webnovel

Hutang Budi, Bayar Body

Pernah berhutang budi dan berhutang uang pada seseorang? Harum Lan Elok harus membayar hutang budinya dengan tubuhnya, dia menjadi istri sementara orang yang dia ga kenal sama sekali. Apakah hanya karena butuh uang dia boleh menjual tubuhnya seperti itu? Apa lagi setelah dia jatuh cinta sama suami sementara nya, akh, baru merasakan cinta sudah patah saja.

padmavatti · Urban
Not enough ratings
19 Chs

Hampir gila

3.

Acara makan malam sudah selesai, semua tamu sudah pulang, nenek pun sudah tak terlihat lagi, mungkin sudah tidur. Kami pulang, aku sungguh lelah, setelah seharian bekerja lalu masih makan malam. Akhirnya bisa duduk di kursi penumpang dengan nyaman.

"Hey! Siapa yang menyuruhmu duduk disitu? Gantian nyetir. Aku lelah!" Henry menarik lenganku dengan paksa, hufft, recanaku untuk tidur dengan nyenyak gagal total. Aku mengendarai mobil dengan hati-hati sedikit lebih lambat, karena aku terus menguap daritadi, sedangkan si tuan sombong ini sudah tidur dengan nyenyak.

-La la la la uuuu-

Suara apa itu? Oh ternyata suara ponselnya Henry, baru kali ini aku mendengarnya, itu seperti lagu cengeng yang terkenal. Cih! Pria garang dengan lidahnya yang pahit tahunya suka lagu cengeng. Henry segera mengangkat ponselnya.

"Halo... oke." Henry mematikan ponselnya. "Stop disini!"

Aku menoleh ke arah Henry masih melaju sedang. "Kamu tuli ya! Berhenti!"

"Kamu mau kemana malam-malam begini?"

"Bukan urusanmu." Henry keluar dari mobil dan mengetuk pintuku. "Keluar kamu!" Aku keluar. Henry melempar semua barang-barangku.

"Hey! Kamu mau meninggalkan ku disini?"

"Rumahmu hanya tinggal beberapa meter lagi, jalan saja sana! Aku ada urusan."

Mobil sport Henry melesat meninggalkan ku sendirian. SIAL! Sialan! Aku sudah lelah masih harus berjalan, walau sudah masuk komplek perumahan, tapi ini komplek perumahan elite, tidak ada ojek yang mangkal apa lagi angkot. 200 meter, jarak rumah masih 200 meter lagi, itu dekat kalau aku masih segar. Akh! Bajingan itu. Aku melepas sepatu high heels ku. Lebih baik berjalan dengan kaki telanjang walaupun dingin, aku berhenti di taman dekat rumah. Aku baru menyadari kalau disini ada taman secantik ini, tapi jarang ada warga yang kesini, ya karena mereka semua sudah punya taman sendiri di rumahnya. Aku duduk sejenak, mengistirahatkan kakiku, memandangi bintang-bintang, mencoba mensyukuri setiap berkat yang didapat dalam hidup, tak terasa sudah 30 menit aku duduk disini. Mencoba melupakan Henry, tapi saat mengingat bagaimana Henry memperkosaku, aku jadi ketakutan lalu segera berlari ke rumah. Bagaimana kalau ada orang jahat disini.

Aku masuk dengan terburu-buru dan tergopoh-gopoh. "Kenapa kamu berlarian seperti itu?"

"Ne-nenek." Oh gawat, ada nenek, aku harus bagaimana ini?

"Nenek kok kesini? Ada apa?" Aku mencoba menata hati dan pikiranku, aku tidak boleh terlihat tidak bahagia.

"Tidak ada, nenek hanya ingin menginap disini malam ini, tapi kenapa kamu pulang sendiri? Mana Henry?"

"Henry ada urusan mendadak nek, lalu aku minta diturunkan di ujung jalan agar tidak terlalu merepotkan dia." Aku berusaha sebisa mungkin memberikan jawaban yang masuk akal.

"Henry, kamu dimana? Di rumah? Kamu sudah di rumah? Bersama Cassa?" Nenek berbicara di ponselnya dengan Henry. "Jangan bodohi nenek! Pulang sekarang juga!"

Aku menunduk, tidak berani menatap nenek seperti anak kecil yang ketahuan mencuri dari mamanya. Henry sampai dengan cepat, aku rasa dia ngebut.

"Nenek!"

"Duduk kamu Henry!"

Henry duduk dengan patuh. Nenek memegang dadanya. "Nenek..." aku memanggilnya lembut, takut kalau nenek kenapa-kenapa.

"Kamu tidak pernah tidur disini Henry?"

"Nenek, aku tidur disini." Jawab Henry berbohong.

"Cassa, jawab dengan jujur apa Henry tidur bersama mu atau tidak?"

Nenek menatapku tajam, aku harus bagaimana, bohong atau jujur, aku hanya bisa menundukan kepala, abstein, aku memilih tidak menjawab.

"Kenapa tidak kamu jawab Cassa? Apa kamu takut dengan Henry? Ingat Cassa, nenek akan selalu mendukungmu, kamu hanya perlu mengatakan pada nenek apa yang terjadi, dan nenek akan mengahajar Henry untukmu." Perkataan Nenek terdengar sangat tulus, tapi aku tidak boleh menerimanya, aku takut Henry marah nek.

"He-Henry tidur disini kok nek, nenek jangan khawatir dengan kami."

"Baikah, karena kamu yang bicara, nenek percaya. Besok nenek akan mengecek kalian, kalau kalian berbohon, kalian akan dapat akibatnya."

"Tidak nek." Henry memeluk neneknya dengan lembut.

Nenek pulang tidak jadi menginap, karena jantungnya sakit dan asisten beliau lupa membawa obatnya.

Henry membopong ku di pudaknya dengan penuh amarah. "He-Henry apa yang kamu lakukan?"

"Memberikan mu apa yang kau inginkan!"

Henry mebantingku di ranjang king size kamar utama. Menindih tubuhku. "He-Henry ja-jangan" Aku gemetar, lututku melemas, membayangkan dia akan menggahiku lagi.

-Kreeekk-

Dikoyaknya lagi gaun mahal milik Cassandra, kali ini aku menutupi daerah kewanitaanku dengan tanganku.

"Kenapa ditutupi? Bukankah kamu yang mengundang nenek kesini, hah? Bukankah kamu sangat ingin memberikan nenek cicit."

"Ti-tidak." Otakku berhenti bekerja, aku terlalu takut. Henry mengikat keuda tanganku dengan dasinya. "He-Henry jangan..." Semakin aku berteriak semakin dia menjambak rambutku, "Akh, sakit Henry."

Aku hanya bisa menangis saat Henry mengagahiku, "Kamu harus aku hukum, karena sudah jadi pengadu!"

"Sakit... jangan..." Aku rasa area intimku sudah terluka parah, aku merasakan pedas pada area intimku. Tapi Henry tetap menyetubuhiku, sampai dia klimaks. Bahkan dia tidak melepaskan ikatan tanganku, aku tidur dengan posisi tengkurap. Tidak hanya sekali dia melakukannya, aku tidak tahu berapa banyak kenikmatan yang dia dapat, yang aku tahu, hari sudah terang saat dia berhenti mengendaraiku.

Dia pergi meninggalkanku begitu saja, aku tertidur karena terlalu lelah, Bu Ida masuk dan melepaskan ikatanku.

"Nyonya, nyonya demam. Mari saya antar ke dokter."

Aku hanya menggeleng, aku masih belum bisa mencerna kejadian tadi malam. Apa salahku sampai dia tega berbuat begitu? Aku berendam di bathtub, menangis dengan puas, aku batalkan seluruh jadwal kerjaku, aku harus mewaraskan diriku, aku tidak boleh tertekan, aku tidak boleh kalah darinya, tapi tetap aku sedih.

Apakah layak bagi diriku merasakan kekejamannya? Yang dia benci itu Cassandra bukan aku, tapi kenapa aku yang harus merasakan sakitnya? Aku mencoba kembali berpijak di bumi, aku tidak boleh gila!

Aku sudahi mandiku, hari sudah siang, aku akan makan dan minum pil kontrasepsi, aku tidak ingin ha"mil anak dari monster kejam itu.

"Bu Ida, aku minta pil KB."

Bu Ida mengangguk dan mengambilkan pil kotrasepsi itu. "Nyonya, maaf, saya yang menceritakan pada nyonya tua tentang tuan Henry yang tidak pernah tidur di rumah. Saya tidak tahu kalau akan berdampak buruk buat nyonya."

Hufft. Aku hanya bisa menghela nafas, mencoba mengerti posisi Bu Ida yang hanya sebagai kepala pelayan yang loyal dengan majikannya.

"Sudahlah bu, sudah terjadi, sebaiknya besok-besok kalau nenek bertanya, sebaiknya Bu Ida berbohong saja atau tidak perlu menjawabnya."

"Baik nyonya."

Aku kembali ke kamar, merenungi nasibku yang malang ini. Aku membatalkan semua jadwal syuting dan pemotretan, aku hubungi sahabatku Rian. Aku ingin mencurahkan isi hatiku padanya, agar aku tetap waras.