Srek!
Tiba-tiba terdengar suara gemerisik di antara pepohonan. Suara yang menyiratkan ada orang lain di tempat itu selain mereka. Dan itu cukup mencurigakan bagi para pengepung Lusia.
"Heh? Coba kau periksa... siapa pengintip sialan itu! Jangan-jangan teman wanita ini juga!" perintah salah seorang.
"Enak aja! Di saat aku memeriksanya, kau sudah menikmati santapanmu ini!" protes satu yang lainnya dengan tatapan sebal.
Sekilas ketiganya menoleh ke arah pepohonan di mana terdengar suara gemerisik tadi.
Salah satunya segera pergi memeriksa, sementara kedua temannya kembali mengalihkan perhatian kepada Lusia.
Keduanya merentangkan tangan siap-siap menerkam gadis berparas cantik itu.
"Hayo... kamu mau lari kemenong, dara manis. Lebih baik ikut abang aja. Entar abang jadikan isteri abang... he he he..."
Lusia dengan panik menepiskan tangan kedua pengepungnya yang berusaha mencengkeram lengannya.
"Biarkan aku pergi! Aku tak ada urusan dengan kalian!" Lusia memaki marah. Ia selangkah demi selangkah mundur menghindari terkaman kedua pengepungnya.
"Hei... dia galak juga. Cantik-cantik galak! Membuatku semakin bergairah saja...!"
Plak!
Lusia menampar muka salah satu dari mereka yang berhasil menangkap lengannya. Tapi cengkeraman orang itu makin kencang. Dan seperti tak peduli dengan tamparan Lusia yang cukup keras.
"Woi! Aku dapat! Aku dapat!" Ia berteriak kegirangan saat tangannya berhasil memiting gadis itu. Teman yang satunya ikut menerkam dan memeluknya dengan kalap.
Lusia meronta-rontak putus asa. "Tolooong! Tolooong!" Jeritnya. Ia sekuat tenaga mengibaskan tangannya kesana-kemari, berusaha menyasar wajah-wajah pria bejat itu, tapi keduanya justru semakin kuat memeluknya.
"Ih, kulitnya lembut dan harum! Benar-benar perempuan kelas atas!" Teriak salah satunya kegirangan.
"Aaahhh!" Tiba-tiba terdengar jerit kesakitan dari arah salah seorang teman mereka yang memeriksa pepohonan. Lalu terlihat seekor rusa besar secara membabi buta menyeruduk orang itu.
Kedua orang yang menyekap Lusia terperangah kaget lalu melepaskan pitingannya pada tubuh Lusia.
"Gila! Si Rusli diserang seekor rusa! Kenapa bisa seperti ini?"
Teman mereka yang diseruduk rusa lari terbirit-birit hingga menceburkan diri ke sungai.
Gagal mengejar targetnya, rusa yang dikenali Lusia sebagai hewan yang menemaninya di hutan tadi, secepat kilat mengalihkan sasarannya kepada kedua pengganggu Lusia lainnya. Ia menanduk kesana kemari dengan lincah. Kepalanya bergoyang-goyang lucu, dengan kaki menghentak-hentak menakut-nakuti. Keduanya kewalahan dan memilih untuk lari menyusul temannya ke tepi sungai, sambil mengumpat marah-marah. "Awas kau binatang sialan! Aku akan ke sini lagi, kau bakal kutembak!"
Beberapa detik kemudian terdengar deru suara mesin perahu menjauhi tempat itu.
Lusia tercengang di tempatnya berdiri. Ia hanya memandang tak percaya ke arah rusa yang tengah berdiri di tepi sungai memandang perginya perahu. Itu adalah rusa yang jinak tadi! Pikirnya.
Astaga! Hutan ini benar-benar unik! Orang-orang mungkin menganggapnya sebagai hutan terkutuk, tapi dirinya justru menemukan hal-hal mencengangkan di hutan ini meskipun masih menjadi misteri.
Sejenak ia ragu-ragu untuk menghampiri rusa itu, padahal ia ingin berterima kasih.
Mungkin ia sudah tidak jinak lagi, pikirnya.
Rusa itu terlihat berjalan pelan menuju ke hutan kembali tanpa mempedulikan dirinya.
Lusia mengikutinya dengan perasaan campur aduk. Antara ngeri, lega, bercampur kebingungan. Ia memutuskan untuk kembali ke dalam hutan, tempat Hendra terjebak dalam bangunan batu misterius yang hingga kini masih tanda tanya bagi mereka.
"Rusa! Tinggu aku!" Lusia mengejar binatang itu. Setelah dekat ia memegang ekor mamalia darat itu yang seketika berhenti menunggunya.
"Kau telah menyelamatkanku! Aku berterima kasih sekali padamu!" Ia memeluk dan mencium leher hewan itu. Setelah itu ia menatap mata bening hewan itu dengan takjub. "Aku tak yakin kalau kau ini hewan sungguhan. Kau sepertinya sengaja diutus untuk menyelamatkanku..." bisiknya.
Hewan itu melenguh sesaat, kemudian berjalan kembali ke dalam hutan.
Tak lama Lusia kembali berada di bangunan batu misterius. Jantungnya kembali berdebar, debar. Ia melangkah pelan-pelan menuju pusat bangunan. Memandang ke arah lobang persegi yang masih saja terbuka. Di situ Hendra terjebak pingsan di dalamnya.
Ia memandang ke dalam lobang setelah sampai di situ.
"Hendra...? Hendra?" Ia memanggil-manggil.
Tak ada jawaban.
Ia menghela nafas. Sesaat memandang dulu ke arah si rusa jinak sebelum memutuskan untuk memasuki lobang itu.
"Hendra....?" Ia terus memanggil sambil perlahan-lahan menuruni tangga lobang.
Pemuda itu masih tersandar di tempatnya. Namun matanya sudah terbuka. Menatap Lusia dengan pandangan cemas.