webnovel

Hutang Budi, Bayar Body

Pernah berhutang budi dan berhutang uang pada seseorang? Harum Lan Elok harus membayar hutang budinya dengan tubuhnya, dia menjadi istri sementara orang yang dia ga kenal sama sekali. Apakah hanya karena butuh uang dia boleh menjual tubuhnya seperti itu? Apa lagi setelah dia jatuh cinta sama suami sementara nya, akh, baru merasakan cinta sudah patah saja.

padmavatti · Urban
Not enough ratings
19 Chs

Rian

5. Rian

Sebelum tuan kejam itu bangun, aku sebaiknya berangkat bekerja saja. Walau area kewanitaanku masih tidak nyaman karena perbuatannya semalam, tapi sebaiknya aku berangkat bekerja. Aku meninggalkan pesan pada Bu Ida untuk memberikan masakan yang sudah aku buat pada Henry, tetapi jangan katakan itu aku yang membuatnya, karena Hnery tidak akan mau memakan masakanku.

Henry terbangun dari tidurnya, memandang tubuh polosnya, dan berusaha mengingat kejadian semalam, tapi tidak berhasil mengingatnya. Tapi dia berada di kamar Cassandra, itu artinya dia telah menyetubuhi gadis itu lagi. Entahlah, mungkin tubuh gadis itu sudah menjadi candu baginya. Henry membersihkan diri dan turun ke ruang makan, dia sudah cukup kelaparan, kemarin malam dia tidak makan malam.

"Ini..." di depannya tersedia hidangan istimewa seperti yang ibu nya dulu sering sajikan saat ulang tahun, ada mi goreng dan kapertaart, semua makanan kesukaannya, ada sup juga, tapi ibu dulu tidak pernah membuatkan sup, atau mungkin lupa.

"Bu Ida...."

Bu Ida datang dari dapur, "Ya Tuan?"

"Apa ibu yang memasak semua ini?"

Bu Ida hanya tersenyum tidak menjawab, Henry sangat mengenal Bu Ida, karena Bu Ida sudah bekerja sejak Henry masih kecil. Kalau Bu Ida hanya tersenyum itu artinya dia tidak berani berbohong. "Cassa yang buat?" Lagi-lagi Bu Ida hanya tersenyum. "Baik, terimakasih bu."

Henry sangat menikmati makanannya, padahal dia jarang sekali sarapan, dia juga sering telat makan, karena kesibukannya. Enak juga masakannya, Henry tersenyum, dia senang menerima hadiah dari istrinya. Tunggu, istri? Apakah Henry sudah mulai berpikir Cassandra adalah istrinya? Tidak, Henry menggelengkan kepalanya.

Sebenarnya hari ini tidak ada ada pekerjaan, aku hanya menghindari Henry, aku juga akan jalan-jalan dengan Rian. Rian, Dwi, Dessy dan aku kami bersahabat sejak SMA, namun karena kami kuliah di tempat yag berbeda-beda maka kami hampir tidak pernah berkumpul bersama, apalagi sejak memulai karirnya masing-masing, bahkan bertemu di grup WA saja sulit. Rian itu ganteng banget, tinggi, putih, gagah, dan yang paling penting baik hati. Walau dia anak orang kaya, tapi dia tetap rendah hati. Sekarang dia seorang dokter, bukan dokter yang bekerja di rumah sakit swasta yang mahal, tapi dia bekerja disebuah Puskesmas yang jauh di NTT sana, hanya untuk misi kemanusiaan yang selalu dijunjungnya. Dia juga membuka klinik umum di rumahnya, tanpa memungut bayaran, dokter miskin.

Kami janjian bertemu di Taman Suropati , aku sudah membawa camilan, bekal ngobrol panjang nanti. Kami janjian pukul 10.00, tapi pukul 08.00 aku sudah sampai sini, aku jogging sebentar, aku mengenakan pakaian olahraga, pakaian ganti ku ada di kantong kresek yang aku simpan di motor matic yang aku bawa, repot kalau harus membawa mobil selain itu bensinnya juga mahal, aku harus berhemat, adikku akan kuliah kedokteran. Sebelum olahraga, aku ke toilet umum dulu, membersihkan riasan wajahku. Ku pandangi wajah asliku, senang rasanya melihat diriku sendiri, aku sampai tidak mengenali wajah asliku, karena terlalu sering memakai riasan tebal agar terlihat seperti Cassandra.

Setelah joggig lima putara, aku memilih duduk di atas rumput di bawah pohon rindang, aku membawa alas duduk, aku gelar alas yang terbuat dari bahan plastik itu untuk aku duduki.

Di Taman Suropati banyak komunitas seni yang sering berkumpul, seperti sekarang ini ada komunitas musik yang sedang berlatih. Merdunya melodi yang sedang dimainkan, aku sampai terbawa suasana.

"Patah hati ya mbak?"

"RIAN!"

Aku bangkit berdiri dan memeluknya, oh, rindu rasanya dengan sahabat ini.

"Sudah meluknya, nanti di kira pasangan mesum!"

"Mesum gundulmu!" Aku sedikit marah sambil tertawa.

"Bagaimana kabarmu? Kamu terlihat kurusan Rum."

"Kabarku baik, kamu juga terlihat lebih macho sekarang dengan warna kulit yang terbakar begini."

"Iya, aku juga suka dengan warna kulitku sekarang, tidak putih pucat seperti dulu."

Kami membicarakan masa lalu, membicarakan karir kami. "Kamu kerja apa sekarang Rum?"

"Aku masih menjadi stunt girl kadang-kadang model dadakan." Jawabku tak bersemangat, karena bukan ini cita-citaku, bukan ini pekerjaan yang aku inginkan.

"Kenapa tidak menjadi guru?"

"Rian, kamu pasti tahu alasanku kan? Ekonomi."

"Tapi kebahagiaan tidak dapat diukur dengan uang." Kata Rian.

"Tapi dengan uang kita bisa membeli kebahagiaan dan memberi kebahagiaan." Sanggahku.

"Makanya segera menikah, agar ada laki-laki yang memenuhi semua kebutuhan hidupmu." Rian menyenggol lenganku.

"Kamu pikir suami perah? Mana ada laki-laki yang mau menikah dengan perempuan yang punya bapak suka berhutang dan berjudi seperti bapakku, hah?"

"Ada." Rian mengacungkan tangannya keatas.

"Aku tahu kamu itu orang yang dermawan, suka membantu yang kekurangan, apa kamu pikir aku kekurangan kasih sayang, jadi kamu mau menjadi suamiku sukarela, hah?" Aku cubit pinggangnya membuatnya meringis.

"Aduh sakit... Harum, ampun... Kita makan yuk, aku lapar."

"Hayuk, tapi aku ganti baju dulu, kecut, keringetan."

Aku berganti pakaian dan merias wajahku lagi, karena setelah ini aku akan kembali ke rumah Cassa.

"Wow... Harum, kamu terlihat berbeda."

"Kok berbeda sih? Bukannya cantik gitu?"

"Emh... kamu selalu cantik. Tapi kalau ini berbeda, tapi tetap cantik."

Aku memutar dua bola amatku, dasar laki-laki sama aja dimana-mana, gombal. Aku mengajak Rian mengendarai motor, kami ke samping Masjid Sunda Kelapa, disana ada banyak penjual makanan pinggir jalan. Aku memilih memakan siomay dan es kelapa muda, rasanya luar biasa nikmat, Rian memesan bubur ayam dan segelas teh panas. Setelah makan kami bermain, disini ada permainan jaman kami masih SD dulu, tarik tali, dibawah tali ada mainannya, kira-kira tali mana yang berisi hadiah. Rian membeli satu kali tarik, dan dia mendapatkan jepit rambut.

"Wah... kok jepit rambut? Buat kamu dong Rum. Sini aku pakaikan... uh... jepit rambutnya cantik ya?"

"Ini sih karena aku yang pakai, jadi jepitnya ketularan cantik."

"Huuu... kepedean!" Rian menoyor kepalaku, kita tertawa bersama. Rasanya sudah lama aku tidak tertawa lepas seperti ini, tertawa tanpa beban.

Hari ini seperti hari dimana jiwaku di-charge. Aku merasakan memiliki kekuatan lagi untuk terus melangkah menghadapi semua problema kehidupan. Rian harus kembali bekerja, dia sedang mengikuti pelatihan kedokteran, dan minggu depan akan kembali ke NTT.

"Aku rasa aku ga bisa menemani kamu selama di Jakarta Yan, aku sedang banyak kerjaan."

"Gak papa Rum, aku juga akan sibuk pelatihan. Tapi kalau ada perlu mendadak, kamu tetap bisa menghubungi ku, oke?"

"O."

"Kok O?" Rian protes.

"Ke."

"Harum! Namanya aja yan Harum, kelakukaannya Busuka!" Rian mengejekku

"Heh, dokter miskin! Sini kamu, aku hajar kamu, jangan lari!"

Aku mengejar Rian, Rian menghindar, aku lempar dengan batu kecil yang ada dibawah ku.

"Aww... udah ahh, kamu masih aja gila Rum."

Tanpa mereka sadari ada sepasang manik yang mengamati mereka dengan hati yang bergejolak penuh amarah.

Tolong dukung cerita ini dengan:

1. Beri power stone

2. Kasih bintang 5

3. Komen dan like

terimakasih