali-kali memandang percakapan orang tua ini. Entah apa yang dibicarakan oleh mereka. Namun, dengan setengah kesadaran mencoba memasuki percakapan itu.

"Paman, aku ingin menjadi Polisi!" tegasku di sela obrolan mereka.

Sontak ibu menatapku lalu beranjak mendekatiku.

"Apa kau ingin ibumu lebih menderita karena ini? Polisi itu sangat berbahaya untukmu," lontar sang ibu tepat menghadapku.

"Ibu, aku bisa melawan mereka yang hendak menyerangku. Lagi pula, aku kan bukan anak yang manja dan penakut!" Aku berusaha membela diriku agar ibu menyetujui keinginanku.

"Kalau paman terserah kau saja," sambung sang paman.

"Aku tidak akan membiarkanmu menjadi Polisi. Ibu ingin kau menjadi seorang yang lebih dikenal orang banyak. Jadilah Reporter atau semacamnya!"

"Jika kau memaksa untuk menjadi Polisi. Maka jangan pernah kau memanggil ibu lagi!" Ibu benar-benar serius mengucap semuanya. Aku hanya berkeinginan, apa salahnya aku melontarkannya? Kenapa? Kenapa ibu lebih kejam dari ayah? Kenapa mereka sama-sama keras kepala?

"Ibu," ringisku menarik pergelangan tangan ibu.

"Jangan panggil ibu!!" berang ibu padaku. Beliau menyapu tanganku, hingga menghempaskan ke arah berlawanan. Tanganku terdorong oleh angin tolakan.

Wajahku seketika meluntur jauh dari hadapan ibu. Ibu merasa kesal, langkahnya begitu cepat meninggalkan diriku menyusuri ruangan dalam.

"Bersabarlah!" Pamanku menepuk pundak milikku.

"Sayang," lirih sang bibi memeluk diriku.

Aku memang tak biasa menangis. Aku hanya menepis sedih sembari cemberut bibir. Mereka benar-benar membuatku bingung.

Di dekat ayah, aku pasti akan kehilangan masa depanku.

Di dekat ibu, aku harus hidup atas perintah darinya.

Walaupun hatiku tak sama dengan ibu, aku berusaha tersenyum sembari membalas pelukan sang bibi.

Bagaimana aku nanti? Ke manakah aku akan pergi?

Anda akan menemukan kejutan di bab berikutnya.

Kira-kira apa yang akan terjadi?

Terus ikuti kisah menariknya.

Tambahkan ke raknya sekarang juga!

Review ceritanya dan undi hadiahnya.

Follow juga ig-nya : @rossy_stories

Terima kasih karena Anda telah meluangkan waktu demi sederet kata-kata penghibur dari si penulis.

Sampai ketemu di kolom review.

Next chapter