12 Jangan Bertemu lagi

Senin, 21 Februari, 2019

Monica meninggalkan Kantor tepat pukul 15:30 sore. Kepergiannya yang tiba-tiba itu hampir menimbulkan kehebohan di rumah sakit kepolisian, tempatnya bekerja sebagai dokter forensic terbaik selama beberapa tahun terahir. Biasanya, ia cenderung senang bergadang bahkan dengan jadwal kerja dokter kerja yang sangat padat. Kebiasaanya inilah yang membuat semua rekan kerjanya mempertanyakan penyebabnya; apakah etika kerja yang dianggapnya sebagian hal yang terpenting memaksanya, atau hanya karena dia merasa nyaman menghabiskan waktunya bersama para professional yang kompetitif, ambisius dan haus darah ketimbang duduk di sofa sambil menikmati secangkir kopi dan makanan cepat saji.

Hari itu dia pergi setelah menyelesaikan conference call dengan para petinggi rumah sakit tempatnya bekerja, Carrisi yang hampir membuatnya putus asa. Selama hampir 3 tahun dia bekerja Monica menghabiskan semua waktunya untuk menjadi dokter yang berdedikasi dan cakap karena perasaanya bertentangan mengenai serangan pribadi, dendam membara dan penolakannya atas sara yang diberikan oleh orang lain untuk membangun dirinya. Ketika insting dan intuisinya tidak bekerja Monica akan meminta bantuan. Ketika ia dilangkahi oleh rekan kerjanya, dia akan membalas dengan menangani dan menggali informasi lebih jauh. Dan ya, Monica akan menyimpan dendam seperti orang lain menyimpan pusaka keluarga mereka.

Saat selesai membaca e-jurnal tentang Virus yang baru-baru ini ditemukan oleh saingannya Jennifer A. Nielsen yang latar belakangnya lebih baik darinya. Penelitian ini awalnya diadakan oleh professor terkenal Pantas Lumban, dan dia adalah kandidat awal yang direncanakan untuk mewakili rumah sakit mereka. Tapi, sial baginya pendukungnya tidak sekuat Jennifer.

"Monica sayang, bagaimana menurutmu? Hal ini benar-benar berbahaya bukan?"

"Yah, ini benar-benar menghawatirkan Jenni." Balas Monica yang baru saja selesai membaca hasil penelitian Jennifer. "Benda ini bisa membuat musibah seperti yang terjadi pada eropa berberapa abad yang lalu. Hal itu saja belum ditemukan obatnya sampai sekarang dan orang bodoh lainnya menambahkan benda ini kedalam hal yang harus di khawatirkan."

"Bagaimana kalian menyebutnya tadi? Ah ya itu vampir virus."

"Kamu benar Ica, kalau kamu terinfeksi benda ini kamu akan berubah menjadi sesuatu seperti mahluk legenda itu, kecuali bagian dimana semua vampir itu sangat menawan. Jika kamu terkena ini kamu mungkin akan lebih mirip dengan kalelawar."

"Dan apa lagi yang kamu temukan darinya Jenni?"

"Eh, apa maksudmu Ica? Bukankah semuanya sudah ada di jurnal tersebut."

Mendengar ini Monica menghela nafas panjang. Dia sudah menduga bahwa ini adalah jawaban yang akan dikatakan Jenni padanya. Ini juga sebabnya dia tidak benar-benar membenci Jenni. Monica memutuskan untuk pulang saja.

Rintik hujan masih menguyur jalanan, dengan irama yang menyerupai suara gendering yang lembut. Tetesan hujan menghantam trotoar, membasahi kaki Monica saat dia berusaha berbaur kedalam kerumunan. Secangkir coffee panas sudah menunggunya di rumah, itu adalah kopi luak asli rasanya sangat menyegarkan lembut dan tidak menyangkut di tenggorokan. Monica sudah membayangkan dirinya berbaring di sofa mendengarkan lagi-lagu klasik sambil membaca Light novel yang baru saja dibelinya kemarin. Biasanya dia bukanlah tipe gadis yang seperti itu, Monica bahkan akan mengatai teman-temanya yang melakukan itu sempai mereka hampir menangis, tapi sekali ini saja Monica perlu lari dari kenyataan.

Dia tahu Jenni tidaklah jahat, dia dan Monica sudah kenal sangat lama, mereka bahkan dulu adalah sahabat. Tapi apa yang bisa dikatakan, latar belakang mereka sangat berbeda. Monica dulunya adalah orang dari keluarga menengah sedangkan Jenni berasal dari keluarga kaya raya. Jenni dibesarkan dengan baik, semua kebutuhannya dipenuhi oleh keluarganya. Jenni juga adalah anak perempuan satu-satunya dari keluarga Nielsen yang terkenal itu. ibunya meninggal beberapa bulan setelah melahirkannya, inilah mungkin yang menyebabkan ayah dan kedua kakak laki-lakinya mencurahkan semua kasih sayang mereka kepadanya. Mereka selalu menjaga Jenni seperti harta paling berharga yang mereka miliki hingga sisi kelam dunia tidak pernah menyentuhnya.

Hal ini terus berlangsung sampai mereka menyadari bahwa Jenni telah tumbuh menjadi gadis muda yang manis dan penuh semangat. Satu satunya anugrah dari metode pendidikan yang tidak masuk akal itu adalah Jenni tidak pernah menjadi gadis yang egois.

Sekarang berita buruknya, Jenni benar-benar menjadi gadis yang sangat- jika ada kalimat yang cocok untuk mendeskripsikannya itu adalah 'Jenni adalah gadis yang kepalanya penuh dengan bunga'. Jenni mungkin tidak tau bahwa dialah yang mengambil kesempatan Monica untuk mengikuti penelitian tersebut.

Monica membuka payungnya dan melangkah ke tengah lautan orang-orang jayakarta, memasuki arus penuh sesak yang di kenal sabagai rumah para komuter. Jalanan di penuhi orang berpayung dan Monica berusaha berdesak-desakan di tengah kerumunan tampa memperdulikan obrolan yang riuh rendah.

Begitu dia melangkah masuk Monica mendengar suara lelaki memanggilnya, "Nona Monica! Nona Monica!"

Monica melihat sesosok laki-laki dengan setelan klimis dan mantel berwarna gelap mendekatinya. Lelaki itu tingginya sekitar seratus delapan Puluh Lima centimeter, rambut merahnya yang warnanya nyaris seperti tomat mengintip dari topinya. Badannya tegap, usianya sekitar tiga puluhan dengan aura yang sangat menenangkan. Jantung Monica berdegup kencang untuk sesaat, perusahaan layanan antar jemput ini pastilah memiliki standar yang cukup tinggi.

"Salam, nona Monica!" ujar lelaki itu berhenti di hadapan Monica. "Saya Donata, dari jaya taksi. Nona Jenni meminta saya untuk mengantar anda kembali ke rumah dengan selamat."

"Silahkan," Donato sedikit membungkuk "Tolong ikuti saya."

Donato membuka payungnya yang sedikit lebih besar daripada mulik Monica dan menahannya. Monica sedikit tersenyum padanya, senyum lebar dan ceria yang memperlihatkan deretan giginya sembari melangkah kedalam lingkaran payung Donata. Lelaki itu menuju sebuah mobil Lincoln town yang diparkir dengan tergesa-gesa dipinggir jalan. Ia membukakan pintu untuk Monica sebelum kemudian mempersilahkannya masuk. Monica berterimakasih, mengangkat sedikit ujung roknya dan kemudian duduk dengan tenang di bagian belakang mobil. Donata menutup pintu dan Monica memperhatikannya saat dia berjalan ke pintu depan mobil.

Ada air mineral kemasan ditaruh di tempat minum dalam mobil, ada juga edisi terbaru Koran metro di kantong bangku didepannya.

"Harimu menyenangkan nona?" Tanya si supir membuka kecanggungan.

"biasa saja, tidak ada yang istimewa," Monica menjawab. Jalanan sangat padat. ada antrian panjang kendaraan di jalanan dan lebih menyebalkan lagi adalah para pengendara sepeda motor yang menyelip-nyalip diantara deretan mobil sehingga kondisi jalanan semakin semrawut. Monica mulai menyesali keputusannya untuk naik taksi ini, meskipun dia benci harus berdesak-desakan di kereta bawah tanah, tapi setidaknya dia sudah sampai dirumahnya sekarang.

"apa tidak ada rute yang lebih cepat daripada ini?" Monica membungkuk kedepan sambil menjulurkan kepalanya sedikit ketengah-tengah kursi depan saat mobil terhenti karena macet. Sopir itu berbalik sambil tersenyum lebar.

"Mari kita lihat nona." Kemudian dia berbelok ke kanan dan dalam sekejap mereka mengarah ke timur. Monica memperhatikan sekeliling dan menemukan tanda jalan yang menunjukkan bahwa mereka akan menuju jalan tol, mereka biasanya terendam banjir sedikit di saat-saat seperti ini, tapi apa boleh buat setiap hal ada harganya. Monica kaget saat menyadari bahwa mereka sudah melewati jalan garuda. Mereka seharusnya berbelok ke kanan untuk keluar dari tol kemudian memutar sedikit ke Utara untuk sampai ke tempat tujuannya jalan delima. Namun alih-alih mengurangi kecepatan dan keluar dari tol, si supir justru menambah kecepatan dan melewatkan kesempatan tersebut.

"Hei!" Monica membungkuk ke supir sekali lagi, "itu tadi jalan keluar kita. Amati jalannya baik-baik, memangnya kamu pikir ini formula one?"

"Maafkan saya nona," si supir menjawab. "saya pasti tidak memperhatikannya tadi"

'YANG BENAR SAJA Ferguson!!' Monica mengutuk dalam hati, jalan keluar berikutnya adalah jalan Cipta Karya. Dan itu artinya mereka harus memutar melewati pinggiran kota, berbelok ke utara kemudian masuk ke pusat kota untuk sampai ke rumahnya di jalan Elang sakti. Monica mulai mempertanyakan HRD di perusahaan taksi ini. Apa satu satunya standar mereka untuk memilih karyawan adalah wajah tampan? Dan mereka tidak akan peduli apakan orang yang mereka pekerjakan mempunyai akal sehat atau tidak.

Untungnya jalanan di pinggiran kota cukup lancar, Monica harus memperingatkan si supir ini sambil berusaha meyakinkan dirinya bahwa apa yang baru saja dia pikirkan tidaklah benar. "Hei sebentar lagi jalan keluarnya."

"tentu, terimakasih Nona Monica" tapi apa yang dia lakukan tidaklah sejalan dengan apa yang dikatakannya. Mobilnya tidak bebelok ke utara untuk memasuki pusat kota sekali lagi, mereka malah berbelok ke kanan dengan kecepatan yang sama.

"Mau kemana kau?" bentak Monica "Kau harus mengganti otakmu dulu sebelum bekerja untuk kami lagi! Astaga ada apa dengan kepala Jenni? Bisa-bisanya dia mempekerjakan orang gila seperti ini"

"Letakkan telepon mu Monica!" suara si supir tidaklah seramah tadi.

"Omong kosong! Aku akan memanggil polisi sehingga kau tidak akan dapat bahkan keluar dari tahanan selama beberapa tahun!"

"Kalau kau tidak mau saudaramu kembali padamu dalam keadaan utuh silahkan saja lakukan. Kalau tidak letakkan telepon mu sekarang!"

Mulut Monica menganga tampa bisa berteriak, yahya...…. Dari mana bajingan ini tahu tentang saudara lelakinya yang sudah lama menghilang. Satu setengah tahun yang lalu tepat setelah kelulusannya dan Sandra. Yahya yang saat itu sudah menjadi seorang detective hebat mengatakan kepada mereka bahwa dia menemukan petunjuk tentan kematian orang tua mereka. Yahya kemudian meminta izin padanya untuk pergi menyelidikinya ke ibukota, Sandra dan Monica yang mendengarnya merasa senang dan tidak khawatir.

Mereka mengenal yahya dengan sangat baik, Yahya tidak akan ceroboh untuk menyentuh sesuatu yang sangat berbahaya seperti itu. tapi ternyata sang kegelapan lebih siap dari mereka sebulan kemudian yahya menghilang. Kontak terakhirnya dengan yahya adalah sebuah pesan yang ditinggalkan yahya "Mereka sangat gelap, jangan masuk! Si story' teller mengetahui kita seperti telapak tangannya. Aku baik-baik saja, bersabarlah! Si penjaga tidak dapat berbuat banyak. Kita harus membongkar banyak plot untuk sampai pada tujuan kita."

"Dasar Monster Sialang!" bentak Monica saat menutup ponselnya.

"Ayolah jangan begitu, kita hampir sampai"

Supir itu mengarahkan mobilnya ke daerah Pasir hitam, meluncur keluar di ujung jalan tol. Berbelok beberapa kali ke tempat yang tidak diketahui Monica, kemudian masuk kedalam sebuah gang yang di impit oleh dua bangunan yang hampir roboh. Monica tidak melihat siapapun, tak mendengar siapapun. Hanya ada dia dan Donata. Hanya ada suara hujan yang keterasingan. Monica bahkan ragu jika akan ada yang mendengarnya saat dia berteriak.

Sopir itu keluar dari kursi pengemudi menuju bangku belakang. Monica dengan sigap mengunci pintunya dari dalam. Sial baginya Monica segera mendengar suara klik ketika si supir membuak pintu dengan remote yang di pegangnya. Sebelum dia mampu menguci pintunya sekali lagi, lelaki itu membuka pintu dengan keras, mencengkram mantel Monica dengan kuat sebelum melemparkanya ke lumpur.

Cipratan lumpur mengenai wajahnya. Monica merasakan wajahnya panas, dia kemudian berdiri mengakat kakinya, mencoba mengantarkan tendangn kewajah pria itu. namun malang baginya pria itu dapat dengan mudah menlumpuhkannya sekali lagi. Dia kemudian mencekik Monica dan menatap dalam-dalam kematanya.

Monica kemudian merasakan pria itu menekankan sesuatu ke tubuhnya. Mendadak dia merasakan rasa sakit yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Tubahnya mengejang dia tidak mampu menahan rasa sakitnya dan mengeluarkan geraman, mengompol sebelum akhirnya jatuh kembali ke lumpur. Monica mengangkat kepalanya sebelum kemudian dia menyadari bahwa pria itu memiliki alat kejut listri ditangannya.

"Aku tidak akan melakukannya lagi, aku bisa mencium bau kencingmu!"

Monica merasakan air mata mengalir di pipinya, ia kemudian bertumpuh pada tangan dan kakinya, tubuhnya berlumuran lumpur dan terasa seperti dia baru saja mencelupkan tubuhnya ke stop kontak. Perlahan dia berhasil berlutut, berusaha berdiri dengan nafas tersengal-sengal.

"APA KAU BEGITU TAK PERCAYA DIRI UNTUK MENGAHADAPIKU HINGGA MEMBUTUHKAN BENDA SIALAN ITU!?" Monica menatap pria itu. dia mengakat tangannya sekali lagi, berusaha mengabil kuda-kuda kickboxing yang sudah dipelajarinya selama bertahun-tahun.

"APA MAU MU SIALAN? UANG? SEX?" tubuhnya bergetar saat megucapkan kata terahir. Monica Berdoa agar dia tidak menginkan yang terahir, berdoa agar dia mengainkan sesuatu yang lain. Sesuatu yang tidak meninggalkan bekas luka. Monica sejak dulu adalah gadis yang kuat. Bisa dikatakan dia cupuk tomboy. Dia adalah orang yang tahan sakit, mampu menahan pukulan dan tendangan yang diberikan pria itu padanya. Tapi dia tak akan mempu menahan sesautu yang meninggalkan bekas yang seperti itu, sakitnya takkan penah hilang.

Lelaki itu menatap Monica dalam-dalam sekali lagi, dia kemudian tersenyum lebar. Senyumnya benar-benar kontras dengan lingkungan dan kegiatan apapun yang sedang dia lakukan sekarang. "Maafkan aku, lebih mudah menangimu dengan benda ini" lelaki itu lalu menggelengkan kepalanya sembari masih memegang alat kejut. Meindahkan alat kejut ke tangan kirinya kemudain merogoh bagian dalam mantelnya yang telah lama basah karna hujua. Setalah beberapa detik dia menatap pada Monica yang masih waspada sekali lagi. Air mengalir dari dahi dan matanya, tapi dia tidak menyadarinya. Lelaki itu kemudian mengakat tangan kanannya kemudaian menunjukannya kepada Monica.

Monica menatap benda itu, berusaha memfokusakn pandanganya pada foto itu. setelah meliriknya Monica menghela nafas dalam-dalam. Disana adalah foto yahya sedang diikat disebuah tempat gelap dalam keadaan babak belur.

"Darimana kau mendapatkan ini?" teriak Monica.

"Apa kau perlu jawaban? Aku punya banyak yang seperti ini." Lelaki itu kembali tersenyum hangat, sama seperti saat dia menjemput Monica tadi.

"Bajingan gila!" bentak Monica "Apa maumu?"

"Aku ingin kau mendengar ucapanku baik-baik!" dia kemudian mendekati Monica sambil masih memegang foto itu. foto itu sudah basah kuyup karna hujan, tapi dia tidak peduli. "Aku dulu seorang prajurit. Aku berlatih berasam dengan banyak lelaki dan perempuan yang ku anggap saudaraku."

Monica bergetar karna tatapan lelaki itu. Matanya seperti penuh dengan amarah, seakan tak ada yang mampu memadamkan api dendam yang ada padanya.

"Kemudian setelah menyelesaiakn misi dan kami bangga karna mampu melingdungi negeri ini sekali lagi. Seminggu kemudian kami di tugaskan sekali lagi. Kali ini bukan untuk menyelesaikan misi tapi untuk di bunuh!" lelaki itu tersenyum lebar sekali lagi. "Baik lupakan itu, itu sudah tidak penting. Kau tau saat kami sampai disana seseorang melemparkan TNT kearah kami dan Boom. Beruntung bagiku, aku berada di bagian paling jauh dan entah bagaimana berhasil selamat. Kau tau apa yang aku temukan setalah itu? aku menemukan tangan seseorang di punggungku. Aku melihatnya dan langsung mengenali milik siapa itu. aku mencari cari pemilik tangan itu tapi yang kutemukan hanyalan tumpukan daging yang tidak jelas. Dan Yahya akan jadi seperti itu jika kau tidak menurut! Aku tidak yakin bagian mana yang akan kau makamkan nanti"

Monica kembali menggigil. Orang ini benar-benar sudah rusak.

"Kau tau, darah memiliki bau yang khas. Baunya seakan mengatakan padamu untuk muntah. Bayangkan apa yang terjadi dengan orang yang kau sayangai kembali dalam keadaan begitu"

"Tidak, tolong jangan sakiti yahya. Kumohon!"

tubuh Monica lemas mengatehaui apa yang akan terjadi pada yahya jika dia tidak menuruti apa yang diminta oleh orang ini.

Tubuhnya kehilangan tenaganya saat lelaki berjelan mendekatinya yang bahkan tak mampu lagi berdiri dengan benar.

"Buka matamu! Dengarkan baik-baik." Lelaki itu kemudian menarik rambut Monica untuk memaksa mendapatkan perhatian Monica.

"Aku punya sesuatu untukmu" lelaki itu berkata. "Ambil ini! Buka dan baca dirumahmu. Kemudian lakukan intrusinya baik-baik. Aku akan berhenti mengganggumu setelah kau melakukannya.

Monica menatap lelaki itu lekat-lekat setelah menerima aplop itu. lelaki itu mengaikan tanganya yang menarik rambut Monica sampai membuatnya meringis. Seluruh rambunya terasa ingin berpisah dengan kepalanya. Lelaki itu kemudian menyentrumkan alat kejut ketubuhnya sekali lagi.

"Dengar! Ini hanya saran, Berhentilah menggangu story teller! Setidaknya sampai kau cukup kuat untuk bersaing denganya." Lelaki itu berhenti berjalan sambil melihat darah yang mengalir di dahi Monica. "Jika kau melakukannya dengan benar kami akan melepaskan saudarmu. Ia tidak akan mengetahi peristiwa mala mini. Jika tidak kalian akan bertemu sekali lagi dikehidupan berikutnya."

"Demi kebaiakanmu, Kuharap kita tidak akan bertemu lagi dalam waktu dekat."

Mendengar ini Monica mengakat wajahnya. Kemudian lelaki itu perlahan berjalan menuju kursi depan mobil. Mesinnya dilanyakan dan dia pergi meninggalkan Monica di tempat itu, ditengah hujan. Monica terduduk disana. Dia melihat kearah mobil yang membawanya tadi pergi, memastikan bahwa setan itu sudah benar-benar meninggalkannya. Barulah kemudian Monica merasakan rasa sakit yang teramat ditubuhnya. Dia hanmpir tak bisa berdiri, tanganya mati rasa, diabahkan mulai mempertanyakan apakah kakinya masih ada. Monica menekan layanan ojek online, butuh sepulum menit sebelum ada yang menaggapinya.

"Apa yang ada lakukan ditempat seperti itu?" Tanya si operator.

"Sudahlah, jemput saja aku." bentak Monica sebelum menutup telepon.

Setengah jam kemudian mobil ojek online sampai ketempatnya berada. Selama itu pula Monica meringkut dikubangan itu karna takmampu lagi mengerakan tubuhnya. Lelaki itu berbadan gempal dengan kumis yang cukup tebal. Dia sama bingunnya dengan Monica.

"Nona," katanya lembut. "Apa aku harus membawa kerumah sakit?"

"Antarkan saja aku pulang." Jawab Monica. "Bantu aku berdiri!"

Supir itu kemudian membungkuk, melingkarkan tanganya kepundak dokter yang gemetaran itu masuk kebangku belakang mobilnya.

"Jangan khawatir nona, saya akan mengatar anda pulang." Hiburnya "semuanya akan baik baik saja"

Monica menatap supir itu. Dia ingin sekali berteriak 'TIDAK, SEMUANYA TIDAK BAIK-BAIK SAJA. SEMUANYA KACAU'

avataravatar
Next chapter