webnovel

Hug Me!

1 tahun adalah waktu yang singkat untuk melupakan. Dalam 1 tahun pula ia dituntut untuk mengikhlaskan. Bagaimana bisa? Dalam waktu sesingkat itu Abian harus melupakan kejadian miris yang dialami sahabatnya. Kejadian merenggut nyawa yang sampai sekarang pun ia tak tahu siapa pelakunya. Kejadian yang berusaha ia lupakan dan ikhlaskan dengan hati yang lapang. Namun apa daya, semua bangkai pasti tercium pula baunya. Waktu menunjukkan semuanya. membongkar seluruh fakta dibalik topeng topeng orang bermuka dua. Namun hadirnya Keana mampu melunakkan apa yang selama ini dirasakannya. Hingga melupakan semua status yang terjalin diantara keduanya. Hidupnya seolah menemukan penerang. Ia menemukan seseorang yang menerimanya apa adanya. Tanpa tuntutan harta maupun tahta. Dan kini ia sadar, setidaknya ia tak rapuh sendirian. Adelard Abian Abraham.

mitaratna · Urban
Not enough ratings
376 Chs

Permintaan Maaf

Abian mengepalkan erat tangannya. Matanya memerah menatap Keana yang tengah mesra dengan Bastian tak jauh dari tempatnya. Manik mereka bertemu layaknya dua insan yang saling cinta.

Dengan amarah, Abian langsung beranjak dari tempatnya. Kakinya pergi begitu saja seolah ingin cepat meninggalkan tempat yang berhasil membakar hatinya.

"Abian!" panggil Rizky seraya menatap nanar punggung Abian yang mulai menjauh dari tempatnya.

Rizky, Genta, dan Revan langsung saling tatap ditempatnya. Tatapan mereka semua sama. Bingung. Ada apa dengan Abian?

Sedangkan disisi lain, Keana baru saja beranjak dari tempatnya. Disampingnya telah ada Bastian dan Vanya yang baru menyusulnya. Jaket besar milik Bastian pun sudah terpasang dibahu Keana.

Tatapan semua orang kian menatap Keana dengan tatapan aneh mereka. Hujatan kian ingin mereka lontarkan pada Keana. Pasalnya baru saja ia digosipkan mendekati seorang mata- mata. Setelahnya Keana juga dikabarkan menjadi anak dari pelakor keluarga Abian. Lalu sekarang, Bastian mendekatinya? Para siswa makin geram dengan Keana.

"Dasar munafik banget, ya!"

"Dia mau ngikutin jejak ibunya kali jadi pelacur!"

"Jalang murahan! Dasar mata- mata!"

"Mukanya terlalu cantik buat seorang yang munafik!"

Sindiran- sindiran pedas kian didengar Keana dengan jelasnya. Tampak sekali mereka sengaja mengeraskan volume suara agar Keana dapat mendengar makian mereka.

Keana tertunduk dalam seraya berjalan meninggalkan kantin yang dipenuhi tatapan menusuk dari mereka. Langkahnya terasa berat saat ada yang menghina bunda kesayangannya. Ingin sekali Keana membalas ucapan mereka. Namun apa daya, ia hanya seorang upik abu yang ucapannya hanya dapat didengar semut semata.

"Jangan dengerin mereka!" ucap Bastian sambil memeluk erat bahu Keana. Matanya menyorot dengan tatapan iba pada teman masa kecilnya. Bastian benar- benar merasa kalau Keana adalah adiknya. Ia ingin sekali merengkuhnya saat semua orang tak ada yang mempercayainya.

"Iya, bener! Nggak usah didengerin!" ucap Vanya seraya mengelus pelan tangan Keana.

Keana tersenyum dengan tulusnya. Ia benar- benar beruntung karena masih ada tiga orang yang selalu mendukungnya. Merekalah Bastian, Vanya, dan sang bunda. Walaupun Keana telah kehilangan list nama Abian didalamnya, tapi jauh dalam lubuk hati Keana ia percaya, Abian telah berubah menjadi saudara terbaik yang dimiliki Keana. Semoga saja ini hanya batu kerikil yang tak sampai merusak hubungan mereka.

"Makasih ya!" ucap Keana dengan seulas senyum dibibirnya.

Kaki mereka kompak berjalan menuju loker para siswa. Disana Keana akan mengambil baju seragamnya untuk mengganti bajunya yang telah basah akibat kakak kelasnya.

"Dianter sampai sini aja, Kak!" ucap Keana menghentikan langkah saat lokernya telah ada didepan mata. Matanya menatap intens pada Bastian yang juga menatapnya.

"Yakin?" tanya Bastian menaikkan salah satu alisnya.

"Iya, aku kan udah sama Vanya." jawab Keana seraya menoleh kearah Vanya.

"Yaudah kalau gitu. Vanya, tolong jagain Kean, ya!" pinta Bastian pada Vanya. Sedangkan Vanya hanya mengangguk sambil mengulas sedikit senyum dibibirnya.

Bastian pun langsung beranjak meninggalkan mereka. Kakinya mengayun untuk kembali ke ruang kelas karena sebentar lagi bel masuk akan segera berbunyi.

Sedangkan Keana dan Vanya hanya menatap punggung Bastian yang kian menjauh dari mereka. Sungguh beruntung Keana memiliki Bastian yang seolah siap menjadi tameng pelindungnya, batin Vanya sambil tersenyum menatap sahabatnya.

*

Jam pelajaran berjalan seperti biasa. Semua murid kini berada di masing- masing ruang kelas mereka. Mendengarkan guru yang sedang menjelaskan didepan kelas adalah rutinitas mereka. Namun tidak dengan Abian.

Bel masuk telah berbunyi 15 menit yang lalu. Namun kakinya baru saja beranjak masuk kedalam kelas dengan raut tanpa dosanya. Kehadiran Pak Broto didalam sana seolah tak digubrisnya. Kakinya terus saja melangkah masuk tanpa ucapan maaf atau salam seperti murid pada umumnya.

"Darimana kamu Abian?" tanya Pak Broto dengan nada tingginya. Matanya pun menatap nyalang pada sang murid yang terlalu sulit untuk diatur tingkah polahnya.

"Dari luar," jawab Abian tanpa sekalipun menoleh atau menghentikan langkahnya. Ia segera mendaratkan tubuhnya pada bangku paling belakang yang merupakan tempat duduknya.

"Siapa yang suruh kamu duduk?!" bentak Pak Broto kian meninggikan bicara. Ia bemar- benar geram pada Abian yang semakin hari semakin tidak bisa diatur sikapnya.

"Duduk tinggal duduk ngapain harus nunggu?" tanya Abian masih dengan nada santainya. Kepalanya pun perlahan tenggelam dalam dekapan tangan dimeja. Matanya tertutup rapat serapat ia menutup telinga pada gurunya.

"Benar- benar susah diatur!" hardik Pak Broto langsung menyudahi perdebatan mereka. Ia tahu berdebat dengan Abian tak akan ada gunanya. Jika Pak Broto mengusirnya dari kelas itu malah menjadi sebuah kebahagiaan untuk anak muridnya.

Pak Broto akhirnya meneruskan acara belajar- mengajarnya. Ia sudah tak mau lagi menggubris Abian yang sedang tertidur nyenyak ditempatnya. Bagaimanapun juga pelajaran Fisika telah dikuasai Abian diluar kepalanya.

"Darimana lo?" tanya Genta yang sambil berbisik pada Abian. Menjadi teman satu bangku Abian sangatlah membuat seluruh teman sekelas iri dengannya.

"Ada urusan," jawab Abian masih dalam posisi yang sama. Ia benar- benar lelah karena waktu 15 menit yang baru digunakannya.

"Kemana?" tanya Genta semakin penasaran dengan sahabatnya. Tangannya pun sudah menopang kepala bersiap untuk mendengarkan cerita baru sahabatnya.

Namun Genta merasa ada yang aneh dari sahabatnya. Tak ada pergerakan sama sekali yang dilakukan Abian ditempatnya.

Dengan perlahan, Genta mencoba untuk menepuk- nepuk punggung Abian yang membelakanginya. Masih tak ada respon. Kenapa dia?

Genta semakin panik ditempatnya. Kepalanya pun bergerak untuk mengecek keadaan Abian disana. Matanya menatap lamat- lamat Abian yang ternyata telah masuk kedalam alam mimpinya.

"Yaelah molor!" ucap Genta mengubah raut wajahnya. Ia benar- benar penasaran dengan apa yang dilakukan Abian seorang diri hingga membuatnya terlambat untuk mengikuti pelajaran guru killer mereka.

Abian telah terlelap dibangkunya. Wajahnya yang tertidur kian membuat seluruh teman perempuannya terpesona menatapnya. Para gadis dikelasnya kompak mencuri pandang kearah belakang menatap most wanted sekolah mereka. Suara mereka terpekik tertahan saat Abian semakin nyenyak dengan tidurnya. Sungguh beruntung mereka dapat melihat wajah lelaki tampan dalam kelasnya.

Jam pelajaran berlalu dengan cepatnya. Tak terasa delapan jam telah mereka habiskan untuk menempuh ilmu di SMA Harapan Bangsa. Semua murid berlalu lalang menuju gerbang sekolah untuk pulang kerumah mereka.

Saat ini Keana tengah membereskan peralatan tulisnya. Ia memasukkan seluruhnya kedalam tas dengan posisi yang tertata. Disampingnya, Vanya pun tengah melakukan kegiatan yang sama. Kelas mereka telah sepi tak berpenghuni kecuali mereka. Keana sengaja mengajak Vanya pulang paling akhir untuk menghindari makian dari para siswa.

Suara terbukanya pintu mengundang perhatian mereka. Dari ambang pintu tampak ada Gladys dan kedua temannya sedang menatap mereka. Kaki mereka kian mengayun mendekat kearah Keana dan Vanya.

Keana pun langsung merasa waswas disana. Vanya pun telah bergerak untuk memblokir jalan mereka agar tak sampai pada Keana.

"Minggir! Gue mau ngomong sama dia!" ucap Gladys dengan menatap tajam Vanya.

"Nggak!" hardik Vanya kian merentangkan kedua tangannya. Ia benar- benar tak ingin kejadian dikantin tadi terulang dikelasnya.

Gladys hanya memutar malas bola mata. Ia benar- benar jengah dengan sikap Vanya yang terlalu berlebihan dianggapnya.

"Keana, gue minta maaf."