Sanaia, sosok wanita itu yang selalu hadir disaat Naka membutuhkan tempat bersandar. Wanita yang menjadi kekasihnya itu selalu menatapnya dengan hangat dan penuh perhatian.
Wanita muda itu hanya bisa tersenyum saat tahu reaksi yang diberikan kekasihnya kala dirinya meminta komitmen terhadap hubungan mereka. Ia tahu betul kalau hubungan mereka kecil kemungkinan bisa sampai pada jenjang yang serius tetapi Sanaia ingin mencobanya.
Sudah beberapa hari belakangan ini dirinya tidak mendapatkan kabar dari Naka. Sanaia bingung harus mengiriminya pesan setiap dirinya rindu atau membiarkannya saja sampai pria itu menghubunginya sendiri.
Dirinya tahu kalau kini Naka sudah mengambil alih perusahaan milik keluarganya, dia tidak mau mengganggunya tetapi, Sanaia rindu mendengar suara kekasihnya itu.
Perdebatan dengan suara hatinya cukup memakan waktu yang lama. Sanaia akhirnya memutuskan untuk melakukan panggilan ke nomor Naka saat itu juga.
Bunyi nada panggilan membuatnya seketika memasang wajah bingung, ia takut kalau Naka tidak menjawab karena menganggapnya mengganggu.
"Halo Sanaia, ada apa telpon aku jam segini?" ucapnya.
Berhasil, panggilan itu terjawa. Sanaia tanpa sadar tertawa kecil ketika mendengar suara kekasihnya itu. Ia berusaha untuk acuh ketika menjawab Naka.
"Kamu malah tanya begitu, harusnya aku yang nanya kamu kemana aja sampai susah banget buat ditelpon begini."
Lama tak mendengar suara sama sekali, Sanaia bahkan sampai mengetukkan kukunya yang panjang pada meja.
"Maafin aku, aku bener-bener lupa kasih kabar ke kamu. Besok aku main ke rumah ya, sekalian bawain makanan kesukaan kamu."
Senyumnya mengembang kala mendengar suara Naka yang meminta maaf bahkan pria itu akan main ke rumahnya.
"Janji ya, aku tunggu di rumah."
"Iya tunggu besok ya."
Sanaia menahan diri untuk tidak berteriak kesenangan kala Naka menyuruhnya menunggu esok hari. Akhirnya ia akan melepas rindunya pada kekasihnya itu.
Wanita muda itu bahkan menggenggam telepon selulernya dengan gemas sambil menatap panggilan yang sudah berakhir itu. Bukankah dirinya terlihat seperti anak remaja yang sedang kasmaran?
Akhirnya malam ini Sanaia bisa tidur dengan nyenyak setelah menghubungi Naka, ia akan memasak sesuatu yang spesial untuk kekasihnya itu.
Di balik kesenangan yang di rasakan oleh Sanaia rupanya ada sosok wanita muda yang merasa sebaliknya. Hari ini sangat berat untuknya, entah mengapa ia merasa setiap hari semakin melelahkan bekerja pada devisinya dan di depan komputer berjam-jam.
Mahira bahkan langsung merebahkan dirinya pada sofa ruang tamu. Menatap lelah ke arah Ayahnya yang sedang menonton pertandingan bola sambil memakan kacang tanah.
"Kamu gak lembur hari ini Ra?" tanya Ayahnya.
Mahira hanya bisa menghela nafas saja sambil merubah posisinya menjadi duduk tegap.
"Enggak Yah, aku capek banget bahkan mata rasanya kering banget ini."
Tak lama dari itu datang Khansa, adiknya. Adik perempuannya itu baru saja turun dari tangga dan menyapanya. Tumben sekali pikirnya.
"Pakein obat tetes mata nanti buat bersihin debu, mau makan malam? Ayah nunggu kamu pulang biar bisa makan bareng," ucap Ayahnya.
Mahira menatap Ayahnya dengan mata berbinar pasalnya Ayahnya ingin makan bersama dengannya.
"Ayah kan bisa makan duluan, kalau aku pulang malam gimana? Nanti sakit lambung ayah kambuh lagi," ucap Mahira khawatir.
Bukannya menjawab perkataan yang dikeluarkan oleh Mahira, ia memilih untuk memeluk putrinya itu dengan perasaan sayang.
"Jangan terlalu khawatir, Ayah baik-baik aja kok. Ayo kita makan malam," ajaknya.
Akhirnya Mahira berusaha untuk melawan rasa lelahnya dan terus tersenyum karena perlakuan hangat yang keluarganya berikan.
Makan malam berlangsung dengan hening, Mahira merasa senang di kala dirinya merasa lelah sehabis bekerja.
Di sela-sela keheningan itu, Khansa datang dan mengambil tempat di sebelah Mahira. Ia berusaha mengabaikannya tetapi adiknya itu menyenggol lengannya pelan.
"Kenapa?" tanyanya ketus.
Khansa hanya berdecak saja dan memberikannya sebotol minuman herbal.
"Biar semangat minum ramuan herbal ini, biasanya aku beli kalau capek belajar jadi siapa tau Kakak juga ngerasa baikkan sehabis minum ini."
Seolah tak yakin, Mahira melihat kembali botol minuma itu dan wajah Khansa secara bergantian.
"Tumben, makasih banyak adikku sayang."
"Wah tumben banget akur berdua, Ibu buatin pisang goreng buat kalian. Ayah mau di meja ruang tamu udah ibu bikinin kopinya," ucap Ibunya.
Kehangatan itu memenuhi rumah keluarga Mahira, Mahira menatap ayah, ibu dan adiknya dengan senyuman hangat. Ia harap dirinya bisa terus merasakan kebahagiaan bersama keluarganya.
Kehangatan juga dirasakan oleh keluarga Naka. Makan malam hari ini bahkan terasa tenang tanpa ada satupun hal yang diributkan. Neneknya bahkan makan dengan tenang tanpa memberikan pertanyaan menuntut padanya.
Pandangan Naka bertemu saat itu juga dengan tatapan Ibunya, ia hanya bisa tersenyum canggung saja dan kembali melanjutkan makannya.
"Gimana keadaan kantor hari ini?" tanya Ayahnya itu kepadanya.
Naka terdiam sebentar dan meletakkan alat makannya itu dari tangannya. Menatap wajah ayahnya dengan senyuman yang terbit di bibirnya.
"Baik, ini masih awal Naka di kantor tapi kedepannya akan berusaha buat ngembangin perusahaan jadi lebih baik lagi. Semua karyawan juga kompak dan semoga saja kita bisa kerja sama yang baik untuk kedepannya."
Semua yang berada di meja makan ketika mendengar jawaban dari Naka tentu merasa senang. Naka harapan keluarganya untuk meneruskan perusahaan mereka agar bisa lebih baik lagi.
"Baguslah jika seperti itu, pertahankan kinerja kamu agar perusahaan bisa perlahan menunjukkan perubahan. Ayah percayakan semuanya pada kamu," ucapnya.
Naka mengangguk dengan senyumnya, ia merasa senang sekali hari ini.
"Jangan mudah merasa puas, kamu juga harus bijak," ucap Viona, neneknya.
Naka mengalihkan pandangannya dan tersenyum pada neneknya.
"Baik, Naka akan selalu ingat itu."
Ketika makan malam selesai, Naka tidak langsung pergi menuju kamarnya. Dirinya memilih untuk duduk di bangku tepi kolam renang, memperhatikan pantulan langit malam yang gelap.
Memang dingin tetapi ia memilih untuk membiarkan hawa dingin itu berhembus pada kulitnya. Naka merasa hari ini tidak terlalu melelahkan untuknya, ia bisa melihat kekompakan seluruh karyawan hari ini saja sudah membuatnya merasa senang.
Bunyi keramik yang beradu pelan pada meja kaca membuatnya langsung menoleh dan menemukan Ibunya yang sudah duduk di sebelahnya.
"Sudah lama Ibu tidak melihat kamu senyum seperti hari ini, Ibu merasa senang karena bisa melihat kamu bahagia karena hal yang kamu lakukan di kantor. Ibu bahkan tidak menyangka sekali kamu diberikan tugas oleh ayah untuk memegang perusahaan, rasanya waktu berjalan cepat banget ya."
Naka tersenyum menatap wajah ibunya yang sudah menunjukkan garis halus itu, Naka dilingkupi kehangatan yang diberikan oleh perkataan Ibunya malam ini. Naka tidak bisa menahan kebahagiaannya bahkan kedua matanya tanpa sadar ikut berbinar.
"Naka juga merasa senang kalau ibu juga senang, Naka akan terus berusaha melakukan yang terbaik kedepannya."