"Abian!" panggil Keana seraya berlari mendekat padanya. Tangannya pun terlentang bersiap memeluk sang saudara. Namun reaksi yang dilakukan Abian sungguh diluar ekspektasi Keana. Abian berjalan melaluinya.
Keana membeku ditempatnya. Perlahan tangannya pun mulai turun kembali keposisi awalnya. Matanya menatap nanar Abian yang kian menjauh dari jangkauannya. Kupikir kau mengkhawatirkanku, batin Keana. Tak terasa butir air mata telah lolos dari matanya. Ada apa dengannya?
Keana mengusap cepat pipinya. Menghapus air mata yang telah berlinang disana. Kakinya kembali mengayun memasuki rumahnya. Hanya satu orang yang kini dicarinya. Bunda.
Langkah Keana sedikit berlari untuk menghampiri Megalani. Namun sebuah suara berhasil menghentikannya.
"Sudah selesai ngejalangnya?" tanya Sarah dengan tangan bersedekap dada. Ia berdiri tak jauh dari Keana menatap dengan tatapan jijik kearahnya. Suaranya yang keras pun membuat Keana yakin itu akan didengar seluruh orang yang ada di rumahnya. Lagi, lagi. Sarah mempermalukannya.
"Maksud Mama apa?" tanya Keana menatap penuh tanda tanya.
"Dibayar berapa kamu sampai- sampai pulang pagi?" tanya Sarah semakin memojokkannya. Tatapannya kian menohok mengeluarkan aura kebencian yang tampak jelas disana.
Keana mengedarkan pandangannya. Ditatapnya seluruh asisten rumah tangga yang berdiri menatapnya. Mereka semua kompak menghentikan aktivitasnya hanya untuk menonton Keana.
"Aku diculik, Ma!" ucap Keana dengan lantangnya. Matanya pun memanas tak menerima semua tuduhan dari sang mama.
"Basi! Kau itu memang jalang sama seperti ibumu! Bahkan semua orang juga sudah tahu kelakuan aslimu!" hardik Sarah meninggikan suaranya. Ia memaki Keana habis- habisan didepan semua orang disana.
"Ma, aku nggak bohong!" ucap Keana masih kekeh membela diri. Matanya pun kembali berair menatap penuh tak percaya pada sang mama. Namun kehadiran seseorang berhasil mengubah arah pandang Keana.
Megalani datang bak seorang ibu peri dimata Keana. Keana pun langsung bergegas mendekat kearahnya. Dengan air mata berlinang, Keana memeluk sang bunda.
"Bunda, Keana nggak salah!" ucap Keana sambil menangis tersedu- sedu dipelukan Megalani. Seluruh air matanya tumpah disana. Meratapi setiap kejadian yang membuatnya harus berpura- pura sebagai teman.
Keana merasa ada yang aneh dari sang bunda. Mengapa Megalani tak kunjung membalas pelukannya? Perlahan Keana pun melepaskan Megalani dari pelukannya. Ditatapnya lamat- lamat sang bunda yang sama sekali tak melirik kearahnya.
"Bunda kenapa?" tanya Keana pada sang bunda. Namun bukan jawaban yang didapatkannya, Megalani meninggalkannya. Ia sama sekali tak menoleh sedikit pun pada Keana.
"Bunda! Bunda!" panggil Keana sambil mengejar bundanya. Namun sebuah tangan dengan kasarnya mencekalnya. Menghentikan aksi Keana mengejar sang bunda.
Plakk!
Sebuah tamparan diterima Keana. Tamparan yang sangat keras hingga berhasil membuat luka lebam dipipinya.
"Jalang kau! Jangan pernah datang jika untuk menghancurkan!" hardik Sarah tepat setelah tangannya melakukan protes kekesalannya pada Keana. Matanya memerah. Emosinya memuncak menatap anak yang menjadi akar dari semua masalah yang dihadapinya.
"Keluargaku hancur karenamu! Martabat pun hilang karena tingkahmu! Suamiku berubah sejak kehadiranmu! Apa salahku padamu? Hingga kau tega menghancurkan semua yang telah menjadi hakku!" teriak Sarah dengan penuh emosi. Meluapkan semua amarah yang dipendamnya dihati. Masalah yang selama bertahun- tahun berhasil disimpannya sendiri. Kebahagiaannya hanyalah imitasi. Hanya karena kehadiran seorang anak tiri.
Keana termenung mencerna semua cercaan. Tangannya sedari tadi memegang pipi yang sudah terasa panas. Air mata seolah tak ada lelah untuk menerobos keluar. Sungguh menyedihkan.
Sarah berlalu meninggalkan Keana dengan menggertakkan gigi. Ia sadar berhadapan dengan Keana hanya akan menguras emosi. Ia bahkan tak pernah tahu apa yang akan dilakukannya jika emosi sepenuhnya menguasi. Mungkin lebih parah dari ini.
Keana pun langsung berlari memasuki kamar. Ia hanya akan meredakan tangisnya diatas bantal. Posisi ternyaman untuk menyembuhkan luka tanpa pelukan seseorang.
Keana berada disana sampai matahari pagi kembali menyambutnya. Ia melupakan makan hanya untuk melupakan keluh kesahnya.
Pagi telah berjumpa lagi. Keana menarik napasnya dalam menatap cermin dikamar mandi. Matanya menatap nanar sebuah pil yang entah berapa lama ia telah konsumsi. Pil yang telah menjadi obat penenang saat depresi datang kembali. Mata Keana beralih menatap sayatan perut yang sudah seberapa banyak luka yang dialami.
"Berapa banyak obat yang harus kuminum lagi? Berapa banyak sayatan yang akan kulakukan lagi?" tanya Keana pada cermin dihadapannya. Hanya keheningan yang menjawabnya. Lagi.
Setelah 20 menit akhirnya Keana turun ke meja makan. Matanya menatap ke empat orang yang sudah terduduk bersiap untuk makan.
"Pagi!" sapa Keana dengan senyum merekah. Tangannya terangkat bersiap untuk menarik kursi.
"Aku berangkat." kata- kata itu sukses menghentikan pergerakan Keana. Ditatapnya Abian yang telah berdiri disusul dengan sang ayah yang bersiap pergi. Mata Keana kembali beredar menatap sang mama dan bunda yang mengacuhkan hadirnya. Kenapa mereka?
"Hati- hati ya!" ucap Sarah dengan senyum merekah. Kedua ibunya menatap kepergian mereka dengan senang. Namun tepat setelah mereka menghilang dari pandangan, mereka kembali ke kamar. Mengacuhkan Keana yang juga membutuhkan kasih sayang.
Air mata Keana kembali berlinang. Apa kesalahannya? Hingga sang bunda pun menjauhinya.
Kakinya Keana melangkah keluar dari sana. Ia hanya ingin cepat datang ke sekolahnya. Tempat yang menjadi pengalihan pikirannya. Keana dengan cepat menghentikan taksi didepan sana. Menghindar dari tempat yang membuatnya terjerumus kedalam dunia obat- obatan yang seharusnya tak pernah didekatinya.
Hanya perlu waktu limabelas menit untuk sampai disekolah. Sekolah yang kini menjadi satu- satunya tempat untuk pengalihan luka.
Keana melangkahkan kakinya masuk kedalam sana. Namun ada rasa aneh dalam benaknya. Biasanya semua orang yang mengenalnya akan menegur sapa. Namun kali ini berbeda. Tatapan yang Keana dapatkan jauh dari biasanya. Siswa- siswi yang dilewatinya malah menatap jijik kearahnya. Tak jarang banyak yang berbisik saat Keana berlalu didepan mereka.
"Oo dia pengkhiatnya? Tega banget ya,"
"Gue nggak nyangka kalau kayak gitu sifat asli Keana, kan Abian kasian!"
"Topeng mukanya tebel banget ya! Pantes nggak punya malu!"
"Nggak nyangka gue, dia biaa berbuat kayak gitu ke kakaknya!"
Ucapan demi ucapan yang didengar Keana semakin menyudutkannya. Namun Keana berusaha keras untuk tak menggubrisnya. Ia tak punya masalah sedikit pun dengan mereka. Dan ia tak mau cari masalah dengan siapapun disana.
Kaki Keana berjalan makin cepat melewati koridor untuk sampai ke kelasnya. Matanya pun hanya fokus pada jalanan yang dilaluinya. Namun langkahnya terhenti saat sebuah kertas yang tertempel dimading menarik perhatiannya.
Mata Keana seketika membola. Ia menatap fotonya yang tengah berada diboncengan Ales terpampang jelas disana. Tertulis dengan jelas dibawahnya 'Keana, Jalang SMA Harapan Bangsa! Ia rela mengkhianati kepercayaan kakaknya hanya untuk mengejar uang dari hasil menjalangnya! Ia bahkan menjadi mata- mata untuk geng musuh kakaknya agar bisa mendapatkan uang dari sana!'